Mari kita coba mendudukkan masalah ini pada porsinya yang pas untuksemua fihak yang terlibat. Dalam hal ini yang utama adalah Zainudin,Materazzi dan Wasit. Tentu saja kita bisa memaklumi Zainudin sebagai manusia juga, tetapi di dalam pertandingan olahraga jenis apa pun tentulah aturan permainan di lapangan sepak bola yang jadi pegangan Wasit dalam mewasiti pertandingan sesuai dengan yang ada di dalam buku panduannya itu diberlakukan bagi siapa pun tanpa pandang bulu, bukan? Yang dinilai adalah Zainudin dll sebagai pemain sepak bola, dan inilah pegangan Wasit. Artinya "zero tolerance!"



Dari berbagai info yang muncul sehubungan dengan Zainudin dan
Materazzi ini tampaknya soal ejek mengejek di dalam pertandingan
sepak bola ini sudah merupakan kebiasaan dan merupakan bagian dari
psi-war di lapangan. Malahan sebelum pluit dibunyikan sebagai tanda
mulainya pertandingan pun psi-war ini sudah dimulai. Begitu mereka
keluar dari ruang ganti pakaian, maka bertemu di lorong yang menuju
ke lapangan, ejek mengejek sudah dilontarkan oleh kedua belah fihak.
Jadi, sudah merupakan bagian dari pertandingan itu sendiri.

Dan Wasit sudah juga mengetahui adanya kebiasaan semacam itu,
karenanya Wasit tidak memperdulikan soal ejek mengejek itu, karena
tugasnya bukanlah meniliai apa yang diucapkan dalam bentuk ejek-
ejekan itu, melainkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
sesuai dengan yang tercatat di dalam buku aturan bermain sepak bola.
Maka apa yang dilakukan oleh Wasit terhadap Zainudin sudah benar.

Zainudin sendiri tidak menolak hukuman yang dilakukan oleh Wasit
terhada dirinya, bahkan dia minta maaf telah melakukan hal ini
sehingga disaksikan jutaan orang dari seluruh penjuru dunia, bukan?

Dengan kata lain, dia SEBAGAI PEMAIN SEPAK BOLA yang sportif dan
tahu adanya aturan main dalam pertandingan sepak bola yang tidak
boleh dilanggarnya, dia justeru mengakui telah melakukan kesalahan
yang fatal itu dan pantas dijatuhi hukuman.

Tapi sebagai pribadi, sebagai manusia, dia tidak menyesali apa yang
dilakukannya itu, karena apa yang diejekkan oleh Materazzi itu tidak
bisa diterimanya sama sekali. Menurut Zainudian, satu kali ejekan
itu dibiarkannya, dua kali masih dibiarkannya, tetapi untuk yang
ketiga (atau keempat?) kalinya maka dia tidak bisa lagi
membiarkannya. Nah, sebagai pribadi dan manusia tak ubahnya dengan
kita, itulah reaksinya terhadap ejekan yang menurut dia
tergolong "serius" itu, dan sebagai manusia biasa seperti juga kita
dia minta agar Matterazzi juga dihukum oleh Wasit. Tapi sayang
aturan seperti ini tidak ada di dalam buku aturan pertandingan sepak
bola tingkat dunia sekali pun, tidak perduli apa pun yang diejekkan
itu keterlaluan atau tidak, seius atau tidak.

Akhirnya, ada yang membandingkan hal ini dengan yang dilakukan oleh
Muhamad Ali sang juara tinju Amerika itu, dan juga Pele. Hanya saja
kedua genius itu (yang Zainudin sekarang ini dinyatakan setingkat
dengan mereka berdua itu kehebatannya sebagai seorang olaragawan)
tidaklah melakukan pelanggaran kode etik pertandingan olahraga yang
mereka lakukan sampai di akhir karier mereka. Balik Pele maupun
(apalagi) Ali, selalu membisikkan ejekan kepada lawannya sebagai
dari psi-warnya yang merupakan bagian dari ofensifnya terhadap
lawannya. Ali bahkan digelari sebagai "Si Mulut Besar" (meskipun
mulut besarnya selalu benar dalam meramalkan kemenangannya) oleh
para wartawan. Dalam temu pers sebelum hari pertandingan Ali selalu
mengejek lawannya, bukan?

Maka persatuan wartawan pun akhirnya memberikan gelar terbaik kepada
Zainudin sebagai olahragawan sepak bola, meskipun di pertandingan
terakhirnya terkena kartu merah, karena menilai Zainudin sebagai
olahragawan di bidangnya memang berhak menyandang gelar ini. Dan
kehebatannya terbukti tidak ada kaitannya dengan tandukan kepala
yang dilakukannya terhadap Materazzi, bukan? Artinya Zainudin memang
hebat, lepas dari soal kartu merah itu.


Ikra.-