Respon mat kopling yang cukup heboh membuat bebek berpikir, apakah "dosa" untuk lebih menyukai bakmi gerobak daripada bakmi yang disajikan di gedung ber-AC? Kenapa ada orang yang lebih suka dengan bakmi-bakmi franchise sementara bebek m rasa bakmi-bakmi perlente tersebut seakan bakmi zombie yang kehilangan "roh"-nya?



Sementara itu, di sisi lain bebek juga menemukan rekan sejiwa dan
sealiran, contohnya wiro dan telatbangun, yang lebih menaruh hati
kepada bakmi-bakmi sederhana yang dijual di tempat yang tidak keren.
Apakah kami bertiga adalah makhluk tak jelas yang lebih suka sesuatu
yang tidak keren daripada yang perlente? (makin ngaco aja nih
kalimat :)) ) Mungkin tidak juga.

Setelah direnungkan lebih jauh (tadi di bus), BAKMI (ayam) bagi bebek
bukanlah sekedar makanan enak yang mengenyangkan perut. Ketika daku
menginjakkan kaki di kedai bakmi, menaruh pantat gendut di bangku
plastik dan terbengong-bengong menunggu pesanan yang belum datang,
serasa ada sesuatu yang familiar di sana.

Desis kompor gas yang memanaskan kuah, dentingan sumpit dan mangkok
yang beradu saat tukang bakmi meratakan bumbu-bumbu bakmi, pengunjung
lain yang lagi makan dengan lahap, mangkok bakmi yang bergambar ayam,
tempat tissue gulung (yang isinya sering abis itu), tempat plastik di
mana sumpit kayu dan sendok kuah berhimpitan... Semuanya begitu
familiar buat bebek.

Mungkin hal-hal di atas terasa sepele buat orang lain. Tapi bagi
bebek yang tumbuh besar sambil makan bakmi, tempat dan suasana
seperti itu mungkin menjadi kesan yang tidak akan pernah terlupakan.

Di tempat seperti itulah bebek kecil yang masih TK makan bakmi
bersama mama sepulang sekolah. Di tempat seperti itu juga bebek
merayakan berbagai peristiwa penting dan tak penting seperti hari
pengambilan rapot, pagi terakhir di Jakarta sebelum berangkat ke
Singapur ataupun sekedar mengajak teman atau saudara sambil sesekali
meyakinkan mereka kalau bakmi ini memang paling enak sedunia.

Bebek percaya setiap bakmimania mempunyai ritual khusus sebelum dan
ketika memakan bakmi. :)

Ritual bebek adalah sebagai berikut:
1. Bengong2 ketika menunggu bakmi dan kuah
2. Ambil dan lap sendok dengan tissue ketika kuah datang, lalu taruh
tissue di meja (sebagai tatakan untuk membuang benda-benda yang tak
diinginkan seperti kulit ayam ataupun daun bawang yang terlalu banyak)
3. Ambil sumpit setelah bakmi mendarat di meja
4. Singkirkan benda-benda yang menghalangi bakmi dan makan
bakmi "rasa asli" untuk beberapa saat
5. Setelah itu baru ambil cabe yang tersedia (C-A-B-E dan bukan
saos), ciprat beberapa sendok kecil ke bakmi, aduk rata dengan
sumpit, baru makan sampai habis. :)
6. Kuah diminum secara selang seling (dan haram untuk disiram ke
bakmi seperti halnya haram juga untuk bakmi atau sayur dicemplungkan
ke dalam kuah)
7. Kuah pasti masih bersisa ketika bakmi sudah lenyap ke dalam perut.
Kalau sudah sampai tahap ini, maka bebek akan menyingkirkan mangkok
bakmi dan mendekatkan mangkok kuah. Minum kuah dengan perlahan,
sendok demi sendok sampai pada tetes penghabisan
8. Last but not least... Minum 1 gelas teh dalam 1 rombongan teguk.

Memakan bakmi yang dibungkus pulangpun kadang menjadi ritual
tersendiri. Jika bakmi yang dibungkus lebih dari satu dan ada pesanan
khusus (misal: yang dikaretin 2 itu gak pake daon bawang), kegiatan
ngebakmi ini biasanya dimulai dari "ngeributin" bungkusan mana yang
punya siapa. Setelah itu diskusi kecil apakah mau minum kuahnya apa
tidak (dan siapa yang ambil mangkok dan sendok ke dapur). Terakhir
dan yang paling menantang dari makan bakmi yang dibungkus: membuka
plastik cabe!!

Jangan kira membuka plastik cabe adalah perkara remeh! Kadang stress
ringan bisa menerjang ketika benda bernama gunting tidak bisa
ditemukan di mana-mana. Plastikpun terpaksa dibuka dengan cara manual
(baca: dengan tangan atau... gigi...)

Tentang kertas pembungkus yang berwarna coklat itu, dulu (dan sampai
sekarang) bebek sering terpesona ketika tukang bakmi melakukan
kegiatan origami-melipat kertas pembungkus dengan cepat sebelum
dikaretkan.

Dengan segala kesan di atas, sepertinya tidak aneh dan tidak
berlebihan kalau bebek lebih suka dengan bakmi-bakmi gerobak itu
daripada bakmi franchise yang dijual di tempat yang "megah" yang ber-
AC.

Di tempat yang bersih dan necis tersebut, tidak ada lagi suara
desisan kompor, suasana terasa kaku dan dingin, bakmi
seringkali terasa seperti buatan pabrik, cabenyapun kadang seperti
cabe botolan... bakmi tersebut terasa sudah kehilangan "roh"-nya :(

"Roh" suatu makanan mungkin tidak terletak pada makanan itu sendiri.
Tapi pada ritual, kenangan dan persepsi kita.

Dalam hal ini, bagi kelompok pro-bakmi gerobak, makan bakmi bukan
cuma terasa di lidah. Tapi juga kenangan bagaimana rasanya kumpul
bersama keluarga atau teman. Rame-rame pusing cari meja dan tempat
duduk. Ada yang bertugas nyolong bangku plastik dari meja sebelah.
Ada yang bertugas ngelap-ngelap sendok dan sumpit untuk 1 meja (kalo
kerajinan, daripada bengong doang :P).

Bahkan mungkin untuk orang yang merantau ke Jakarta misalnya, di
tempat kedai bakmilah mereka serasa "pulang kampung". Yang dari Medan
ya makan bakmi Medan, yang dari Jambi ya makan bakmi Jambi... Ngomong
dalam bahasa daerah masing-masing ke tukang bakminya dan kalau hoki
ya bisa bertemu dengan teman lama mungkin?

Di kedai bakmi juga orang-orang tua kadang menceritakan tentang kisah
pertualangan di dunia bakmi kepada anak-anak mereka. (Dulu Papa waktu
masih kecil di kampung sana, pagi-pagi sering diajak pergi makan
bakmi di deket pasar. Rasanya bedalah sama bakmi ini, lebih asli di
sana. Kalo yang ini mah udah disesuain sama lidah Jakarta. Bla bla
bla... Tentunya cerita tersebut dibumbu sana sini untuk membuat anak-
anak makin penasaran)

Dengan segala pengalaman dan kenangan seperti di atas, salahkah kami
(woloh... kami bo... Ada yang mau ikutan di pihak bebek untuk
membentuk kata "kami" ini? :) ) untuk lebih menyukai bakmi gerobak
dengan segala suasananya?

Pada saat yang sama, sebagian orang yang lain(mungkin mat kopling
juga?) mempunyai pengalaman yang berbeda dengan bakmi. Karena satu
dan lain alasan (salah satunya alasannya, untuk yang Muslim tentu
lebih merasa aman untuk makan bakmi franchise yang ada tulisan halal
daripada bakmi gerobak yang gak jelas halal haramnya), mereka tidak
mempunyai pengalaman dan kenangan bersama bakmi-bakmi "kaki lima".

Bagi mereka yang pro-bakmi franchise, pengalaman dan kenangan mereka
mungkin memang hanya terkait pada bakmi-bakmi franchise ini.

pro-bakmi franchise, pro-bakmi gerobak...

Mungkin kita memang hidup di dua dunia yang berbeda :)

Salam,


Vida (hix, daku sampe nangis waktu mengingat2 kenangan tentang bakmi
ini :(( Btw ralat bo: setelah liat iklan pizza hut versi chinese new
year di bus tadi. Ternyata pizzanya masih halal (bukan pake bakwa
alias dendeng babi) mungkin pake ham biasa, tapi salah satu
toppingnya ada semacem kulit pangsit.)
http://www.bebekrewel.com