Singapura dan Indikasi pembunuhan David, mahasiswa cerdas Indonesia di negeri jiran itu8 Maret 2009.  MEDIO Februari 2009. Kawasan food courts Mal Taman Anggrek, Jakarta. Menjelang magrib di petang itu, pengunjung mulai ramai. Rona jingga langit Jakarta di petang merembang di udara cerah tampak melukis cakrawala, dari lantai 6 mal itu. Siluet Gunung Pangrango ke arah Bogor terlihat jelas. Tidak semua penduduk Jakarta paham, bahwa di gedung jangkung, tak hanya dapat manatap deretan pilar beton, bisa juga melihat panorama alam.

Di samping saya ada dua kawan. Keduanya sejak lama bergerak di bidang komputer. Kawan pertama, bergerak di perdagangan piranti keras dan lunak, menetap di Singapura. Saya menyapanya Siem. Dulu, pertengahan 90-an, melalui usahanya di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat, antara lain mengageni Softimage 3D, perangkat lunak untuk membuat animasi tiga dimensi. Usaha Siem kemudian tidak tumbuh, karena pembajakan software meningkat. Apalagi banyak industri kemudian tidak merasa perlu menanyakan lisensi. Jika pun membuat animasi untuk disiarkan ke publik melalui teve, di mata pemesan, yang ada hanya rumus murah, mutu bagus, bisa tayang, peduli amat membuatnya dengan aplikasi bajakan. Dan bagi Siem, yang terbiasa matang di dunia jualan, hal demikian sudah lumrah. Jatuh bangun biasa.

Kawan kedua, ini agak unik. Dulu dia punya 33 lisensi Softimage 3D yang di era 90-an, masih berharga US $ 9.000 satu lisensi. Meningkatnya pembajakan, membuat asetnya tidak bernilai. Namanya Anthony Seger. Ia bersekolah di Amerika Serikat, mengambil jurusan electrical engineering. Orangtua Anthony di Singapura dulu, masuk pengusaha papan atas – – di era penjajahan silam, keluarga mereka mengusahakan industri ban di Sanghai, diambil alih oleh penjajah Jepang. Keluarga Anthony yang tercerai berai, sebagian besar masih menetap di Singapura.

Dua kawan itu selalu melekat di benak saya jika menceritakan Singapura.

Yang satu, Siem, kini kembali ke Singapura, sementara Anthony tetap bertahan di Jakarta. Anthony berwajah mirip penyanyi masa silam, Dedy Dores itu, tetap dengan usahanya di pengembangan aplikasi, software. Kehidupannya pun unik, mulai dari tinggal di apartment mewah, hingga ngontrak di paviliun kecil di bilangan padat. Dan baginya, hidup hari-hari adalah berkarya, perkara hasil urusan akhir.

Di satu sisi saya salut akan daya tahan Anthony dalam melakukan pengembangan proyek pribadi. Di lain sisi acap juga saya kecewa, karena dia suka berbuat sesuka hatinya, berkarya melenceng dari kemauan klien.

Ketika kami duduk bertiga itulah datang seorang kawan Anthony, teman sekolahnya di AS dulu. Ia kini salah satu pemasok, bagi sebuah BUMN di bidang energi. Polo shirt-nya merek Hugo Boss. Jam Rolex silver dengan tatah berlian kecil-kecil melingkar di tangan kanannya. Ia menceritakan baru saja menyerahkan 200 gadget Black Berry ke sebuah BUMN yang membeli.

”Alasannya membeli karena Black Berry anti sadap.”

“Ini dia yang tolol, yang namanya pakai provider telko, juga pakai internet protocol base, mana ada yang anti sadap? Walaupun pakai massanger segala” ujar Anthony.

Secara logika, kalimat Anthony itu benar. Kecuali macam aplikasi yang dibuatnya dengan enkriptif dan dipasang ke handset yang juga memasang aplikasi yang sama, bisa dipastikan sang gadget dengan sendirinya anti sadap.

”Nah kebodohan orang Indonesia demikianlah yang menjadi pasar,” tutur Siem.

Kami tertawa.

Obrolan berpindah ke situasi Singapura kini. Daya beli di sana drop. PHK di sektor perbankan Singapura memuncak.

”Perdagangan sepi,” kata Siem.

Pembicaraan kemudian mengarah ke hubungan pertemanan dan persaudaraan. Bahwa ada titipan dari keluarga Anthony di Singapura untuk bertandang ke negeri jiran itu. Masih ada pamannya yang sudah tua banyak kang tao-nya. Di saat ekonomi Anthony susah, bukankah menemui paman di Singapura bisa sebagai berkah? Anthony menolak mentah-mantah

Mengapa?

Entahlah.

”Singapura kiasu,” katanya. Kiasu dari bahasa mandarin, kira-kira berarti ogah rugi. Saya tak paham entah perihal apa gerangan yang membuat Anthony seakan muak betul ke Singapura, selain urusan kiasu tadi.

Saya lalu teringat lagi ketika dulu hingga Mei 1998, pernah berkerja di Video Head Quarter (HVQ), perusahan paska produksi, high end editing visual. Saat itu VHQ milik Eric Lomas, warga Australia, dengan mitranya di Singapura. Kerusahan Mei membuat perusahan itu tutup dan seluruh asetnya dibawa kembali ke Singapura, tanpa melunasi beban ke karyawan. Kini VHQ ada lagi di Jakarta di bilangan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, dengan pemilik yang sudah berbeda.

VHQ-lah antara lain dulu, yang membuat saya beberpa kali ke Singapura, mampir ke kantor pusatnya di bilangan Tanjong Pagar. Saya senang melihat bagunan tua macam ruko jaman dulu di daerah Tanjong Pagar itu, seperti bangunan tua tiga lantai di banyak kota di kawasan tua di Medan, Padang.

Di Tanjong Pagar, Singapura, bangunan tua mirip ruko itu tidak dirusak konstruksinya, sebaliknya direnovasi, dicat, bagus dan enak dipandang mata. Bahkan kayu-kayu pintu tua dibiarkan asli adanya. Tampak luarnya saja macam bangunan jaman dulu. Tetapi di dalamnya sudah modern, berpendingin udara.

Selain Tanjong Pagar, yang cukup membekas di benak saya urusan Singapura adalah cafe The Bar, di Hotel Raffles, Singapura. Di dalam bar di mana minuman Singapore Sling pertama diracik lalu mendunia itu, pengunjung boleh membuang saja kulit kacang ke lantai. Kacang tanah yang disangrai, ditempatkan di dalam karung-karung goni. Pengunjung bebas mengambil, dan membuang kulit ke lantai. Makin petang, kulit kacang kian berserak dan telapak sepatu pun menginjak kriuk-kriak.

Sebuah deretan kipas setengah bulat dari bahan rumput bergerak maju mundur di sebatang besi di atas plafon. Kenangan lain, ya, kawasan Jalan Orchad Road, tempat yang paling disukai pembelanja dari Indonesia, berderet mall dan butik. Kawasan ini bagi masyarakat di Medan, Padang, Riau, tentu sudah tak asing lagi, acap mereka kunjungi.

Di negeri ini pula di kebun binatangnya, sosok babi hutan dipajang menjadi kebanggaan.

Tentu banyak hal lain, jika ingin membincangkan Singapura. Sebelum mengakhiri penggalan tentang negeri bandar itu, satu lagi yang saya ingin katakan, bahwa seorang kawan mengekspor pinang ke Singapura. Pinang-pinang itu disortiroleh pihak Singapura, lalu dikemas dalam tananan kemasan bagus, unik, selanjutnya oleh pengusaha Singapura itu, lalu dijual lagi ke berbagai belahan jagad di harga berlipat-lipat.

Itulah penggalan Singapura di benak saya.

Kalaupun pun ada lebihnya Singapura, tak lain hanyalah ihwal banyaknya konglomerat kemudian mangkal dan ngepos-kan segenap assetnya di bank- bank Singapura. Sosok yang signifikan macam ini dilakoni Sjamsul Nursalim, pemilik kemaha-rajaan bisnis Gajah Tunggal. Saya masih ingat bagaimana Sjamsul dulu menyerahkan PT Gajah Tunggal Tbk., ke BPPN, tetapi jaringan pasar lokal dan globalnya, masih dikendalikan dari gedung milik Sjamsul di Singapura. Dan pemerintah Singapura bergeming terus-terusan melindungi hal macam beginian. Singapura termasuk menjadi tempat mangkal jet pribadi, macam milik keluarga Bakrie.

 

 

 

PADA 2 Maret lalu, David Hartanto, mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Nanyang Technology Univertity (NTU), tewas. Berita awal di televisi Indonesia petang harinya mengatakan bahwa David tewas bunuh diri dengan melompat dari lantai 4 kampus itu, sebelumnya memotong urat nadinya. Ia diberitakan menusuk dosennya, Prof Chan Kap Luk, 45 tahun, persis seusia saya. Sebuah berita yang layak disayangkan, karena hanya melempar keterangan sepihak tanpa verifikasi ulang reporter.

Minggu 8 Maret 2009 saya menerima email dari seorang kenalan di Singapura, yang mengimkan foto-foto; ruang kerja sang profesor lengkap dengan white board di ruangan penuh dengan tulisan-tulisan deangan goresan spidol lingakran-lingakaran, petugas pembersih lantai tangga kampus membersihkan ceceran darah David, buku yang terkena darah, gagang pintu kena darah, juga koridor kaca di bagian yang pertam menerima jatuh tubuh Daviv – – di mana David tak langung jatuh ke tanah – – harus didorong dulu pakai sesuatu baru bergedibam ke tanah, cerita ihwal ransel David yang tertinggal di ruang Prof Chan Kap Luk, masih berisi aqua dan handuk kecil.

MingMing, begitu David akrab disapa, sejak SD, rutin membawa handuk kecil, bahkan kadang dikalungkan di leher saat berada di kelas. Ia selalu membawa air minum yang banyak karena mamanya selalu berpesan untuk banyak mengkonsumsi air.

”Apakah seorang yang mau membunuh, lalu bunuh diri, akan membawa barang seperti itu? Akan jauh lebih mudah membunuh pakai pisau besar, jika memang niatnnya membunuh, ” kata kawan saya di emailnya.

Sementara berita penusukan profesor itu menggunakan pisau yang hanya panjang 10 cm panjangnya, dan gagangnya dinyatakan hilang pula oleh kepolisian Singapura.

Balakangan berita mengejutkan, meninggalnya Zhou Zang, gantung diri lima hari setelah kematian David. Sosok Zhou, konon diperkenalkan Prof Chan ke David, di ruangannya di hari kematian David. Konon, sang profesor meminta hasil penilitian David untuk diberikan ke Zhou.

Hingga di sini pemberitaan kematian David memang menjadi kontroversi. Apalagi pengalaman keluarga almarhum di Singapura, menemui kejanggalan berhadapan dengan NTU dan pihak kepolisian. Diantaranya, jasad yang langsung dikremasi, data riset David di NTU langsung diblok perguruan tinggi itu.

Penelitian David bertajuk: Multiview acquisition from multi-camera configuration for person adaptive 3D display” alias 3D reconstruction dari cctv itu bisa jadi merupakan requirement paling penting utk mendukung, “Intelligent video surveillance system.”

Timbul pula dugaan urusan penemuan yang ingin diambil alih sang professor. Tentulah masih sulit menjawab penyebab kematian David. Tugas media untuk terus melakukan verifikasi. Sebagai literary citizen reporter saya mengharap akan ada mahasiswa di dalam NTU yang berkenan menulis kesaksiannya, toh peristiwa terjadi di pagi hari, di saat jam sekolah padat?

Sosok Christovita Wiloto, yang punya perusahaan public relation itu, melalui Facebook menyebarkan video tentang keanehan kematian David dan mendesak berbagai pihak melakukan investigasi. Di komunitas Kaskus di internet diskusi ihwal ini juga hangat, lengkap dengan kesaksian teman dekat David.

Jauh sebelum kematian David, cerita pahit dan kematian TKI di Singapura, juga beberapa pernah terjadi. Beberapa kasus tidak terungkap. Semoga dengan magnitude yang tinggi atas kematian David alias Ming-Ming, kini mengkontroversi, bisa menjadi bandul pengungkap ”kejumawaan” hukum di Singapura, yang saat ini ekonominya dilanda resesi. ***

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com