Aceh negeri saya, sempat punya pengalaman sangat buruk dengan Jakarta. Sampai hari ini, luka yang ditorehkan oleh Jakarta terhadap negeri kami belum benar-benar sembuh. Karena itulah, sampai hari ini tidak sedikit orang di negeri saya yang tidak suka bahkan masih benci Indonesia.

Mengingat apa yang dilakukan Jakarta terhadap negeri saya Aceh di masa lalu, terus terang saya sendiri sempat berusaha merasa senang melihat orang Indonesia dihina dan dinista di Malaysia. Tapi terus terang juga, sekuat apapun saya berusaha, saya tetap nggak pernah berhasil merasa bahagia.

Karena mayoritas orang yang melakukan penistaan terhadap negeri kami itu adalah JAWA, banyak orang di negeri saya yang tidak menyukai orang Jawa, bahkan saya sendiri sempat merasa kalau saya adalah seorang pembenci JAWA.

Tapi anehnya, waktu orang Jawa diperlakukan oleh Malaysia seperti kami diperlakukan oleh suku JAWA dulu, terus terang saya tidak bisa tidak, jadi terpancing emosi juga. Emosi yang saya rasakan saat melihat penistaan yang dilakukan oleh Malaysia itu, sama seperti emosi yang saya rasakan saat kami diperlakukan dengan semena-mena dulu.

Akibat dari sikap yang saya tunjukkan ini, tidak sedikit teman-teman yang pernah mengenal saya di masa lalu dan tahu persis seperti apa sikap saya pada masa itu lalu menyindir sikap yang saya tunjukkan terhadap malaysia ini dengan mengatakan, "oh ternyata bisa juga nasionalisme si Win terusik"

Belakangan saya baru sadar kalau ternyata, dulu itu yang sangat saya benci itu adalah PENINDASAN dan DOMINASI Jawa terhadap suku-suku lain di negeri ini, bukan JAWA-nya sendiri.

Karena ternyata yang saya benci itu adalah PENINDASAN dan DOMINASI itulah, makanya ketika melihat Malaysia begitu petentengan, dengan pongahnya merendahkan manusia-manusia yang berasal dari negeri ini saya jadi emosi.

Belakangan baru saya sadar kalau emosi yang saya muncul dalam diri saya itu sama sekali bukan karena terusiknya rasa nasionalisme saya, tapi emosi itu muncul akibat dari terusiknya NALURI SAYA SEBAGAI MANUSIA.

Tapi karena luka yang ditorehkan oleh Indonesia di Aceh teramat sangat dalam, tidak sedikit orang di Aceh yang merasa senang dengan penistaan yang dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia pada hari ini.

Salah seorang diantaranya adalah seorang teman yang saya kenal cukup baik, yang sekarang bekerja sebagai salah satu pimpinan lembaga ilmiah non universitas. Dalam komentarnya di sebuah photo yang saya pajang di facebook, teman ini mengatakan kalau dia lebih bangga menjadi CUAK  Malaysia daripada Warga Negara Indonesia, (CUAK adalah Istilah dalam bahasa Aceh di masa konflik dulu untuk menyebut mata-mata atau kaki tangan militer)

Dalam komentar yang sama, si teman ini menanyakan apa yang bisa dibanggakan dari Indonesia ini.

 

Untuk pertanyaan ini, meskipun terus terang saya masih sakit hati mengingat perlakuan Indonesia terhadap negeri kami dulu, tapi jujur saya katakan, kalau dibandingkan dengan Malaysia ada banyak sekali hal yang bisa dibanggakan oleh Indonesia.

 

Contohnya yang paling jelas adalah soal BAHASA misalnya, tidak ada satupun kurikulum mancanegara yang memasukkan mata pelajaran bahasa Malaysia kedalam kuliahnya, satu-satunya turunan dari bahasa melayu yang dijadikan kurikulum pendidikan bahasa asing adalah BAHASA INDONESIA. bahasa ini diajarkan di Universitas-universitas di Australia, Belanda, Rusia, China, Jepang, Eropa, sampai USA. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang berpotensi semakin besar pemakaiannya di dunia (UNESCO), untuk saat ini aja pengguna bahasa Indonesia udah lebih banyak ketimbang pengguna bahasa Perancis di seluruh dunia .

 

Yang lain adalah keunggulan budaya. Dalam hal ini jelas sekali kalau keunggulan budaya Indonesia jauh atas Malaysia, baik itu budaya klasik maupun kontemporer. Contoh terdekat sekarang Lagu-lagu Indonesia banyak membanjiri Malaysia, bahkan menjadi top chart di negara mereka. Belum lagi hasil-hasil budaya lainnya seperti film, kerajinan, pencak silat, kebudayaan tradisional, dan lain-lain.

 

Soal Petronas Tower yang mereka banggakan itu, Arsitektur misalnya, sudah menjadi pengetahuan umum kalau menara kembar Petronas mencontek dari desain Candi Prambanan di Indonesia. Fenomena ini diakui oleh budayawan serta banyak artis Malaysia sendiri, salah satunya adalah Amy yang begitu gundah atas membanjirnya produk budaya dari Indonesia ke Malaysia. Terus siapa yang jadi kontraktornya KOREA, siapa yang menenejnya?..Australia. bandingkan dengan Menara BNI di Jakarta, gedung tertinggi di Indonesia yang memiliki desain yang benar-benar orisinal itu, itu didesain oleh seorang tamatan STM asal Bukit Tinggi Sumatera Barat, orang yang sama sekaligus menjadi kontraktor yang mengerjakannya.

 

Terus yang paling esensial, soal kebebasan berekspresi dan berbicara.

 

Di sini, sekarang kita bisa ngomong apapun tentang negara dan segala kebobrokannya tanpa perlu takut akan ditangkap polisi (seperti Lukman sendiri, bisa santai ngomong lebih bangga jadi CUAK Malaysia ketimbang pendukung Indonesia). Sementara di Malaysia?…Perbincangan secara terbuka mengenai kuasa pimpinan tidak dibenarkan kerana membahayakan keselamatan negara dan boleh ditahan dengan menggunakan ISA atau Akta Hasutan. Di Malaysia, semua komunikasi dalam negara , semua pengguna alatan komunikasi dan website diharuskan mendaftar agar memudahkan pemantauan dan pengawsan. Malah PDRM memang memantau semua  hubungan telefon dalam negeri yang katanya dilakukan untuk tujuan keselamatan. Persis seperti di zaman Soeharto dulu, dan sekarang masih berlaku di semua negara Komunis manapun di dunia, mulai dari Cina, Korea Utara sampai Kuba.

 

Di sini, banyak pemimpin brengsek, bahkan presiden yang terpilih pun Presiden yang lebih mengutamakan Citra ketimbang karya, tapi itu hasil pilihan rakyat sendiri. Karena sekarang mayoritas rakyat masih belum cerdas maka pemimpin yang dipilih pun jadi seperti itu, tapi kalau satu saat nanti rakyat jadi lebih cerdas (dan ini sangat mungkin karena akses informasi terbuka luas), pemimpin yang lebih baik pasti didapat. Sementara di Malaysia, semua keputusan yang dibuat oleh pimpinan negara walaupun prakteknya adalah Musyawarah, tapi itu musyawarah ala DPR/MPR masa Orde Baru dulu. Sudah begitu hasil dari 'Musyawarah' itu juga tidak boleh dipertanyakan. Di Malaysia, siapa saja yang mempersoalkan hasil 'Musyawarah' ini dapat diklasifikasikan sebagai orang yang membahayakan keselamatan negara dan dapat ditahan dengan menggunakan ISA atau Akta Hasutan.

 

Contoh terbaru adalah Nurul Izzah (anaknya Anwar Ibrahim ) yang gara-gara berkomentar soal korupsi pengadaan kapal selam Scorpene yang merupakan kebanggaan Malaysia, dilaporkan oleh angkatan Laut Malaysia karena dituduh membocorkan rahasia negara.

 

Situasi seperti ini membuat perdebatan ilmiah di Malaysia itu berlangsung tidak leluasa, sehingga di kelas orang terdidik A.K.A yang sudah mencicipi bangku kuliah, orang sini ya jelas lebih hebat ketimbang orang Malaysia.

 

Soalnya gara-gara akses informasi dari media informasi (surat kabar, televisi dan lain-lain) terbatas, membuat rakyat Malaysia itu hidup seperti katak dalam tempurung. Akibatnya, mereka merasa pintar padahal sesunggunya hidup dalam kemalasan dan kebodohan yang teramat sangat.  Ditambah lagi semua pelajar dan mahasiswa diarahkan untuk tidak terlibat dengan dalam pergerakan politik melalui Akta AUKU, sudahlah makin hancur-hancuran dunia intelktual di Malaysia itu.

 

Makanya kalau kita mencoba berdiskusi dengan orang Malaysia, diskusi yang terjadi seringkali berlangsung NGACO. Untuk membuktikannya, silahkan anda coba memasuki forum-forum diskusi mereka, maka di sana anda akan melihat sendiri kalau mereka sama sekali tidak pernah bisa berdiskusi fokus ke tema. Kita diskusi isu perang mereka mengalihkan pembicaraan ke isu bencana gempa. Saat kita diskusi soal arogansi Malaysia, mereka mengalihkan diskusi ke soal dosa dan "mahluk lain" yang letaknya dalam imajinasi. Kalau sudah tidak mampu bertahan menghadapi argumen kita, mereka akan beramai-ramai minta kita di banned.

 

Perilaku KAMPUNGAN seperti itu bukan cuma ditunjukkan untuk kaum intelektual kelas kambing, bahkan untuk intelektual sekelas DOKTOR pun kelakuan KAMPUNGAN seperti ini masih dipelihara, contoh adalah bagaimana ketika seorang Dr. Kamarulzaman Askandar, seorang Doktor dari USM yang karena merasa berjasa membentuk Aceh Institute lalu melarang memuat tulisan-tulisan saya yang mengkritisi Malaysia di milis AI.

 

Faktor-faktor seperti di atas tersebutlah yang menyebabkan kenapa sampai sekarang di Malaysia itu tidak pernah mucul tokoh-tokoh besar yang berasal dari komunitas non pemerintahan, sebab mereka memang tak mampu untuk berfikir lebih maju. Bandingkan dengan banyaknya tokoh besar yang berasal dari luar sistem yang bertebaran di sini.

 

Karena itulah meskipun saya tidak bisa mengatakan bahagia dengan fakta bahwa saya adalah Warga Negara Indonesia, tapi kalau saya diharuskan untuk memilih untuk menjadi Warga Negara Malaysia atau menjadi Warga Negara Indonesia, maka berjuta kali saya lebih memilih untuk menjadi WNI. Kalau saya disuruh memilih untuk membesarkan anak di sini atau di Malaysia, maka berjuta kali saya lebih memilih untuk membesarkan anak di sini.

Soal ekonomi…

Melayu Malaysia memang maju secara ekonomi, tapi itu didapat dengan cara mengebiri hak-hak kelompok suku lainnya melalui NEP-nya yang sangat tidak tahu malu itu. Dalam NEP, istilah melayu diperhalus jadi Bumi Putera, tapi kenyataannya Bumi Putera itu ya MELAYU, Bumiputera Non Melayu, di sana nasibnya ya nggak jauh beda dengan penghuni kolong jembatan di sini.

Contohnya ini, hanya beberapa jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia yang megah, puluhan ribu warga suku asli Semenanjung Malaya yang dikenal sebagai orang Semai hidup terlunta-lunta dibelit kemiskinan.

Selengkapnya baca :http://internasional.kompas.com/read/2010/07/24/11380334/Suku.Asli.Semenanjung.Malaya.Terlunta

Untuk melihat bagaimana nasib suku-suku asli non Melayu di Malaysia, silahkan lihat situs-situs di Youtube ini : http://www.youtube.com/watch?v=XFlrxEx2KHo&feature=related

Kemajuan ekonomi etnis Melayu di Malaysia itu didapat dengan cara MENCURI hak-hak suku minoritas di sana, itulah sebabnya kenapa nama Malaysia itu sangat cocok diganti dengan MALINGSIAL, karena kenyataannya mereka itu memang BANGSA MALING.

Jadi karena memang dasarnya MALING, omong kosong kalau dikatakan pembangunan di Malaysia itu lebih merata untuk semua pribumi, kalau Melayu Malaysia itu membanggakan kemajuan ekonomi mereka, ya itu sebenarnya sama persis dengan MALING dan KORUPTOR yang sedang pamer kekayaan dengan noraknya.

Kalau orang Malaysia membanggakan kemajuan negara mereka, itu sama saja dengan ketika orang kulit putih Afrika Selatan, Pra-Mandela yang membanggakan kemajuan negara Afrika Selatan yang menganut politik Apartheid itu.

Kalau kita mau berpikir jernih dan menilai dengan adil, maka kita akan melihat dengan jelas kalau sebenarnya yang terjadi di negara MALINGSIAL itu tidak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia sini di masa Soeharto dulu.

Zaman itu, seperti di Malaysia sekarang, oleh penguasa di negeri ini yang dianak emaskan itu suku mayoritas yaitu JAWA. Dulu Aceh emosi dan mengajak Jakarta perang dikarenakan Indonesia menerapkan kebijakan yang JAWA sentris, persis seperti kebijakan RESMI pemerintah Malaysia yang MELAYU SENTRIS yang tetap berlangsung sampai hari ini.

Tapi kenapa di sini meskipun pernah diistimewakan, JAWA yang mayoritas tidak bisa hidup senyaman Melayu di Malaysia?…Itu karena di sini kebijakan itu tidak secara resmi dituangkan ke dalam Undang-undang, sehingga yang bukan Jawa pun kadang bisa mencicipi keistimewaan itu.  Beda dengan di Malaysia yang menuangkan diskriminasi itu secara resmi melalui NEP-nya.

Faktor lain yang membuat tidak berhasilnya politik dominasi JAWA di sini adalah karena di sini suku-suku minoritas masih bisa bersuara. Minoritas di sini tidak selemah suku-suku minoritas di Malaysia. Di sini, jangankan Aceh yang memang pernah punya peradaban gilang gemilang di masa lalu, suku minoritas yang oleh banyak orang dianggap primitif seperti PAPUA pun masih cukup punya harga diri untuk berontak saat kepalanya terlalu keras diinjak.

Sementara di Malaysia, suku-suku minoritasnya sama sekali tidak punya cukup nyali dan kekuatan untuk melawan dominasi Melayu-melayu kemaruk itu.

Kemudian satu hal yang janggal mengenai pernyataan teman saya yang mengatakan lebih bangga jadi Cuak Malayasia itu adalah fakta bahwa Malaysia adalah negara yang memperbolehkan perubahan status tanah dan mengusir penduduk yang mendiami tanah tersebut tanpa perlu membayar ganti rugi apa-apa, sebab semua urusan ini sudah tertulis jelas dalam Kanun Tanah Negara 1966 yang diperbaharui pada 1996.

Nah soal ini janggal, sebab saya tahu persis, teman saya yang mengatakan ini adalah orang yang pernah merasakan dinginnya lantai penjara Kodim gara-gara membela tanah rakyat yang dirampas penguasa saat Soeharto lagi lucu-lucunya dulu, eh kok sekarang malah menyatakan bangga jadi CUAK MALAYSIA.

Pernyataan yang diucapkan oleh teman saya itu terus terang  membuat saya merasa aneh, karena bagi saya pernyataan seperti itu sama saja dengan teman ini meminta diktator seperti Soeharto kembali memimpin negeri ini, tanpa kompromi dan dengan satu tujuan yaitu memajukan satu etnis MAYORITAS saja yaitu JAWA…

Win Wan Nur

Orang Aceh suku Gayo yang sampai hari ini masih berstatus WNI