Lapindo Brantas Inc. badan hukum perusahan yang pemegang sahamnya antara lain Bakrie Group,bergerak antara lain dalam bidang usaha pertambangan), perusahaan ini memperoleh ijin dari Negara untuk melakukan penambangan minyak & gas didaratan (onshore) desa Poromg Kabupaten Sidoarjo, untuk memperoleh ijin penambangan minyak tersebut kemungkinan sudah banyak uang yang dikeluarkan oleh Lapindo Brantas Inc. kekas Negara sebelum ia melaksanakan penambangan , Pada saat melakukan penambangan tidak ada niat baik dari Lapindo maupun Negara untuk melakukan kesalahan yang mengakibatkan terjadinya MUSIBAH seperti yang terjadi sekarang ini. Sebelum terjadinya musibah yang terbayang dari Lapindo sebagai perusahaan dagang adalah keuntungan besar, bukan kerugian besar , demikian pula dengan Negara yang terbayang adalah tambahan pemasukan yang bertujuan untuk mensejahterakan Rakyatnya.

Warga yang sudah memiliki tanah dan bangunan di tempat
terjadinya musibah , tidak terpikirkan akan terjadinya
musibah ini. Kemungkinan besar tidak terpikirkan
mereka ingin menjual tanah dan bangunan yang mereka
kelola dan mereka tempati, demikian pula dengan
Negara terlepas dari besar kecilnya, Negara telah
menikmati pendapatan berupa berbagai jenis PAJAK dari
warganegaranya didaerah Porong tersebut.

Saya sengaja memberikan ilustrasi diatas untuk
menyamakan presepsi kita dalam proses jual beli tanah
korban LUMPUR SIDOARJO, sebab ada gejala cara
penanganan Musibah Lumpur Sidoarjo, dilakukan
pendekatan bisnis, bukan pendekatan TANGGUNG JAWAB
dalam arti menyeluruh, kalaupun ada perkataan
“Tanggung Jawab” ditambah kata SOSIAL, menjadi
“Tanggung Jawab Sosial” yang menempatkan warga korban
lumpur Sidoarjo sebagai pengemis.

Kalau sekedar “ tanggung jawab sosial” hal ini sudah
dan sedang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. dan
Negara yaitu dengan cara memberikan jatah bantuan
hidup dan uang kontrak kepada warga korban Lumpur
Sidoarjo, akan tetapi dalam hal “Tanggung Jawab “
dalam arti yang menyeluruh terutama terhadap
penggantian Hak Tanah dan Bangunan yang
dikuasai/dikelola oleh warga korban Lumpur Sidorajo,
hal ini belum dilakukan oleh Lapindo dan Negara
bahkan terkesan akan menghindar dari tanggung jawab
tersebut.

Mungkin karena panik, bingung, khilaf karena
menanggani Musibah yang sudah menjadi Bencana Alam
yang skalanya Nasional maka untuk Hak Tanah dan
Bangunan yang selama ini dikuasai/dikelola oleh warga
korban Lumpur Sidoardjo, PT Lapindo Berantas
menggandeng/menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya, anak
perusahaan Bakrie Group yang bergerak di bidang
pengembangan industri dan properti untuk menyelesaikan
pembayaran kompensasi ganti kerugian warga.

Hal diatas dapat dianalogikan ada musibah Truk Gandeng
mogok ditengah jalan besar supir Cuma dibantu kenek,
pada tahap awal si supir dan kenek memang berusaha
menepikan Truk Gandeng tersebut kepinggir jalan akan
tetapi karena tidak mampu ia tidak berusaha minta
tolong pada mobil dibelakangnya akan tetapi justru
yang letaknya sangat jauh dari tempat kejadian ,
kalaupun Truk Gandeng tersebut harus diderek maka ia
tidak nau menelpon perusahaan mobil derek terdekat,
akan tetapi memanggil perusahaan mobil derek miliknya
sendiri, bahkan bikin perusahaan mobil derek terlebih
dahulu baru ke3mudian Truk Gandeng tersebut ditarik
ketepi jalan dan celakanya Pak Polisi yang berada
dilapangan membiarkan bahkan membantu perilaku supir
dan kenek truk tersebut.

Dalam KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13
TAHUN 2006, TENTANG TIM NASIONAL PENANGGULANGAN
SEMBURAN LUMPUR DI SIDOARJO yang Ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 8 September 2006 oleh PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, saya tidak menemukan kalimat PT
Minarak Lapindo Jaya yang ada hanya PT Lapindo
Berantas.

Kalaulah niat Bakrie Group menugaskan PT Minarak
Lapindo Jaya anak perusahaan Bakrie Group yang
bergerak di bidang pengembangan industri dan properti
untuk menyelesaikan pembayaran kompensasi ganti
kerugian warga untuk mempermudah kerjanya,
Pertanyaannya kemudian PT Minarak Lapindo Jaya ataupun
Bakrie Group yang mempunyai, perusahaan yang bergerak
di bidang pengembangan industri dan properti, tentunya
faham betul cara mengurus ijin dan melaksanakan
pembebasan lahan untuk membangun kawasan industri dan
properti , perusahaan-perusahaan pengembang faham
betul dengan apa yang disebut Rencana Tata Ruang ,
mereka faham betul dengan apa yang disebut Surat Ijin
Pembebasan Peruntukkan Tanah/SIPPT, mereka faham betul
dengan yang disebut SERTIFAT INDUK, mereka faham betul
bagaimana cara melakukan jual beli tanah, sekali lagi
jual beli tanah yang bersertifikat, yang ber IMB
dengan yang tidak ber Sertifikat dan tidak ber IMB,
yang petok C atau petok D , yang bayar PBB atau tidak
bayar PBB, yang liar maupun tidak liar.

Kalaulah Bakrie Group tetap bersikokoh dengan polanya
sekarang ini maka hal ini sama saja dengan Bakrie
Group menugaskan PT Lapindo Berantas melakukan
kegiatan penyemburan lumpur dalam rangka melakukan
bisnis property melalui PT Minarak Lapindo Jaya, kalau
itu yang diinginkan maka sudah wajar bila kini warga
yang hanya memiki petok C, petok D ataupun surat-surat
penguasaan / penglolaan lahan yang dianggap TIDAK
LENGKAP VERSI PT Minarak Lapindo Jaya mempertanyakan
kelengkapan ijin PT Minarak Lapindo Jaya untuk
berusaha dibidang property di lokasi terjadinya Lumpur
Sidoarjo.

Dari uraian diatas tampak jelas diduga kuat, semua
pihak sesungguhnya mempunyai potensi kedudukan posisi
hukum yang sama lemah, warga korban Lumpur Sidoarjo
belum memliki surat-surat sebagaimana ketentuan yang
diatur Negara, PT Minarak diduga kuat juga belum
memiliki surat-surat sebagaimana yang diatur Negara
sebagaimana layaknya perusahaan pengembang kawasan
industry dan propertim sebagai akibatnya penyelenggara
Negara yang menangani masalah inipun menjadi bingung.

Asalkan semua pihak yang terlibat dalam masalah ini
dapat keluar dari masalahnya asalkan ada keihlasan
sebagai contoh : PT Minarak Lapindo Jaya dalam posisi
hukum yang diperkirakan sesungguhnya lemah telah
bersedia membeli tanah warga korban Lumpur Sidoarjo,
bagi yang memiki sertifikat dengan uang muka 20% yang
kemudian dicicil dua tahun, mungkin bisa saja diatur
bagi warga yang hanya memiliki patok c, patok D dan
ijin-ijin lain diberi uang muka 15 %, uang muka
tersebut tidak sepenuhnya diterima akan tetapi
sebagian dipergunakan untuk MENGURUS SERTIFIKAT
ditempat baru (relokasi) di Kabupaten Sidoarjo atau
tempat lain di Propinsi Jawa Timur.

Keikhlasan tersebut diatas namanya Musibah menjadi
Hikmah, mungkin saja para penerima millis ini punya
idea lain silahkan saja, akan tetapi saya mohon
bantuan bagi teman-teman untuk meneruskan tulisan saya
pada perbagai pihak yang terlibat secara langsung
maupun tidak langsung dalam kasus musibah LUMPUR
SIDOARJO.
Salam

Eko Darminto