Seorang teman menulis surat dengan nada yang lucu yang tidak pernah saya terima dari teman-teman yang lain. Demikian bunyinya (untuk selanjutnya tulisan beliau akan di cetak miring):

 

Aajin yang saya hormati,

apa yang harus dilakukan seekor monyet yang telah berevolusi menjadi cerdas dan berjalan dengan kedua kaki, memiliki keterampilan, budaya, mitos dan hasil cipta, karya, karsa golongannya sendiri. apakah monyet itu harus merasa lain dari makhluk lain, mengakui paling mulia dan paling sempurna.. ataukah ada PR yang lebih besar dari itu semua.. mohon penjelasannya aajin. terima kasih

Jawaban saya:

Sdr homo sapiens sapiens spiritus ,

Kera yang telah berevolusi itu, justru harus sadar bahwa berkah evolusi itu sendiri mempersyaratkan tanggung jawab yang lebih luas di bumi ini.

Dengan ditemukannya teknologi, sains, etika dan spiritualitas yang terkandung secara inheren dalam perjalanan evolusinya yang panjang dan melelahkan ini, justru seharusnya ras kera besar ini diharapkan lebih bertanggung jawab untuk memelihara keberlangsungan kehidupan di dunia ini.

 

Pada jaman2 mitologis dulu, kerinduan dan rasa tanggung jawab  ini terkandung dalam budaya dan dibakukan oleh agama-agama . Contoh :

– Suku kubu dan Suku Anak Dalam hanya menebang pohon yang sudah masak umurnya.

– Masyarakat di mana Hindu dan Buddhisme jadi mayoritas, sering melepaskan burung dan ikan serta mahluk lain ke habitatnya . Sekalipun tujuan mereka bersifat rohaniah yaitu mengikis karma, namun tujuan ekologisnya jelas, yaitu mengembalikan pada alam ini mahluk-mahluk hidup agar tercipta keseimbangan ekologi kembali.  

– Masyarakat Israel kuno emelihara hari ketujuh / sabbat.Manfaatnya adalah agar para budak dapat merasakan 1 hari libur, lepas dari kerja paksa yang dituntut oleh tuannya.

– Pula dalam budaya agraris Israel, setelah 6 tahun musim tanam, tahun ketujuh tanah dibiarkan tidak ditanami. Bagi mereka itu hukum tuhan, namun bagi kita yang kenal sains, itu berarti memberi waktu bagi tanah untuk meregenerasi proses penyuburan tanah itu sendiri.

 – Masih juga dalam budaya Israel kuno, setelah habis masa 7 x 7 tahun sabat atau 49 tahun, pada tahun kelima puluh adalah tahun dimana para budak harus dibebaskan, hutang-hutang kaum miskin harus dianggap lunas. Itu disebut tahun Jubelium atau tahun pembebasan. Bukankah ini juga suatu kearifan agama pada jaman itu?

 

Dan ada banyak kearifan-kearifan lokal pada masyarakat kita, yang kalau sisi mitologisnya disingkapkan nampaklah sisi-sisi komunalnya yang baik, misalnya tradisi tumpengang, larungan dsb.

Jadi buat koloni ras kera besar yang sudah melek sains ini, hemat saya tidak perlu merasa sombong, besar kepala, adigung -adiguna terhadap saudara-saudara mereka yang belum begitu beruntung dalam evolusi ini.  Justru ras kera besar hasil evolusi ini harusnya disadarkan akan betapa berat tanggung jawab mereka dalam dunia ini.

Sejak 10 ribu tahun terakhir, ketika ras kera besar mulai mengenal kapak dan berhenti dari nomaden, wajah bumi menjadi sama sekali berbeda. Terlebih setelah kera-kera besar cerdas ini menemukan cara untuk meningkatkan hasil  produksi lewat industri.

Dulu kera besar ini adalah mahluk tak berdaya di ancam oleh singa, anjing liar, dinginnya malam dan dicekam takut oleh dinginnya malam dan gemuruh halilintar ketika langit memuntahkan hujannya. Sekarang justru kera besar ini mengotori atmosfir dengan karbon, sisa pembakaran batu bara  dan emisi gas berbahaya, menyampahi daratan dan lautan dengan limbah industry dan nuklir.

Kendala terbesar kera-kera besar saat ini juga adalah adalah populasi yang tak terkendali.   Dahulu nenek moyang kita hanya berkelamin pada waktu musim kelamin saja. Namun berkat evolusi, siklusbereproduksi itu bisa dipercepat dan menjadi kegiatan rutin yang menguras tenaga dan berpotensi menumpulkan daya kerja otak kalau tidak dimanage dengan baik.  

Karena populasi yang sedemikian pesat ini maka kompleksitas hidup yang padat, tuntutan kemapanan hidup dan persaingan semakin tidak terkendali.  Sehingga perhatian kera-kera besar ini melulu hanya ditujukan untuk kegiatan-kegiatan pemenuhan ekonomi, pada  masalah perut dan di bawah perut.

Begitu pula dengan managerial pemerintahan dan ekonomi yang tidak efektif dan korup yang menciptakan segelintir kaum yang kayanya tidak ketulungan sedangkan sebagian besar orang hidup dalam kemiskinan yang begitu telanjang.

Sayangnya sebagaian besar kera besar berjalan tegak di dunia ini masih senang membenamkan dirinya  dalam mitos-mitos tentang asal muasal keberadaan mereka di surga sana, karena begitu malunya mereka jika mengaku bahwa mereka sebenarnya  masih berkerabat dekat dengan simpanse dan bonobo. 

Kera-lera besar berjalan tegak ini lebih senang menggadaikan  harta kekayaan yang di dapat dari perjalanan evolusi mereka yang mencengangkan ini, yaitu otak yang cerdas demi sejumput kepastian dan ketenangan hidup di alam baka.

 

Maka dari itu tidak aneh apabila mereka berlomba-lomba menginvestasikan harta mereka ke tabungan-tabungan surgawi semacam ibadah haji dan umroh, atau perpuluhan ke gereja yang kebanyakan dipakai untuk membuncitkan perut pendetanya, ketimbang memberikannya pada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkannya, demi pengentasan kemiskinan dan peningkatan mutu pendidikan.

Mungkin itu yang bisa saya sampaikan buat anda, maaf jika tidak memuaskan anda

Tapi  Aa, kenapa ya kebanyakan manusia membutuhkan simbol2 yang terkesan irasional untuk mencapai hal ini dan itu. dan saya rasa setiap manusia memiliki sifat dasar berupa kebutuhan untuk itu (simbol). seperti mitos, mantra, dsb..

Memang begitulah realitasnya sdr. homo sapiens sapiens spiritus.

Bukan hanya spiritualitas, bahkan sains pun  membutuhkan simbol-simbol, konsensus dan paradigma dalam mengkomunikasikan idea-ideanya.

Bedanya, sains didasari atas metodologi empiris-rasionalis, sehingga dari awal para saintiss harus sadar bahwa ketika suatu saat ada pendekatan yang lebih ajek dalam memerikan suatu hal maka, pendekatan lama bisa ditinggalkan, jika ternyata keliru,  atau diintegrasi ke dalam metodologi yang baru.

Kita bisa ambil contoh tentang geocentris yang terbukti salah dan digantikan dengan heliocentris yang benar.

Begitu pula gravitasi newtonian yang ternyata kurang sempurna kemudian iintegrasikan ke dalam relativitas einstein.

Saat ini kita sedang menanti apakah hukum realitvitas Einstein dengan Mekanika Quantum bisa dipadukan dalam M theory, yang baru bisa dipahami secara matematis namun belum bisa dibuktikan secara empiris.

 

Bedanya dengan sains, agama dan spiritualitas menyandarkan dirinya melulu pada mitos, iman,  dan pengalaman subyektif intuitif, yang ketika diverifikasi dan terbukti keliru, kebanyakan bisanya mencak-mencak dan mencap si lawan bicara sebagai monyet kafir, ateis, zionis laknatulah dsb.

 

Untuk itu harus diciptakan kesadaran yang besar pada jaman ini bahwa spiritualitas bukan untuk membawa si penekunnya pada pengalaman-pengalaman extra ordinary dan extra terrestrial , namun pada semangat untuk menyadari tanggung jawab kita di bumi ini, kini dan di sini bersama dengan orang-orang yang kita sapa sehari-hari. Buat apa kita memuja guru-guru masa lalu yang kita tidak tahu kebenaran historitasnya? Mereka benar-benar ada ataupun tidak ada kita juga tidak begitu yakin.

Untuk itulah saya menulis agar mendorong setiap pembaca berani eretas jalan spiritualitasnya masing-masing.

kita adalah guru sekaligus murid dari sekolah spiritualitas di Taman Bermain Bumi.

 

Kalau memang kita merasa bahwa symbol-simbol ketuhanan tertentu masih diperlukan, tidak jadi masalah. Namun sadari saja bahwa itu semua adalah alat psikologis yang terbatas. Kita memerlukannya sampai suatu saat kita sadar bahwa semua itu hanyalah kesadaran dalam diri kita sendiri. Seperti yang pernah saya tulis dalam note saya sebelumya, Hidup adalah Sebuah Perayaan, , bahwa Brahman, Tao,  Substantia, Alam Semesta atau Tuhan tidaklah berpribadi atau Niguna Brahman. Karena tidak berpribadi maka tidak akan pernah ada komunikasi “aku dan kau” antara Tuhan dan manusia.

Dalam upaya Untuk mempermudah komunikasi dan mengejawantahkan kerinduan-kerinduan psikologis suci ini, maka manusia mengalegorikan dan mengantromorphiskan Totalitas kemisterian Alam Semesta ini dalam idea-idea sederhana yang manusia eh kera besar itu kenal pada jamannya, misalnya kepala suku, raja dan kerajaannya, dsb. Kemudian terbentuklah figure-figur tuhan yang insani, berpribadi dalam bias-bias budaya, bahasa, zeitgeist dan worldview koloni-koloni kera besar ini.

Tujuan dari semua itu apaan sih? Tidak kurang dan tidak lebih agar manusia dapat mencari makna terdalam dari arti kehadirannya ini di bumi, dalam untaian evolusi peradaban, dalam semburat sejarah, agar mereka menyadari bahwa kehidupan mereka itu begitu ringkih, hanya bertumpu pada helaan nafas masuk dan keluar.  

Wah Apresiasi saya sangat besar atas tulisan aajin, trims

Sama, apresiasi saya juga sangat besar pada teman-teman yang bersama-sama saya saling mencerahkan, termasuk anda.