Soal daya tarik ritual keagamaan dan adat, sebenarnya selain Bali setiap daerah di Indonesia juga  memiliki ritual adat dan budaya yang sangat menarik, seperti Bali yang memiliki ritual kelahiran dan kematian, daerah lainpun begitu, Gayo suku saya misalnya.

Seperti Bali yang punya ritual khusus saat pemberian nama Bayi yang
dinamakan upacara 'telu bulanan' ,  kamipun di Gayo memiliki ritual
semacam itu, 'Turun Mani' namanya, seperti di Bali, di kampung
sayapun bayi dipercaya lemah dan rawan terserang roh jahat saat baru
lahir, karena itu sebelum si Bayi dianggap cukup kuat Bayi dilarang
untuk dibawa keluar rumah. Dulu saat saya masih kecil kepercayaan
seperti ini masih hidup di Gayo. Ritual 'turun mani' seperti yang
saya sebutkan sering saya saksikan di kampung saya di Isaq. Bedanya
jika di Bali bayi baru boleh keluar rumah saat sudah berumur 105
hari, maka di tempat saya cukup 7 hari saja.

Seperti ritual 'telu bulanan' di Bali yang sangat menarik buat
disaksikan, ritual 'turun mani' di kampung saya juga menarik. 'Turun
Mani' secara harfiah bisa diartikan turun untuk dimandikan, dan
dulu*, Bayi berumur 7 hari itu dimandikan di sungai.

  *Sebenarnya dibandingkan menggunakan bahasa Melayu, saya lebih suka
menggunakan bahasa asli saya untuk menyebut kata 'dulu', karena makna
kata ini dalam bahasa Gayo lebih detail dan presisi tidak seperti
dalam bahasa Melayu yang kita pakai dalam berkomunikasi ini, dimana
makna kata 'dulu' terlalu luas dan kurang bisa diandalkan untuk
menjelaskan rentang waktu. Dalam bahasa Gayo kata 'dulu' dibagi
tiga :

1. Inia  artinya 'dulu' dalam waktu yang tidak terlalu lama, biasanya
masih dalam tahun yang sama
2. Tengaha atau Tengahna artinya 'dulu' dalam waktu yang agak lama,
beberapa tahun atau puluh tahun yang lalu dan
3. Pudaha atau Pudahna artinya 'dulu' dalam pengertian beberapa
generasi yang lalu.

  'dulu' yang saya maksud dalam tulisan saya di atas adalah Tengaha
atau kadang juga disebut Tengahna, tergantung selera si pengucap.

Karena itu supaya penggambaran saya lebih mudah dipahami detailnya
berdasarkan rentang waktu, selanjutnya dalam tulisan ini dalam
penggunaan terminologi kata 'dulu' saya akan menggunakan istilah
dalam bahasa asli saya*.

Ide 'turun mani' dalam budaya Gayo adalah untuk memperkenalkan
realitas dunia nyata kepada bayi yang baru lahir. Dalam acara
ritual 'turun mani' ada dua hal yang akan diperkenalkan kepada bayi.
Pertama memperkenalkan Bayi pada empat unsur (angin, air, api dan
tanah) dan membiasakan bayi terhadap rasa dingin dan suara bising.

Supaya bisa dibayangkan seperti apa prosesi 'turun mani' di kampung
saya 'tengaha', di bawah ini saya gambarkan prosesi selama
ritual 'turun mani' di kampung saya.

'Tengaha' dan juga 'Pudaha', dalam setiap ritual 'turun mani' di
kampung saya selalu kaum wanitalah yang berperan penting dalam ritual
itu. Biasanya dalam ritual turun mani ada tiga wanita yang berperan
penting dalam prosesi ditambah beberapa orang wanita lain yang
bertugas memainkan alat musik. Perempuan pertama bertugas untuk
melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' biasanya adalah
keluarga dekat yang sudah agak berumur yang juga tinggal di kampung
yang sama dengan si bayi. Wanita kedua bertugas menggendong bayi yang
sedang di 'turun mani'kan (iturun manin dalam bahasa Gayo), membuai
si Bayi dalam gendongannya sepanjang ritual 'turun mani'.  Wanita
ketiga bertugas membawa beras yang nantinya akan diberikan kepada
wanita yang menggendong bayi, sedangkan wanita-wanita lainnya
memainkan alat musik berupa canang yang dipukul bertalu-talu selama
prosesi 'turun mani'.

'Tengaha', orang di kampung saya menganggap perjalanan membawa bayi
dari rumah menuju ke sungai,  berpotensi membahayakan keselamatan si
bayi. Karena alasan rawannya keselamatan si bayi itulah sejak 7 hari
sebelumnya si bayi selalu ditempatkan di dekat ibunya. Tidak jarang
dalam rumah yang memiliki bayi yang baru lahir diletakkan beragam
jimat untuk menolak roh jahat, jimat-jimat itu digantungkan di setiap
penjuru rumah. Sebab itulah perjalanan menuju ke sungai benar-benar
harus dipersiapkan dengan baik, karena dalam perjalan itu bayi masih
rawan diserang roh jahat maka dari itu persiapan untuk membawa bayi
ke sungai harus benar-benar matang.

Ketika akan berangkat, wanita yang bertugas menggendong bayi akan
mengambil sejumput kapas lalu menjepitnya dengan alat pembelah pinang
yang kami sebut 'kelati' lalu membakarnya. Menurut apa yang dipercaya
orang kampung saya pada saat itu, 'kelati' yang terbuat dari besi itu
memberikan unsur logam yang bersifat keras sehingga bisa menahan
gangguan roh jahat. Api yang membakar kapas membuat takut roh jahat
yang ingin mendekat. Lalu canang yang dipukul bertalu-talu akan
menjauhkan roh jahat dari si bayi. Kemudian sepanjang ritual 'turun
mani' banyak sekali dipakai tanaman yang kami sebut 'batang teguh'.
Dalam kebudayaan kami tanaman ini dipercaya sebagai tanaman pertama
yang tumbuh di planet ini. Penggunaan tanaman ini dalam ritual 'turun
mani' dipercaya akan menguatkan si bayi. Karena itulah ketika akan
keluar dari rumah di depan pintu wanita pertama yang akan melakukan
semua prosesi dan wanita kedua yang menggendong bayi sama-sama
menginjakkan kakinya ke atas seikat tanaman batang teguh yang
diletakkan di depan pintu rumah si bayi. Lalu wanita yang menggendong
bayi akan memegang payung untuk melindungi si bayi dari rumah sampai
ke tepi sungai.

Setibanya di sungai, para wanita yang terlibat dalam ritual ini
menghamparkan  tikar berwarna-warni yang terbuat dari sejenis tanaman
rawa yang kami sebut 'kertan' di atas batu. Kemudian wanita pertama
yang bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani'
menaburkan beras empat warna dengan bentuk lingkaran di atas selembar
daun pisang. Di bagian tengah lingkaran diletakkan empat buah dari
apa yang kami sebut 'selensung' yaitu lembaran daun sirih yang
dibentuk menjadi bungkusan kecil berisi buah kemiri dan jeruk nipis.
Daun pisang tersebut kemudian diangkat ke atas kepala si bayi, wanita
pertama kemudian menyebutkan nama roh penunggu sungai lalu memutar
daun pisang berisi beras dan 'selengsung' itu dengan arah berlawanan
jarum jam di atas kepala si bayi dan menghitung dari satu sampai
tujuh. Prosesi ini gunanya untuk menjauhkan si bayi dari segala
penyakit dan nasib buruk yang disebabkan oleh empat unsur yang saya
sebutkan sebelumnya, dalam bahasa gayo empat unsur itu kami
sebut 'anasir opat'.

Nama-nama roh  yang disebutkan wanita pertama yang bertugas untuk
melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' saat melakukan
prosesi ini bisa bermacam-macam, tergantung siapa orangnya yang
melakukan ritual itu. Kadang dalam ritual ini si wanita pertama
menyebutkan nama-nama roh penjaga sungai. Dalam prosesi 'turun mani'
yang lain yang disebut adalah nama empat roh yang mewakili empat
unsur (anasir opat), satu di hulu, satu di hilir dan masing-masing
satu di setiap tepi sungai. Dalam prosesi yang lain yang disebut
dalam prosesi itu adalah nama nabi-nabi yang oleh orang kampung saya
masa itu dipercaya merupakan penguasa unsur-unsur alam, mereka adalah
Nabiolah Nuh penguasa kayu, Nabiolah Yakub penguasa batu, Nabiolah
Yati penguasa air dan Nabiolah Kedemat penguasa tanah.

Kemudian daun pisang berisi beras empat warna dan empat 'selensung'
itu dihanyutkan di sungai sambil mengatakan pada roh penjaga
sungai "Ini anak kami, jangan ganggu dia atau kami akan menjewer
kupingmu".

Setelah prosesi itu selesai barulah sekarang giliran si bayi yang
menjadi sasaran ritual. Si Wanita pertama mula-mula beberapa kali
melumuri tubuh si bayi dengan tepung, lalu juga beberapa kali
menyiramnya dengan air jeruk purut dan kemudian dengan air sungai.
Lalu wanita itu akan membelah buah kelapa di atas kepala si bayi
maksud ritual ini supaya nantinya si bayi tidak takut mendengar suara
petir, lalu membiarkan air kelapa membasahi wajah si bayi, maksud
ritual ini supaya nantinya si bayi nantinya tidak takut pada hujan.
Kemudian si wanita pertama tadi memegang cermin di depan wajah si
bayi, maksudnya untuk menunjukkan kepada si bayi NUR nya sendiri. Di
Gayo pada masa itu (dan sekarangpun diantara beberapa orang tua di
kampung-kampung) kami percaya bahwa manusia itu berasal dari NUR
Allah dan NUR Muhammad. Cermin juga masa itu dipercaya akan
memantulkan empat warna yang membentuk tubuh si bayi. Cermin yang
diletakkan di depan wajah si bayi juga berguna untuk memberi
kesempatan kepada empat unsur (anasir opat) dalam tubuh si bayi untuk
melihat seperti apa rupa makhluk baru ini, supaya keempat unsur itu
tahu bahwa makhluk baru ini adalah manusia dan karenanya harus
dilindungi. 'Pudaha' sebelum ada cermin, dalam prosesi ini bayi
dipegang menghadap ke air sungai supaya dia bisa melihat pantulan
bayangannya.

Acara 'turun mani' ini diakhiri dengan prosesi si wanita pertama yang
bertindak mewakili ibu si bayi memberikan sejumlah beras yang tadinya
dibawa oleh wanita ketiga kepada wanita kedua yang selama
prosesi 'turun mani' menggendong si bayi, beras yang diberikan ini
kadang juga ditambahi dengan gula dan kelapa. Maksud pemberian ini
adalah untuk memisahkan si bayi secara spiritual dari si wanita yang
menggendongnya sepanjang ritual 'turun mani'. Pemberian ini adalah
sebagai kompensasi atas resiko yang ditanggung si wanita penggendong
selama prosesi 'turun mani' dan yang paling penting adalah untuk
memisahkan si bayi dari resiko serangan roh jahat yang bisa jadi
harus dihadapi oleh wanita yang menggendongnya tadi karena telah
melindungi si bayi selama ritual 'turun mani' itu.

Begitulah prosesi 'turun mani' di tempat kami yang terjadi 'TENGAHA',
berbeda dengan di Bali yang prosesi 'telu bulanan' tetap bisa kita
saksikan sekarang bahkan juga sampai nanti. Prosesi 'turun mani'
seperti yang saya ceritakan di atas, sekarang sudah punah dan tidak
dapat lagi kita temui di Tanoh Gayo. Penyebabnya seperti yang saya
sebutkan sebelumnya adalah Agama.

Jika di Bali adat adalah unsur yang dominan dalam relasi antara adat
dan agama sehingga agama Hindu yang diimpor dari India ketika
berhadapan dengan adat Bali, prakteknya dibuat  mengikuti adat Bali
yang sudah lebih dulu eksis. Sebaliknya dengan di Gayo dalam relasi
antara adat dan agama, di daerah kami agamalah yang lebih dominan.
Sehingga di Gayo adat hanya bisa dijalankan sejauh jika adat itu
tidak bertentangan dengan Islam, agama yang kami anut.

'Tengaha' ritual 'turun mani' seperti yang saya gambarkan bisa ada,
karena pada zaman itu transformasi ide-ide agama kepada warga kampung
saya belum begitu mudah seperti sekarang. Saat itu buku masih jadi
barang langka, televisi belum ada, informasi agama yang sampai ke
warga kampung saya pada masa itu banyak bercampur atau
diinterpretasikan oleh warga kampung saya dengan cara pandang
kepercayaan pra Islam yang sebelumnya dianut oleh nenek moyang kami.

Interpretasi Ide Islam berdasarkan cara pandang kepercayaan lama ini
contohnya adalah seperti penyebutan nama-nama nabi penguasa empat
unsur dalam prosesi 'turun mani' seperti yang saya ceritakan tadi.
Ide tentang nabi penguasa empat unsur itu adalah hasil interpretasi
orang Gayo 'Pudaha' atas ide-ide Islam tentang nabi-nabi Allah.
Ketika menerima Ide-ide itu nenek moyang kami, orang Gayo 'Pudaha'
yang alam pikirannya masih belum sepenuhnya lepas dari kepercayaan
lama, lalu 'mengislamkan' ide-ide kepercayaan lama yang mereka anut
dengan mengganti nama roh-roh yang dipercaya menguasai alam dengan
mengganti namanya dengan nama nabi-nabi Islam. Dalam
proses 'pengislaman' ide ini bahkan terkadang nama nabinyapun tidak
kita temui dalam literatur Islam yang asli. Contohnya bisa dilihat
dari nama-nama nabi penguasa empat unsur yang saya sebutkan di atas,
di sana ada nama Nabiolah Yati dan Nabiolah Kedemat yang tidak kita
temui dalam literatur Islam yang berasal dari Timur Tengah.

Sebagai gambaran sulitnya transformasi ide di masa yang saya
ceritakan itu (sekitar akhir 1979 atau awal 1980-an, sebelum saya
masuk SD), Isaq kampung saya yang merupakan ibukota kecamatan Linge,
saat itu masih relatif terisolasi ide yang berkembang di Isaq lebih
banyak ide-ide yang berkembang diantara orang Isaq sendiri. Orang
luar seperti orang-orang Gayo yang tinggal di Takengon* (Ibukota
kabutapen Aceh Tengah) misalnya masih b,anyak yang takut berkunjung
ke kampung kami. Karena di Takengon banyak beredar kabar, yang juga
banyak dipercaya oleh penduduk Takengon masa itu kalau penduduk
kampung saya banyak yang memiliki ilmu gaib.

* Nama Kota Takengon ini sendiri, menurut analisa saya sebenarnya
adalah pengindoseniaan dari nama asli kota ini yaitu TAKINGEN.
Takingen disebut Takengon menurut saya adalah karena mode latah masa
awal kemerdekaan, ketika orang Gayo ramai-ramai meninggalkan adat
Gayo dan menggantinya dengan sesuatu yang dianggap modern dan keren
di masa itu yaitu ide tentang Indonesia. Saat itu banyak nama tempat
di Gayo yang di indonesiakan, Bebesen pernah diganti menjadi BOBASAN
tapi tidak berlanjut, Kebet menjadi KOBAT, Kebayaken menjadi
KEBAYAKAN, Janarata menjadi PONDOK BARU. Salah satu akibat atau bisa
juga disebut korban dari mode latah ini adalah munculnya nama Sukur
KOBAT (Maaf Cik Sukur) dan Abu TAKENGON. Meskipun pengindonesiaan itu
telah dicoba dipas-paskan atau lebih tepat disebut dipaksakan dengan
menciptakan cerita yang tidak jelas asal-usulnya yang menyebutkan
kata TAKENGON itu berasal dari bahasa Gayo yang berbunyi beTA
KuENGON, tapi yang jelas sampai hari ini saya tidak pernah mendengar
ada orang Gayo yang menyebut nama kota ini dengan nama TAKENGON
ketika sedang berbicara dalam bahasa Gayo. Saat berbicara dalam
bahasa Gayo, orang Gayo pasti selalu menyebut nama kota ini TAKINGEN *

Zaman sekarang, ketika transformasi ide sudah demikian mudah, ide-ide
keagamaan (islam) ditransformasikan demikian mudahnya, melalui buku,
koran, radio bahkan televisi. Orang-orang di tanah Gayo semakin
banyak yang menyadari kalau praktek-praktek ritual semacam yang saya
ceritakan tadi banyak mengandung unsur bid'ah, khurafat bahkan
syirik, sehingga praktek seperti itu semakin hari semakin
ditinggalkan.

Saat ini saya yakin sekali kalau sudah tidak ada lagi wanita Gayo di
generasi saya yang mampu melaksanakan prosesi turun mani seperti
yang saya ceritakan di atas.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
http://www.gayocare.blogspot.com