Bandung, 16 Januari 2007   Hati saya terasa geram membaca berita belakangan ini. Minyak tanah, beras, minyak goreng, terigu dan akhir-akhir ini kedelai. Komoditas itu rupanya sedari dahulu kala (dahulu kala? – woalah, kok luama banget ya?) sudah dijadikan obyek permainan para pencari untung dengan sekaligus menginjak-injak para wong cilik. Pagi ini hati tambah trenyuh membaca berita ada wong cilik pedagang gorengan yang mengambil jalan pintas dengan mencabut nyawanya sendiri, hanya gara-gara ia tidak kuat menghadapi kesulitan hidupnya, tidak bisa membeli minyak tanah untuk menggoreng. Sungguh tragis, tragedi ini justru terjadi di negara agraris, subur dan permai. Tidak diberitakan berapa banyak tragedi semacam ini terjadi setiap hari di seluruh negeri.

Pada bulan Februari 1982 dalam penerbangan Jakarta ke Tokyo , saya duduk bersebelahan dengan seorang pemuda berusia kira-kira 27 tahun. Waktu tempuh yang cukup panjang memberikan kesempatan bagi kami berdua untuk saling tukar informasi dan mengenal latar belakang kami masing-masing. Rupanya ia sedang melanjutkan studi S2 di bidang Koperasi Pertanian di salah satu universitas ternama di ibu kota Jepang itu. Mulailah ia bercerita tentang bidang studi yang satu ini. Di Jepang, katanya, koperasi di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan sejenisnya, sungguh luar biasa majunya. Semuanya sudah tertata apik, mempunyai sistem  terstruktur dan tata pengendalian terpadu. Dan terutama, menurutnya, koordinasi di lapangannya yang sungguh menakjubkan.

 Apa sih yang membuatnya begitu terkesima? Ia sepaham, Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi kita sudah tepat mendorong seluruh kegiatan wong cilik dalam satu wadah, yaitu koperasi. Sayangnya, seperti halnya konsep-konsep indah di Ibu Pertiwi ini, ternyata kita tergolong bangsa yang tidak pandai mengimplementasikannya di lapangan. Tinggalah berton-ton makalah, kertas kerja, hasil penelitian, konsep, proposal dan sejenisnya, mubazir semuanya. Padahal di dalam undang-undang dasar kita yang asli (saya mendengar dari seorang ahli, berarti belum membaca sendiri) yang dianjurkan bentuk badan hukum usaha adalah koperasi dan bukan PT atau CV.

Kawan muda ini melanjutkan dengan memberikan contoh agar saya dapat memahami apa yang sedang digelutinya. Manusia Jepang adalah manusia penuh disiplin, patuh akan aturan dan peraturan, tunduk kepada keputusan suara terbanyak – selain tentu saja amat sangat tekun bekerja. Dia kemudian bertanya kepada saya, tahukah anda mengapa hasil pertanian Jepang begitu tinggi mutunya dan begitu tinggi harganya? Ia mencontohkan, di suatu daerah tanahnya bagus untuk menanam buah melon dan sayuran seperti wortel dan kentang. Di daerah-daerah lain, tanahnya bagus untuk tanaman buah dan sayuran lainnya. Koperasi Pertanian, mengkoordinasikan para petani untuk menanam apa yang terbaik pada suatu musim tertentu. Pertimbangannya bisa secara teknis, karena cuaca atau curah hujan misalnya. Mungkin pula berdasarkan pertimbangan ekonomis. Misalnya di daerah anu sedang berlimpah panen tomat atau untuk diekspor sedang dibutuhkan komoditas tertentu, maka Pengurus Koperasi menginstruksikan (di Jepang menyarankan dan menginstruksikan, artinya sama – karena mereka semua patuh) agar di daerah itu jangan menanam tomat, tapi melon saja. By the end of the day, pasokan stabil, tidak ada overproduction, sehingga harganya tetap bisa dipertahankan tinggi. Bila toh sampai terjadi overproduction , konon hasil produksi itu dimusnahkan, demi mempertahankan harga.

Bagaimana mengkoordinasikan para petani itu? 25 tahun yang lalu tentu saja belum ada Internet. Jadi mereka mengandalkan gelombang radio. Secara periodik disiarkan status produksi komoditas tertentu di daerah anu, ramalan cuaca, dsb. Kawan ini akhirnya nyeletuk, di Thailand pak, saat ini sedang terus diteliti dan dibudidayakan durian species baru lho. Hari ini, 25 tahun kemudian, banjirlah durian Monthong di tanah air kita. Petani Thailand makmur, wong cilik Indonesia tetap sengsara.

Antara tahun 1977-1984, saya berkesempatan mengabadikan berbagai kegiatan pertanian di Sumatra dalam bentuk film dokumenter. Mulai dari pembukaan lahan kritis sebagai persiapan tibanya para transmigran, sampai kepada persiapan penanaman perdana perkebunan karet, kelapa sawit dan tanaman keras lainnya. Saya bersama kru hidup, tinggal dan  makan bersama para pekerja di suatu barak sangat sederhana. Di kala sore hari, kami sering berbincang-bincang tentang banyak hal. Sungguh iba hati mendengarkan bagaimana manusia-manusia sederhana ini melangsungkan hidup bersama keluarganya, tanpa bernada minta dikasihani. Lebih sedih lagi para penyuluh pertanian yang ikut dalam rombongan kami, dengan lugunya menyatakan harapan-harapan kepada kami, yang menganggap kami bak 'para dewa dari Jakarta '. Mereka ini masih muda, bekerja keras dengan penuh dedikasi, namun sering mengalami 'kesulitan' dengan kebijakan dari pusat. Mudah ditebak, mereka ini termasuk golongan wong cilik yang nasibnya selalu jadi obyek permainan para pencari untung di 'pusat'. Tentu saja kami tidak berani menebar angin sorga kepada mereka itu. Kami tau, kami tidak berdaya juga seperti mereka.

Para pimpinan negara selalu menjanjikan akan mensejahterakan rakyat (persepsi saya sih , rakyat itu wong cilik). Namun walau kita sudah 62 tahun merdeka, nasib wong cilik tetap sengsara. Apa kita ingin menunggu sampai mereka lebih sengsara lagi? Apa para tokoh di negeri kita sudah tidak punya hati? Mau terus mau mengisi kantong sendiri, sambil menggencet dan menyengsarakan wong cilik? Mula-mula cuma masygul, gundah, trenyuh – lama-lama jadi muak dan geram. Enough is enough!

Konon ada pendapat yang menyatakan begini. Demokrasi jarang bisa mensejahterakan rakyat. Tapi, pemimpin otoriter (dengan segala kekurangannya) justru bisa mensejahterakan rakyat. Coba tengok Kuba, Fidel Castro yang memimpin negaranya agar rakyat hidup sederhana dan bekerja keras dengan ethos kerja yang baik, telah menjadikan Kuba negara yang mandiri. Mao Zhe Dong dengan tangan besi memimpin bangsanya yang berjumlah lebih dari satu milyar jiwa – semua upayanya dipersiapkan sebagai landasan kuat bagi para pemimpin sesudahnya. Saya bukan orang komunis dan tidak menganjurkan agar negeri kita menjadi komunis. Namun, perlu direnungkan, barangkali alternatif pemimpin seperti ini cocok untuk kita. Berkarakter kuat. Membela wong cilik. Paling tidak, dengan begitu wong cilik akan mendapat probabilitas lebih baik daripada democrazy seperti sekarang ini.

Aku pun tak tau. Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang.