(Dilengkapi Lampiran jawaban YS) Sejarah yang hanya mengungkapkan fakta evenementiel kiranya kurang memadai. Karena itu dibutuhkan pelacakan pola-pola, sistem, strukturserta kecenderungan, dan pelbagai jenis generalisasi, sehingga dapat dipakai sebagai landasan untuk memproyeksikan masa depan.Sartono Kartodirdjo, Sejarawan Indonesia)



Sengaja saya ambil cuplikan basis penelitian sejarah Sartono
Kartodirdjo – yang dimuat dalam kata pengantar Buku Satu (dari tiga
buku) Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombard- dalam
melakukan riset sejarah dimana beliau sendiri menganggap sangat
kurang bermanfaat bila sejarah ditarik dengan cara konvensional.
Begitu juga dengan Dennys Lombard sarjana besar bidang sejarah
Perancis yang berminat pada studi tentang Jawa. Ia menekankan pada
aliran yang dikenal sebagai `aliran Annelies' sebuah mazhab sejarah
yang menekankan pada `kecenderungan' studi jenis ini akan
menghasilkan studi sejarah kritis ketimbang studi sejarah
konvensional apalagi studi dokumen yang cuman beber-beber dokumen
tanpa jelas pelacakannya juga tanpa melihat situasi yang
melingkupinya. Yah, kalau kita berbicara tentang sumber, semua orang
pun berpendapat bahwa proyek sejarah amat tergantung pada
tersedianya sumber itu. Apalagi mencakup kejadian sejarah yang amat
kontroversial dimana puncak dari misteri dari G 30 S itu justru
terjadi pada 1 Oktober 1965, namun tidak berarti kemudian sumber itu
menjadi paling sakral sendiri apalagi sumber keluaran CIA yang juga
perlu dipelajari kritis, apa itu opini atau fakta objektif yang
mengandung makna-makna sejarah.

Tanggal 1 Oktober 1965 dimulai dengan matinya para Jenderal dimana
kematian enam Jenderal itu tidak sesuai rencana penangkapan. Siapa
dan atas dasar apa gerakan itu membunuhi para Jenderal, apa sudah
ada dalam briffing pra G 30 S terhadap pembunuhan para Jenderal?
Kejadian ini merembet sampai pengambilalihan kekuasaan di Angkatan
Darat oleh Suharto dimana perintah Sukarno sendiri sudah diabaikan
oleh Suharto untuk memanggil Mayjen Pranoto dan Mayjen Umar
Wirahadikusumah ke Halim, pada titik inilah kekuasaan Sukarno
sebagai Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata sudah hilang dan
berarti beliau tidak lagi secara esensial menjadi Presiden RI yang
harus mengalami insubordinasi dari perwira tingginya : Mayor
Jenderal Suharto dimana kemudian membawa Sukarno pada situasi yang
tidak dimengerti sampai pada kematiannya tanggal 21 Juni 1970.

Disini kiranya apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965
merupakan titik temu dari seluruh masa lalu Demokrasi Terpimpin dan
seluruh sejarah Orde Baru dimasa depan. Jadi 1 Oktober 1965 adalah
hub/centraal dari masa lalu dan masa depan. Namun ada perbedaan
antara proloog dan epiloog dari 1 Oktober 1965. Proloog sampai saat
ini belum jelas. Satu-satunya yang bisa diambil kesimpulannya
sementara justru adalah dari kata-kata dua orang pelaku sejarah
sendiri : Pertama, Suharto dan kedua Sukarno. Suharto adalah orang
yang paling pertama menyebutkan bahwa aksi penculikan itu dilakukan
oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ucapan ini diakuinya dalam
biografi resmi Suharto "Pikiran, Ucapan dan Tindakan yang disusun
oleh G Dwipayana dan semua buku sejarah yang keluar dari berbagai
macam mainstream. Ucapan ini dikatakan pada pagi hari (Suharto
sendiri mengaku setelah mendengar siaran berita RRI jam 7.00 saat
Letkol Untung membacakan gerakan revolusinya) kepada beberapa
perwiranya di markas Kostrad dengan mengatakan bahwa : "Letkol
Untung sudah lama menjadi binaan PKI" dan Suharto mengatakan juga
bahwa dia sudah lama kenal Untung yang memang anak buahnya sendiri
sejak Suharto menjabat komandan di Solo awal tahun 50-an. Jadi dari
pola-pola, kecenderungan dan sistem yang dihasilkan dari analisa
Suharto pelaku gerakan 30 September 1965 adalah PKI dimana Untung
merupakan bagian dari PKI opini inilah yang kemudian berkembang
menjadi dasar tindakan-tindakan politik berikutnya. Apakah
kesimpulan ini sudah dipersiapkan sejak sebelum terjadinya
kejadiannya atau spontanitas saja ketika mendengar di RRI bahwa
Untung yang melakukan pimpinan Gerakan. Hal ini perlu diselidiki
oleh Sejarawan lebih jauh.

Kedua, adalah kesimpulan dari Sukarno yang memang harus diakui dia
mengalami kebingungan terbesar - (sehingga kecerdikan Sukarno yang
kesohor itu selalu salah tempat pasca G 30 S) - sejak terjadi
pembunuhan para Jenderal yang dilancarkan oleh pelaku Gerakan 30
September. Sukarno sendiri mengatakan itu merupakan gerakan 1
Oktober 1965 (Gestok) namun istilah Gestok tidak populer bagi rezim
Orde Baru karena menjadi saling kelindan antara Gerakan Untung
dengan Gerakan Suharto. Dimana memang dari sisi formal waktu
berlangsung pada hari yang sama arti penting Gerakan Untung terjadi
pada dini hari 1 Oktober 1965 dan dimulainya Gerakan Suharto pada
siang dan sore hari 1 Oktober 1965. Kedua-duanya juga melakukan hal
yang sama yaitu melawan Sukarno. Pertama, Untung tidak memasukkan
nama Sukarno dalam susunan Dewan Revolusi-nya walaupun susunan itu
ngawur dan asal main comot saja tapi jelas nama Sukarno sebagai
Presiden sudah tidak ada lagi. Kedua, adalah Suharto secara sepihak
mengangkat dirinya menjadi Menpangad menggantikan posisi Yani yang
belum jelas nasibnya. Walaupun hal itu memang sering dilakukan
Suharto dalam kondisi normal yang biasanya dipersiapkan secara
prosedural dari pekerjaan sehari-hari dimana Letjen Yani akan
berhalangan namun ketika kejadian Penculikan tersebut adalah situasi
abnormal dimana keputusan Presiden-lah yang menentukan tapi Suharto
berani ambil tindakan untuk masuk ke ruang komando Menpangad dan ini
bisa dikatakan Insubordinasi atau pembangkangan antara Jenderal
Suharto kepada Presidennya. Suharto tanpa memberitahu dulu atau
melapor pada Bung Karno bahwa dia yang akan menjadi Menteri Panglima
Angkatan Darat bukan itu saja. Suharto tidak berusaha mencari
Sukarno tapi malah menelpon semua kepala Angkatan dari matra yang
berbeda (kecuali AU Suharto hanya berhasil menghubungi Wattimena
Wapangau) : Laut, Udara dan Kepolisian yang intinya agar semua matra
Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan pasukan tanpa sepengetahuan
dirinya. Dititik ini juga berarti Suharto secara esensial sudah
berada pada titik tertinggi kekuatan Angkatan Bersenjata dan berarti
memiliki posisi diatas Sukarno. Apalagi setelah ajudan-ajudan Bung
Karno datang ke Kostrad untuk mencari Pandam V/Jaya Mayjen Umar
Wirahadikusumah yang dipanggil Bung Karno dan Suharto melarangnya.
Semua yang berhubungan dengan Angkatan Darat harus melalui dirinya.
Insubordinasi Suharto ini menjadi pelengkap pada pidato Sukarno yang
diarahkan pada nomor tiga dari tiga pokok analisisnya : `Memang
Adanya Oknum-Oknum Yang Tidak Benar' pada peristiwa yang
dibahasakannya sebagai Gestok pada Sidang MPRS 10 Januari 1967 dalam
pidato pelengkap Nawaksara adalah sebagai berikut :

1. Keblingernya Pemimpin PKI
2. Kelihaian Subversi Nekolim
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar

Tiga pokok analisa Bung Karno inilah yang kemudian mau tidak mau
menjadi pusat studi sejarawan dalam meneliti kasus G 30 S mulai dari
aliran buku putih sampai aliran yang bikin heboh seperti :Cornell
Paper ataupun Pledoi Latif tahun 1978. Jadi antara analisa Suharto
dan analisa Bung Karno yang dipisahkan dalam waktu hampir dua tahun
menyisakan gap yang panjang. Sukarno lebih jelas mengambil
kesimpulannya –bahkan sampai detik ini paling lengkap untuk
dijadikan landasan berpikir kenapa G 30 S bisa terjadi – Tiga pokok
pemikiran Nawaksara itu merupakan titik pertemuan dari semua
kepentingan yang kemudian menghasilkan Gerakan 30 September 1965.
Bila mengambil analisa singkat tulisan YS di Kompas (sesungguhnya
tulisan itu terlalu singkat tapi bagi saya sendiri jelas arahnya)
bisa dilihat bahwa YS mengambil jalur nomor dua dari tiga pokok
analisa Bung Karno : Kelihaian Subversi Nekolim, walaupun mungkin
ini akan dibantah YS yang begitu kagum dengan data CIA tapi bila
dilihat dari penekanan konfrontasi Indonesia-Malaysia yang
meletakkan PKI sebagai variabel terpenting dalam kekuatan Bung Karno
baik politik sipil maupun militer maka tidak bisa dihindarkan dari
kemampuan CIA dan tentunya agen Inggris untuk mempermainkan Sukarno-
PKI, juga agen-agen dari negara lain yang juga disebut Ikranegara
seperti keterlibatan Jenderal Agayant yang kemudian malah melahirkan
dokumen Gilchrist. Kasus Jenderal Agayant yang menurut Bung
Ikranegara orang Ceko, tapi juga ada yang bilang dia orang Armenia
berpostur tinggi langsing dan berwajah aristokrat mengenai
kewarganegaraannya sangatlah lazim seorang intel membawa banyak
dokumen kewarganegaraan. Dokumen Gilchrist adalah dokumen yang
dianggap paling bertanggung jawab terhadap munculnya opini Dewan
Djenderal. Walaupun secara mutu dokumen ini diragukan merupakan
sebuah hasil kesimpulan objektif intelijen yang mengungkap dengan
kata-kata terkenalnya : Our Local Friends Army" Dokumen Gilchrist
ini polanya sama dengan Dokumen Ramadi yang heboh sembilan tahun
kemudian mengawali penangkapan besar-besaran mahasiswa dan
intelektual oleh junta militer Orde Baru dalam kasus Malari 1974.

Yang juga perlu diperhatikan dari tiga prinsip Sukarno adalah
pertanyaan setelah mengungkap tiga prinsip itu "Kenapa hanya saya
dimintai tanggung jawab atas kejadian Gestok itu? Bukankah Menko
Hankam juga bertanggung jawab? Dari pertanyaan ini bisa dilanjutkan
lagi, lalu Suharto bisa dimintai tanggung jawab karena melalui
radiogram Pangkostrad no. 220 dan no.239 tanggal 21 September 1965
menginstruksikan agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya
dipersiapkan dalam rangka HUT ABRI yang jatuh pada tanggal 5 Oktober
1965 dan pasukan ini digunakan sebagai kekuatan penculikan. Mana
tanggung jawab Suharto untuk mengendalikan pasukan ini di Jakarta?

Juga banyak disebut pada buku-buku sejarah terutama aliran yang
mengambil teori yang berlawanan dengan Sejarawan CIA seperti :
kubu Wertheim,Ben Anderson dan Ruth Mc Vey dengan sudut pandang
aliran CIA dimana Antonie CA Dake jadi dedengkotnya (belakangan
muncul nama Helen-Louise Simpson Hunter yang juga pegawai CIA
kemudian menulis sejarah G 30 S dengan bukunya : Sukarno and The
Indonesian Coup : The Untold Story). Peter Dale Scott juga banyak
mengutip dokumen CIA yang dideklasifikasi sekitar tahun 1982. Saya
rasa kehadiran tesis YS yang berbau dokumen CIA nanti sama saja
dengan ACA Dake atau Hunter tidak ada yang baru dalam menambah
perbendaharaan untuk menemukan kesimpulan kecuali melahirkan banyak
pertanyaan baru terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada G 30 S
atau dengan istilah Ikranegara : "Silahkan bertengkar sampai Tua!"

Untuk kasus konfrontasi Malaysia-Indonesia dalam kaitannya dengan
agresi Malaysia ke Kalimantan Utara YS terkesan menganggap
dirinyalah yang menjadi pendobrak untuk berharap melahirkan teori
baru bahwa konflik Malaysia-Indonesia merupakan titik singgung dan
korelasi terpenting dalam G 30 S dan digunakannya kekuatan PKI oleh
Sukarno sebagai bagian dari kepentingan politik itu. Tapi sayangnya
korelasi G 30 S dengan konfrontasi Malaysia lewat sensitivitasnya
paling dalam sudah diungkap lengkap oleh Manaii Sophiaan dalam
bukunya `kehormatan bagi yang berhak' juga buku-buku lainnya
seperti :

1. De Stille Genocide. De fatalle gebeurtenissen rond de val
Indonesische President Sukarno yang disusun oleh Lambert Gibbels,
diterbitkan oleh Uitgeverijs Prometheus tahun 2005 dan diterjemahkan
oleh PT Grasindo dengan judul Pembantaian Yang Ditutup-tutupi :
Peristiwa Fatal Kejatuhan Bung Karno, yang juga dirilis tahun 2005.

2. ANATOMY of the Jakarta Coup : October 1, 1965 : The
collution with the China which the destroyed the Army Command,
President Sukarno and The Communist Party of Indonesia karya Victor
M.Fic, diterbitkan oleh Abhinav Publications, 2004.

3. Buku lama `Deception Game' yang ditulis oleh eks Agen KGB
Ladislav Bittmann kepala Departemen VII Dinas Inteligent
Cekoslowakia yang kemudian disadur oleh Oejeng Soewargana dalam
judul `Permainan Curang' dan diterbitkan oleh Tjandramerta, Jakarta
1973. Yang kemudian memunculkan nama Mayor Louda yang
mendiskreditkan Bill Palmers dan berakibat diusirnya program `Peace
Corps' dari Indonesia. Juga banyak mengungkap kasus konfrontasi
Malaysia. Buku ini banyak mengungkap dari sisi KGB namun juga jangan
dilupakan bias CIA dalam membaca buku ini.

4. Ruth Mc Vey. `Korespondensi pribadi dengan George Kahin,
Benedict Anderson dan Frederick Bunnel.

5. In the Spirit of the Red Banteng : Indonesian Communist and
Between Moscow and Peking, Aksara Karunia, Jakarta Edisi kedua, 2002.

6. Recollections of an Indonesian Diplomat in The Sukarno Era,
University of Queensland Press, St. Lucia, Queensland, Australia
1977.

7. Indonesia's Hidden History of 1965 : When the Archives be
the Declassified" yang termaktub dalam : Kabar Seberang Sulating
Maphilindo,1995.

8. Communism Under Sukarno, karya Rex Mortimer terbitan Cornell
University Press, Ithaca and London, 1974.

9. Menyingkap Dua Hari Tergelap, karya : James F Luhulima,
Penerbit Buku Kompas, September 2006. Dalam buku juga diungkap
hubungan Ali Murtopo dengan kontak-kontak di Malaysia dan penyamaran
Benny Moerdani sebagai karyawan Garuda Airways.

10. A Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup In
Indonesia, Ithaca, NY, Cornell University Press, 1971. karya Ben
Anderson dan Ruth Mc Vey.

11. Peter Dale Scott, CIA dan Penggulingan Sukarno, Lembaga
Analisis Informasi, Jakarta.

12. Harold Crouch Militer dan Politik di Indonesia, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta 1986.

13. Soebandrio, Kesaksianku Tentang G 30 S, Forum Pendukung
Reformasi Total, Jakarta, 2001

14. M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1998.

15. What Happened in Indonesia? Letter to the Editors, The New
York Times, June i1 1978.

Tulisan-tulisan diatas menyinggung korelasi Konfrontasi Malaysia
dengan G 30 S dan menjadikan konfrontasi dengan Malaysia sebagai
interior penting yang disana terletak koridor menuju gerakan G 30 S.
Juga sedikit menyinggung Malaysia dicatat tentang buku Oei Tjoe
Tat : `Pembantu Presiden Sukarno' walaupun tidak secara tegas
menyinggung Malaysia namun bisa menggambarkan kondisi yang terjadi
pada G 30 S bersama buku Soebandrio "Kesaksianku tentang G 30 S.
Penting juga diperhatikan dokumen-dokumen CIA yang dibahas oleh
Gabriel Kolko yang membahas Dokumen-Dokumen States Department dan
CIA mengenai debat peranan Amerika Serikat di Indonesia pada tahun
1965, pada tanggal 13 Agustus 1990 dengan mengutip Lyndon B Johnson
Library. Juga perlu diperhatikan laporan dari New Yorks Review Books
1978 yang mengungkap perkataan cendikiawan Inggris Neville Haxwell
yang menemukan sepucuk surat dari seorang duta besar Pakistan yang
ditujukan pada Menteri Luar Negeri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto yang
melaporkan seorang pejabat Belanda di NATO yang mengatakan bahwa
Indonesia akan jatuh ke tangan barat seperti apel busuk. Tapi dari
semua buku yang mementingkan korelasi antara konflik Malaysia dan
Indonesia adalah buku : Kehormatan Bagi Yang Berhak : Bung Karno
Tidak Terlibat G 30 S/PKI, Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa,
1994. Ini buku bagus yang mengungkap jejak sejarah dari aliran nomor
dua analisa Bung Karno : Kelihaian agen-agen Nekolim. Sukarno
sendiri mengatakan dalam sebuah pidatonya (-walaupun YS mungkin
enggan membaca orasi Bung Karno yang dianggapnya tidak ilmiah dan
dikonsumsi untuk umum namun saya berpendapat apa yang diucapkan
seorang Sukarno yang punya watak terbuka harus diperhatikan)- "Saat
ini semua orang lupa dengan Malaysia semua bicara Gestapu...Gestapu!"

Bila kemudian YS akan mengeluarkan tesis berdasarkan hubungan antara
Konfrontasi Malaysia-Indonesia dengan PKI sebagai variabel
terpenting dimana kemudian berujung pada meledaknya G 30 S. Selain
juga akan mengungkap masalah Poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking
bila dilandasi pada laporan CIA kemungkinan besar ya hanya akan
membangun tembok loncatan baru lagi bahwa CIA tidak tahu menahu atas
kejadian G 30 S dan tidak ikut campur terhadap pembantaian orang-
orang Indonesia akibat tuduhan PKI itu yang selalu didengungkan oleh
sejarawan berbasis CIA.

Sejarawan-Sejarawan yang bias terhadap Sukarno dan cenderung
menghakimi PKI juga mementingkan peran Suharto dan CIA selalu
menggunakan ukuran-ukuran :

1. Meremehkan kemampuan Sukarno dan Kekuatan Militer Indonesia
bahkan menjadi separuh ketawaan.

2. Menggambarkan seolah-olah Sukarno stress dengan tidak
dianggapnya dia dalam percaturan politik Internasional.

3. Menempatkan Sukarno sebagai orang paling opportunis dalam
melakukan taktik politiknya.

4. Mengkarakterkan Sukarno sebagai bagian dari pembunuhan
Jenderal-Jenderal ;bahkan di buku ACA Dake Sukarno digambarkan
sengaja menyuruh seorang perwira Tjakrabirawa mencari AH Nasution
dan memerintahkan perwira itu membunuh AH Nasution yang lolos pada
malam penyerbuan.



5. CIA sama sekali kaget dengan kemunculan Suharto. Sehingga
memunculkan pertanyaan bego "Siapa Suharto?" apakah tidak diselidiki
link antara Suwarto dan Suharto di jaman mereka menjadi guru dan
murid di Seskoad Bandung?

6. Menganggap Kedubes Amerika Serikat kekurangan informasi pada
G 30 S.

7. Diplomat Amerika merasa tidak mengenal Suharto. Suharto
seakan-akan dijadikan orang out of the blue sky dalam G 30 S atau
seperti pepatah bahasa Belanda : "Monyet Jelek Yang Muncul Tiba-
Tiba". Tidak dikaji lebih serius hubungan Suharto-Syam-Untung-Latif-
Supardjo dan pasukan yang didatangkan dari Diponegoro dimana
kekuatannya digunakan sebagai pasukan penculik para Jenderal.

8. Adanya unsur-unsur opini Subyektif dokumen-dokumen CIA yang
sering menempatkan negara objek penderita sebagai biang ketololan.

9. Menganggap remeh adanya unsur kekuatan lain di balik
kekuatan pro Amerika yaitu : Kekuatan Blok Kiri yang dimana Sukarno
mendekat.


Tapi dari semua yang terjadi adalah pengabaian penyelidikan
Sejarawan aliran CIA tentang hubungan dekat : Suharto-Untung-Syam-
Latif-Supardjo dan Suharto-Ali-Yoga dimana Suharto mengerti sekali
dua himpunan ini. Tapi saya yakin ahli-ahli pemuja CIA dan pendukung
liberalisme yang bias terhadap Nasionalisme Sukarno serta bias
terhadap PKI mati-matian akan enggan melihat korelasi Suharto-Untung-
Syam-Latif-Supardjo dan Suharto-Ali-Yoga. Padahal dari semua titik
misteri adalah orang yang bernama Syam Kamaruzaman. Selama Syam
tidak dijadikan objek paling penting dalam meneliti hubungan-
hubungan yang terjadi maka selama itu pula pintu G 30 S masih sangat
sempit untuk dilewati dan membongkar apa dan mengapa peristiwa itu
terjadi.

Tidak ada bahasan khusus yang murni ilmiah tentang faktor Syam
Kamaruzaman. Yang muncul adalah tulisan populer seperti yang pernah
termuat di tabloid Detak sekitar tahun 1999. Dan tulisan lama dari
AM Hanafi yang menceritakan apa dan siapa Syam serta pengakuan
Hanafi untuk menjauhkan Syam dari DN Aidit. Tulisan AM Hanafi
tentang Syam cukup lengkap kronologisnya dimana Syam sebagai agen
ganda bisa masuk kemana-mana. Syam ini bekas anak buah komisaris
polisi Mudigdo yang tewas dalam peristiwa Madiun, kemudian disebut-
sebut pernah menolong Aidit saat razia Agustus 1951 yang
diperintahkan PM Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi untuk masuk ke
SBKA di Priok lalu menyamar dan kemudian kembali lagi ke publik
setelah Bung Karno menjamin keselamatan anggota PKI yang ditangkap
akibat sindrom Joseph MacCarthy. Antara tahun-tahun 1950-1960 perlu
dikaji bagaimana hubungan Aidit dengan Syam. Lalu dari sisi Suharto,
Syam bukan orang asing ia sama-sama kenal di Pathok sebagai bagian
dari kaderisasi pemuda Sosialis dimana Suharto datang sebagai
serdadu muda yang punya pengalaman pendidikan dan pamornya naik
karena berhasil merebut gudang senjata milik Jepang di Kotabaru
tahun 1946. Tidak tertutup kemungkinan ada hubungan antara Syam dan
Suharto antara tahun 1950-1965. Sementara semua orang tahu bahwa
Latif adalah anak buah Suharto sejak jaman perang kemerdekaan dan
pernah diselamatkan Suharto dari aksi pembersihan Madiun oleh Gatot
Subroto. Latif sendiri jadi salah satu komandan batalyon Suharto
yang berjibaku pada pertempuran 1 Maret 1949 dengan peristiwa
Suharto makan soto babat yang terkenalnya itu ditengah anak buahnya
bertempur. Ini bukan rumor coba dibaca pada buku Pledoi : Pengakuan
Kol. Latif Suharto terlibat dalam G 30 S. Untung sendiri anak buah
kesayangan Suharto sejak jaman Panembahan Senopati pada tahun 1950-
an awal. Mayor Untung adalah penerima Bintang Sakti bersama LB
Moerdani pada perebutan Irian Barat. Dan Suharto sempat marah-marah
karena Untung diambil oleh Istana untuk menjadi perwira
Tjakrabirawa. Adakah hubungan Untung-Suharto selama tahun-tahun 1960-
1965 selain kunjungan Suharto ke perkawinan Untung di Kebumen?.

Tidak pernah ada diskusi terbesar dan mencekam dari ingatan sejarah
pada kasus G 30 S dijaman Orde Baru kecuali pada tahun 1978 dimana
orang sudah mulai pelan-pelan berani bertanya secara kritis tentang
kejadian G 30 S sesungguhnya dan ada pledoi dari pengadilan Kol.
Latif yang berintikan pertemuannya dua kali dengan Suharto untuk
melaporkan gerakan yang dipimpinnya. Ini kemudian menimbulkan
pertanyaan di kalangan masyarakat luas dan kaum intelektual bahkan
pada tanggal 21 Januari 1978 beberapa surat kabar dilarang terbit
oleh Kopkamtib dengan mempertimbangkan keamanan koran yang dibredel
itu adalah : Sinar Harapan, Pelita, Merdeka, Indonesian Times dan
Kompas. Ketakutan Orde Baru terhadap eksepsi Latif ini menunjukkan
memang ada yang ditutupi pada proloog G 30 S.

Namun fokus pretext telikungan (meminjam istilah Ikranegara)
penculikan pada berlangsungnya kejadian tidak dipilih YS sebagai
bahan tesisnya padahal disitulah puncak misterinya kalau kita
memeriksa jauh kebelakang yang ada kita akan terjebak `pada
peristiwa apa' bukan `peristiwa kenapa' atau terjebak ke dalam
silang sengketa yang susah melihat keluar kejadian G 30 S, kenapa
kita tidak mendalami itu. Sesungguhnya James Luhulima dalam
bukunya `Menyingkap Dua Hari Tergelap' sudah sangat cantik dalam
fokus amatan, tapi dia tidak mau masuk ke dalam senyawa peristiwa
itu saya maklumi karena tulisannya bersifat jurnalistik. Padahal
yang terbaik adalah memfokuskan tokoh-tokohnya membuat rantai relasi
di antara tokoh-tokohnya yang kemudian bertemu pada satu titik
yaitu : peristiwa G 30 S bila ini dilakukan kita akan menemukan
missing link dimana-mana termasuk bungkemnya Suharto sampai detik
ini terhadap peristiwa yang paling diketahuinya. Dari semua tokoh
dialah yang paling mengetahui semua peristiwa bukan karena kita
berspekulasi dia yang merancang peristiwa itu tapi karena dia yang
membangun kekuasaan sehingga dia mengerti akses informasi yang pasti
mengalir pada dirinya sehingga ia bisa memegang kendali. Pemenang
pertarungan adalah dia yang memegang informasi lebih banyak. Begitu
kata orang.

YS lebih memilih konflik Malaysia-Indonesia sebagai faktor penggerak
G 30 S yang ujung-ujungnya bisa saya pastikan hanya menambah deretan
pertanyaan yang lebih banyak lagi tentang G 30 S. Karena faktor
konflik Indonesia-Malaysia adalah bagian dari apa yang terlihat
bukan apa yang terjadi. Konflik Indonesia –Malaysia memang bisa
menjadi salah satu alasan terpenting (bagi penganut teori CIA dan
Inggris sebagai konspirator utama). Bagi saya pribadi puncak misteri
dari kejadian G 30 S tersebut adalah masuknya unsur
spontanitas/improvisasi dalam rangkaian gerakan-gerakan Pasukan
Untung yang semakin jam semakin mendekati kekonyolan hingga gerakan
itu sama sekali perbuatan sia-sia dan merupakan gerakan paling
konyol namun tragis bahkan bila dibandingkan dengan rencana serbuan
Westerling ke Jakarta tahun 50-an atau konflik 17 Oktober 1952
dimana sempat ada pertikaian antar perwira namun berhenti di bawah
kaki Sukarno Gerakan Untung-lah yang paling konyol.

Kejadian G 30 S bukan hanya tidak berhenti dibawah kaki Sukarno tapi
malah menjerembabkan Sukarno dalam lembah kehinaan ia juga sering
dianggap tokoh Gestapu, Bapaknya Gestapu. Banyak aliran yang
menuduhkan Sukarno tahu menahu dalam peristiwa penculikan para
Jenderal di malam naas termasuk tudingan Antonie C.A Dake yang
menganggap Sukarno sebagai biang masalah. Bahkan tudingan Dake itu
sendiri mengatakan bahwa Sukarno dengan liciknya berpura-pura
mengundang Ahmad Yani makan pagi 1 Oktober 1965 sebagai gurauan yang
tak lucu, karena Sukarno tahu pagi 1 Oktober 1965 Yani sudah
dipastikan tewas. Atas dasar perintah siapa dan bagaimana lahirnya
kronologi perintah Jenderal-Jenderal itu kemudian ditembaki sampai
mati. Bagi saya inilah puncak pengungkapan itu untuk membuka bagian
terbesar pintu baja G 30 S. Tapi YS memilih konflik Malaysia-
Indonesia dimana Sukarno nyetir PKI dan berusaha dengan oportunis
memanfaatkan PKI dataran penelitian ini masih sangat luas dan tidak
menyempit ke arah pengungkapan kejadian. Bagi saya faktor PKI hanya
sebagian kecil dari rangkaian gerak kerja-kerja misterius yang
kemudian tersusun menjadi bentuk penculikan G 30 S dan pembantaian
para Jenderal. Bagi sejarawan aliran CIA faktor lolosnya AH
Nasution dianggap sebagai faktor utama kegagalan G 30 S dan
kebingungan Sukarno sehingga dia menjadi panik. Dimana ujungnya
adalah jatuhnya Sukarno. Walaupun peran PKI memang tidak kecil dari
ruang sejarah tetapi yang menjadi pelajaran sejarah adalah PKI
sendiri mengabaikan politik khas Jawa yaitu memusatkan :
Keseimbangan. Politik PKI pada waktu itu adalah Politik ganyang
sana, ganyang sini sesuai dengan idealisme-nya namun yang terjadi
adalah meluaskan daratan konflik serta membuka peluang gerakan-
gerakan asing untuk memancing kelompok yang tidak menyukai PKI dan
Bung Karno sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab
melindungi PKI. Menurut bahasa Sudisman dan Rewang
terjebak `subyektivisme' yang kemudian di lakukan tindakan separuh
sia-sia yaitu pemikiran : Krotik dan Otokritik terhadap keterlibatan
pemimpin-pemimpinnya terhadap Gerakan 30 September.

Untuk tulisan lengkapnya saya akan mencoba memulai dengan menjawab
tanggapan YS terhadap tulisan saya : Yohannes Sulaiman, Ikranegara
dan Dialektika Sukarno. Begini tanggapan saya terhadap tulisan Bung
YS :

Sungguh menarik jawaban dari bung Yohanes Sulaiman (YS) ya memang
saya akui saya menjelaskannya dengan panjang lebar atau istilah bung
YS meluber kemana-mana, tapi sebagai ahli sejarah profesional
tentunya anda tidak bisa berkeluh kesah seperti ini. Tugas seorang
sejarawan adalah merangkai semua pendapat yang bernilai sejarah
berdasarkan basis yang ingin ditelitinya, kalau tidak bernilai
sejarah ya jangan dimasukkan. Saya pribadi ingin sekali lahir di
Indonesia sejarawan generasi baru yang memang di didik dalam lingkup
akademis sejarah yang kemudian tidak ikut-ikutan terjebak dalam arus
besar tekanan politik Orde Baru dengan cap ini itu. Selain itu
seorang sejarawan harus jujur bahwa dia bekerja hanya untuk
mengungkap kebenaran, bukan hasil yang didapat malah
mendiskreditkan kelompok atau demi kepentingan `siapa yang bayar'
(Insya Allah semoga YS terjauh dari sikap yang demikian). Seorang
sejarawan harus bekerja mengungkap fakta kemudian mengambil
kesimpulan-kesimpulan yang tidak hanya berhenti pada fakta tapi dia
harus bisa menyingkap lebih jauh lagi ke dalam interdisiplin ilmu
kalau hanya menghapal dokumen yang sudah ada katakanlah ditangannya
tanpa melakukan penafsiran berdasarkan ruang-ruang disiplin ilmu
bisa dikhawatirkan akan terjebak pada stigma yang tidak perlu.
Cukuplah Orde Baru yang senang ngibulin sejarah, generasi muda
sekarang harus lebih berani lagi terus menerus bertanya tentang apa
yang terjadi di masa lalu tanpa jebakan stigma ini itu. Untuk
kemudian belajar agar jangan masa lampau terulang lagi hal yang
menyakitkan. Dari sejarahlah kita menengok lalu berpikir untuk apa
kita melangkah ke masa depan.

Saya catat ada beberapa poin dari silang sengketa disini :

Tanggapan YS kepada Ikranegara :

1. Massa PKI sebagai senjata utama Bung Karno menghadapi
Malaysia dan ketakutan BK terhadap besarnya PKI (Sukarno dan PKI)
2. Otoriterian Bung Karno dalam Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia terutama Angkatan Darat.
3. Pribadi Bung Karno yang penuh gelombang
4. Kelihaian Sukarno

Tanggapan YS kepada Anton :
1. Wibawa dokumen CIA
2. Bukti Sejarawan Menghubungkan Korelasi antara Pertikaian
Malaysia terhadap implikasi G 30 S. Dengan kata lain sensitivitas
rangkaian peristiwanya.
3. Penempatan pasukan TNI di Kalimantan Utara
4. Tertawaan Dialektika historis terhadap penggunaan analisa
sejarah.


Pertama-tama sebagai sejarawan anda masih menggunakan kata resmi
Orde Baru yaitu : G 30 S/PKI. Dan ini mengherankan karena bagi
banyak sejarawan senior Indonesia kasus G 30 S terutama bagian
proloog belum selesai perdebatannya. Walaupun di tataran pengajaran
formal sekolah dengan tekanan politik yang masih paranoid terus
mencantumkan sebutan : PKI di belakang G 30 S dan pakai acara bakar-
bakar buku sejarah bahkan dihadiri pejabat resmi (Sebuah sikap a-
intelektual yang sangat disayangkan). Padahal keterlibatan PKI
sebagai institusi diluar biro chusus jalur Aidit-Syam masih sangat
disangsikan. Keterlibatan atau katakanlah informasi adanya gerakan G
30 S bagi barisan pimpinan PKI hanya terbatas pada pimpinan puncak
yaitu : DN Aidit, Sudisman, Nyoto dan beberapa anggota yang
dilibatkan dalam biro chusus, tapi harus dibuktikan lagi sejauh mana
biro chusus ini terlibat dalam rencana penculikan dan pasti ada
tingkatan-tingkatan informasi, sesuai dengan struktur hirarkis,
tingkat pengetahuan informasi DN Aidit tentu berbeda dengan
Sudisman, atau Nyoto. Namun keberadaan DN Aidit di Halim bisa
diarahkan bahwa dia memang mengerti atau setidak-tidaknya tahu akan
ada gerakan penculikan. Nilai informasi ini sama saja dengan yang
diketahui Suharto pada dua hari sebelum penculikan ketika Kol.
Latief menyambangi rumah Suharto bersama istrinya (ini menunjukkan
hubungan Latif-Suharto sebagai kolega dekat). Saat diberitahu Latif
akan ada penangkapan-penangkapan terhadap beberapa orang Jenderal,
Pak Harto bilang ia sudah diberi informasi itu oleh orang yang
bernama Subagyo. Pertemuan kekeluargaan itu terjadi pada tanggal 28
September 1965. Lalu pertemuan kedua terjadi di rumah sakit saat itu
Tommy Suharto tersiram sup panas. Ada dua versi disini, pertama
Suharto dalam wawancara dengan Der Spiegel tahun 1970 mengaku
melihat dari dekat Kol. Latif mondar mandir. Kedua pada buku
otobiografinya yang disusun Dwipayana 1988 ia mengaku melihat dari
jauh kol. Latif dan diakuinya bahwa kol. Itu berniat membunuhnya.
Tapi Kol. Latif dalam pledoinya tahun 1978 Kol. Abdul Latif mengaku,
pada malam 30 September 1965 ia menemui Mayjen Suharto yang sedang
menunggui anaknya yang sedang dirawat karena tersiram sup panas.
Latif dalam pledoi-nya mengatakan bahwa pada malam itu ia memberi
tahu bahwa ia dan kawan-kawannya akan mengambil paksa Jenderal-
Jenderal. Suharto kata Latif hanya mengangguk-angguk. Karena diburu
waktu Latif menganggap Suharto sudah mengerti dan Suharto menyatakan
setuju. Informasi ini merupakan paralel dari ketahuan DN Aidit
dengan Suharto. Tapi ada lagi kisah yang juga perlu diselidiki
tentang DN Aidit yang sempat bertanya "Saya akan dibawa kemana?"
saat beberapa orang menjemput DN Aidit untuk ditempatkan di Halim
Perdanakusuma. Tapi melihat proses Biro Chusus dan keterlibatan Syam
Kamaruzaman sungguh sulit untuk melepaskan keterpisahan DN Aidit
dari gerakan Untung. Tapi yang menjadi pertanyaan
besarnya : "Siapakan yang menyuruh membunuhi para Jenderal?" apa itu
sudah merupakan bagian dari operasi atau improvisasi ditengah
gerakan yang kacau? Kelompok sejarawan yang berpihak pada adanya
konspirasi dan intrik internal Angkatan Darat memusatkan perhatian
pada kenapa :

1. Kenapa gerakan ini kacau?

2. Apa sengaja gerakan ini dirancang untuk gagal?

3. Siapa pemegang penuh komandonya DN Aidit, Untung, Syam atau
Soepardjo?

4. Kenapa tidak dirancang operasi Plane B bila rencana utama
gagal?

5. Apa tujuan gerakan ini? Kalau ingin dihadapkan ke Bung Karno
kenapa dibawa ke sebuah desa di dekat Halim? Bukan ke Istana?

6. Kenapa Lubang Buaya yang menjadi lokasi?

7. Kenapa para komandan pasukan benar-benar meremehkan pasukan
Kostrad yang ada di Merdeka Barat? Kenapa yang datang untuk
mendukung gerakan sedikit? Kenapa pasukan RPKAD yang ada di
Tjidjantung ternyata belum berangkat ke front terdepan di Malaysia,
karena direncanakan mereka berangkat? Kenapa ini tidak dicek oleh
Supardjo yang juga Wakil Kolaga Malaysia? Kenapa bisa seceroboh itu?

8. Kenapa Dewan Revolusi berani menantang secara terbuka Bung
Karno pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965? Dengan tidak memasukkan
nama Sukarno sebagai Presiden dalam susunan Dewan Revolusi.


Juga ada keanehan lain bila PKI siap dalam pemberontakan itu kenapa
tidak ada kesiapan militer untuk mempertahankan wilayah atau setidak-
tidaknya melakukan perlawanan terhadap kelompok yang ingin
melibasnya tapi malah seakan-akan menyerahkan lehernya untuk dibunuh.

Pembantaian-pembantaian 1965-1966 sungguh mengerikan dan menjadi
ingatan alam bawah sadar manusia Indonesia untuk menutup dalam-dalam
dibawah kenangan kolektifnya. Apalagi setelah Orde Baru berkuasa
situasi histeris ditambah propaganda yang mengerikan menjadi tekanan
psikis bagi orang Indonesia sehingga mereka bergidik bila
membayangkan PKI apa CIA atau AS tidak terlibat dalam aksi
propaganda ini. Rasanya aneh bila tidak terlibat di buku ACA Dake
dedengkot peneliti pro CIA sendiri menyebutkan pada bukunya (Sukarno
Files hal. 356) :

Sebarkan kisah-kisah mengenai kesalahan PKI, sifat pengkhianatannya
dan brutalnya (usaha prioritas ini mungkin merupakan bantuan yang
paling diperlukan yang dapat kita berikan pada Angkatan Darat, jika
kita mendapatkan cara tanpa mengidentifikasikannya sebagai usaha AS
secara tunggal atau sebagai usaha yang sebagian besar berasal dari
AS).

Apakah dengan pencantuman G 30 S/PKI bukan G 30 S memang sdr. YS
mengatakan terdakwa utamanya adalah PKI. Posisi anda adalah sebagai
sejarawan bukan alat politik dari kelompok tertentu yang
dimenangkan situasi saling telikung dan tikam. Jadi netralitas dan
objektivitas adalah patokan paling sakral yang tidak bisa
dikencingi. Atas dasar apa saudara mencantumkan lagi kata-kata PKI
dalam G 30 S, padahal kebenaran sejarahnya masih saling berbantahan?
Kenapa kita tidak menulis PRRI/Masyumi misalnya karena keterlibatan
Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara? Atau PRRI/PSI karena ada unsur
Prof. Soemitro Djojohadikusumo? Tapi pencantuman itu tidak terjadi
di jaman Bung Karno. Stempel keji sejarah baru terjadi setelah G 30
S berjalan beberapa bulan dan ketika informasi sudah dimonopoli
pemenang pertarungan yaitu :kubu Suharto baru ada kata : PKI dalam
cantuman G 30 S.

Pencantuman itu membawa akibat paling menakutkan dalam sejarah
kemanusiaan di Indonesia. Kalaupun di satu waktu nanti, andai memang
terbukti secara akurat PKI terlibat dalam G 30 S juga tidak bijak
mencantumkan kata-kata PKI dibelakang gerakan itu. Karena kata-kata
itu telah terbukti di jaman Orde Baru digunakan secara brutal
merampas hak hidup bukan saja pelakunya tapi orang yang sama sekali
tidak tahu menahu. Untuk itulah diperlukan kearifan sejarah, asal
jangan maen ketok dan maen menang sendiri seakan-akan dirinya paling
benar lalu meminggirkan kelompok yang ditindas. Ini sama saja juga
dengan apa yang dituduhkan pada PKI saat jaya-jayanya yang suka
tindas sana tindas sini. Yang kemudian menjadi pertanyaan : Apakah
menindas dan menghinakan kelompok yang berbeda memang jadi sifat
dasar manusia Indonesia? Pertanyaan yang perlu direnungkan, bila
jawabannya cenderung iya...kita memang bangsa yang sakit jiwa.
Janganlah kita melahirkan kebrutalan pemikiran sejarah, tapi dari
sejarahlah kita harus banyak belajar agar ke depan kita semakin
menghargai kemanusiaan bukan mematikan kemanusiaan.

Baiklah sekarang kita satu-satu menjawab tanggapan YS dimana poin-
poinnya sudah saya susun.

Sukarno dan Saingan Politik (1945-1949)


Sebelum memasuki relasi Sukarno-PKI banyak manfaatnya bila kita
melihat dan memahami cara berpolitik Sukarno. Bagaimana Sukarno
menghadapi rivaal-rivaal politiknya. Apakah Sukarno bertipe
Machiavellis atau seorang pemimpin bermartabat yang paham
ideologinya dan landasan berpikirnya dalam konteks pelaksanaan
ideologi-ideologinya. Untuk itu mari kita telaah bagaimana hubungan
Sukarno dengan Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Tiga tokoh ini
secara subjektif menempatkan dirinya paralel dengan Bung Karno.

Pada tulisan Yohanes Sulaiman menekankan kekuatan PKI sebagai
kekhawatiran utama Bung Karno, secara tersirat dokumen CIA ini malah
menggambarkan BK ini malah mirip Stalin curiga kemana-mana. Dan
seperti Saddam Hussein bantai siapa saja yang menentang kekuasaannya
sambil memanfaatkan secara maksimal situasi politik yang mendukung.
Yang sekarang menjadi pertanyaannya adalah apakah kekuasaan Sukarno
itu hanya untuk kekuasaan atau memang dia punya ideologi tertentu.
Saya jelas akan menjawab Sukarno berjuang karena keyakinan
ideologinya. Sukarno adalah seorang Lenin yang punya dasar landasan
ideologi jelas, Sukarno adalah seorang Mao yang dasar landasan
ideologi jelas, Sukarno adalah seorang Ho Chi Minh yang punya
landasan ideologi jelas. Jadi tulisan anda dengan menyebutkan di
Kompas berdasarkan dokumentasi CIA itu :

Kekhawatiran Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru
dideklasifikasikan setahun lalu, bertanggalkan 13 Januari
1965. Dokumen itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan
para pemimpin politik sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa
menoleransi gerakan anti-PKI karena ia butuh dukungan PKI untuk
menghadapi Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah "jatuh" di dunia
internasional dan Indonesia dianggap negara gila karena keputusannya
membawa Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, suatu
waktu,giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno
mengakhiri percakapan itu dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu
musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."

Bila YS mempercayai dokumen CIA ini dan menjadikannya bahan sejarah
yang paling sahih untuk memulai bekerja dalam menilai bagaimana
jalan pikiran Bung Karno maka ini sama saja mengantarkan pembaca ke
alam pikiran : Betapa jahatnya Sukarno, ambil untung kemudian buang.
Adalah lucu melihat watak Sukarno sedemikian rupa ini sama lucunya
dengan berita burung yang mengabarkan Sukarno menyerah dan mohon
ampun pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tahun 1980-an
Rosihan Anwar mengangkat isu ini di Kompas yang kemudian tulisan
minta ampun BK dibantah oleh Syafrudin Prawiranegara.

Untuk mendalami kupasan singkatan dokumen CIA dengan membandingkan
karakter Bung Karno dari pemanfaatan politiknya mari kita diskusikan
apakah Sukarno memang sekeji itu dalam memanfaatkan peluang politik
untuk itu kita tarik dari mulai tahun 1945 setelah ia dilantik
menjadi Presiden RI dan menjadikan posisi Sukarno secara formal
paling tinggi dalam struktur hirarkis kepemimpinan Indonesia. Bila
menilik dari dokumen CIA kebanggaan YS ada pertanyaan besar :
Sukarno ini Machiavelis atau seorang Negarawan agung?

Untuk itu mari kita mulai pada persaingan serius antara Sukarno dan
Tokoh-tokoh kiri garis keras (Tan Malaka, Musso dan Amir
Sjarifudin). Tak ada tokoh yang setara dengan Sukarno di masa
Revolusi Kemerdekaan selain Tan Malaka. Dalam tulisannya YS
mengatakan Tan Malaka pernah meminta dukungan Sjahrir untuk
mengangkat dirinya sebagai Presiden menggantikan Sukarno. Sjahrir
menjawab pendek : Kalau kamu sepuluh persen saja lebih populer dari
Bung Karno kita akan mempertimbangkan kamu menjadi Presiden RI.
Yohanes Sulaiman mengatakan ini tulisan dari Rosihan Anwar yang
mungkin dengan separuh ejekan menganggap saya naif bahwa Rosihan
Anwar saya duga sebagai CIA juga – (bukan, Pak Ros adalah jurnalis
sejati tapi memang kadang-kadang sikap ikut anginnya juga
keterlaluan, dia jurnalis terhormat jauh dari pikiran saya dia CIA,
lingkar dalam PSI justru orang-orang yang nasionalis dan bermartabat
mungkin hanya Mitro yang main dengan PRRI tapi toh dikemudian hari
dia menjauh dari PSI bahkan oleh Pak Ros disindir memiliki
d'Artagnan complex, jagoan tua yang selalu ingin jadi nomor satu )-
. Pertama, jelas benar itu tulisan Rosihan Anwar, tapi perlu
diingat Rosihan Anwar itu mengutip George McTurnan Kahin
dalam `Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terbitan Sebelas
Maret University dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995. hal.185-
187 begini tulisan lengkapnya :

Pada awalnya Sjahrir dan kelompoknya tidak mendukung Proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menolak menghadiri rapat pada malam
sebelumnya, yang diselenggarakan di rumah Laksamana Maeda. Mereka
tidak yakin proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Sukarno dan Hatta
dapat membawa rakyat ke puncak revolusi kemerdekaan untuk melawan
Jepang. Menurut pendapatnya pemimpin Indonesia harus lebih keras dan
menunjukkan sikap anti Jepang agar mendapat simpati dan dukungan
Sekutu dalam menyikapi kemerdekaan. Kemudian Sjahrir bersama
kelompoknya menyingkir dan menolak tawaran Sukarno untuk memegang
jabatan penting dalam kabinet yang akan segera dibentuk

Selama dua minggu Sjahrir bersama para pemimpin pemuda melakukan
perjalanan keliling Jawa untuk melihat sikap rakyat pada pemerintah
Sukarno-Hatta. Mereka melihat dukungan rakyat sangat kuat sehingga
kembali ke Jakarta mereka mengubah sikapnya, dan walaupun sering
bersikap kritis dan kerap kali menentang pemerintah, mereka
menyatakan dukungannya kepada Sukarno dan Hatta sebagai pemimpin
Republik.

Melihat Sjahrir yang pada awalnya menolak mendukung Sukarno dan
Hatta, begitu Sjahrir kembali ke Jakarta, Tan Malaka segera
menghubunginya. Ia mengusulkan agar kekuatan mereka digabung untuk
menggulingkan Sukarno dan Hatta kalau berhasil, Tan Malaka akan
menjadi Presiden dan Sjahrir akan memimpin kabinet dan memegang
kementerian pertahanan, ekonomi, dalam negeri dan luar negeri.
Sementara Soebardjo hanya akan diberi kedudukan yang tidak penting
di dalam kabinet.

Tan Malaka merasa yakin bahwa ia akan mendapat dukungan dari
kelompok bawah tanah Sukarni, dan kemungkinan besar dari berbagai
kesatuan bersenjata yang berada di bawah pengaruh kelompok
tersebut. Tan Malaka juga berpendapat kalau Sjahrir bergabung,
mereka akan cukup kuat untuk menggulingkan Sukarno. Namun Sjahrir
menolak usul tersebut dan menasihati Tan Malaka kalau ingin
menyaingi popularitas Sukarno ia harus melakukan perjalanan seperti
dirinya.

(G MT Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia hal. 185-187)

Tulisan itu memperlihatkan baik Sjahrir maupun Tan Malaka memang
merasa dirinya bersaing dengan Sukarno. Bahkan oleh Rosihan Anwar
pula dicatat sesungguhnya Sjahrir telah bertindak jauh berikut
catatan Rosihan Anwar tentang Dr.Sudarsono yang merupakan bagian
dari jaringan bawah tanah Sutan Sjahrir, berikut kutipannya :

Seorang kurir dikirim dari Jakarta ke Cirebon. Ia membawa teks
proklamasi kemerdekaan yang telah disusun oleh Sjahrir dan kawan-
kawannya.

Maka tanggal 16 Agustus 1945, pada hakikatnya dokter Sudarsono dan
teman-teman sepaham sudah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tidak dikira Sukarno tidak begitu segera mempercayai kekekalahan
Jepang. Sukarno mau mengecek dulu pada pembesar Jepang di
Gunsenkeibu tentang kebenaran berita tersebut. Oleh karena itu,
terjadilah kelambatan. Baru tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta
Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaan.

Dalam pada itu di Cirebon telah bertindak sehari sebelumnya seorang
dokter yang bernama Sudarsono dengan perbuatan politik yang sama,
yaitu memproklamasikan kemerdekaan. Soal ini sudah barang tentu
kemudian selesai sendiri. Sebab proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta mendapatkan dukungan semua golongan
dan lapisan yang mau menegakkan Republik Indonesia.

Bagaimana bunyi teks prokmasi kemerdekaan yang diumumkan oleh Dokter
Sudarsono di Cirebon tidak diketahui lagi. Pemberitaan dalam pers
tentang peristiwa itu tidak ada. Arsip dokumen ini telah hilang. Ini
adalah suatu kasus stranger than fiction, lebih aneh dari fiksi atau
rekaan.
(Rosihan Anwar, In Memoriam Mengenang yang wafat, Penerbit Buku
Kompas hal. 89-90)

Dalam tulisan Rosihan Anwar tersebut telah terlihat bagaimana
Sjahrir yang selama ini dikatakan menolak adanya kemerdekaan yang
terburu-buru dan menurut istilah BK `ngambek' tidak mau mengakui
proklamasi 1945 ternyata bukan karena dia bersikap hati-hati
sebagaimana layaknya Bung Karno dan Hatta ketika mereka berdua
sampai saling omong keras masalah proklamasi kemerdekaan dengan
Wikana cs. Ternyata memang Sjahrir punya agenda lain. Sebagai
politisi yang lihai ia ternyata sadar tidak mudah melawan Bung Karno
pada dataran populis. Dan ini yang tidak akan diungkap oleh Rosihan
Anwar –pengikut setia Sjahrir- sikap selicin belut Sjahrir. Sjahrir
tidak pernah terjebak oleh sikap subjektivisme yang merasa dirinya
besar dari Sukarno ini kelebihan beliau dan ini tidak dimiliki pada
tiga tokoh lainnya : Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Ketiga
orang itu tewas ditembak bangsa sendiri karena terjebak
subyektivisme menganggap Sukarno tak lebih dari anak kecil. Amir
adalah seorang tokoh paling berani dalam gerakan bawah tanah di
jaman Jepang dia ditangkap oleh Kenpeitai Surabaya. Ia digantung
dengan kepala di bawah nyawanya tinggal seujung jari lagi. Tapi
beruntung bagi dia Amir berhasil diselamatkan Bung Karno yang pasang
badan untuk membebaskan Amir, namun nasib Amir yang mustinya bisa
diselamatkan lagi oleh BK ternyata tidak terjadi pada akhir tahun
1948. Bung Karno yang sedang duduk di beranda muka Istana Agung
Yogyakarta tidak tahu Amir Sjarifudin cs sedang dibawa ke benteng
Vredenburg di depan persis Istana Yogya. AM Hanafi mengaku sempat
memohon agar BK menyelamatkan Amir tapi ternyata Amir sudah keburu
dibawa tentara Gatot Subroto dan ditembak mati di Ngaliyan, Boyolali.

Kedua, adalah nasib tragis Musso. Musso yang kenal lama dengan Bung
Karno sejak era mondok di rumah Pak Tjokro sempat bertemu Sukarno di
Istana sepulangnya dari Moskow. Bung Karno bahkan sempat
berkelakar "Pak Musso masih jago silat?" namun perkembangan politik
pada waktu itu memang condong ke kanan. Hatta yang memimpin kabinet
setelah kegagalan Sjahrir dan Amir memutuskan untuk melakukan
politik American back up agar perang cepat selesai. Hatta dan
Sjahrir memiliki basis kesamaan intelektual. Mereka tidak memandang
penting arti perang kemerdekaan yang menggelora dan membakar
semangat nasionalis. Terlebih Sjahrir yang dipengaruhi oleh
sosialisme demokrat, anti fasisme dan pasifis. Ideologi Sjahrir
adalah Sosialisme bergaya Eropa Barat yang sampai saat ini masih
memiliki kekuatan signifikan di Eropa Barat terutama Perancis,
Inggris, Belanda dan Jerman. Sjahrir sangat membenci fasisme dan ia
juga sebagaimana kaum Sosdem sejak jaman Rosa Luxemburg, Stalin
adalah musuh besar. Dan perang yang berlarut-larut justru akan
menurunkan kabut tujuan kemerdekaan yang lebih rasional. Namun sikap
Sjahrir ini ditentang oleh kelompok Tan Malaka. Tan Malaka-Sjahrir
adalah dua seteru yang paling keras sepanjang Revolusi Kemerdekaan
1945. Dalam militer Sjahrir yang belakangan di dukung Hatta memiliki
perwira cemerlang bernama AH Nasution dan TB Simatupang Di pihak Tan
Malaka memiliki perwira-perwira yang berasal dari PETA seperti :
Jenderal Sudirman. Penolakan Jenderal Sudirman untuk menyerah pada
agresi militer kedua juga menunjukkan kebenciannya pada diplomasi
Sjahrir. Begitulah konstelasi politik yang terjadi pada waktu itu.
Dalam pertarungan ini kemudian muncullah Musso tiba-tiba. Menjadi
orang ketiga perseteruan Tan Malaka – Sjahrir. Sebelum kedatangan
Musso sempat mencuat juga nama Suripno yang menjadi tokoh Indonesia
dalam pertemuan kongres pemuda Komunis di Moskow, Suripno ini yang
mengatur link Moskow-Jogya dengan hasilnya membawa Musso.

Musso akhirnya menyarankan agar seluruh kekuatan sayap kiri
bergabung dan merevitalisasi PKI. Nama PKI sendiri memang sudah
ditakdirkan jelek dari dulu, dari jamannya Belanda maka tidak ada
PKI dalam pembentukan partai-partai sesuai dengan Maklumat November
1945. Para pemimpin PKI selalu bermantelkan Partai Sosialis agar
tidak menjadi sasaran tembak politisi yang komunistophobi. Wikana,
Amir Sjarifudin, Tan Ling Djie, Abdulmadjid dan Setiadjid mengaku
sudah menjadi Komunis sejak tahun 1935. Pengakuan mereka terang-
terangan harus dipertanyakan apa karena mereka merasa sudah ada
dukungan kekuatan riil dari kelompok bersenjata atau merasa sudah
ada link dengan Moskow yang bersedia membantu? Kelompok bersenjata
yang pro PKI biasanya bukan karena keyakinan ideologi mereka tapi
karena memang mereka merasa dirugikan atas aksi potong kekuatan oleh
Hatta-Nasution di tubuh TNI Masyarakat. TNI Masyarakat sendiri
merupakan bentukan Amir Sjarifudin saat Amir masih menjabat sebagai
Perdana Menteri. Kemudian apakah benar ada dukungan dari Moskwa?
Pada tahun-tahun 1945-1949 Stalin lebih disibukkan pada pemulihan
Sovyet Uni karena kehancuran saat melawan Hitler dan sedang
memperluas pengaruh di Eropa Timur. Stalin agak kurang peduli dengan
perkembangan pengaruh Komunisme-Stalinis di Asia. Sikap Stalin sama
saja dengan apa yang diomongkannya pada Tan Malaka ketika mendengar
ada rencana pemberontakan PKI di Hindia Belanda tahun 1926/1927 kata-
kata singkat Stalin : "Apa kamu sudah gila?"
Tan Malaka sendiri akhirnya bubar jalan untuk mendukung Komunis
Moskow, dia merubah haluan politiknya menjadi Komunis Nasionalis dan
pikiran-pikirannya sangat berpengaruh di kalangan pemuda yang punya
pengaruh pada Angkatan Bersenjata baik Chaerul Saleh, Dokter Muwardi
maupun Adam Malik. Sementara Musso yang sudah lama tidak tinggal di
Indonesia masih menganggap Sukarno cuman anak ingusan yang indekos
di rumah Pak Tjokro. Musso tidak paham bangunan karir Sukarno sudah
dipondasi pada tahun 1927. Ini artinya sejak Musso lari ke luar
negeri karena dikejar Intel Hindia Belanda. Sementara Sukarno mulai
menyusun karirnya dan jauh dikenal bangsa Indonesia dibandingkan
Musso. Sukarno sejak tahun 1928 sampai kedatangan Jepang adalah
politisi paling populer. Anak-anak kecil pun tahu tentang Sukarno
dan menjadi pahlawan mereka. Bila nama orang sudah merasuk ke
pikiran anak-akan kecil dan dijadikan idola maka nama itu sudah
meraih puncak popularitasnya. Begitu juga Sukarno di tahun 20-an. Di
titik inilah kemudian Musso melakukan blundernya dan menyerang
Sukarno di depan massa. Kontan ia langsung ditinggalkan banyak
dukungan yang tadinya memihak pada dirinya. Karena dalam pandangan
rakyat Indonesia yang masih kuat sikap patriakhinya dan tidak mampu
membedakan mana negara mana rakyat, maka figur Sukarno adalah
seperti Raja Jawa. Negara adalah dirinya. Menyerang Sukarno berarti
menyerang negara. Inilah pusat dari kesalahan Musso dalam menghadapi
Sukarmo. Seandainya ia bisa menahan diri dan terus menjalin
kerjasama dengan Sukarno maka ada kemungkinan ia bisa mengurung
Hatta-Nasution namun Musso terlalu menganggap kecil Sukarno. Lalu
bagaimana dengan Sovyet kenapa orang yang pro ke mereka. Ketika
mereka dibantai tidak ada pembelaan Moskow sama sekali, atau memang
kabar dukungan Moskow ke Indonesia adalah imajinasi liar baik dari
Suripno ataupun orang yang berseberangan dengannya Hatta. Perlu
diingat konteks Peristiwa Madiun di kepala Hatta-Nasution adalah
berdirinya negara Sovyet di Indonesia. Sementara kejadian sebenarnya
hanyalah pergeseran jabatan petinggi walikota saja dan ada pengaruh
juga dari kasus geger Solo dimana pasukan Siliwangi menembak Kolonel
Sutarto. Musso yang telah menggelar pertemuan kekuatan politik
membentuk FDR dan mengkritik peranan PKI sekaligus merevitalisasinya
lewat sebuah Resolusi : Djalan Baroe Repoeblik Indonesia". Namun
gerakan pasukan Siliwangi lebih cepat untuk menghantam Musso apalagi
setelah blunder Musso pasukan yang tadinya bersimpati memilih
bersikap netral, walaupun diam-diam mereka juga banyak menampung
para perwira yang dimusuhi pasukan Hatta, seperti : Kapten Abdul
Latif yang kelak banyak berperan dalam G 30 S ditampung oleh Brigade
Suharto di Yogya atau seperti Mayor CPM S. Parman (yang kemudian
menjadi Mayjen dan diculik oleh gerombolan G 30 S) atau Letnan
Sudharmono (kelak Sudharmono ini menjadi wapres tapi sebelumnya
pencalonannya ditolak oleh Kelompok LB Moerdani karena ditengarai
Sudharmono terlibat peristiwa Madiun). Dalam pada itu Musso
tertangkap di Ponorogo sedang menyamar menjadi kusir Delman dan
ditembak mati. Sementara pemimpin lain ditangkap tentara dan dibawa
ke Yogya semua pemimpin itu ditembak mati di Ngaliyan Boyolali pada
tanggal 19 Desember di Ngaliyan, Boyolali.

Sekarang mari kita bicara Tan Malaka yang menurut saya merupakan
saingan paling paralel dengan Bung Karno berbeda dengan Hatta dan
Sjahrir yang memilih sebagai bagian dari subordinat dari Sukarno
sepanjang 1945-1949 daripada Tan Malaka yang tidak pernah bisa
menjadi bawahan Bung Karno. Agaknya kurang sreg bila kita tidak
mengetahui Tan Malaka dari sudut pandang `konsepsi kebangsaan' lalu
kita bandingkan antara pemikiran Tan Malaka dengan Sukarno dari
sinilah kemudian bisa diambil garis lurus adanya PKI-Aidit 1954
dimana orang tidak pernah mengetahuinya. Bagaimanapun secara kasat
mata orang-orang Tan Malaka berbeda dengan orang-orang Aidit pada
kurun waktu sepuluh tahun (1955-1965) bahkan bertentangan tapi pada
hakikatnya revitalisasi PKI 1954 lebih mirip garis pemikiran Tan
Malaka ketimbang doktrin Musso yang tertuang dalam resolusi "Djalan
Baroe Revolusi Indonesia" perjuangan Komunisme Aidit terlepas dari
tudingan kedok revolusi Bung Karno merupakan sebuah garis lurus
terhadap apa yang disebut "Kemerdekaan 100%" pertemuan antara
pemikiran DN Aidit dengan ambisi Sukarno sesungguhnya sudah tertuang
dari sikap revolusioner Tan Malaka dalam menjalankan "konsepsi
perjuangan 100% Merdeka" dimana isinya lebih keras daripada konsepsi
Sjahrir dalam buku tipis "perdjoangan kita". Arti penting Tan Malaka
dalam perjuangan Indonesia sesungguhnya merupakan periode singkat
tapi esensinya adalah kenangan kuat yang menggores dalam Revolusi
Kemerdekaan (1945-1949) Memang ada dua kubu dalam Revolusi itu.
Pertama kubu elitis yang berada pada jalur Hatta-Sjahrir-Nasution
dan kubu populis Tan Malaka-Amir Sjarifudin-Sudirman. Namun kubu
populis terpecah jadi dua yaitu : nasionalis Komunis dan Sovyet
Komunis dimana Amir-Musso memilih jalur Sovyet Komunis sembari
menunggu bantuan dari Sovyet Uni. Sukarno dalam hal ini berdiri di
tengah-tengah. Dan itu memang watak dasar Sukarno. Di Kanan Berdiri
Hatta-Sjahrir-Nasution dan di kiri kubu populis. Jadi tripancang
politik Sukarno sudah dimulai sejak 1945-1949.

Tan Malaka sendiri memulai karir politiknya tahun 1919 dan selama
enam tahun bersekolah di Belanda. Sewaktu muda ia menekuni Marxisme
dan terutama `filsafat Alamiah' perlu diketahui di bagian Eropa
Barat yang berkembang pada tahun-tahun 1901-1930 adalah aliran
positivisme sementara filsafat alamiah yang mengedepankan Ilmu
Pengetahuan merupakan studi yang sudah klasik ciri khas abad 19.
Tidak diketahui apakah Tan Malaka mengenal teori-teori yang juga
berkembang di Eropa tentang pengaruh filsafat positivisme atau
idealisme neo hegelian yang kemudian bermunculan di Inggris setelah
perkembangannya di Jerman terhenti dan apakah Tan Malaka juga
mengenal Metafisika dalam pengertiannya yang lebih baru dimana mulai
muncul ahli-ahli filsafat yang membongkar realitas menuju alam
transendensi-nya. Karena jika kita mempelajari tulisan-tulisan Tan
Malaka jujur saja terlalu khas abad 19. Tapi yang jelas tulisan Tan
Malaka memiliki nilai lebih pada pembongkaran tahyul dengan
menggunakan alat rasionalitas walaupun terkadang menjadi pemujaan
yang berlebihan untuk Ilmu Pengetahuan. Berbeda dengan pemikiran-
pemikirannya yang ketinggalan jaman konsepsi perjuangan Tan Malaka
justru paling maju di depan, konsep Kemerdekaan 100% ini yang
kemudian menjadi alat koreksi pada tahun-tahun demokrasi terpimpin
1960-1965.

Bahkan dibandingkan dengan Sukarno sekalipun. Pemikiran-pemikiran
Sukarno sendiri atau katakanlah filsafat Sukarno sangat maju dalam
menelaah konsep-konsep Pancasila sebagai puncak yang menginjak pada
dua bahu Marxisme di kiri dan Deklarasi Independen di kanan. Namun
sayangnya konsepsi perjuangan Sukarno lebih pada sikap kompromi dan
tidak jarang meminjam tahyul-tahyul politik seperti pembiarannya
pada kepercayaan bahwa di Ratu Adil Jawa. Sulit melepaskan cara
berpikir dan bertindak Sukarno dari alam pikiran Jawa. Sukarno
sendiri berperan sebagai dalang yang mahir bicara namun kadang-
kadang halusinasinya kuat sehingga membuat orang Jawa yang lebih
mengenal alam pikiran wayang kerap terpukau. Sukarno adalah
imajinasi sementara Tan Malaka adalah rasionalitas disini titik
perbedaannya.

Lalu bagaimana Tan Malaka mempengaruhi perjuangan kemerdekaan
Indonesia?. Sejauh ini belum ada sejarawan secara detil melakukan
studi tentang pengaruh ideologi Tan Malaka di kalangan tentara.
Padahal dari kisah-kisah sejarah peran Tan Malaka justru yang paling
menonjol selama 1945-1949 bersama peran Hatta-Sjahrir. Tan Malaka
adalah tokoh utama oposisi yang selalu menolak perjanjian-perjanjian
diplomat Indonesia dengan Belanda. Ia selalu berada di belakang
layar untuk membangun penolakan politik kompromi. Faktor inilah yang
kemudian Jenderal Sudirman bersimpati pada Tan Malaka. Musuh
terbesar Tan Malaka adalah Sjahrir namun Sjahrir tidak pernah
menanggapi serius Tan Malaka, bahkan Sjahrir pernah menawari Tan
Malaka jabatan Perdana Menteri tapi ditolak Tan Malaka. Yang menjadi
pertanyaan sekarang kenapa justru Tan Malaka mendukung Hatta untuk
menyerang Amir-Musso. Apa setelah Hatta menang Tan Malaka tinggal
menghadapi Hatta? Disini letak pertanyaan utama tentan taktik
membingungkan Tan Malaka. Namun persaingan dengan BK adalah suatu
yang jelas. Tan Malaka sangat disegani BK.

Hal yang paling mengesankan adalah ketika Tan Malaka dimintai BK
sebagai pewaris pemimpin RI bila Sukarno-Hatta mengalami sesuatu
yang dapat menghalangi jalannya pemerintahan RI. Suatu siang yang
panas awal bulan Oktober 1945 Tan Malaka diundang BK untuk bicara
panjang lebar tentang masa depan Indonesia. Saat itu Achmad Subardjo
menunggu diluar. Rupanya Sukarno sangat terkesan dengan alur
pemikiran Tan Malaka untuk itu ia meminta Tan Malaka siap untuk
menjadi ahli waris kepemimpinan RI bila Sukarno-Hatta berhalangan.
Ahmad Subardjo di panggil ke dalam dan dimintai untuk memanggil
Hatta agar ia juga menyetujui penandatanganan ahli waris itu. Namun
Hatta yang cerdik justru melihat dari sisi lain, warisan ini akan
mengundang konflik terselubung di kemudian hari untuk itu dengan
penolakan halus Tan Malaka memveto. Hatta meminta jangan hanya Tan
Malaka tapi juga Wongsonegoro, Iwa Kusumasumantri dan Sjahrir.
Apakah kelak kemudian hari surat ini yang membawa celaka Tan Malaka.
Lalu kenapa Tan Malaka tidak merebut pemerintahan pada saat Sukarno-
Hatta-Sjahrir ditangkap?

Tan Malaka dieksekusi di Kediri pada tahun 1949 oleh pasukan
Jenderal Sungkono. Keputusan eksekusi Tan Malaka itu lebih
disebabkan karena agar jangan sampai Tan Malaka mengobarkan
perlawanan semesta untuk menolak perundingan-perundingan yang
mengarah perundingan puncak yaitu KMB 1949. Ataukah lebih dari
sekedar kekhawatiran itu ialah : Pengaruh besar Tan Malaka di
militer pada faksi "The Nasution's Outsider"? Dimana di dalamnya
bergabung Jenderal Sudirman dan beberapa perwira TNI Jawa Tengah dan
Timur yang berlatar belakang PETA.

Yang menjadi pertanyaan juga selain alasan diatas adalah siapa yang
perintah eksekusi Amir Sjarifudin, Musso dan Tan Malaka. Bila
Sukarno mana suratnya? Hal ini membuktikan bahwa pada tahun 1945-
1949 Sukarno sama sekali tidak memiliki kekuasaan riil politik,
semua dipegang Sjahrir dan Hatta dalam pelaksanaan perintah sehari-
hari jadi persaingan Sukarno dan Tan Malaka serta kelompok garis
keras merupakan penajaman dari gerakan Hatta-Sjahrir. Hingga sampai
disini tidak tepat bila Sukarno membunuh kawan seiringan
seperjalanan lalu apakah Sukarno kemudian berubah pada tahun 1959-
1965? Untuk itu mari kita buka lagi situasi politik Internasional.

Perubahan Watak Imperialisme

Amerika Serikat memang lebih agresif daripada Stalin. Seperti yang
saya ceritakan pada tulisan saya yang terdahulu dalam menanggapi
Yohanes Sulaiman, AS saat memasuki perang dunia kedua sudah
memikirkan akan memihak mana : Jerman atau Inggris-Sovyet dalam
menghadapi tentara Nazi Jerman. Coba saudara YS cari dokumen-dokumen
CIA di Universitas anda, apakah memang ada delegasi-delegasi Hitler
mengunjungi Amerika untuk membujuk Washington untuk memihak mereka
atau setidaknya tidak ikut campur. Tapi takdir sejarah
berkata :Amerika harus memihak Inggris-Sovyet. Dengan begini Amerika
mengambil langkah dua tahap Hajar Hitler, lalu kurung Stalin.
Beruntung bagi AS negara mereka tidak hancur dan perekonomian pulih
akibat full employment dan full production buat membiayai perang.
Depresi ekonomi 1929 tidak terlihat lagi. Konsentrasi mereka
sekarang adalah menggantikan hegemoni Inggris di seluruh bekas
jajahannya. Termasuk ikut campur pada Vietnam dan Indonesia dua
negara terberani di Asia yang merebut kemerdekaan dengan perang
bersenjata. Di Indonesia konsentrasi Amerika adalah agar jangan ada
kekuatan Komunis yang tumbuh signifikan. Disini Amerika lebih
rasional ketimbang Belanda yang mencap semua pemimpin Indonesia
komunis. Amerika Serikat melihat Sukarno adalah Nasionalis-
tradisionalis dan Hatta-Sjahrir sebagai Nasionalis-Modernis. Kedua
kubu ini tidak masalah bagi Amerika. Dari sini saja sudah jelas
bahwa Sukarno sama sekali bukan pengekor Komunisme Stalin. Sukarno
sama seperti tokoh-tokoh pergerakan lainnya terpesona dengan
Marxisme, namun dalam hal Sosialisme pandangan Sukarno lebih
cenderung pada bentuk Nasionalisme ini adalah pengaruh HOS
Tjokroaminoto. Sementara Sjahrir lebih bersifat Internasionalisme
bukan dalam pandangan Globalisasi baik sistem Komunisme maupun
Kapitalisme. Sjahrir adalah Sosialis Humanis pemikiran-pemikirannya
lebih cenderung dekat pada alam pemikiran Marx Muda ketimbang
Revolusioner gaya Moskow. Jadi bila ditarik garis dari tahun 1948
sudah terlihat jelas bahwa Sukarno sama sekali bukan komunis dan
menjadikan bandingan Sukarno komunis atau tidak pada peristiwa
belakangan yang menguatnya PKI Aidit adalah sama saja memeriksa ekor
daripada kepala apalagi memperkuat dengan dokumen CIA yang bergaya
rahasia hanya sekedar ingin membuktikan Sukarno PKI atau tidak. Yang
jadi pertanyaan justru adalah Apakah Sukarno dibawah pengaruh Aidit
atau Aidit dibawah pengaruh Sukarno, itu yang penting. Jadi disini
kita sudah keluar dari himpunan bahwa Sukarno adalah bagian dari
PKI. Dalam struktur politik Sukarno diatas PKI massa PKI-lah yang
kemudian banyak dibantai pada peristiwa G 30 S sesungguhnya adalah
kaum Nasionalis yang membela Sukarno bukan karena kesadaran ideologi
Komunisme-nya, apalah mereka tahu dengan pemikiran Karl Marx. Ingat
yang naik panggung politik adalah Sukarno bukan Aidit, bukan Nyoto
bukan Peris Perdede. Jadi secara alamiah pikiran-pikiran Sukarno
jauh merasuk ke dalam ketimbang pemikiran-pemikiran Aidit. Orang PKI
lebih kenal tulisan Dibawah Bendera Revolusi daripada Masyarakat
Indonesia Revolusi Indonesia (MIRI) tulisan DN Aidit. Coba sebutkan
dari kosa kata Aidit yang terkenal, paling-paling kosa kata yang
mempertentangkan Aidit dengan Pancasila dimana Aidit keselip lidah
terhadap omongan DN Aidit yang kemudian dimuat oleh
harian "Revolusioner" yang menyebutkan : "Pancasila hanya bermanfaat
sampai Revolusi selesai" atau pidato arogan Aidit di depan massa
CGMI dan Onderbouw PKI lainnya yang dihadiri Sukarno dan J.
Leimena : "Kalau tidak berani bubarkan PKI silahkan pakai sarung
saja!"

Jadi bila menarik Sukarno bukan PKI dengan susah payah pakai dokumen
CIA yang didesklasifikasikan ini sama saja Tautologi pengertian
sejarah : Sebuah ulangan yang tidak punya makna.

Berulang kali dalam tulisan-tulisan saya (dalam konteks
Imperialisme), saya menyebut tentang Konferensi New Hampshire,
Bretton Woods 1944 karena disanalah awal mulai desain tatanan dunia
baru dimana Amerika Serikat berperan sebagai otak dari Imperialisme.
The New Orde of The Worlds dimana kemudian Bung Karno melawan dengan
konsepsi "To build the World anew" dalam pidatonya di PBB. Pidato
Bung Karno itu merupakan jawaban terhadap konspirasi Bretton Woods
tapi dunia tidak pernah memperhatikan ini. Bahkan yang amat
disayangkan pemikiran-pemikiran Bung Karno sering di dangkalkan
menjadi bagian dari dunia Komunis tapi jauh lebih dangkal lagi
melihat Sukarno hanya memainkan PKI sebagai badut politiknya. Karena
PKI dan Sukarno tidak bisa dilepaskan dari kesatuan konsepsi
masyarakat Indonesia baru. Melihat PKI hanya pion catur Bung Karno
dan Malaysia hanya satu-satunya musuh Sukarno sama saja
mendangkalkan kronika sejarah Indonesia. Watak Imperialisme baru dan
perubahan-perubahan konstanta politik yang revolusioner membuat
Sukarno merasa perlu melakukan reka ulang terhadap Indonesia dengan
memasukkan unsur-unsur revolusioner dalam diri bangsa Indonesia.
Tujuan utama Revolusi Indonesia (1960-1965) adalah menciptakan
manusia Indonesia yang :
1. Memiliki kepribadian Indonesia
2. Kuat dalam perjuangan
3. Cerdas dan Berpendidikan
4. Bersatu

Karakter-karakter dasar Indonesia inilah yang kemudian tercermin
dalam jargon-jargon politik Sukarno dalam pembentukan
Revolusionernya.

Kenapa keempat karakter itu yang kemudian menjadi bahan-bahan
bangunan untuk membuat benteng Nasionalisme dan antisipasi terhadap
serbuan Nasionalisme? Apa bentuk imperialisme asing itu dalam
kapitalisme tahap lanjut?

1. Penguasaan Pasar Produk Final
2. Tidak ada lagi sistem politik koloni vulgar khas abad 19.
3. Globalisasi budaya populer sebagai pusat akumulasi modal
4. Penguasaan total terhadap wilayah-wilayah yang memiliki
sumber energi dan terletak di wilayah strategis (di Timur Tengah
penempatan Israel sebagai negara boneka Amerika, di Amerika dengan
menduduki Panama dan di Afrika Utara dengan menguasai elite-elite
politik Mesir, di Asia Tenggara menggunakan tangan Singapura-
Malaysia-Australia)
5. Menciptakan desain raksasa untuk sistem keuangan
Internasional dimana negara-negara terkebelakang tapi kaya sumber
daya alam dibuat tergantung kelangsungan hidupnya lewat sistem
keuangan eko-dependensia. Istilah ini ekonomi dependensia dijelaskan
oleh Arif Budiman seiring dengan berkembangnya jaringan intelektual
New Left semenjak kerusuhan Paris 1968 dan kedatangan Prof. Sidney
Hook ke Jakarta pada awal 1970-an.
6. Pembentukan negara-negara Junta Militer untuk menandingi
Komunisme Stalinis dan Komunisme Maois. Junta Militer adalah sebuah
ideologi dengan warna fasisme berarti ini merupakan penajaman dari
nasionalisme fasisme dengan warna berbeda dari Hitler. Junta Militer
bentukan Imperialisme bukanlah nasionalis sejati macam orang-orang
Jerman dengan Nazi-nya tapi merupakan agen penjual negara. Selain di
Indonesia terjadi juga keadaan yang mirip di : Filipina, Korea
Selatan, Chile, dan Mexico.
7. Mulai meliriknya kekuatan politik agama dalam hal ini
Masyumi ke blok Amerika Serikat, bahkan dibawah Sukiman
Wirjosandjojo Indonesia sempat dijadikan orbit Amerika di Asia
Tenggara tapi kemudian Sukiman jatuh, Sementara kekuatan Soska,
Sosialisme Kanan juga terbuka dengan Amerika Serikat.
8. Diperlukan kelompok radikal-pelopor untuk bersikap disiplin
dan keras terhadap infiltrasi Imperialisme gaya baru.

Dari delapan pokok soal ini kita bisa lebih jauh lagi mendeteksi
hubungan Sukarno-PKI

Sukarno dan PKI

Hubungan Sukarno dan PKI bila dilihat sepintas adalah hubungan naik
turun, namun bila kita melihatnya secara detil hubungan Sukarno dan
PKI adalah hubungan syarat-menyarat, hubungan timbal balik dan
hubungan negosiasi untuk memasukkan Komunisme sebagai realitas ke
dalam bingkai Nasionalisme. Pemikiran politik Sukarno yang paling
dominan hanya berpusat pada satu hal : Persatuan Indonesia. Hal ini
yang bisa dijadikan landasan dalam menilai hubungan Sukarno dengan
rivaal-rivaal politiknya ataupun koleganya. Apakah kemudian PKI
setelah revitalisasi 1954 menjadi sebuah bagian dari konspirasi
Sukarno untuk menggusur partai-partai yang terus menerus menjadi
lawan politiknya? Ataukah memang PKI beredar pada orbit pemikiran
Sukarno?

PKI 1951-1965 Komunisme dalam Orbit Sukarno

Inti bentrok Sukarno dengan Amir-Musso adalah konsepsi negara Sovyet
di Madiun. Walaupun ini banyak dibantah bahwa `berita Madiun 1948'
hanyalah masalah pergantian pejabat internal walikota dan beberapa
militer dari unsur TNI Masyarakat melakukan pelucutan senjata
terhadap kelompok pro Hatta dimana geger Solo menjadi titik
pangkalnya namun realita yang terjadi dimana Sukarno mendengar bahwa
di Madiun telah berdiri negara Sovyet. Jelas disini Sukarno apapun
akan membela keutuhan Republik Indonesia. Yang menjadi pertanyaan
lagi apakah dalam `berita Madiun' itu terdapat unsur permainan
intelijen CIA? Ini yang belum pernah dibuktikan. Namun yang pasti
sebelum terjadinya peristiwa Madiun berlansung Konferensi Rahasia
Sarangan 21 Juli 1948 dimana Hatta, Natsir, Sukiman Wirjosandjojo
dan Kepala Polisi RI Sukamto bertemu dengan Gerald Hopkins dan Merle
Cochran sebagai utusan khusus Amerika serta delegasi Amerika untuk
urusan penyelesaian masalah sengketan Indonesia-Belanda. Awalnya
Sukarno ikut dari pertemuan ini kemudian tidak sampai selesai
Sukarno keluar. Konferensi ini sangat rahasia, lalu siapa yang
mengetahuinya : Sjam Kamaruzaman! Ini membuktikan Sjam adalah polisi
Intel dari pihak kanan. Karena konferensi itu membahas penghancuran
komunisme di Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat beserta
konsesi-konsesinya. Konferensi ini tidak pernah dibahas sejarawan
manapun baik Indonesia maupun luar negeri berikut dengan dokumen-
dokumennya. Kalau ini diungkap maka akan ada pertanyaan KMB 1949 itu
kemenangan politik RI total atas Belanda atau perjanjian kontrak
konsesi terselubung antara Amerika Serikat-Republik Indonesia? Riset
terhadap konferensi Sarangan jauh lebih penting daripada hanya
mengungkap korelasi konflik Malaysia-Indonesia dengan hubungan
Sukarno-PKI karena hampir semua sejarawan tahu bahwa G 30 S memang
berkaitan erat dengan masalah konflik ini selain dua masalah penting
lainnya. Dua masalah itu akan saya bahas belakangan. Sekarang kita
masuk ke dalam pembentukan PKI sebagai Orbit Sukarno. Untuk
membuktikan bahwa hubungan Sukarno-PKI bukan hubungan pemanfaatan
picik Sukarno seperti yang saudara Yohanes Sulaiman tulis dalam
artikel Kompas.Hubungan Sukarno-PKI lebih tepatnya merupakan
hubungan Sukarno untuk membentuk konsepsi Indonesia Raya-nya dalam
alam pikiran Sukarno.

Ada dua orang penting di Indonesia yang telah memikirkan konsep
Indonesia Raya. Sukarno dan Tan Malaka. Perbedaannya adalah Sukarno
membangun konsepsi Indonesia Raya dengan mencoba membentuk sejarah
masyarakat ia berusaha membangun realitas kemerdekaan berikut pola-
pola masyarakatnya berdasarkan Sosialisme. Sementara Tan Malaka
merumuskan konsepsi Indonesia Raya berlandaskan Manusia-nya dengan
prinsip Madilog. Sukarno sama sekali tidak pernah menyinggung secara
detail konsepsi Manusia Indonesia ke depan, tapi Tan Malaka sudah.
Begitu juga sebaliknya Tan Malaka tidak pernah secara detail
mengenalkan konsepsi susunan masyarakat setelah Indonesia merdeka
yang ada korelasinya hanyalah konsep kemerdekaan 100% tapi itu hanya
masalah jangka pendek pada pertempuran Belanda-Indonesia bukan
pembentukan hukum sejarah masyarakat tapi Tan Malaka adalah orang
paling berjasa dalam mengenalkan mimpi manusia Indonesia masa depan.
Di bawah level dua orang itu baru kita bisa sebutkan : Sjahrir,
Hatta dan Soedjatmoko namun pengaruh ketiga orang itu kurang
menggema dibandingkan Sukarno dan Tan Malaka. Kemudian Tan Malaka
hilang, pengganti Tan Malaka dari kubu yang dekat dengan Tan Malaka
atau dari Partai Murba sama sekali tidak ada yang sekelas dengan Tan
Malaka. Ini berarti Sukarno berjalan sendirian di dekade 1950-an.
Untuk memahami bagaimana dekade 1950-an secara politik bekerja ada
tiga pokok soal yang musti diperhatikan :

1. Dominasi politik kanan dan kebangkrutan politik kanan
2. Kerja Politik PKI di luar formalitas kabinet
3. Pematangan konsep politik Sukarno menuju perjuangan akhir


Dominasi politik kanan

Pada tahun-tahun awal 1950 warna kanan sangat terasa dalam politik
Indonesia hal ini merupakan KMB effect. Adalah orang-orang Sjahrir-
Natsir-Sukiman-Ali Sastroamidjojo yang begitu kental ke kanan.
Walaupun dalam spektrum politik yang berbeda semisal Sjahrir cs yang
europeesch (sosialisme barat), Natsir yang Islam- Nasionalis namun
condong ke Eropa, Sukiman Wirjosandjojo bisa dikatakan Amerikanis
tulen, dan Ali Sastro yang bimbang warna Ali juga kental dengan gaya
politik Hardi dan Suwirjo yang birokratis dan kepriyayi-priyayian.
Kirinya Ali Sastro baru terbentuk setelah matangnya konsep Nasakom
(1962-1965) dan menjadi benteng terakhir pembelaan PNI pada Bung
Karno yang tersudut dalam pertarungan head to head melawan Sukarno
pada babak-babak akhir adegan kudeta merayap.

Yang perlu diperhatikan adalah persaingan Natsir-Sukiman. Jika kita
bicara politik parlementer kita hanya bisa memfokuskan pada dua
partai PNI dan Masyumi. Namun dari dua partai itu justru Masyumi
yang memiliki dinamika kepemimpinan internal yang sampai berpengaruh
di parlemen. Persaingan yang tajam antara Natsir-Sukiman dan tidak
berdayanya Natsir berhadapan dengan Sukiman menghasilkan formatur
kabinet Sukiman dengan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo pada
tahun 1951. Berbeda dengan Natsir yang agak moderat dalam pandangan
politiknya, Sukiman jelas dalam melakukan realitas politik untuk
menghancurkan kelompok kiri (ingat waktu itu PKI sudah hancur
akibat `Berita Madiun 1948') namun berusaha bangkit lewat Comitee
Central yang dibuat dengan sedikit hati-hati dibawah Tan Ling Djie.

Dalam kabinet Sukiman inilah yang kepicikan untuk menghancurkan
kelompok yang dianggapnya kiri terjadi. Menlu Soebardjo memutuskan
untuk mendekati Amerika Serikat. Dan PM Sukiman menawarkan pada
Amerika Serikat penangkapan-penangkapan kelompok kiri sebagai bukti
bahwa Indonesia setia pada garis McCarthy, garis komunistophobi.
Penangkapan Sukiman ini bisa disebut sebagai `Red Drive Proposal II'
dimana yang pertama adalah : Konferensi Rahasia Sarangan'. Garis
politik `Asal Kiri Tangkap' mulai dari kirinya Sjahrir sampai
kirinya Tjugito(Fraksi PKI.

Razia Sukiman ini main tangkap dengan cap asal kiri, ini persis apa
yang dilakukan rezim Suharto pada 1965-1967 dan Orde Baru 1967-1998.
Dimana seluruh anasir yang digolongkan kiri ditangkapi. Ulah Sukiman
ini justru ditentang oleh Natsir melalui harian `Abadi' sebuah koran
Masyumi yang pro Natsir dan sering dijadikan corong Natsir dalam
mensosialisasikan ide-ide politiknya. Dari pemikiran ini kecuali ide-
ide Natsir yang terjebak dalam konsepsi Negara Islam karena dorongan
situasional pada tahun 1955-1957 menunjukkan bahwa Natsir adalah
politisi Islam-Nasionalis pertama yang mendukung politik bebas aktif
jauh dari campur tangan Amerika. Namun Natsir kemudian terseret
dalam kasus PRRI. Dalam tulisan Natsir tersebut menyebutkan bahwa
Duta Besar Amerika Serikat Allen Griffin melalui berbagai nota-nota
rahasia yang dikirim ke Washington (Silahkan saudara YS cari
dokumennya) mendesak agar Indonesia dimasukkan ke dalam
program `Mutual Security Act'. MSA Affair ini terjadi lewat pintu
Menlu Soebardjo hal ini berhasil dibongkar lewat `rumor Natsir' lalu
para anggota kabinet yang marah mempertanyakan kebenaran adanya
perjanjian rahasia AS-Indonesia dalam proyek condong kanan dengan
bahasa khas AS `Membantu dunia bebas'. Para anggota kabinet
mempertanyakan apa yang dimaksud dengan `dunia bebas'? Apakah itu
berarti memihak pada politik yang berdaulat atau berpihak pada AS.
Adalah Sewaka Menteri Pertahanan dari unsur Partai Indonesia Raya
yang mendesak agar Soebardjo mengundurkan diri. Dalam hal ini perlu
diperhatikan anomali politik Soebardjo sebagai orang yang pernah
dekat dengan Tan Malaka dan mengenalkan Tan Malaka dari kelompok
gerakan muda yang baru tumbuh kemudian terjebak pada politik
memalukan dengan melakukan aksi sepihak untuk `menjual' politik
Indonesia pada AS. Soerbardjo memang gagal bahkan Soekiman
mengundurkan diri setelah dilipatgandakan serangannya oleh KH Wahid
Hasjim lewat pertanyaan urusan Haji. Soekiman juga dinilai gagal
dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Hal yang perlu
diketahui adalah kegagalan Soekiman karena AS masih memihak dan
mempercayai Belanda sebagai benteng anti komunis. Adanya Belanda di
Irian menjadi `Politics Hedging' terhadap antisipasi kegagalan Hatta
atau kaum kanan Indonesia terhadap kekuatan Komunisme. Barulah
ketika Belanda dinilai oleh AS juga tidak serius dalam politik
perang di Asia Tenggara. (Coba anda cek dalam dokumen-dokumen di
kampus anda tentang dinamika politik Belanda pada tahun 1960-an yang
mulai berusaha menjadi negara-negara Skandinavia yaitu :menarik diri
dari konflik Internasional dan berkonsentrasi untuk kemakmuran dalam
negeri. Watak Imperialisme Belanda sudah habis hal ini karena
menguatnya barisan Sosialisme dalam tubuh Parlemen Belanda) Amerika
Serikat membutuhkan komprador baru yang realisasinya adalah
penyusupan-penyusupan di tubuh Militer. Dari sinilah kita bisa
menganalisa ayuh mengayuh bandul politik Amerika. Dimana pusat
ayuhannya ada pada titik kekuatan Komunisme.



Tumbuhnya PKI Aidit

Untuk memahami PKI (1951-1965) perlu dianatomi pemimpinnya yaitu :
DN Aidit, Njoto, MH Lukman dan Soedisman. Sampai saat ini kita belum
bisa membedah secara detil pemikiran-pemikiran mereka karena
keterbatasan referensi akibat penjara politik Orde Baru tapi secara
garis besar bisa dilihat wacana-wacana mereka dari apa yang sudah
sering kita lihat pada referensi yang agak terbuka pasca Reformasi
1998.

DN Aidit

Dipa Nusantara Aidit adalah seorang otodidak besar politik Indonesia
yang tidak pernah tertandingi oleh siapapun sampai saat ini dalam
membesarkan partainya. Tidak terkecuali Sukarno. Kelemahan Sukarno
dibanding Aidit adalah Bung Karno tidak pernah berpikir dalam
lingkup konsentrasi kepartaian yang kuat. Bung Karno sangat lemah
dalam melakukan organisasi yang solid. Ini terbukti dengan begitu
saja pecah partai PNI setelah penangkapannya di tahun 1928 dan
kehadiran Hatta yang berantem dengan Mr. Sartono dimana Sukarno
memihak pada Mr.Sartono di Partindo. Jadi secara organisatoris
Sukarno tidak ada apa-apanya. Namun secara magis politik Sukarno
punya nilai jual paling tinggi untuk itulah kemerdekaan politik
Indonesia ada dan diproklamasikan tahun 1945. Aidit berlawanan
dengan Sjahrir dalam membangun partainya. Sjahrir bermain di atas,
Aidit berkoridor di massa. Disini kemudian bertarung antara kaum
elite dengan kaum populis dimana Sukarno berhasil memenangkan kedua-
duanya.

Lalu siapa Aidit? Aidit tidak dibesarkan dalam lingkungan komunisme
otodidak tidak seperti hal-nya tokoh-tokoh utama Komunis jaman
pergerakan seperti : Setiadjid, Tan Malaka atau Musso yang
berkenalan langsung dengan paham-paham komintern Stalinis serta agak
kurang mengenal dimensi lain komunisme yang banyak bermunculan dalam
penentangannya terhadap Menara Suar Pemikiran Lenin seperti Rosal
Luxemburg dan Eduard Bernstein (si ahli revisionis yang menolak
revolusioner kemudian pemikirannya berkembang ke arah sosialisme
demokrat). Aidit dibesarkan murni dari pergerakan Indonesia lewat
Gerindo dimana dia banyak berhubungan dengan orang-orang pergerakan
termasuk Hatta. Jadi awal tanam pikiran Aidit adalah pergerakan
nasionalis bukan internasionalisme seperti yang ada dalam logika
Musso atau Tan Malaka (walaupun kemudian Tan Malaka menyeberang ke
murni nasionalis) Bila dilihat dari tulisan-tulisan Aidit hampir
semuanya cenderung mengajukan problem-problem nasionalisme ketimbang
problem-problem komunisme Internasional inilah yang kemudian Aidit
merasa asing dengan Komunisme Sovyet dan dekat dengan komunisme
Cina. Orang yang mengenalkan Aidit dan mungkin menjadikannya
berjuang di jalan Komunisme kemungkinan terbesar adalah Wikana
seorang inspirator besar kemerdekaan Indonesia Raya yang dengan
jaringan pemanfaatan perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Yang
kemudian bergulir menjadi proklamasi 1945. Adalah tugas kaum
sejarawan untuk lebih detail lagi mengupas watak Aidit dalam
pembentukan karakter politiknya terutama periode 1939-1945 dimana
Aidit mendapatkan tanaman pelajaran politik penting dari Sukarno,
Hatta, AK Gani dan Wikana.

Aidit juga ikut dalam rapat-rapat pembentukan kemerdekaan jadi ia
tahu benar dari awal bagaimana Indonesia ingin dibentuk dan
berdasarkan apa. Juga adanya pengaruh pikiran-pikiran Sukarno di
dalam dirinya. Bila dikatakan Aidit ikut dalam kelompok
Internasionalis Musso mungkin argumennya dia masih terlalu muda.
Aidit berdiri di dua sisi, Sisi Nasionalisme dan sisi PKI.

Perlu dipelajari juga suasana konsolidasi PKI di era Aidit yaitu :
Permusuhannya di kalangan tua. Pada jaman Aidit orang-orang eks
Digulis banyak yang tidak menyenangi kepemimpinan baru. Di tataran
bawah banyak yang bilang seperti jargon : PKI dulu lain dengan PKI
sekarang atau dalam bahasa Aidit sendiri : Bongkar Tan Ling
Djieisme...Tan Ling Djie di ikonkan Aidit sebagai figur lama yang
harus tersungkur dalam hal ini Wikana juga menjadi korban. Apakah
ini berarti Aidit mengabaikan Internasionalisme kemudian menjadi
pendukung penuh Sukarno dalam proyek Nasionalismenya. Dalam kritik
dan otokritik PKI yang dilakukan oleh sisa-sisa elite PKI yang
sempat lolos kejaran tentara pasca G 30 S sempat menyuarakan bahwa
kegagalan terbesar PKI adalah ikut dibelakang Sukarno dan terlalu
larut dalam Revolusinya Sukarno sehingga menjadi korban politik dari
musuh-musuhnya Sukarno. Bila dilihat dari penolakan kelompok tua PKI
dan Kritik dari elite PKI pasca G 30 S kita bisa mengambil
pertanyaan. PKI itu komunisme beneran atau kaki politik Sukarno?.

Pertanyaan ini akan mengambil perenungan yang dalam. Dan saya
menjawab PKI era Aidit (1951-1965) adalah kaki politik Sukarno bukan
bentukan yang nyambung dengan embanan historisitas komunisme
Internasional.

Dua Kegagalan Sukarno

Ada dua kegagalan Sukarno yang terus menerus membayangi dirinya
ialah : Kegagalan ikut dalam pembidanan Angkatan Bersenjata dan
Kegagalan dalam melindungi orang-orang kiri karena takut dicap
sebagai bagian dari Komunisme sepanjang Revolusi Bersenjata 1945-
1949. Kegagalan itu secara bawah sadar membawa Sukarno pada
keinginannya untuk menguasai dua kekuatan itu sekaligus.

Sukarno mengalami cap buruk oleh Belanda (yang juga terus menerus
memfitnah Sukarno adalah fasis dan komunis) karena dinilai sebagai
kolaborator dan bekerja sama dengan fasisme Jepang dari sinilah
kemudian Sukarno mulai agak berjarak dengan kelompok militer.
Sukarno melakukan politik naif yaitu :Membentuk Negara tanpa
Angkatan Bersenjata. Disinilah kenapa sejarah TNI bukan sejarah
militer tapi sejarah rakyat bersenjata. Dan namanya BKR, TKR
kemudian TNI transformasi nama ini menunjukkan Sukarno takut dicap
fasis sehingga menimbulkan kemarahan Inggris. Sesungguhnya tuduhan
Belanda itu ngawur mana ada komunisme yang fasis atau fasis yang
komunisme kedua ideologi itu bertentangan satu sama lain. Tapi
Sukarno masih terlalu hati-hati. Pembentukan tentara profesional
baru terjadi ketika Oerip Soemohardjo membentak di depan elite
pemimpin RI dengan kata-kata terkenal "Mana ada Negara zonder
Tentara?!!!" dari sinilah kemudian lahir BKR kemudian mengalami
transformasi menjadi TKR dan TNI. Sukarno bukanlah bidan tentara
juga bukan Baby Sitter yang mengasuh tentara. Baby Sitter TNI adalah
Hatta melalui tangan AH Nasution dari sini kemudian Sukarno dan
Nasution membangun kekuatannya masing-masing dan Sukarno mempunyai
jembatan tengah yaitu Letjen Ahmad Yani dalam era demokrasi
terpimpin.

Kedua, adalah berjaraknya Sukarno dengan kekuatan kiri. Dan ini
kemudian ditebusnya dengan merangkul dan membesarkan PKI Aidit.
Semua tulisan-tulisan Sukarno selalu mengandung kekaguman pada dua
hal : Sosialisme Marxisme dan Nasionalis –bahkan harus diakui
Sukarno kagum dengan Hitler dalam menumbuhkan watak nasionalis yang
kuat – Dari sinilah kita kemudian menarik akar-akar pemikiran
Sukarno.

Bila dilihat dari wataknya antara Sukarno dan Aidit tidak ada
bedanya. Sama-sama bergaris keras dalam sikap nasionalisme-nya.
Sejak kongres ke IV tahun 1954 diputuskan bahwa PKI tidak boleh lagi
melakukan petualangan politik dan ikut pertarungan politik lewat
jalur resmi. Disini kemudian Sudisman membesarkan organisasi partai
lewat struktur administrasi yang brilian dan berhasil melakukan
pembentukan sel-sel kekuatan politik yang riil.

Jadi disini terjadi PKI Aidit adalah PKI kaki Sukarno. Kemudian Bung
Karno berusaha sekuat tenaga membangun pengaruh di militer dengan
menyingkirkan Nasution dan menolak Gatot Subroto.

Nyoto

Nyoto adalah pemimpin PKI yang meragukan watak komunisme-nya karena
gaya hidupnya yang borjuis dan penikmat musik serta musik Jazz.
Nyoto adalah sahabat dekat Jack Lesmana juga orang yang paling
dipercaya oleh Bung Karno untuk menuliskan amanat-amanat pidato
Sukarno terutama pada saat pidato 17 Agustus 1945. Dari unsur Nyoto
inilah PKI menjadi senyawa dengan Sukarno. Penyingkiran Njoto
sebagai redaktur Harian Rakyat merupakan intrik internal partai dari
persaingannya dengan Oloan Hutapea.

MH Lukman

Mohammad Hatta Lukman, ayah MH Lukman adalah sahabat Hatta dan
menamai anaknya mirip dengan Muhammad Hatta. Dia adalah orang yang
paling mengenal relasi-relasi di luar partai. Lukman juga merupakan
benteng pembela Aidit di dalam tubuh partai namun di depan Aidit,
Lukman sangat lemah.


Sudisman

Menilai Sudisman dengan PKI-nya adalah menilai Sudisman sebagai
jenius pembentuk partai juga orang yang paling berani –keberanian
Sudisman ini mengundang kekaguman Soe Hok Gie yang menuliskan watak
berani Sudisman dalam catatan hariannya - dan membuktikan dalam
pledoinya bahwa PKI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Sukarno.

Sudisman adalah jebolan Pesindo bersama Supeno ia memimpin Lasykar
Pesindo di Yogya dan menjelang serangan umum 1949 ia bersama dengan
Kapten Latif merencanakan penyerbuan militer pada saat Serangan
Umum, perencanaan itu berlangsung di dalam betheng Keraton
Yogyakarta. Kapten Latif ini adalah Kolonel Latif orang yang paling
berperan penting dalam Gerakan 30 September selain Untung dan
Brigjen Suparjo. Kemudian Sudisman bertemu dengan tiga serangkai :
DN Aidit, MH Lukman dan Nyoto lalu dia menduduki jabatan paling
rumit yaitu organisatoris Partai. Kemunculan Sudisman di muka publik
justru pada pledoinya di tahun 1968 yang menjadi bukti bahwa PKI di
era Aidit (1951-1965) bukan Komunisme bentukan Sovyet atau RRC tapi
merupakan murni dari proses sejarah perkembangan masyarakat
Indonesia. Pikiran termurni seseorang adalah ketika dia dihadapkan
pada kesulitan terbesar dan saat Sudisman menghadapi kematiannya
lewat palu pengadilan Mahmilub coba betapa dekat hubungan Sukarno
dan PKI dan bagaimana dalam hal ini PKI membela Sukarno, juga
Sukarno membela PKI sampai beliau mengalami kematiannya dalam
kondisi mengenaskan dan tidak layak diperlakukan selayaknya pemimpin
besar kemerdekaan, berikut pledoi Sudisman tentang Bung Karno :

......... kekuatan militer sekarang supaya mengadakan plebisit
dengan tema:
1. Bung Karno, ya atau tidak.
2. Atau pilih antara Bung Karno dan Jenderal Nasution misalnya.
Plebisit tanpa biaya dapat diselenggarakan, yaitu dengan serentak di
seluruh Indonesia diadakan pemilihan lurah dengan tema seperti
diatas, Sampai sekarang dalam pemilihan umum lurah, rakjat
membiayainya sendiri dan tidak ada anggaran dari pemerintah untuk
itu. Ini jika mau menempuh jalan demokratis, jangan dengan jalan
seperti sekarang ini.
Dengan plebisit saya yakin rakyat akan pilih kembali Bung Karno
sebagai Presiden. Sungguh suatu tragedi nasional, Bung Karno
dijatuhkan oleh MPRS yang sebagian besar angautanya
adalah 'conflicten regoling' yang mengatur sengketa antara Presiden
dengan MPR belum ada dan sekarang terang ada konflik. Jalan satu-
satunya adalah plebisit. Saja teringat pada zaman penjajahan Belanda
du1u kita minta "Volksraad" dan "Rood van Indie" diganti
dengan "Parlemen" karena baik "Volkraad" maupun "Rood van Indie"
tidak dipilih langsung oleh rakjat dan sebagai anggautanya terdiri
dari anggota-anggota angkatan Gubermur Jenderal. Dimana letak
tragedinya? Tragedinya ialah di zaman penjajahan kita berjuang maju
ke Indonesia Berparlemen, tapi setelah merdeka kita mundur ke
semacam "Rood van Indie" bahasa Jawanjy "jo kebangeten"
atau "keterlaluan".
Saja dan PKI tidak. pernah memberikan gelar ini atau itu kepada Bung
Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu, sebab
gelar satu-satunya jang tepat adalah "Bung Karno" sehingga nama Bung
Kerno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran) ke Bung Karno (artinya
bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang revolusioner, justru dalam
keadaan sulit separti sekarang inilah saya terus membela dan
mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu mengatakan bahwa "in de
nood leert men zijn vrien den kennen" (dalam kesulitan kita mengenal
kawan) dan "jo sanak, jo kedang, jen mati aku sing kelangan" kata
Bung Karno untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saja sambut uluran
tangan Bung Karno dengan: "ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek
kancane". (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).
Kenapa saja bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah
sepanjang sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai
berani menyemboyankan "go to hell with your aid" terhadap imperialis
Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa feodal dengan
mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia pada persatuan
tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada instruksi saya
pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk "Barisan Sukarno".
Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov bagi
Bung Karno "a discovery begins where an unsuccessful experiment
ends" (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman yang tidak sukses
berhenti).
(Sudisman, Pledoi menjelang kematiannya di depan Mahmlub 1968)

Dilihat dari pemikiran Sudisman jelas hubungan PKI- Sukarno bukan
hubungan hanya didasarkan pada saling memanfaatkan kekuasaan yang
picik tapi memang dalam rangka membentuk bangunan masyarakat
sosialisme sesuai dengan struktur Bung Karno : Nasakom.

Ada ciri ketakutan dari sejarawan-sejarawan juga para intelektual
Indonesia akibat imbas buruk propaganda Suharto pada jaman Orde Baru
yang begitu mengerikan :

1. Memandang negatif PKI sebagai kekuatan antagonis dalam
perkembangan politik Indonesia : Padahal dalam kerja intelektual
kita harus objektief apalagi sejarawan harus melepaskan dirinya dari
konteks-konteks cap yang berkembang dalam sejarah masyarakat. Akibat
paranoia sejarah sedemikian rupa orang lupa bahwa yang paling
berteriak terhadap ketidakberesan pemerintahan Demokrasi Terpimpin
adalah PKI terutama masalah penurunan harga, Bung Karno sendiri
menyatakan itu di depan KAMI awal tahun 1966 di Istana Bogor.

2. Melihat relasi PKI-Sukarno adalah relasi yang buruk padahal
dalam studi sejarah harus dilepaskan cap-cap relasi sebelum kita
memasuki konteks. Relasi sejarah harus dilihat sebagai bentuk netral
dulu, baru pada pengamatan kita bisa memberikan cap.

3. Pendangkalan fakta. Seperti kasus Yohanes Sulaiman yang
mendasari pada dokumen CIA tentang sikap jiwa kerdil Sukarno dengan
akan menghancurkan PKI setelah proyek Malaysia selesai. Kalau orang-
orang militer yang anti PKI tahu ini kenapa mereka agak berjarak
dengan PKI, jadi diamkan saja dan bantu Bung Karno nyerang Malaysia
baru itu nyerang PKI. Benar-benar studi sejarah yang naif.

4. Ini yang paling sukar. Karena kita berada dalam dimensi
ruang dan waktu kapitalisme kita sulit melepaskan diri berpikir
dengan berjarak pada pengamatan usaha-usaha Sosialisme. Semua yang
terjadi pada perkembangan Sejarah Masyarakat Indonesia pada tahun
1945-1966 adalah `Perkembangan Sejarah Masyarakat Sosialisme" jadi
tolok ukurnya harus dengan bagaimana menyikapi cara berpikir
masyarakat Sosialisme bekerja.


Jadi bila Bung Karno dikatakan akan menghancurkan PKI ini sama saja
mengatakan : `Bung Karno memotong satu kaki Bung Karno' masak orang
mau potong kakinya sendiri. Penafsiran dokumen CIA oleh Yohanes
Sulaiman ini kok mirip seperti pembelaan gaya lama seperti PNI di
era Hadisubeno yang berusaha menjauhkan mati-matian Bung Karno bukan
saja dari PKI tapi dari relasi pemikiran Sukarno dengan Marxisme
benar-benar gerakan cari selamat yang keterlaluan. Saya hanya
berspekulasi apakah tulisan ini mengandung pesan "Mari jauhkan Bung
Karno dengan PKI" kalau itu terjadi ini adalah sebuah pengkhianatan
intelektual bagi kaum sejarawan. Perlu bukti yang dalam bahwa Bung
Karno ingin menghancurkan PKI karena ini pembelokan bagi sejarah
Indonesia yang serius.

Otoritas Bung Karno terhadap Sirkulasi Kepemimpinan

Tulisan Yohanes Sulaiman pada Ikranegara juga mengundang tertawaan
karena seakan-akan merupakan tulisan orang yang baru belajar
sejarah.

Pertama adalah spekulasinya tentang Nasution yang tidak dipercaya
CIA. Memang Nasution dikenal sebagai orang yang tidak prinsipil dan
plin plan. Tapi patut diingat Nasution adalah orang yang juga takut
berhadapan dengan Sukarno. Harus diselidiki apakah Nasution
mendukung benar Suharto dalam menegakkan rezim Junta Militer karena
memang sepenuhnya mendukung atau Suharto dianggap sebagai jembatan
menuju rezim berikutnya - sebagai bukti Nasution setelah Orde Baru
mapan melakukan politik oposisi karena dia adalah lambang dari
korban PKI saja-lah maka Pak Nas tidak dipenjarakan sebagaimana yang
terjadi dengan Pak Ton alias HR Dharsono, padahal kebencian Orba
pada Nasution luar biasa Pak Nas pernah di dorong secara kasar oleh
seorang tentara pada sebuah resepsi karena disana akan hadir
Sudharmono - . Nasution bukan tipe Jenderal penjual negara. Dia
loyalis termasuk dengan Yani hanya saja Nasution menjelang tahun
1965 mencoba bersikap rasional terhadap pemikiran-pemikiran Sukarno
sebagai ciri khasnya dia yang terkenal tapi oleh Sukarno, Jenderal
Nasution di blok dan diisi tempatnya oleh Yani. Yohanes Sulaiman
juga bilang Nasution terlalu dekat dengan Moskow adalah lucu
selucunya. Nasution baik dari pemikiran militer maupun kedekatan
historis rasionalnya sangat dekat dengan barat. Nasution mengirim
banyak perwira-perwira penting ke barat bukan ke Moskow. Jenderal-
Jenderal yang kelak menempati posisi penting Angkatan Darat adalah
didikan Fort Benning, Fort Leavenworth di USA ataupun Fuhrungs der
akademie der bundeswehr di Jerman Barat. Masa depan militer Angkatan
Darat dalam konsep Nasution sejak perang Revolusi Kemerdekaan 1945-
1949 adalah `Militer Bergaya Barat' hanya memang konflik-konflik
militer-lah Nasution kemudian terjebak omongan Dwifungsi walaupun
Dwifungsi Nasution dengan Dwifungsi Suharto berbeda artinya.
Dwifungsi inilah yang kemudian menjadi serdadu penjaga Orde Baru
mirip dengan Pancasila ala Suharto. Nasution bahkan dikenal terlalu
barat. YS harus membeberkan bukti kedekatan Nasution dengan Moskow
kecuali kontrak jual beli mesin militer.

Kedua, adalah anggapan Bung Karno sama sekali tidak memiliki
kekuasaan dalam sirkulasi kepemimpinan tentara adalah sebuah studi
yang aneh dan darimana YS mendapatkan pelajaran sejarah seperti ini?
Apakah YS tidak pernah melihat bahwa apa yang dilakukan Perwira-
Perwira loyalis pemerintah dalam menghajar tentara di luar Jawa di
era 1950-an merupakan sebuah pesan bahwa Sukarno mengalami
kristalisasi kekuatan di militernya. Apakah setelah perjanjian di
depan makam Jenderal Sudirman di Semaki Yogyakarta pasca kejadian 17
Oktober 1952 tidak bisa diartikan sebagai kekuatan Sukarno lewat
tangan Nasution membenahi militernya? Apakah penolakan pengangkatan
Kahar Muzakar atau penangkapan Andi Selle di Pinrang bukan merupakan
pengaruh Jawa. Seperti yang anda katakan Sukarno sangat lihai dalam
mengangkat Jenderal-Jenderal perangnya dan dia bisa dengan santai
memecat Jenderalnya. Bahkan Asvi Warman Adam dalam studinya
mengatakan kesalahan terbesar Sukarno adalah : Terlalu memandang
remeh Suharto dan segera memecat Suharto saat itu juga saat Suharto
menolak memberi peluang Jenderal Pranoto dan Jenderal Umar bertemu
dengan Sukarno. Ini bukan karena Sukarno lemah tapi memang jadi
watak Sukarno untuk lihat keadaan tidak asal main pecat.

Ada beberapa bukti bahwa tangan kekuasaan Sukarno di Militer sangat
kuat dan apa yang dikatakan Ikranegara dalam tanggapannya pada
Yohanes Sulaiman merupakan kebenaran sejarah. Uraian ini sebagai
bukti bahwa Bung Karno sangat kuat dalam mengganti para Jenderal
atau perwira tinggi untuk itu coba saya sitir pada nasib dua perwira
yang merasakan tangan kekuasaan Bung Karno. Jenderal Gatot Subroto
dan Mayor (pensiun Letjen) Kemal Idris.

....Pak Nas dan Pak Gatot pernah dibawa ke pertemuan Beograd,
kemudian langsung ke New York, dimana Bung Karno mengucapkan
pidato : "The Build World anew". Setelah pulang ada perpecahan
diantara dua orang ini (Pak Nas dan Pak Gatot)

Maka kepada Pak Nas saya kemukakan : "setelah Pak Nas dan Pak Gatot
dibawa Bung Karno ke Beograd saya mengira atau umumnya mengira yang
mengganti Pak Nas itu Pak Gatot" . Soalnya Pak Gatot pernah
mengatakan pada saya waktu inspeksi ke Bandung : "Mit, jangan
salahkan bapakmu, ya kalau sebentar lagi pundak saya ditambah
bintangnya" ..........

Tapi ternyata yang menggantikan Nasution itu Jenderal Yani. Awalnya
Yani menolak lalu menandangi Pak Gatot dan berkata dia tidak
bersedia mengganti Pak Nas menjadi Kasad. Tapi Pak Gatot membentak
Yani " Ben je nog soldaat, of niet?! (Kamu masih prajurit atau
bukan?") Laksanakan perintah itu!" Tapi kalimat itu ditambahnya
dengan didorong rasa kecewa "Wat ben Ik" (Apalah saya).

Selain Yani muncul juga nama Sudirman (bukan Pangsar ya..) ya di
kasak-kusuk menjadi calon kuat Kasad menggantikan Nasution. Awalnya
Jenderal Sumitro curiga Nasution memecah belah Angkatan Darat tapi
kemudian hari Jenderal Sumitro mendapat penjelasan dari Nasution
sebagai berikut :

"Sekian waktu kemudian saya mendapat penjelasan dari Pak Nas yang
menggugurkan semua pikiran saya yang lebih dulu itu. Ternyata, bukan
Pak Nas yang menolak Pak Gatot untuk menggantikannya. Yang menolak
adalah Bung Karno. Bung Karno meminta tiga orang lagi calon. Maka
diajukanlah : Jenderal Yani, Jenderal Sudirman dan Jenderal
Djatikusumo. Kemudian ditetapkanlah Jenderal Yani menggantikan
Jenderal Nasution. Saya lega merasa mendapat keterangan demikian
dari Pak Nas.

(Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib, disusun
Ramadhan KH dan diterbitkan oleh Sinar Harapan 1994 catatan utama
hal. 352-353)

Catatan kedua adalah :

Tentang Kemal Idris yang saat itu masih berpangkat Mayor dan
terlibat dalam stel intalasi meriam yang moncongnya diarahkan ke
Istana pada peristiwa 17 Oktober 1952 sehingga tidak disukai Bung
Karno. Ia menilai jabatannya dicoret oleh Bung Karno dan tidak
dibela Nasution :

........Saya merasakan, ujung dari peristiwa Oktober 1952 itu masih
berlanjut. Ini saya rasakan dalam perjalanan karir saya di Angkatan
Darat yang seringkali mengalami hambatan. Kalau saya diajukan oleh
atasan untuk menduduki sesuatu jabatan, selalu ditolak oleh
Soekarno, dengan tidak menandatangani surat keputusannya.

Saya pernah tidak diberi jabatan atau meja selama 8 tahun. Sejak itu
saya merasa terkucil dan dipetieskan. Walaupun kenaikan pangkat dan
kesempatan mengikuti pendidikan tambahan selalu ada, tetapi tidak
dalam hal kedudukan dan jabatan saya. Kecuali pemindahan saya ke
Resimen VII yang dipindahkan dari Jakarta ke Purwakarta.

Barangkali timbul pertanyaan : Apakah Soekarno turut campur tangan
dalam urusan mutasi dan penempatan perwira Angkatan Darat? Bung
Karno sebetulnya tidak turut ikut campur dalam hal kenaikan pangkat
dan penempatan perwira. Akan tetapi , Jika Bung Karno melihat nama
saya dipromosikan maka dia akan mencoretnya.

....."Pak Nas, kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?" saya
bertanya suatu hari kepada Nasution.

"Orang nomor satu harus tahu ke mana kamu harus ditempatkan, kalau
dia bilang tidak setuju berarti tidak jadi" jawab Nasution.

Waktu menjadi Kepala Staf Kostrad, seharusnya saya naik pangkat
menjadi Mayor Jenderal. Bung Karno tidak setuju kecuali kalau saya
bersedia ditugaskan ke luar negeri. Saya memperoleh cerita ini dari
Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikkan pangkat saya
menjadi Mayor Jenderal.

(Biografi Kemal Idris, Bertarung Dalam Revolusi, Penyusun H. Rosihan
Anwar, Ramadhan KH dkk, penerbit Sinar Harapan 1996)

Dari tulisan-tulisan ini saja sudah menunjukkan betapa berkuasanya
Sukarno atas Angkatan Darat. Bahkan dari sudut pandang CIA sekalipun
yang katanya Sukarno sudah mempersiapkan pengganti Yani adalah :
Jenderal Moersjid. Jadi analisa Yohanes Sulaiman tentang betapa
impotennya kekuasaan Sukarno terhadap sirkulasi kekuasaan di tubuh
elite militer perlu dipertanyakan. Bukan pertanyaan analisanya, tapi
pada Profesor mana dia belajar?

Pribadi Yang Penuh Gelombang

Dengan nada yang meyakinkan Yohanes Sulaiman menggambarkan karakter
Sukarno sebagai berikut baiklah saya sitir tulisan Yohanes Sulaiman :


Sukarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan
suara-batin
yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Sukarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka."

Orang macam apa yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno
dengan harga dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia ingin
Indonesia juga memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya
tadinya
juga tidak percaya waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari
membaca biografi Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak
tahun 1945lah maka akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA
melakukan
hal ini, yakni melempar Indonesia ke Konfrontasi karena ia
dipermalukan Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya
gunakan
untuk mendukung argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang-
manjangkan tulisan yang memang sudah cukup panjang ini.

(Tulisan Yohanes Sulaiman menanggapi tulisan Ikranegara)

Pertama-tama adalah sebuah kesalahan fatal menggambarkan pribadi
Bung Karno dalam dimensi ini. Ini merupakan ciri khas Sejarawan CIA
yang ternyata wataknya dianut benar oleh Yohanes Sulaiman. Disini
bukan saja YS salah menilai kepribadian Bung Karno dengan mengutip
satu paragraph lalu membandingkan dengan teori balas dendam brutal
Sukarno yang tak mau peduli menjerumuskan perang yang tidak
dimengertinya. Selain salah dalam menilai entah sadar atau tidak YS
telah menghina watak perjuangan Bung Karno yang seakan-akan mau
bikin celaka orang Indonesia dengan konfrontasi dengan Malaysia. Ini
sama saja dengan omongan orang Belanda : Liat Sukarno bikin celaka
orang Jawa dengan perangnya melawan kita!...benar-benar logika yang
tak masuk akal dan konyol miriplah komentar saya dengan Ikranegara.
Saya akan membandingkan pribadi Bung Karno dengan yang ini dan
kepribadian ini sudah banyak dikenal orang bahkan Onghokham pernah
memuatnya dalam sebuah edisi majalah Prisma juga banyak dikutip para
Sejarawan untuk mengulas kepribadian Bung Karno. Mungkin anda kalau
tercerahkan dan tidak main merendahkan bangsa Indonesia dengan
American Ubber Alles anda sebagai watak inferior complex juga akan
mengulas dari sini :

"Hari kelahiranku adalah serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah
menjadi nasibku yang paling baik dilahirkan dibawah bintang Gemini,
lambang kekembaran, dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat
yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras
laksana baja atau lembut berirama. Kepribadianku adalah paduan
antara pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seseorang yang suka
memaafkan, akan tetapi akupun orang yang sekeras kepala. Aku
menjebloskan musuh-musuh negara ke balik jeruji besi, namun demikian
aku tidak sampai hati membiarkan burung dalam sangkar"

(Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, Cindy Adams)

Itu watak yang tepat menilai Bung Karno bukan watak balas dendam
brutal sehingga tidak peduli rakyat sendiri mati. Sukarno punya
keyakinan tersendiri terhadap hukum sejarah kapitalisme dengan
melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia dan sekarang terbukti
bukan? Betapa Amerika menguasai dunia kalau perlu membunuhi bayi-
bayi kecil di Baghdad sana? Atau anda nggak merasa? Pantas anda kan
berada di ruang kapitalis itu sendiri.

Coba YS tunjukkan watak-watak mana dari Bung Karno yang menunjukkan
bahwa dia main menjerumuskan rakyatnya? Penghinaan yang luar
biasa!.... dari nama besar Sukarno yang sudah teruji kesetiaannya
untuk bangsa Indonesia. Ini bukan emosional coba anda beberkan
dimana kesalahan Bung Karno sehingga menjerumuskan rakyatnya? Atau
tingkah laku Bung Karno yang menurut anda main hantam seperti watak
yang anda ceritakan?

Apa ulah Bung Karno yang menjerumuskan rakyat Indonesia
Gestapu? ....Atau Poros Peking-Jakarta yang gunanya untuk bikin
Indonesia sebagai boneka Peking? .... kalau anda benar-benar bisa
membuktikan konfrontasi Malaysia adalah masalah persoalan pribadi
Bung Karno angkat saya angkat anda menjadi sejarawan Indonesia
terbesar....

Tertawaan anda tentang Dialektika dalam Sejarah juga mengundang
kebingungan saya karena bagaimanapun teori dialektika dalam sejarah
sudah jamak dan cap-capan Kiri adalah dosa sepertinya hanya ada di
Indonesia jaman Orde Baru. Di Amerika sekalipun (kecuali memang
orannya CIA atau sejarawan bayaran) postulat Marxian dalam landasan
dialektika dalam studi sejarah adalah hal yang wajar dan bersifat
netral. Ketakutan atas pemikiran Marxian hanya ada di Indonesia dan
ini memang hasil pendidikan rezim sinting Orde Baru dalam
memperbodoh bangsanya dan menjauhkan dalam khasanah intelektual yang
kritis. Sebagai contoh tulisan anda mengatakan "hubungan injak-injak
foto dengan kemarahan Sukarno" adalah hubungan dialektis bukan
sekedar fakta. Itu dialektis interpersona padahal dalam studi
sejarah kita harus juga belajar memahami situasi ruang waktu dimana
kejadian itu bekerja dan sistem-sistem masyarakat apa yang ada lalu
bisa kita ulas fakta-faktanya.

Nasehat saya : kalau tesis anda tidak jauh berbeda dengan tulisan
anda saat ini mendingan tidak usah jauh-jauh ke Amerika cukuplah
berguru ke jago-jago sejarah di LIPI sana ada bung Asvi, Bung Kiki,
Ikrar Nusa bhakti, Pak Alfian atau ke UI sajalah disana ada Pak
Tamrin Amal Tomagola mereka lebih paham Indonesia dibanding dosen
luaran generasi sekarang.

Dan untuk mempelajari sejarah Indonesia kita harus lihat dari banyak
sisi jangan hanya satu dimensi maka disinilah hubungannya dengan
dialektis. Saya prihatin tentang jalan pikiran anda yang
mengatakan "Jangan Bawa-Bawa Dialektika yang sering digembar
gemborkan DN Aidit" lha apa hubungannya Dialektika dengan Aidit?
Dialektika berpengaruh sekali bukan saja dalam ilmu sejarah tapi
dalam ilmu Sosiologi sejak Marx Ilmu Sosiologi itu berubah dan lebih
dinamis. Saya melihat postulat Dialektika yang anda katakan kiri itu
bagi saya bukan kiri bukan kanan itu alat menganalisa Marxian bagi
saya sama saja nilainya dengan Weber, Durkheim, Habermas, Foucoult
bahkan Fromm dalam menganalisa masyarakat. Sedemikian picikkah
pelajaran di Ohio sana? Siapa yang mengajari anda panas dingin
dengan dialektika? Wah kalau calon doktoral saja ..(sejarawan lagi!)
sepicik ini bagaimana orang awamnya ya...acung jempol deh buat
Gobbels-Gobbels Orde Baru.

Intelektualitas dalam membuka sejarah bukan kenikmatan untuk
bermewah-mewah kenikmatan Intelektualitas justru dari keberaniannya
bertarung dengan kehidupan apalagi mencintai bangsanya. Dari Pram-
lah kita patut bercermin bagaimana keteguhan intelektualitas dan
kecintaan pada bangsa layak kita berikan :

........16 Agustus 1969. Kau berbulan madu di Happy land yang sudah
jelas. Aku ke Happy land somewhere: konon ke Pulau Buru di Maluku,
sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok kalau tidak dibatalkan
oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama lebih dari 800
orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik
Indonesia. Kesadaran sajalah yang membikin diri tahu, kami sedang
ada di perairan tanah air kami sendiri, negara Maritim dengan tiga
belas ribu pulau. Kata orang, setiap diantara pulau itu milik kami,
jkuga setiap cangkir dari perairan antara dua samudra itu, Hindia
dan Pasifik. Itu ajaran klasik di sekolah. Lebih nyata lagi oleh
ucapan Peltu Marzuki di RTC Salemba: Kalian tak punya hak apa-apa
selain bernafas. (Dan ternyata sudah sekian dari kami hak untuk
bernafas pun dirampas)....kami berlayar dalam ruang dengan pintu
besar jeriji besi, dan dikunci dalam sekapan, dalam tiga ruang besar
di bawah dek. Melihat langit pun tak ada lagi hak, jangankan
memiliki atau ikut memiliki.

(Pramudya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, catatan dari Pulau
Buru, Jakarta 6 Februari 1995).

Tulisan ini diawali dengan kutipan Sartono Kartodirdjo, ditutup
dengan tulisan Sartono pula :

Suatu bangsa tidak mengenal sejarahnya berarti suatu bangsa tidak
mengenal identitas, padahal bangsa tanpa identitas adalah
Contradictio in Terminis. (Kata Pengantar Sejarah Pergerakan
Nasional Jilid 2)


ANTON


TANGGAPAN YS TERHADAP IKRANEGARA DAN ANTON


> Tanggapan Saudara Anton memang benar-benar menarik, walaupun
> kelihatannya ditulis dalam kondisi yang emosional dan terlalu
> bersemangat 1945, padahal keinginan untuk saling belajar dan
berkepala
> dingin paling penting dalam sebuah diskusi apalagi tentang masalah
> G30S/PKI yang kontroversial ini. Sebelum Saudara Anton membaca
> tanggapan saya, pertama-tama, saya lampirkan dulu tanggapan saya
> terhadap tulisan Bapak Ikranegara:
>
> Tulisan sanggahan Pak Ikranegara memang menarik, namun sayangnya ia
> tidak melihat konteks politis Indonesia pada masa itu. Dalam
tulisan
> ini, saya akan membahas sanggahan-sanggahan yang ia kemukakan dan
> mencoba menempatkan para pembaca dalam konteks situasi waktu itu.
>
> Sanggahan pertama Pak Ikranegara terhadap tulisan saya terletak
pada
> peran PKI. Pak Ikranegara melihat peran PKI adalah sebagai serdadu
> sipil, namun Sukarno membutuhkan PKI bukan untuk sebagai serdadu.
> Sukarno menguatirkan kepopuleran PKI dikalangan masyarakat, di mana
> pada pemilu 1955 PKI mendapatkan 16.4% suara dan pada pemilu daerah
> tahun 1957, perolehan suara PKI meningkat sebesar tujuh juta, dan
ini
> hanya di Jawa. Pada tahun 1963, tak ada lagi partai politik yang
bisa
> menyaingi PKI: Masyumi sudah dibredel tahun 1959, PNI tak terlalu
> berguna, sementara NU hanya kuat di kalangan kaum tradisionalis di
> Jawa Tengah dan Jawa Timur.
>
> Selain itu, tak bisa dilupakan bahwa PKI adalah partai komunis
> terbesar ketiga di dunia, dibelakang Uni Soviet dan China Beijing!
> Posisi PKI begitu ditakutinya di dunia, sampai Uni Soviet dan China
> Beijing berusaha mendekati PKI. Apalagi, setelah China Beijing
> berhasil meledakkan bom nuklir dan Sukarno ingin mendekatkan
Indonesia
> ke China Beijing, PKI menjadi sulit dipisahkan. Sebetulnya masih
ada
> juga satu alasan kenapa Sukarno betul-betul mau membentuk poros
> Jakarta-Beijing-Pyongyang-Phnom Pehn, namun saya tak akan bongkar
> sekarang, karena saya ingin kalau disertasi saya diterbitkan juga
> masih ada kejutan yang belum saya buka. Saya hanya beri petunjuk
saja,
> bahwa ada hubungannya dengan Amerika Serikat.
>
> Sanggahan kedua Pak Ikranegara terletak pada posisi Sukarno sebagai
> Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI dan Pemimpin Besar Revolusi.
> Perlu diingat bahwa tentara Indonesia itu mungkin paling unik di
> dunia, bahwa hampir semua divisi (bahkan batalyon!) memiliki
kebebasan
> sendiri, akibat minimnya dana yang bisa curahkan pemerintah untuk
> memenuhi kebutuhan angkatan bersenjata. Kebebasan tentara pun
> diperkuat atas bisnis tentara sendiri, di mana untuk memenuhi
> kebutuhan dana militernya, mereka harus bergantung kepada
> penyelundupan dan usaha-usaha bekas milik Belanda yang
> dinasionalisasi. Jadi, walaupun Sukarno memiliki banyak gelar, ia
tak
> berkuasa sepenuhnya kepada angkatan bersenjata. Karena itu, sulit
> untuk Sukarno untuk seenak perutnya memecat jendral-jendral yang ia
> tidak sukai.
>
> Ketiga adalah pribadi Sukarno sendiri. Pak Ikranegara menolak
melihat
> Sukarno sebagai seorang yang emosional, penuh dendam, dan
emosional.
> Mari saya kutipkan tulisan Sukarno sendiri melalui autobiografinya
> yang terkenal (kecuali kalau anda rasa itu tulisan CIA juga):
"Sukarno
> adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-
batin
> yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai
dirinja
> sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa
lain.
> Sukarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
> manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka."
>
> Orang macam apa yang berani menulis seperti ini, kecuali Sukarno
> dengan harga dirinya yang memang sangat tinggi itu, di mana ia
ingin
> Indonesia juga memiliki harga diri tinggi di mata dunia? Saya
tadinya
> juga tidak percaya waktu membaca dokumen CIA tersebut, tapi dari
> membaca biografi Sukarno serta melihat tindakan-tindakannya sejak
> tahun 1945lah maka akhirnya saya percaya bahwa Sukarno BISA
melakukan
> hal ini, yakni melempar Indonesia ke Konfrontasi karena ia
> dipermalukan Malaysia. Masih banyak lagi bahan yang bisa saya
gunakan
> untuk mendukung argumen saya ini, tapi saya tak mau memanjang-
> manjangkan tulisan yang memang sudah cukup panjang ini.
>
> Dari sanggahan Pak Ikranegara, ada satu yang saya setuju, yakni
G30S/
> PKI itu bertujuan untuk mengadili para jendral. Tapi saya
menekankan
> satu hal dalam disertasi saya, yakni G30S/PKI itu adalah sebuah
> kecelakaan. Namun saya tak tuliskan dalam tulisan di Kompas
berhubung
> keterbatasan tempat dan di luar topik. Mungkin anda tak percaya,
tapi
> pada tanggal Oktober 6, 1965, CIA sendiri menyatakan kepada
Presiden
> Johnson bahwa tak mungkin PKI merencanakan pembunuhan atas keenam
> jendral tersebut karena situasi politis di Indonesia sangat
> menguntungkan PKI, suatu laporan yang agak sulit diterima kalau
kita
> berpendapat bahwa AS/CIA itu adalah dalang dari G30S/PKI.
>
> Keempat, Pak Ikranegara sayang sekali sangat berpandangan naïf
tentang
> Sukarno, sehingga ia tak bisa menghargai dan mengagumi kehebatan
dan
> kelihaian Sukarno dalam berpolitik. Walaupun disertasi saya ini
> mungkin dianggap menyerang Sukarno, tapi semakin lama saya
mempelajari
> Sukarno, semakin kagum saya, kok bisa ada orang selihai ini, tak
> seperti yang biasa dituliskan dalam buku-buku biografi tentang dia.
>
> Terakhir, saya menolak kalau saya dianggap ikut-ikutan pandangan
guru
> besar saya yang dianggap berpandangan "American Uber Alles" itu.
> Soalnya, saya lebih berpandangan "American Uber Alles" daripada
dia!
> (yang ini bergurau, tolong jangan dianggap serius).
>
> YS
> ---------------
>
> Saya rasa saya sudah menjawab sebagian besar tulisan Saudara Anton.
> Sekarang untuk menjawab tanggapan Saudara Anton yang belum dibahas
> dalam tanggapan saya kepada Pak Ikranegara:
>
> Pertama-tama saya akan membahas tanggapannya mengenai bahan-bahan
dari
> CIA. Semua dokumen yang saya gunakan ditulis persis pada saat
> terjadinya sebuah peristiwa, kecuali satu buku investigasi dari CIA
> tentang G30S/PKI yang diterbikan tahun 1969 dengan menggunakan
bukti-
> bukti dari pengadilan orang-orang yang terlibat dalam G30S/PKI dan
> satu artikel untuk publikasi internal CIA yang mengulas peran
Amerika
> Serikat dalam kejatuhan Sukarno. Semua dokumen tersebut adalah
untuk
> konsumsi internal yang baru saja dilepaskan untuk umum beberapa
tahun
> yang lalu, sehingga tak ada inisiatif bagi para penyusun dokumen
itu
> untuk memain-mainkan apa yang mereka tulis untuk umum. Semuanya
hanya
> untuk para pengambil keputusan di Washington. Mungkin Saudara Anton
> ini sudah cenderung terbuai semua rumor tentang propaganda CIA
akibat
> paham kirinya yang menggembar-gemborkan dialektika sehingga ia tak
> bisa membedakan mana dokumen yang diperuntukkan untuk konsumsi umum
> dan mana yang diperuntukkan untuk konsumsi internal di Washington.
> Begitu pula dengan Sukarno: ada yang Sukarno katakan untuk konsumsi
> umum dan ada juga yang untuk konsumsi kalangan tertentu, dan lucu
> bahwa pidato Sukarno yang jelas-jelas untuk konsumsi umum dianggap
> lebih berbobot daripada dokumen-dokumen CIA yang ditulis untuk
> konsumsi elit di Washington. Keduanya sama pentingnya sebagai bukti
> sejarah, pertanyaannya adalah bagaimana kita, sebagai orang yang
> mempelajari sejarah, berusaha untuk menganalisanya.
>
> Kedua, mungkin saya memang sudah lama tidak di Indonesia akibat
> bergumul dengan pelajaran di sini karena itu saya sudah ketinggalan
> tentang perkembangan literature G30S/PKI di Indonesia. Tapi sejauh
> yang saya lihat, dari tulisan-tulisan yang muncul di berbagai
media,
> ditambah lagi beberapa buku baru yang baru diterbitkan seperti buku
> John Roosa yang menarik, yang membahas tentang G30S/PKI, tak ada
dari
> mereka yang betul-betul mencoba melihat korelasi antara Malaysia
> dengan tentara-tentara yang terlibat G30S/PKI. Berbuhung dari itu,
hal
> ini tak bisa saya bantah, tapi di sisi lain juga, Saudara Anton
perlu
> memberikan bukti kepada saya bahwa banyak sejarahwan di Indonesia
> sudah memperhatikan hubungan antara Konfrontasi dengan G30S/PKI. Di
> sini, saya dengan senang hati menunggunya.
>
> Ketiga, cukup banyak tulisan Saudara Anton ini yang sulit dibantah,
> bukan karena tak terbantahkan, tapi karena ia melakukan orasi di
sana
> sini, tanpa data-data yang kuat. Jika waktu itu Kalimantan memang
> sudah dipenuhi pasukan Indonesia dan Sukarno yakin bahwa Indonesia
> menang, mengapa tak ada penyerbuan kepada Malaysia saat itu juga?
> Dipikir-pikir Inggris sendiri waktu itu juga sebal, karena biaya
> mereka setiap hari itu mencapai satu juta poundsterling dan alasan
> mereka untuk membentuk Malaysia sendiri agar mereka bisa cepat-
cepat
> meninggalkan Asia Tenggara dan mendapatkan Federasi Malaysia yang
> terdiri dari Malaya, Singapura, Sabah, dan Serawak yang anti
komunis.
>
> Keempat, soal Tan Malaka, mungkin anda tak tahu, tapi Tan Malaka
> pernah meminta dukungan Sjahrir untuk mengangkat dirinya sebagai
> presiden menggantikan Sukarno. Sjahrir menjawab pendek: kalau kamu
> hanya sepuluh persen saja sepopuler Sukarno, kita akan
> mempertimbangkan untuk mengangkatmu senagai presiden. Ini bukan
dari
> CIA, ini adalah tulisan Rosihan Anwar, kecuali kalau anda juga
> menganggap Rosihan Anwar dipengaruhi CIA.
>
> Kelima: Saya tak pernah berpendapat Ahmad Yani itu pengecut. Ada
> perbedaan besar antara orang yang tahu kekuatan dirinya sendiri
> sehingga menolak untuk berkelahi dengan orang yang tak mau
berkelahi
> karena pengecut. Contoh yang pertama adalah Ahmad Yani. Saya tak
> pernah melihat tindakan Ahmad Yani sebagai sebuah kepengecutan.
>
> Keenam, tulisan anda itu sudah terlalu panjangnya dan meleber
kemana-
> mana seperti nila didalam susu saja, sampai saya terus terang
bingung
> mau balas bagian mananya, soalnya pusing. Tujuan tulisan saya di
> Kompas kan hanya untuk mencoba membawa isu Malaysia ke perdebatan
> tentang G30S/PKI dan memperlihatkan bahwa Sukarno sendiri bukannya
> pendukung PKI 100% karena tindakan Sukarno yang berpihak kepada PKI
> sejak tahun 1963-5 didasarkan oleh kalkulasinya tentang Malaysia.
>
> Satu nasihat saya: kalau menulis sejarah, tak perlu bawa-bawa
> dialektika. Dialektika imperialisme/kolonialisme yang senangnya
> digembar-gemborkan Aidit dan pemimpin-pemimpin komunis di Beijing
dan
> Moskow sana membuat tulisan jadi panjangnya enggak karu-karuan dan
> meleber kemana-mana, tak terlalu bisa memberikan kontribusi yang
> berarti kepada perdebatan, dan membuat anda menjadi "bias" dan
menolak
> mengevaluasi fakta-fakta yang ada secara objektif.
>