Saya merasa sangat bersyukur dan beruntung dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang multi kultural, multi agama dan multi kepercayaan, terus terang hal ini membuat saya sangat mudah menerima perbedaan dan bisa mengerti kenapa penganut agama tertentu punya pandangan berbeda dengan penganut agama lainnya.
Kakek saya dari pihak ayah adalah pendatang dari negeri China yang mendarat di
pulau jawa sekitar tahun 1900 an, tentu sebagaimana orang China pada masa itu,
mereka adalah penganut Kong Hu Cu, beliau menikah dengan seorang peranakan (campuran
China Jawa) yang adalah seorang penganut Kejawen, perkawinan ini menghasil
putera, ayah saya, yang selama hidupnya juga seorang penganut aliran Kejawen.
Bagi saya adalah biasa melihat ayah saya setiap malam Jum'at duduk bersila
didepan asap dupa sambil mengelus-elus keris pusakanya, masih teringat oleh
saya, beliau mengatakan bahwa keris itulah yang akan terbang melayang
menghalangi pencuri atau orang jahat yang akan datang menyatroni rumah kita.
Ayah saya juga mempunyai penasihat spiritual seorang haji yang sangat dihormati
didesa saya, yakni Haji Said. Beliau adalah seorang yang sangat kami hormati dan
kata-katanya selalu berisi nasihat bijak. saya ingat ketika beliau baru pulang
dari naik haji, beliau memperlihatkan semacam kamera yang
didalamnya berisi foto-foto kota Mekah, dengan Kabah dipusatnya.

Kakek dan nenek dari pihak ibu juga pasangan campuran keturunan China dan
Jawa, namun dalam perjalanan hidup selanjutnya ibu saya menjadi seorang Kristen
yang sangat taat.

Dengan latar belakang seperti itu, jadilah keluarga kami menjadi keluarga yang
"bhineka tunggal ika", ada yang Katolik, Kristen, Muslim dan Budha.

Sekolah saya sejak TK sampai SMP adalah sekolah negeri yang mayoritas muridnya
adalah Muslim, hal ini membuat saya jadi ikut pelajaran agama Islam, bahkan
sering saya mewakili sekolah untuk ikut lomba mengarang saat merayakan hari
besar Islam.

Memang selama di SD/SMP saya banyak ditanya oleh teman-teman kenapa menjadi
Kristen dan kenapa tidak menjadi Islam, saat itu saya hanya menjawab bahwa agama
yang saya anut adalah agama warisan dari ibu yang harus saya terima apa adanya.

Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan saya menjadi sangat akrab dengan
pengaruh ajaran multi agama ini, saat bulan puasa saya bisa merasakan indahnya
berbuka puasa bersama saudara-saudara atau sahabat-sahabat Muslim dan saat Natal
dan mendengar lagu Malam Kudus hati saya selalu tergetar merasakan kedamaian.

Suatu saat ketika saya bekerja disebuah perusahaan multinasional sebagai
manager penjualan, hampir semua tim saya adalah Muslim dan bukan dari suku
Tionghoa, atasan saya yang orang bule bertanya, kenapa mayoritas tim saya Muslim
dan non Tionghoa, bukankah hampir semua pesaing menempatkan staff penjualan
mayoritas orang Tionghoa ?? Dia punya keyakinan seperti diyakini banyak orang
bahwa yang pandai berdagang kebanyakan orang-orang China. Dihadapkan pada
pertanyaan seperti itu saya menjawab dengan penuh keyakinan bahwa tim saya bisa,
mereka adalah orang-orang muda yang sebenarnya sama saja dengan orang-orang muda
China, jika diberikan kepercayaan dan kesempatan. Dan itu terbukti benar,
perusahaan tersebut maju pesat sampai saat ini, mantan staff saya banyak yang
telah sukses menjadi pengusaha.

Minggu lalu saya berkesempatan bertemu dengan seorang teman dari Malaysia, dia
adalah seorang Melayu asli dan tentu seorang Muslim. Ketika kami berjalan-jalan
disebuah mal, dia melihat sekelompok gadis SPG Nokia berseragam hitam dan
memakai stocking warna hitam pula, tanpa jilbab tentunya. Tiba-tiba dia bilang
kesaya….you people are very lucky….I can't see this in my country !! Dia
merasakan betapa dogma atau syariat agama yang diharuskan dan dipaksakan oleh
negara menjadi sesuatu yang tidak lagi murni dan yang menjalankannya menjadi
tidak ikhlas lagi, karena semua dilakukan karena terpaksa. Teman saya sudah
melihat hal itu terjadi pada kedua putrinya yang mempertanyakan hal tersebut.
Dia katakan bahwa sebagai seorang Muslim dia sama sekali tidak anti jilbab,
namun jika itu dipaksakan, hasilnya akan menjadi tidak baik. Dia juga sangat
mengkuatirkan akan terjadinya ketegangan rasial dan agama yang akhir-akhir ini
makin menjadi-jadi. Disebuah kesempatan kunjungan staff
dan karyawan dari Malaysia, kolega-kolega saya menjadi heran ketika mereka yang
berjumlah sekitar tujuh puluh orang duduk terpisah dalam tiga kelompok, pertama
kelompok India, kemudian China dan akhirnya Melayu, mereka duduk dalam meja-meja
yang terpisah satu sama lain, sedangkan grup saya yang terdiri dari
bermacam-macam suku dan agama, Padang, Betawi, Jawa, Batak, China, ada yang
Muslim, Kristen, Budha, semua duduk bersatu padu tanpa sekat dan pemisahan. Saat
itu kita saling berbisik…..kasihan Malaysia…mereka seharusnya belajar dari
Indonesia.

Kembali lagi kepada agama dan kesukuan, bagi saya manusia didunia ini sama
adanya, kita semua akan meninggal. Urusan agama sebenarnya sangat sederhana,
bagaimana membuat umatnya menjadi manusia yang bisa menghargai manusia lain,
menjadi pelindung bagi manusia lain.

Urusan dogma, syariat dan urusan sorga atau neraka memang perlu diajarkan dan
dikhotbahkan, dalam pelaksanaannya biarlah itu menjadi hak asasi setiap warga,
mereka masing-masing akan bertanggung jawab langsung kepada Sang Pencipta pada
waktunya nanti, namun hal paling hakiki adalah bagaimana perwujudan hidup yang
berhubungan dengan manusia lain dan alam semesta.

Bagi saya juga sangat bisa diterima jika seorang wanita Muslim berjilbab,
hampir keluarga saya yang Muslim berjilbab, namun mereka melakukannya bukan
karena paksaan ayah atau suami mereka, mereka lakukan ini karena keihklasan dan
keridhoan, bahwa dengan berjilbab itu mereka memperoleh "peace of mind",
sebagaimana bagi umat Kristen yang setia beribadah kegereja setiap Minggu.

Saya tidak akan pernah menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajiban
agamanya, karena setiap orang memang perlu mempunyai kompas dan tiang penunjuk
jalan kehidupan, pernah suatu saat saya menginterview calon staf customer
service, seorang wanita Muslim berjilbab, setelah wawancara selesai, dia
bertanya apakah boleh dia bekerja dengan memakai jilbab, saya katakan NO PROBLEM
AT ALL !! Saya heran dengan pertanyaannya dan bertanya kenapa menanyakan hal
itu, dia bilang bahwa alasan dia berhenti dari perusahaan yang lama adalah
karena banyak teman-teman yang tidak suka dia berjilbab. Saya katakan, bahwa
yang terpenting adalah performance kerja, masalah agama adalah hak pribadi
masing-masing. Sampai saat ini terbukti dia menunjukkan kinerja yang sangat baik
diperusahaan, dan menjadi andalan perusahaan.

Saya adalah produk orde lama dan orde baru, dalam arti pendidikan dan
lingkungan. Namun ada kekuatiran juga melihat perkembangan yang terjadi
akhir-akhir ini, dimana agama dijadikan alat politik yang berpotensi memecah
belah persatuan. Partai-partai eksklusif berdasarkan agama semakin banyak,
apakah itu partai Kristen atau Islam atau yang lain. Apakah perlu ada partai
berdasarkan agama??

Mudah-mudahan bangsa Indonesia belajar dari apa yang sedang terjadi di
Malaysia.

Agama adalah masalah hati, masalah kita bersama adalah persatuan….persatuan
dan persatuan.

Yuki Wiyono
"Nothing great was ever achieved without enthusiasm !!" (Ralph Waldo Emerson)