Bagi turis asal eropa, Bali adalah sebuah pulau tujuan wisata yang khas dan unik. Image Bali di mata mereka adalah image sebuah pulau yang hijau, alam yang asri, budaya yang eksotik, penduduk yang ramah, dan bersahaja.

Bali di mata mereka, tidak seperti Malaysia yang menjual resort wisata artifisial atau Thailand yang tidak bisa melepaskan diri dari citra wisata prostitusi. 

Para pengelola hotel-hotel, resort dan restoran di Bali rata-rata menangkap image seperti ini dengan baik dan merekapun bisa mengaplikasikannya dengan sempurna dalam konsep hotel dan restoran yang mereka mereka, baik dalam hal desain maupun pelayanan. Lalu, seperti biasa saat aku menghilang dari peredaran, itu artinya aku sedang bekerja, menemani para turis yang menjadi klienku melakukan perjalanan wisata.

Kemarin, aku menemani klienku melakukan perjalanan wisata di Bali. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah kawasan Bali Timur, di sana kami mengunjungi Tenganan, sebuah desa Bali Aga, sebutan untuk orang Bali asli yang bukan keturunan imigran dari Jawa yang pindah ke Bali pasca kedatangan islam dan runtuhnya kerajaan Majapahit.  Di Bali Timur, kami menginap di sebuah Hotel yang bernama Hotel Rama Candi Dasa yang memiliki restoran bernama Garpu. Hotel Rama Candi Dasa dan Restoran Garpu-nya yang terletak di desa Candi Dasa, kabupaten Karangasem, Bali.  Kepada para pelanggannya, manajemen hotel ini menawarkan konsep desain dan pelayanan menyatu dengan alam, saling menyapa dengan lingkungan sekitar, serta kental dengan nilai-nilai lokal.  Kamar Hotel dibuat kental dengan nuansa Bali, ranjang didekorasi dengan kelambu yang khas, ruangan kamar dihiasi dengan tanaman hidup serta pemandangan yang langsung menarah ke laut.  Bagian taman, koridor yang menghubungkan kamar-kamar hotel dengan restoran dibuat seperti jembatan kayu di hutan bakau yang di kanan-kirinya ditumbuhi tanaman tropis nan eksotis, mulai dari pisang hias, bunga jepun sampai pandan duri dengan karnya yang menonjol keluar  yang hanya tumbuh di pantai. Pada bagian tertentu, taman ini dipercantik dengan tanaman teratai berbunga merah jambu yang tumbuh di dalam kolam. Restoran dibangun tepat dipinggir pantai, sejajar dengan kolam renang yang dinaungi pohon-pohon nyiur melambai. Saat sedang menikmati sarapan pagi atau makan malam, deburan ombak dan hembusan angin laut langsung dapat kita dengar dan rasakan.

Pada pagi hari sembari menikmati tegukan jus jeruk dan roti dengan selai atau mentega Selandia Baru sebagai sarapan. Tepat di bawah jendela, kita bisa menyaksikan nelayan yang menaikkan perahu jukungnya ke pasir setelah semalaman di laut menangkap ikan. Seluruh dinding restoran dibuat dari kaca transparan, sehingga pulau Tapekong yang luasnya cuma dua hektar (kira-kira seluas pulau Rubiah di Sabang) juga bisa kita lihat di kejauhan, tampak seperti ikan paus yang sedang menyembul di permukaan.  Konsep menyatu dengan alam serta kental dengan nilai-nilai lokal ini juga terlihat jelas dari penampilan para pelayan di restoran ini yang tidak seperti Luna Maya atau VJ Rianti yang cantik berlebihan. Mereka hanyalah gadis-gadis setempat yang berpakaian dan berdandan apa adanya sebagaimana yang mereka pakai dalam keseharian. Wajah mereka bersih dari segala kosmetik dan bibir juga demikian, dibiarkan alami tanpa dipulas gincu yang membuatnya tampak merah menantang.  Semua tampak begitu alami dan sederhana, tapi segala kesederhanaan yang ditawarkan oleh hotel ini justru membuat para pelanggan seperti saya yang menginap disana merasa betah dan nyaman.

Wassalam,
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com