"Ketika kata tak lagi bermakna, biarkan linggis berbicara" Kasus Prita Mulyasari merupakan sesuatu yang menyedot perhatian akhir-akhir ini. Berawal dari email keluh-kesah dirinya ke beberapa temannya yang kemudian tersebar luas, membuat dirinya harus merasakan hawa dingin tahanan selama 21 hari. Email curhatan dirinya berbuntut panjang sehingga membuat pihak-pihak yang merasa “di hina” melaporkan Prita hingga berujung pada persidangan. Email yang tersebar luas itu oleh jaksa penuntut umum dikenakan pasal 310-311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan atau pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik pula.

 

 

Ini merupakan kasus pertama di dalam era digital Indonesia yang cukup membuat rakyat Indonesia tersontak akan keadilan negeri ini. Penahanan yang dilakukanpun dianggap memberangus keadilan karena Prita mempunyai 2 bayi yang masih kecil, sehingga menurut masyarakat itu melanggar hati nurani seorang manusia. Jika kita mengacu kepada Berita Acara Penyidikan yang dibuat oleh Polri, setidaknya dilampirkan beberapa alat bukti, yaitu 5 (lima) lembar print out internet yang dikirim oleh Prita Mulyasari tanggal 15 Agustus 2008 dengan subject: Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang dan 4 (empat) lembar print out email berjudul Selamat Pagi…SEMOGA TIDAK TERJADI DI RSIB !!! Selamat Bekerja…Salam, Juni tertanggal 22 Agustus 2008.

Email yang tersebar di dalam sejumlah email penerima, dapat dikatakan sebagai informasi elektronik atau data digital atau dokumen elektronik karena ruang geraknya adalah media internet (dalam kasus ini penekanannya adalah dalam ranah internet, meski data digital tidak harus dari internet). Di dalam Undang-Undang Transaksi Elektronik, dijabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan informasi elektronik ini:

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makan atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 ayat 4 UU ITE).

Dalam kaitannya dengan kasus Prita tersebut, ada sebuah pasal yang dijadikan dalil atas delik yang dilakukan Prita, yaitu Pasal 27 ayat 3:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Dari email atau dokumen elektronik tersebutlah yang dijadikan bukti oleh pelapor dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap Prita. Informasi elektronik tersebut dianggap oleh pelapor (dalam hal ini 2 dokter dari Rumah Sakit OMNI) dianggap merendahkan kredibilitas dirinya, sehingga harus dilakukan proses hukum terkait dengannya.

Perlu kita ingat pula, bahwasannya terhadap informasi elektronik, di dalam UU ITE terdapat sebuah aturan yang mengatur perihal sumber dari informasi elektronik tersebut, hal itu dalam bahasa Undang-Undang ini disebut dengan sistem elektronik:

Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. (Pasal 1 ayat 5 UU ITE).

Dari definisi tersebut, dapat kita simpulkan bahwa sumber dari informasi elektronik dalam pelaksanaannya atau dalam praktisnya melalui beberapa mekanisme yang disebutkan diatas. Dalam kaitannya dengan sistem elektronik ini, di dalam Undang-Undang ITE ini disebutkan pula tentang petunjuk pelaksanaan dari sistem elektronik tersebut, yaitu mengacu pada pasal 16 UU ITE:

Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;

d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan

e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 16 ayat 1-2 UU ITE).

Dari uraian pasal tersebut, kita dapatkan gambaran bahwa suatu sistem elektronik haruslah memiliki kriteria seperti menjaga keotentikan berdasarkan prosedur-prosedur yang ketat, pada pasal 16 ayat 2 (dua) kita temukan bahwasannya sistem elektronik tersebut haruslah dijalankan dengan peraturan pemerintah yang tersendiri yang merupakan prosedur serta petunjuk bagaimana cara sistem elektronik bekerja. Dalam kasus Prita ini, Peraturan Pemerintah yang mengatur sistem elektronik sebagai media dari informasi elektronik belumlah dibua atau ada, sehingga tidak bisa berdiri sendiri perihal informasi elektronik dan sistem elektronik diatas. Di dalam pasal 54 ayat 2 disebutkan bahwasannya Peraturan Pemerintah tersebut haruslah sudah ditetapkan dalam jangka waktu dua tahun setelah pengundangan UU ITE ini, jadi secara yuridis dasar informasi tersebut adalah batal demi hukum. Kalau kita menganalisis terhadap sesuatu yang berkenaan dengan digital forensic, maka tentunya disiplin ilmu yang harus dikuasai setidaknya adalah perihal ilmu digital forensik, yang mana dalam hal ini belum banyak berkembang di Indonesia serta merujuk pada standar aturan Internasional.

Tidak hanya itu saja, email yang dijadikan barang bukti oleh penyidik tidak dapat dijadikan barang bukti atau setidak-tidaknya diragukan kebenarannya karena merupakan email dengan subyek: “Fwd:” yang menandakan email tersebut merupakan email terusan atau bisa dikatakan tidak asli atau murni dari email Prita meskipun di dalamnya tertera “mailto: prita.mulyasari@yahoo.com”. Mengapa demikian? Karena email tersebut sangat rentan terhadap pemalsuan atau editing sekalipun, jika demikian jaksa haruslah dapat membuktikan bahwasannya email tersebut merupakan original atau asli adanya tanpa pengeditan dari source email Prita, ditambah email “Selamat Pagi…SEMOGA TIDAK TERJADI DI RSIB !!! Selamat Bekerja…Salam, Juni” tertanggal 22 Agustus 2008 seperti diakui di dalam Berita Acara Penyidikan merupakan hasil editan dari pengirim awal yang sampai saat ini belum ditemukan siapa yang mengedit dan mengirimkannya.

Mengacu pada beberapa referensi pendapat dan aturan internasional dari beberapa pakar di bidangnya yang biasa disebut Internet Engineering Task Force (IETF) yang dikenal dengan Request For Comments (RFC) bernomor 3227 tentang tata cara forensik digital yang menjabarkan bahwa data tersebut haruslah dapat dibuktikan perihal sidik jari digital dan keaslian media pengirim data tersebut serta aturan pada Police and Criminal Evidence Act tahun 1984 section 23 dan 24 yang dipakai standar oleh Polisi Inggris dalam mengorek data elektronik, bahwasannya data tersebut tidak selalu harus di print jikalau dapat dibuktikan keorisinalitasnya. Jika menilik pada dua aturan internasional tersebut, maka data email Prita tersebut dapat kita sebut diragukan keabsahannya. Selain data email mudah di tampering (apalagi untuk email forward-an), mestinya pembuktian bahwa email tersebut adalah prita yang kirim (barang bukti no.2) harus dapat ditampilkan dengan menampilkan full header email dan juga pelacakan IP address pengirim email yg terdapat di full header tersebut, dengan dukungan tambahan data IP address dari ISP (Internet Service Provider) tersebut, dapat memenuhi unsur otentik yang di sebutkan di UU ITE pasal 16 ayat 1 butir b.

*Ketua Bloggerngalam (Komunitas Blogger Kota Malang)

**Anggota International High Technology Crime Investigation and Association

 aslinya di

::Blognya Sam Ardi:: 

http://mygoder.wordpress.com/2009/12/14/analisa-bukti-email-prita-mulyasari/