Saya sedang menjadi panitia sebuah simposium Indonesia-Jepang. Saya ikut terlibat dalam kepanitiaan sudah agak belakangan, separo kerjaan sudah berlangsung. Pada saat saya bergabung, proposal, first announcement sudah jadi.



Saat membaca nama-nama pembicara, mata saya tertumbuk pada tulisan Dr.
Cand. Fulan. Saya fikir itu nama orang. Tapi kok ada beberapa yang
sama. Dr. Cand. Fulan, Dr. Cand. Anu, Dr. Cand. XXX. Baru saya ngeh
bahwa yang dimaksud adalah kandidat doktor.

Jadi ingat, dulu para penulis kolom opini di koran kerap mencantumkan
statusnya di ujung tulisan: Penulis adalah kandidat doktor bidang anu
anu di universitas anu anu.

Saat kuliah S3 lalu bekerja sebagai peneliti, saya beberapa kali
mengikuti konferensi internasional. Umumnya dalam program atau daftar
acara, hanya ditulis nama, tanpa embel-embel gelar. Juga tidak pernah
ada penulisan "gelar" profesor. Sudah barang tentu tidak akan pernah
kita temukan ditulisnya Dr. Cand.

Kayaknya yang begitu mementingkan gelar-gelar ini cuma orang
Indonesia. Eh Malaysia lebih edan. Semua gelar ditulis, termasuk di
mana gelar itu diperoleh. Jadi di kartu nama bisa tertulis, misalnya,
Abubakar, Dr. (Exford), M. Eng. (Purdue).

Begitu ngebetnya orang kita sama gelar, sampai-sampai yang belum punya
gelar jadi ndak sabaran, terus nekad, secara kreatif menambahkan
embel-embel "kandidat". Saya bayangkan kalau akhirnya dia gagal jadi
doktor, mungkin dia masih nekat memasang gelar menjadi Dr. Cand. Ex.
Fulan.

Gelar sarjana bagi kita sepertinya penting banget. Dulu waktu menikah
saya keberatan waktu gelar sarjana saya mau dicantumkan di surat
undangan. Norak banget, fikir saya. Tapi waktu itu calon istri saya
membisiki bahwa itu kehendak bapak mertua. Lha, daripada ndak boleh
nikah, akhirnya saya nyerah.

Saat ini pun saya masih mencantumkan gelar di KTP saya. Tertulis Dr.
Hasanudin. Inipun ada alasannya. Ketika membuat KTP, saya baru saja
selesai kuliah S3, dan baru pulang ke Indonesia. Waktu itu saya masih
PNS. Otomatis banyak urusan kepegawaian yang harus saya urus, dan KTP
boleh jadi diperlukan. Saya teringat waktu melamar jadi PNS dulu, di
KTP harus dicantumkan gelar, agar penulisan nama seragam di seluruh
dokumen. Jadilah gelar doktor saya tertulis di KTP.

Saat membuat SIM, operator data entry di kepolisian menanyakan gelar
saya saat melihat di kolom pekerjaan saya tertulis: Dosen. Saya jawab
saja Doktor. Jadilah gelar doktor pun tertera di SIM saya.

Kartu nama saya di kantor saat ini ada 2 versi. Satu versi normal,
hanya nama, tanpa gelar. Hasanudin Abdurakhman. Satu versi lagi pakai
gelar. Dr. Hasanudin Abdurakhman, M. Eng. Ini ide staf saya. Kebetulan
saya banyak berurusan dengan orang pemerintah. Mulai dari Kantor
Pajak, Bea dan Cukai, Imigrasi, Disnaker, dan sebagainya. Di tempat-
tempat itu, gelar sarjana sepertinya masih penting banget. Tadinya
saya mau cantumkan ringkas, Dr. Hasanudin Abdurakhman. Tapi kata staff
saya, nanti dikira dokter. Lha itu kan cuma S1. Mending cantumkan
sekalian M.Eng., biar orang tahu bahwa saya S3. Demi kelancaran urusan
di kantor pemerintah, saya manut.

Efeknya tidak jelek. Biasanya kalau ke kantor pemerintah, para
petugasnya terpesona dengan gelar saya, juga dengan bualan saya soal
tinggal di Jepang selama 10 tahun, bla bla bla. Walhasil, umumnya
urusan saya tidak dipersulit.

Ada pula kejadian lain. Saat menyetir di suatu senja, saya lupa
menghidupkan lampu. Lalu mobil saya dihentikan polisi. Dia meminta SIM
dan STNK. Begitu melihat nama saya di SIM, dia langsung bilang, "Bapak
dokter ya?" Setelah itu dia berbicara dengan ramah, mengulur waktu,
sepertinya berharap saya akan menyelipkan lembaran uang. Tapi karena
saya cuma diam saja, akhirnya dia frustrasi juga, mengembalikan SIM
dan STNK saya, tanpa berani terang-terangan minta uang.

Lain ketika, saya berobat ke sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Saat
registrasi saya menyerahkan KTP. Petugas administrasi lalu mencatat
nama saya Dr. Hasanudin. Dokter yang memeriksa saya masih sangat muda.
Saat mau memeriksa saya, dia memberi salam: "Selamat malam, Dok." Wah,
saya fikir, daripada dokternya minder lebih baik saya mengaku bahwa
saya bukan dokter. Dan kejadian itu terjadi beberapa kali dengan
dokter lain.

Yang menarik, suatu saat saya membawa istri periksa kehamilan di
sebuah rumah sakit bersalin di kawasan Menteng. Lazimnya di klinik
bersalin, nama suami juga ditulis pada data pasien. Dan istri saya
mencantumkan gelar saya. Saat akan membayar biaya berobat, kasir
memberi tahu saya bahwa biaya dokternya gratis. "Kenapa?" tanya saya.
"Kan Bapak dokter." jawab petugas kasir. Saya baru ingat bahwa di
kalangan dokter ada kebiasaan untuk tidak mengenakan biaya kepada
sesama dokter.


Kang Hasan
http://berbual.com