Pertama kali saya menghembuskan nafas di dunia hampir tiga puluh tahun yang lalu adalah di rumah sakit. Sesudah itu di rumah kontrakan kami di daerah Pabuaran, Cibinong, Bogor. Kesemuanya tidak ada dalam ingatan saya.

 
Karena kasihan, nenek membeli sebidang tanah untuk putra semata wayangnya yaitu bapak saya di kampung Nyencle seberang kampung Pabuaran yang dipisahkan oleh jalan raya Bogor dan Kali Baru. Sesudah rumah di atas tanah kami sendiri berdiri, di situlah saya mulai mengingat peristiwa-peristiwa masa kecil yang saya kenang dengan cukup indah. Berkat upaya nenek dan kedua orang tua dalam mewujudkan lingkungan rumah yang asri, syukurlah saya memiliki masa kecil yang patut dikenang. Sampai sekarang kalau saya membaca buku dan di dalamnya ada definisi mengenai rumah maka rumah di kampung Nyencle itulah yang ada di kepala saya. Mulai dari rumah Nyai Ontosoroh di Wonocolo dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya hingga rumah Menteri Aleksei Aleksandrovich Karenin dalam buku Anna Karenina karya Leo Tolstoy saya gambarkan dengan rumah masa kecil saya, bukan yang lain. Bukan karena bagusnya rumah itu namun rumah itu lengkap bagi saya. Yang terpenting tidak satu sisi tembok pun dari rumah kami bersinggungan dengan tembok tetangga seperti rumah kreditan sepuluh tahun yang saat ini saya huni.

Sketsa Sebuah Rumah

 

Di sisi barat memang tanah kami hanya bersisa sedikit dan langsung berbatasan dengan halaman milik Pak Karso, seorang tuan tanah asal Purworejo yang tinggal di Warung Buncit, Jakarta. Kelak Pak Karso ini pula yang mengakuisisi tanah kami dan “memaksa” kami sekeluarga pulang kampung ke Yogyakarta. Di situ ada pohon duren dimana terdapat kuntilanak dan soang milik Pok imah dari kisah “inception” yang pernah saya tulis sebelumnya.

Rumah kami menghadap selatan. Di depan rumah persis ada kolam ikan yang sewaktu TK saya gali sendiri dengan bantuan ibu yang lagi hamil besar adik bungsu. Semenjak TK saya punya visi ingin menjadi pengusaha kolam ikan seperti Bang Pendi tetangga kami di situ namun sampai setua ini hanya kolam itu saja progressnya. Di sebelah selatan ada kebun singkong dan berbagai tanaman lain milik Pak Tamin yang tinggal entah di mana namun sesekali mengunjungi kebunnya itu. Dia orang yang misterius, jarang bicara, namun seingat saya dia orang yang baik. Setidaknya seringkali saya diberi singkong bakar dari tangannya yang selalu mengenakan sarung walau sudah selesai menebang bambu. Di tengah kebunnya ada gubug kecil tempat beristirahat, anak-anak lain sering diusirnya kalau mengganggu tidur siangnya namun saya selalu diterima walaupun secara dingin.

Tidak ada konsep jalan dan tata kampung yang pada pemukiman Betawi tempat kami tinggal itu. Namun warga dari kampung Cimpaeun (agak  jauh di timur dan terpisah persawahan luas), yang ingin menuju jalan raya Bogor, biasanya melewati halaman depan rumah kami. Uniknya, pada waktu itu kampung Nyencle tempat kami tinggal adalah kampung Betawi sementara Cimpaeun yang terpisah tak sampai satu kilometer sudah berbahasa Sunda. Sekarang sih saya yakin bahasa gaul Jakarta atau justru Jawa lebih dominan di situ. Apalagi sawah yang memisahkan kedua kampung itu terakhir saya lihat sudah menjadi perumahan cluster yang hampir pasti dipenuhi pendatang.

Tanah kami agak luas di sisi timur. Di situlah kebun milik kami berada dengan berbagai pohon mulai kelapa, bambu, kecapi, kenari, kluwih, jambu bangkok dan sebagainya. Saat TK saya sudah bisa membaca dan kebetulan di perpustakaan ada buku bergambar yang menerangkan cara memanam jagung. Jagung yang hanya satu tongkol itu pun saya tanam hingga berhasil berbuah meskipun ompong-ompong. Sebelah timur berbatasan dengan selokan tempat favorit saya membuang hajat. Ibu selalu memarahi saya kalau download di situ, takut saya  hanyut katanya. Namun berjongkok di selokan lebih enak  daripada di WC rumah kami yang ventilasinya kurang baik.

Sebelah utara ada kuburan Mak Idup pemilik tanah terdahulu yang seperti umumnya orang Betawi dikubur di dekat rumah bukan di pemakaman desa. Bagi saya hal itu agak seram sehingga saya tidak berani ke ruang makan sendirian di waktu malam yang memang berbatasan dengan kuburan itu. Halaman kami lagi-lagi berbatasan dengan halaman Pak Karso. Di sisi itulah terdapat rumah penjaga tanah yaitu keluarga Ijan. Keluarga Ijan tidak memiliki anak sehingga mengangkat anak bernama Nasution (bukan orang batak, sekadar dinamai sesuai dengan Jenderal Besar A.H. Nasution). Mbah Ijan putri yang mengaku punya saudara di Suleman (Sleman) pernah mendatangi kami di Jogja setelah kami pindah. Kabarnya mencari saudaranya yang di Sleman itu namun tak kunjung ketemu. Belakangan kami mendapat kabar kalau Mbah Ijan meninggal karena tabrakan di jalan raya Bogor. Pak Ijan (Mbah Ijan kakung) adalah peminum kopi yang kuat meski seingat saya tidak merokok. Di rumah, bapak selalu melarang saya minum kopi, “ora pareng, isih cilik“, begitu saja katanya melarang. Namun di rumah Keluarga Ijan saya berbagi kopi, sebelum Pak Ijan minum dari gelas selalu ada sedikit yang dituang di cawan untuk saya dan jadilah saya peminum kopi hingga sekarang.
Belum lagi kenangan indah tentang bermain Tarzan-Tarzanan dengan berayun di pelepah pohon kelapa. Atau makan siang di sawah bersama teman sebaya dengan lauk ikan asin, sambal terasi dan petai goreng yang akhirnya menjadikan saya doyan makan segala jenis makanan. Di situ juga saya berlari jam 5 pagi dengan jaket karena ingin menjadi petinju hebat seperti Elyas Pical idola saya. Juga akibat larangan buang hajat di sungai saya jadi ingin menjadi orang kaya sehingga bisa memiliki WC yang nyaman, berventilasi baik, kalau perlu klosetnya terbuat dari emas. Itu semua membentuk diri saya kini dan sedikit pun tidak saya sesali.
 
Ampuni aku wahai masa kecilku karena tidak sanggup mengembalikan keindahan rumah dengan membeli rumah yang layak. Rumah yang saya tinggali kini langsung nempel dengan tetangga. Untung saja di belakang kompleks masih sedikit tersisa ruang terbuka Jalur Pipa Gas namun tetap saja tak seindah rumah masa kecil saya dulu.
Tapi bersyukur itu amat perlu, setidaknya kami mulai punya rumah sendiri. Kalau pun memang standar rumah ideal saya adalah Rumah di Masa Kecil saya seperti di atas mungkin saatnya kini bekerja lebih giat lagi agar memiliki rumah yang lebih baik. Saya ingin anak saya kelak punya ingatan sempurna tentang rumahnya di masa kecil. Amin