Hari Sabtu dua minggu lalu lepas saat Ashar, sewaktu berada di kemacetan lalin di sekitar Lebak Bulus, saya dan keluarga melihat seorang bocah belasan tahun yang sedang mempertontonkan atraksi topeng monyet–atau tepatnya topeng bayi, di pinggir jalan itu. Si bocah merantai seekor kera yang memakai sebuah topeng bayi di mukanya. Beberapa meter dari sang bocah dan keranya ada bocah lain dengan kera pasungannya sendiri. Anak lelaki ini juga mempertontonkan "kehebatan" sang kera dalam mengendarai sebuah motor-motoran kayu. Beberapa puluh meter dari situ, seorang pemuda yang dalam taksiran saya berusia 30-an menampilkan pertunjukan serupa. Saya hitung ada 7 atraksi serupa di sepanjang jalan tersebut. Motifnya sama, mencari uang. Semua anak dan pemuda tadi memegang kaleng uang recehan. Mereka sama-sama berharap agar para pengendara yang lewat menyisihkan sekeping atau selembar recehan. Dan ada beberapa pengendara yang mengabulkan permintaan mereka.

Paginya, saat sarapan di rumah, saya sempat membaca satu artikel di
kolom opini pada sebuah surat kabar. Paragraf pertamanya dimulai dengan
pernyataan ini: "Tidak ada realitas di luar bahasa." Di pagi
itu, kembali, saya bertanya-tanya apa artinya.

Ludwig Wittgenstein pernah mengatakan, jika Anda tidak tahu apa yang
harus dikatakan, mungkin sebaiknya Anda diam. Sebagaimana juga mungkin
Anda, saya tidak keberatan dengan kalimat bijak ini. Tapi kalimat
tentang realitas tadi bukan pertama kali saya jumpai. Saya tidak tahu
persis siapa pertamakali mengucapkan kalimat tersebut kapan dan dalam
konteks apa. Selama itu pula saya telah berdiam, mencoba memaklumi
maknanya yang samar tanpa mengutak-atiknya sama sekali. Sore itu, saya
memutuskan mengabaikan peringatan Ludwig. Dan sekarang tilikan awal ini
saya coba tuliskan.

Jika bacaan-bacaan sekunder selama ini dapat diandalkan, saya ketahui
bahwa cikal bakal gagasan di balik kalimat tersebut berkembang dari
disiplin multidisipliner yang relatif baru-awal 1990-an, bernama
analisis wacana atau discourse analysis. Gagasan tersebut cenderung
sering dipakai sebagai pendorong semangat liberasi interpretasi sastra
oleh beberapa kritikus sastra tentang makna karya yang dicoba
dikritiknya.

Kalau ditarik lebih jauh lagi ke belakang, dan mengingat bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan linear maupun soliter
terhadap gagasan-gagasan sebelumnya, benihnya sudah ada di abad 19,
bahkan sempat solid dan mengemuka dalam bentuk historisisme di Jerman.
(Kalau harus ditarik mundur lagi, seperti kebanyakan isme, tentu
semuanya bermula ke Yunani kuno, ke Plato misalnya..)

Intinya kurang-lebih serupa dan ingin mengatakan bahwa, dalam hal karya
sastra, apa yang perlu diketahui tentang makna karya sudah termasuk di
dalam teks tersebut. Korolarinya, begitu karya sastra disajikan oleh
seorang penulis, maka makna dan pemaknaannya sudah lepas dari kuasa sang
penulisnya, sehingga bebas untuk diinterpretasikan oleh sidang pembaca.

Mungkin karena daya liberasinya yang luar biasa, atau barangkali juga
atas dasar jejak historisnya yang sering menjadi "mainan" asyik
tersendiri bagi penelusurannya, paham ini mendapat penerimaan yang luar
biasa pula di bidang-bidang lain- hermenetika dan posmodernisme,
terutama dalam bentuk teori dekonstruksinya, yang penggunaannya pernah
menjadi amat trendi untuk mendekonstruksikan hampir semua hal di bawah
matahari.

Dalam wujud ekstrimnya, sesuai keterbatasaan pemahaman saya saat ini
terhadapnya, barangkali harus diartikan bahwa menurut hermenetika,
Shakespeare tidak memiliki kuasa atas apa-apa yang telah dituliskannya;
bahwa tidak penting apa tafsiran Shakespeare sendiri terhadap makna
baris-baris sonetanya ketika ia menuliskan," Let me not to the
marriage of true minds, Admit impediments …" atau dalam
lakon-lakon The Taming of the Shrew, The Tempest, atau Romeo and Juliet.

Dalam hemat saya, empirisme telah berhasil ditarik ke ekstrim
terjauhnya, menuju kepada semacam permisifisme dan nihilisme. Hegemoni
metode tunggal ini memungkinan dan telah memunculkan berbagai versi
"kebenaran." Apakah kebenaran yang berwajah majemuk yang
dicita-citakan akal budi manusia melalui ilmu pengetahuan? Apakah
demikian fungsi sains sebagai alat bantu manusia dalam mencari kebenaran
yang dicitakan?

Jika seorang proponen menyatakan bahwa semua hal boleh diinterpretasikan
sebebas-bebasnya, bagaimana dengan status pernyataannya? Tidakkah itu
sama saja berarti bahwa yang dikatakannya itu tidak berguna, tidak perlu
didengar atau diingat, sehingga aman untuk diabaikan saja?

Biasanya demi kesantunan argumentasi, kita perlu mendefinisikan dulu
konsep yang ingin kita bahas. Ini tidak gampang dan sering berbahaya.
Untungnya, dalam kasus kita sekarang, konsep realitas sudah cukup
intuitif untuk dipahami. Apapun definisinya, kalimat di atas, jelas dan
tanpa ketaksaan apapun, mengatakan bahwa hal tersebut berada di dalam
bahasa. Saya justru dengan ini ingin mengatakan bahwa realitas ada di
luar bahasa; sedangkan pemahaman terhadapnya tercermin di dalam bahasa.
Bahasa tidak lebih dari simbol-simbol bunyi/huruf/gambar belaka serta
seperangkat konvensi penggunaannya.

Baiknya saya kembali ke contoh konkrit saja, ke pertunjukan kera-kera di
atas.

Dalam contoh empiris (sejarah) yang saya saksikan Sabtu sore tersebut,
yang mengelilingi kera-kera yang malang itu adalah realitas yang riil
meskipun mereka mungkin tidak memahaminya secanggih manusia, termasuk
yang sedang terjebak kemacetan saat itu.

Pada kenyataannya, ketidakpahaman kera-kera tersebut tidak meniadakan
atau menisbikan hukum-hukum alam di sekitar mereka, termasuk hukum-hukum
alam yang time-invariant antarkera, antarmanusia, antara manusia dan
kera; dan termasuk juga norma-norma yang mungkin temporal-yang tidak
langsung bergeser secara drastis dalam semalam, yang telah ikut
menentukan pola relasi antarmanusia, yang dapat ikut menjelaskan mengapa
sejumlah pemakai jalan sore itu memutuskan (tidak) memberi para empunya
kera-kera tersebut uang recehan.

Setiap orang selaku pengguna bahasa apapun pada hakikatnya senantiasa
harus selalu tunduk kepada aturan-aturan internal yang mengatur
pembentukan makna, dari tingkat fonologis, morfologis, sintaksis,
semantis dan pragmatisnya-kecuali jika intelijibilitas dalam penggunaan
bahasa bukan menjadi tujuannya.

Kegagalan Humpty Dumpty dalam usaha menggunakan bahasa seenak hatinya
adalah bahwa unsur-unsur semantik dan sintaksis yang dikacaukannya tidak
mampu menjadikannya sebuah konvensi yang, meski tidak harus kekal,
dianggap berlaku untuk suatu periode waktu tertentu oleh komunitas
penggunanya. Untuk memahami dunia lain yang murni suatu rekaan, semisal
tokoh telur di atas, kita mungkin boleh bebas menafsirkan
sebebas-bebasnya tentang peristiwa yang telah menyebabkannya pecah
berkeping-keping, tanpa ada seorang prajurit raja yang mampu
menyatukannya kembali.

Tapi realitas berbeda dari fiksi. Demikian juga bahasa, instrumen riil
bagi pemahaman manusia. Dia bukan rekaan. Aturan-aturan kebahasaan
jelas ada dan terbukti universal, sesuai teori generative transformative
grammar dari Noam Chomsky melalui konsep deep structure-nya yang oleh
banyak pihak dianggap telah merevolusi linguistik dan telah mengharumkan
nama sang linguis, dan dibuktikan oleh potensi multilingualitas anak
dalam mempelajari bahasa apapun secara bersamaan.

Ludwig Wittgenstein, saudara sepupu Hayek, cenderung lebih akurat
ketika menyatakan dalam magnum opusnya Philosophical Investigation,
bahwa "The limits of my language are the limits of my world".
Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku.

Dalam retrospeksi, setiap realitas empiris yang terjadi dan berlalu
sedetik yang lalu telah menjadi sejarah. Dan sejarah adalah gagasan,
yang berbeda dari realitas. Semisal kera-kera, kemacetan, dan
ketertegunan anak saya saat mengalami semua ini di Sabtu lalu. Kalau
gagasan harus juga dianggap sebagai realitas, maka realitas sejarah
tersebut by nature berbeda dari realitas fisiknya yang telah lewat.
Kalau ini fenomena, maka kita berhadapan dengan 2 macam fenomena yang
berbeda.

Dalam introspeksi, realitas yang dibayangkan adalah imajinasi, yang
belum berwujud dan tidak mesti ada karena keterwujudannya mutlak
bergantung kepada dan terkendala oleh hukum-hukum pembentuk/pengatur
alam raya.

Dunia akademis sepertinya telah melupakan seorang filsuf asal Vienna
lainnya: Ludwig von Mises. Salah satu temuan filosofisnya yang kita
abaikan selama ini adalah bahwa, sejauh terkait manusia, tindakan
manusia adalah satu-satunya konsep yang menjembatani dunia gagasan dan
dunia realitas. Ia menyebut kajian sekaligus metodologinya praksiologi.
Praksiologi memberi landasan dan batasan yang jelas bagi interpretasi
akal manusia. Disiplin ini bahkan memberi batasan yang jelas pada apa
yang dapat ditelusuri manusia dengan praksiologi itu sendiri.

Teori yang baik, menurut empirisme termasuk ekstrim-ekstrimnya, akan
tunduk kepada pengalaman-kepada realitas, sementara menurut praksiologi,
teori yang baik hanya akan membatasinya.

Demikian pula dengan interpretasi kita terhadap realitas. [ ]

(Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak, Vol. II, Edisi 37, Tanggal 7 Juli
2008)