Harus dilihat juga apa isi dari "moralitas" yg dikhotbahkan oleh orang-orang itu. Kalau membawa-bawa nama Allah ataupun agama, maka sudah jelas itu bukan kesadaran melainkan iklan. Namanya iklan yg terakhir dan sempurna. Dan jenisnya dari pembodohan massal. Dari jaman dahulu sampai sekarang, yg namanya agama selalu bertujuan membuat manusia menjadi orang bodoh. Semakin bodoh manusia, maka semakin senanglah orang yg berjualan agama dan Tuhan.

Pada pihak lain, kesadaran itu terlepas dari agama dan konsep Tuhan. Kesadaran yg asli tidak mengkonsepkan apapun. Dari non konsep itu lahirlah berbagai pengertian, namanya intuisi. Dan kita tidak lagi berbicara tentang "moralitas" di sini.

Yg namanya "moralitas" itu sifatnya palsu. Ditulis oleh orang-orang yg palsu demi Tuhan yg palsu juga. Palsu artinya false, tidak pas. Tidak pas karena didasarkan pada asumsi-asumsi yg salah, seperti ada ayat-ayat yg diturunkan oleh Allah. Ada nabi-nabi, ada Sorga Neraka. Ada akidah yg diridhoi Allah, dsb… Karena tidak pas, akhirnya selalu berusaha untuk dipaksakan. Dipaksakan agar diakui benar oleh manusia lainnya. Pedahal tidak benar. Palsu.

Yg asli itu tidak perlu dipaksakan karena semuanya akan jalan sendiri apa adanya saja. Kalau kita suka, kita akan bilang suka. Kalau kita tidak suka, kita akan bilang tidak suka. Dan itu tanpa perlu mensohorkan tentang baik atau buruk yg semuanya relatif, tergantung dari sudut pandang atau persepsi kita masing-masing. So, semuanya itu pilihan belaka.

Pilihan bebas bagi manusia-manusia dewasa yg bisa berpikir dan bertanggung-jawab atas pilihannya sendiri, tanpa perlu meribetkan diri dengan moralitas palsu yg disodorkan oleh agama-agama. Yeahh !!

PERCAKAPAN : SAYA HAPPY JADI AGNOSTIK

T = Mas Leo,

Saya mo sharing plus nanya nih. Saya dilahirkan sebagai seorang Muslim. Dari kecil saya orangnya suka angin-anginan dalam beribadah dan suka mempertanyakan dalam hati mengenai kewajiban-kewajiban beragama yang harus dijalani (contoh: mengapa sembayang aja harus berbahasa Arab yang tak ku mengerti artinya, kenapa ngga bahasa sendiri aja yang lebih afdol dipake kalo sholat dll). Selain itu, dalam berpacaranpun lebih cocok dengan orang yang beda agama sampai akhirnya menikah dengan orang tsb.

J = Good, then?

T = Setelah menikah selama enam tahun lebih saya semakin muak dengan belief system saya dan saya ingin melepaskan semuanya karena melihat perkembangan masyarakat Islami yang akhir-akhir ini sepertinya sudah tidak masuk akal lagi menurut saya (seperti berkembangnya fundamentalisme, semakin tidak dapat menerima perbedaan / fanatic yang berlebihan).

J = Then?

T = Selama kurang lebih enam tahun tsb saya sudah membuang sebagian besar belief system saya dan mulai menjadi agnostik. Masalahnya kadang kala masih tersisa keraguan yang saya tidak tahu apa itu. Seperti ada yang mengganjal di hati. Keraguan yang saya tidak tahu tentang apa itu. Atau keagnostikan saya sekarang ini hanya sebuah pembenaran atas segala yang telah saya lakukan dahulu (yang males beritual, menikah dengan orang yang beda agama ). Intinya udah banyak melanggar itu belief system. Semoga itu bukan suatu pembenaran tetapi suatu proses perkembangan spiritual diri saya ya Mas? Pengen benar benar lepas… pas…

J = Kita semuanya dididik dalam agama-agama. Bahkan Yesus, Karl Marx dan Sigmund Freud juga dididik dalam agama, dalam hal ini agama Yahudi. Tetapi mereka melepaskan agama nenek moyang mereka dan membawa pembaharuan yg mempengaruhi milyaran orang di muka bumi sampai saat ini. Sidharta Gautama juga dididik dalam agama Hindu, tetapi dia melepaskan agama Hindu dan menjadi orang atheist. Atheist itu artinya tidak mempercayai ajaran agama tentang "Tuhan".

Yesus tidak percaya Tuhan seperti diajarkan oleh agama Yahudi. Sidharta Gautama tidak percaya Tuhan seperti diajarkan oleh agama Hindu. Karl Marx dan Sigmund Freud tidak percaya Tuhan seperti diajarkan oleh agama Yahudi. Tetapi mereka percaya adanya kesadaran manusia. Mereka adalah orang-orang yg tercerahkan.

Kalau anda masih ragu, ja jalanilah terus. Kalau masih mau balik ke agama, ya baliklah. Kita masih manusia biasa bukan? Masih bisa bolak balik. Masih bisa maju mundur. Saran saya, coba saja anda ikuti ibadah agama, apakah masih bisa merasa klop? Kalau tidak bisa, maka anda harus membuat "agama" sendiri. Agama dalam tanda kutip yg berarti belief system kita sendiri yg tidak tergantung dari apa yg dikhotbahkan oleh orang lain. Saya punya belief system saya sendiri yg bilang semua manusia itu sama saja, tidak ada bedanya. Tidak ada Sorga Neraka. Tidak ada amal ibadah. Yg ada cuma menjadi diri sendiri saja, enjoy apa yg bisa kita lakukan, dan ikhlaskan apa yg tidak bisa kita lakukan.

Lalu saya sharing pengalaman pribadi saya dengan teman-teman lainnya. Mulanya tidak kenal, akhirnya kenal. Mulanya sedikit, akhirnya banyak. Ternyata kita ini ada dimana-mana. Ternyata sudah tidak terhitung banyaknya orang agnostik di dalam agama-agama. Masih mengaku "beragama" (dalam tanda kutip), pedahal sebenarnya sudah bebas lepas dari segalanya, dan cuma ikut karena tradisi.

Lama kelamaan kita akan berani total melepaskan diri dari tradisi. Kita akan bilang bahwa kita agnostik, walaupun sesekali mengikuti ibadah agama yg sifatnya seremonial. Orang-orang di negara-negara maju sudah seperti itu. Ritual keagamaan cuma seremonial belaka, tradisi, dan bukan kepercayaan membabi buta seperti diikuti oleh banyak orang di Indonesia saat ini yg merasa takut masuk neraka.

Inggris memiliki lagu kebangsaan 'God Save the Queen' (Allah Memberkati Sri Ratu), tetapi Inggris bukan negara agama. Negara Inggris tidak beragama. Amerika Serikat memiliki motto 'In God We Trust' (Kami Yakin kepada Allah). Motto itu ada di mata uang dollar AS, tetapi cuma pemanis bibir saja. AS itu bukan negara agama.

T = Sekarang saya sudah tidak percaya lagi dengan konsep surga dan neraka yang ditawarkan agama, karena ya itu tadi, ngga masuk akal sama sekali. Masa tiket / surga atau neraka yang akan diberikan Allah karena selisih akumulasi pahala dari akumulasi dosa yang dimiliki seseorang.

Misalnya seorang yang doyan korupsi namun karena merasa telah berzakat, bersodaqoh dan naik haji berkali-kali, merasa menjadi ahli surga (karena secara net, pahala lebih banyak dari dosa). Kalau begini caranya yang korupsi bisa terus meraja lela di Indonesia ya Mas?

J = Bukankah memang seperti itu cara perhitungannya? Saya sudah bilang bahwa lembaga-lembaga agama menangguk untung tak terkira dari maraknya korupsi di Indonesia karena orang yg korupsi juga akan menyumbang agama supaya selisihnya plus.

Jadi bisa masuk Surga, hore !!

T = Belum lagi kegemasan saya akan aturan keagamaan yang tampaknya lebih menguntungkan lelaki dan memarginalkan kaum wanita. Kadang saya ingin lelaki yang pake cadar karena dapat menimbulkan hasrat birahi kaum wannita he he he…

J = Islam tradisional memang melecehkan HAM wanita. 

T = Sekarang saya lebih percaya hukum sebab akibat (aka. hukum karma?) daripada pahala-dosa. Sepertinya hukum sebab akibat lebih membuat orang menjadi bertanggung jawab dalam menjalani hidupnya karena setiap perbuatan baik akan dibalas kebaikan atau sebaliknya, dan tidak akumulatif seperti konsep pahala–dosa di atas.

J = Hmmm…

T = Oh ya, bagaimana konsep hukum karma itu menurut Mas Leo?

J = Saya tidak pakai pengertian hukum karma. Yg saya pakai adalah pengertian 'tanggung jawab pribadi'. Kita semuanya manusia dewasa, dan kita tahu bahwa apapun yg kita lakukan, maka kita sendirilah yg akan menanggung konsekwensinya. Kalau mau korupsi, maka bisa terciduk polisi. Bisa juga tidak. Kalau mau selingkuh, maka bisa ketahuan. Bisa juga tidak. Dan yg seperti itu tidak perlu dikhotbahkan. Tidak perlu bawa-bawa segala agama dan Tuhan-nya.

+

Leo
@ Komunitas Spiritual Indonesia <http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>.