Senin, 24 November 2008  RABU, 19 November 2008 di jam makan siang di food court, kondominium Bellagio, lantai enam, kawasan Mega Kuningan Jakarta. Baru kali itu saya mencoba makan siang di sana. Saya memilih masakan Menado, di salah satu konter. Melihat ikan kembung berkuah bening, bercabe rawit, bertomat hijau, mak nyus, mengundang selera.
Ketika hendak membayar, barulah tahu saya bahwa pembelian menggunakan kartu yang dikeluarkan pengelola, tinggal digesekkan, tidak bisa cash – – yang di setiap konter makanan tersedia – – maka dari sebuah layar monitor kecil, keluar daftar isian. Penjual tinggal meng-klik menu berikut harga. Kendati cuma sebuah food court, tetapi well IT (Information Technology).

Penampilan makanan dibanding pengecapan cita rasa tidak membuat kecewa. Jus yang saya pesan pun, tidak encer, sebagaimana acap saya mengalami memesan jus jambu klutuk di tempat lain: dingin mengilu gigi, es batu dijuskan melimpah ruah.

Sebaliknya, di Bellagio ada sesuatu yang membuat gigi nyeri.

Bukan.

Bukan, karena menahan sakit karena ketulangan ikan kembung.

Melainkan, mata saya tertumbuk ke pemandangan poster Barack Obama yang digantung berjejeran turun ke arah lobby. Lumayan banyak berjuntaian. Di banner itu ada foto obama, siluet biru, macam warna di situs internetnya; mybarackobama.com, ada siluet bendera Amerika Serikat. Bagian ini tidak mengganggu saya.

Tetapi tulisan di bagian bawah itu membuat selain gigi merapat, mata saya pun enggan berkedip.

Suapan nasi pun terhenti.

Bunyi tulisan itu: “Presidenku!” Satu kata dengan tanda pentung.

Di dalam benak mengolah itu visual: foto Obama, bendera AS, bertulisan, presidenku.

Bukankah presiden negeri ini SBY?!

Saya mengira-ngira apakah dalam waktu setelah pengumuman Obama menang dalam pemilihan umum, lalu ada acara merayakan kemenangannya di lokasi itu? Kalau pun ada apa pantas kata Presidenku untuk dituliskan? Lama juga saya belum menemukan jawaban, apa sesungguhnya yang terjadi? Tudingan singkat apa yang dapat ditujukan ke fenomenon itu?

PUKUL 12.30 di depan restoran Hotel Sofyan Betawi, Cut Mutiah, Menteng Jakarta Pusat. Di sebuah meja, duduk Ibrahim Basrah, Ketua Umum Partai Kedaulatan, mengenakan t-shirt, bersahaja.

Hampir semua peserta Seminar dan Testimoni bertopik Krisis Global Pasca Pertemuan G-20 dan SKB 4 Menteri, tampak tak mengenal Ibrahim. Testimoni di forum seminar disampaikan oleh; Gunawan – Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, M. Syafiq Alielha, Persaudaraan Indonesia, Adi R – Serikat buruh Indonesia, M Reza – Serikat Nelayan Indonesia, Dani Setiawan – Koalisi Anti Utang.

Di luar forum di ruang pertemuan, di meja bersama Ibrahim, saya mendapatkan dua buah kata yang saya jadikan judul tulisan ini. “Negeri ini defisit kedaulatan, “ ujar Ibrahim.

Menurut Undang Undang Dasar (UUD) yang telah diamandemen, Pasal 1 ayat 2; Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Di manakah rakyat di tempatkan dalam sepuluh tahun reformasi belakangan? Bagaimana peranan partai, yang secara jelas dominan menjalankan perpolitikan seakan menyandera kepentingan kedaulatan rakyat. “Dan kenyataan fungsi rakyat itu mengalami inflasi pula,” tutur Ibrahim.

Jika saja inflasi itu sebuah angka yang berkorelasi dengan rupiah yang dalam setahun mencakup rata-rata 10%, maka dalam sepuluh tahun reformasi, inflasi kedaulatan itu bisa saja menjadi pari-purna: 100% .

Repotnya nominal rupiah dapat dihitung secara nyata. Begitu juga dengan defisit neraca pembayaran berjalan, bisa dituang ke timbunan ang Tetapi déficit kedaulatan, sulit menghitungnya, cuma menajam dirasakan.

Tentulah tidak dapat dibuat kesimpulan, hanya karena sebuah banner yang menuliskan Obama Presidenku dan dipajang sebuah mal di apartemen, lalu kita mengalami defisit kedaulatan.

Namun di lapangan, sekadar contoh, simak saja karena tidak adanya intermediasi perbankan di dunia pertambangan, kapling-kapling izin usaha pertambangan batubara diperjualbelikan ke asing di rata-rata 5.000 hektar, hanya Rp 25 miliar saja di Kalimantan. Hingga hari ini, kendati duni gonjang-ganjing menghadapi resesi lagi, harga batubara dunia masih tetap prospektif, pemilik dan pengusahanya sebagian besar bukan lagi rakyat Indonesia. Ini contoh lainnya.

Bagaimana kedaulatan berada di tangan rakyat, urusan pasal 33, ayat 3, yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Lah kini untuk minum air kemasan saja, sudah dominan milik asing kok,” ujar pemberi testimoni, di forum yang banyak dihadiri kalangan marjinal dan buruh itu.

Untuk sekadar melengkapi data, selain dunia perbankan sebagian saham perusahaan BUMN sudah berada di tangan asing. Di bawah ini, layak juga disimak catatan angka-angka, yang saya dapatkan dari milis APWKOMITEL, Warnet, tentang penjualan saham BUMN yang dilakukan, di setiap era kepemepimnan setelah reformasi:

A.Masa Kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, Ketua DPR RI/MPR RI Harmoko (21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999 )

1.Penjualan saham PT Semen Gresik Tbk sebanyak 14 % senilai Rp 1.317 miliar.
2.Penjualan 49 % saham PT Pelindo II senilai USD 190 juta..
3.Penjualan 51% saham PT pelindo III senilai USD 157 juta.
4.Penjualan 9,62 % saham PT Telkom senilai Rp 3.188 miliar.

B.Masa Kepemimpinan Presiden Gus Dur, Ketua DPR RI Akbar Tanjung, Ketua MPR RI Dr. Amien Rais (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)

Tidak ada privatisasi.

C.Masa Kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua DPR RI Akbar Tanjung, Ketua MPR RI Dr. Amien Rais (24 Juli 2001 – 19 Oktober 2004)

1.Penjualan 9,2 % saham PT Kimia Farma Tbk senilai Rp 110 miliar.
2.Penjualan 19,8% saham PT Indofarma Tbk senilai Rp 150 miliar.
3.Penjualan 30 % saham PT Sucofindo senilai USD 45,4 juta.
4.Penjualan 11,9 % saham PT Telkom Tbk senilai Rp 3.100 miliar.
5.Penjualan 8,06 % saham PT Indosat Tbk senilai Rp 967 miliar.
6.Penjualan 41,94 % saham PT Indosat Tbk senilai USD 608,4 juta.
7.Penjualan 3,1 % saham PT Telkom senilai Rp 1.100 milyar.
8.Penjualan 15 % saham PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk senilai Rp 156 milyar.
9.Penjualan 41,99 % saham PT WNI senilai Rp 255 miliar.
10.Penjualan 20 % saham PT Bank Mandiri Tbk senilai Rp 2.547 miliar.
11.Penjualan 16,67 % saham PT Indocement TP Tbk senilai Rp 1.167 miliar.
12.Penjualan 30 % saham PT BRI Tbk senilai Rp 2.512 miliar.
13.Penjualan 20 % saham PT PGN Tbk senilai Rp 1.235 milyar.
14.Penjualan 49 % saham PT Pembangunan Perumahan senilai Rp 60,49 miliar.
15.Penjualan 24,5 % saham PT Adhi Karya senilai Rp 56 miliar.
16.Penjualan 10 % saham PT Bank Mandiri senilai RP 2.844 miliar.
17.Penjualan 12,5 % saham PT tambang Batubara Bukit Asam, Tbk senilai Rp 180 miliar.

Ini belum termasuk penjualan dua kapal tanker maksi, yang hingga kini penghentian perkaranya, seakan masih kontro versi di Kejaksana Agung.

D. Masa Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR RI Ir. H.R. Agung Laksono, Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid (20 Oktober 2004 – sekarang)

1. Penjualan 5,31% saham aset PT PGN Tbk senilai Rp 2,088 miliar.
2. Penjualan 15 % saham PT BNI Tbk senilai Rp 4.034 miliar.
3. Penjualan 31,7 % saham PT Wijaya Karya Tbk senilai Rp 775,38 miliar.
4.Penjualan 30 % saham PT Jasa Marga Tbk senilai Rp 3,468 miliar.

MINGGU, 23 November 2008, pukul 9.00, saya sudah berada di arena Pesta Blogger 2008. (Khusus reportase pesta blogger, esok akan saya tuangkan di prestalk.info). Kedutaan Amerika Serikat, sebagai salah satu sponsor acara, memajang booth, dengan pasrtisi apik, sedinding berwarna dasar biru, berlogo AS. Ada meja. Ada buku yang siap diundi, dibagikan gratis; salah satu buku Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach.

Di meja lain, ini yang berkait dengan tulisan berjudul defisit kedaulatan, agaknya; beberapa wanita, orang Indonesia, yang sudah disiapkan, menyebarkan formulir untuk menjadi warga negara AS, mendapatkan green card.

Bagi saya hal demikian tentu sah saja. Namanya juga sudah di alam terbuka. Toh kalaupun mereka tak membuka stand di situ, untuk menjadi calon warga negara AS, setiap orang bisa dapat mengisi formular ke website kedutaan AS di sini.

Namun di ranah alam demokrasi seakan defisit kedaulatan nyata adanya. Plus dari pengalaman kecil di seputar Jakarta mengamati banner Obama, melihat stand kedubes AS menawarkan menjadi warga negara, dan keadaan sektor riil tidak tumbuh, membuat rakyat kebanyakan kian sulit.

Iming-iming pindah warga negara menjadi sebuah tawaran menarik. Saya pribadi, menjadi seakan bermimpi akhirnya, untuk pergi saja ke negeri yang memajukan peradaban.

Tetapi di lubuk hati yang paling dalam, tetap mengatakan, Indonesia tumpah darahku. Mungkin melalui tetap menulis di-blog.presstalk.info ini, yang sangat kecil gapaiannya, setidaknya dapat menyampaikan pesan, ya macam hal di atas.

Saya pun terkejut ketika seorang kawan menceritakan, bahwa Presiden SBY ketika di AS, yang secara khusus meminta bicara dengan Barack Obama melalui telepon hanya untuk lima menit saja, tidak berkenan sang presiden terpilih itu – – sosok yang pernah bersekolah dua tahun di SD Besuki, Menteng, Jakarta Pusat itu.

Saya senang ketika isteri saya tidak pula larut dalam eforia Obama, kendati dia juga alumni SDN Menteng 01, Besuki.

Maka saya pun heran, eforia apakah yang kita gadang-gadang dengan kemenangan Obama?

Saya sepakat dengan kalimat Ibrahim Basrah, sosok seorang ketua umum partai baru yang bersahaja: Defisit Kedaulatan, untuk kita renungkan.

Saatnya, terutama bagi kalangan muda, tidak cuma larut latah pesta kemangan Obama. Anda, kita semua, harus berpikir pada 2009, membuang borok yang telah mendefisitkan kedaulatan. Campakkan itu. Tempelkan Merah Putih di dada Anda.***

Iwan Piliang, blog-presstalk.info