Tag

krAku lagi ngantuk di balik selimut ketika pintu kamar gedubrakan terbuka. Aku
males buka mata. Jam dua pagi.

"Aaaaah, kesel aku!" Terdengar suara si-makhluk yang masuk kamar tadi. My hubby.
"Aku nggak bisa bawa mahasiswa-mahasiswaku ke Indo!"

"Nnn…napa?" gumamku dari balik selimutku yang tebel dan anget.

"Travel warning ke Indo belum dicabut-cabut juga. Udah lama. Asuransi nggak mau
cover, hampir nggak ada yang berani ke Indonesia."

"Lalu?" aku terpaksa memelek-melekkan mata.
"Ya terpaksa ke Singapura. Dan Thailand. Tapi aku sedih dan malu, aku kan orang
Indonesia."

"Hmm. Bukan hanya perusahaan-perusahaan asing yang kabur. Semuanya kabur."

Suamiku loncat ke kasur.

"Blair ketemu lima ulama Islam di Indonesia," sambungnya, mengubah topik
tiba-tiba.

"Cuma ulama Islam? Nggak ada pemuka agama lain?"

"Di berita, cuma dibilang pemuka Islam. Tema pertemuannya komunikasi antara
dunia Barat dan dunia Islam. Hah?! Komunikasi dunia Barat dan dunia Islam?
Kenapa SBY memposisikan Indonesia sebagai dunia Islam? Indonesia adalah
diversitas. Kesatuan. Dia lupa, dia terpilih dari platform nasionalisme."

Sekarang aku bener-bener melek.

"Dia takut."

"Padahal aku baca poll popularity-nya cukup tinggi. Sebenarnya dia bisa
ngelakuin banyak hal."

Aku diem. Fear itu bener-bener the enemy. A man, what is a man, if not making
the world better?

Tiba-tiba lenganku ditonjok.

"Ada berita apa hari ini?" tanyanya.

"Aku baca ada laporan genocide Papua dari Yale."

"Hmmmm. Mungkin si-X, temenku dari Papua punya andil. Sekarang dia di Yale."

"Lalu ada seseorang di apakabar yang menuding LSM-LSM melakukan Kristenisasi."

"Hmmm. Ketakutan itu bisa dimengerti. Para misionaris itu bener-bener real.
Seperti tentara, mereka terkomando rapi. Didukung organisasi kuat. Disiplin
kuat. Dana kuat."

"Yang Islam takut Kristenisasi. Yang Kristen takut Islamisasi. Keduanya sebel
ama Yahudi. Yahudi sebel ama keduanya. Padahal semua berangkat dari akar yang
sama!"

"Sekarang aku ngantuk. Pengin tidur." Dia memasukkan kepalanya dalam selimut.

Mataku memandang terobosan lampu jalan yang masuk lewat sela-sela korden. Aku
menoleh ke samping, dan nggak tahan untuk nggak meneruskan ocehanku.

"Desakan SI menguat di mana-mana. Menurutmu apa yang akan terjadi dengan negara
kita?"

"Mmmmm…. nanti juga akan berubah."

"Gelombang besar ini mungkin susah berubah, lho. Masalahnya di Indonesia banyak
kepala kosong. Banyak yang abstain."

"Maksudku, kalau toh SI sempet diadakan, setelah mengalami praktek hukum-hukum
kuno itu, pasti akan banyak tantangan lagi. Pasti akan ada perubahan lagi!"

"Tapi, tapi kita akan kehilangan beberapa generasi. Kita akan ketinggalan jauh,
jauh, jauh, jauh sekali."

Ada suara menguap dari balik selimut.

"Whuuuaaaaah. Ngantuk. Udah ah, aku mau tidur dulu. Besok boleh ngoceh lagi."

Lalu, sepi.

Apa yang akan terjadi dengan negaraku? Aku memandangi terobosan cahaya di
kegelapan. The hands of God work miraculously. Apa yang harus terjadi,
terjadilah. So be it.

Tiba-tiba dahiku diketok perlahan.

"Ojo mbaturke Gusti Allah," gumam suara ngantuk di sampingku, seperti bisa
membaca pikiranku.

Aiya. Itu selalu moto dia, kalau ngerasa aku udah mau pasrah bongkokan dalam
menghadapi masalah apa pun. Terhadap bau-bau fatalistis seperti ini, dia selalu
bilang, "Ojo mbaturke Gusti Allah."

Artinya, apa pun hasilnya, kita mesti berusaha, mesti melakukan sesuatu, mesti
menggunakan akal dan pikiran kita untuk mengembangkan kemanusiaan pada umumnya.

Akal dan pikiran. Semua itu diberikan untuk kita dengan tujuan tertentu. Kenapa
harus diabaikan?

– Laksmi