Industri perdagangan berjangka tampaknya harus menjadi juru selamat. Memikul beban dosa yang dilakukan oleh 'penjahat kerah putih' sektor keuangan yang licin bagai belut. (dimuat juga di Bisnis Indonesia April 12)

Jurus hanky panky para kerah putih itu secara langsung difasilitasi oleh regulasi yang rancu. Konsepsi yang salah dan berkembang di tengah masyarakat juga sepenuhnya bersumber dari kerancuan regulasi itu. Masyarakat umum tidak tahu bahwa mobilisasi dana masyarakat yang dilakukan oleh Smartway, Ibist, Wahana Globalindo, dan paling gres Sarana Perdana Indoglobal (SPI), berada di luar aturan main perdagangan berjangka dan dilakukan di luar BBJ oleh perusahaan yang bukan anggota bursa. Transaksi dari pengelola dana itu tidak pernah dilaporkan ke BBJ, aliran dana raksasa dari kegiatan itu berputar di luar sistem perdagangan berjangka yang difasilitasi BBJ. Namun, karena dalam janji gombal para kerah putih itu disebutkan bahwa sebagian atau seluruh uang masyarakat akan dikelola dalam perdagangan instrumen derivatif, jadilah dia industri perdagangan berjangka, dan BBJ berlepotan getah, dari nangka yang dinikmati para kerah putih itu. Lihat SPI, perusahaan yang memobilisasi dana dengan mengeluarkan surat berharga komersial (commercial papers/CP), dan seperti galibnya, CP itu tentu menjanjikan keuntungan pasti, baik dalam bentuk diskon atau fixed bearing interest. Menurut para pemasaran SPI, dana yang dimobilisasi melalui CP itu akan ditransaksikan dalam perdagangan berjangka dan pasar modal. Untuk meyakinkan masyarakat, SPI menunjukkan bahwa mereka memiliki perusahaan terafiliasi, antara lain Sarana Perdana Berjangka (SPB) yang kebetulan anggota BBJ dan Patalian Water Sekuritas (PWS) yang kebetulan anggota PT Bursa Efek Jakarta.

Sebuah bendera

Hasil pencarian fakta sementara yang dilakukan BBJ membuktikan SPB itu tidak lebih dari sebuah bendera yang dijadikan alat untuk menarik investor.

SPB praktis tak punya peran dalam perdagangan berjangka. Dana masyarakat yang dikumpulkan nyaris tak pernah mampir di rekening terpisah SPB.

Boleh jadi PWS demikian juga. Aktivitas PWS bisa disterilkan dari gonjang ganjing SPI. Pendirian berbagai institusi badan hukum yang terpisah, dilakukan secara terencana untuk dijadikan semacam defensive tool oleh mastermind kerah putih guna mencuci bersih wajahnya di pasar modal dan berjangka.

Sungguh lihai. Bappebti menyatakan tidak punya kewenangan untuk memeriksa SPI! Bapepam dan BEJ juga hanya memfokuskan pemeriksaannya pada kegiatan PWS.

Padahal pusat operasi berada di SPI, yang tak berani disentuh oleh kedua lembaga pengawas itu. Betapa mudahnya menyiasati pagar-pagar hukum di negara yang konon menyebut dirinya sebagai negara hukum ini.

Pelanggaran SPI akan muskil bila dikaji melalui pendekatan pidana umum, karena kegagalan memenuhi janji dalam kontrak CP sepenuhnya ranah perdata.

Karena itu, harapan perlindungan masyarakat yang lebih efektif terletak di pundak Bapepam dan Bappebti.

Guna melindungi masyarakat pemodal, Bapepam, menurut hemat saya, dapat menginterpretasikan CP sebagai efek, sehingga mobilisasi dana secara massif melalui penerbitan surat berharga komersial itu berada di bawah yurisdiksi Bapepam.

Absennya institusi yang secara jelas mengawasi penerbitan CP ini, di kemudian hari, akan membuka peluang lebar-lebar bagi kerah putih yang lain untuk mengeruk tabungan masyarakat luas untuk dibawa lari.

Dari segi penggunaan dana, Bappebti dapat memasukkan kegiatan SPI ke dalam yurisdiksinya. Bukankah Bappebti telah menetapkan bahwa setiap upaya mobilisasi dana masyarakat untuk keperluan pemenuhan margin transaksi perdagangan berjangka berada di bawah pengawasan badan ini?

Mobilisasi dana bisa dilakukan dengan berbagai cara: kumpulin duit mentah, keluarkan CP atau surat utang jangka menengah atau apapun. Namun, sepanjang penggunaan dana tersebut untuk marjin transaksi derivatif, mestinya di bawah payung UU No. 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan diawasi oleh Bappebti.

Mobilisasi dana

Saya selalu meyatakan bahwa dalam sistem keuangan yang beradab setiap mobilisasi dana masyarakat, terutama masyarakat rata-rata (average investors untuk membedakannya dari accredited /sophisticated investors) untuk tujuan investasi, wajib diatur dengan undang-undang dan diawasi oleh lembaga pengawas yang dibentuk berdasar undang-undang.

Jauh lebih baik memiliki beberapa pengawas untuk mengawasi kegiatan yang sama ketimbang absennya pengawasan sama sekali.

Berbagai pengalaman pahit ini sebaiknya mengajarkan kita bahwa pengawasan sektor keuangan yang terkotak-kotak selalu membuka celah bagi para kerah putih untuk lolos dari jeratan hukum.

Dalam hubungan itu, pemikiran kearah penyatuan pengawasan seluruh sektor jasa keuangan ke dalam satu atap yang diamanatkan oleh UU Bank Sentral sejak jauh hari, seyogianya tidak kembali mengalami penundaan.

Oleh Hasan Zein Mahmud
Dirut PT Bursa Berjangka Jakarta