Seperti diberitakan Kompas hari ini (lihat di bawah), sejumlah
tokoh  agama Kristen dan Katolik menemui Ketua Umum Front Pembela
Islam (FPI)  Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab (Habib Rizieq) Sabtu
(3/9), di  kediamannya, yang antara lain membahas kontroversi
Surat Keputusan  Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri, SKB No 01 BER/  MDN-MAG/1969 soal tempat ibadah.


Romo Franz Magnis Suseno yang ikut dalam rombongan tersebut mengatakan,
”Saya belum pernah bertemu Habib. Karena nama beliau sering disebut,
saya pikir sangat kompeten untuk menemui pemimpin FPI. Selama ini saya
sering berhubungan dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.”

Apakah kunjungan para tokoh agama Kristen dan Katolik kepada komandan
dari kelompok yang sering dinisbatkan sebagai “preman berjubah” tersebut
merupakan langkah bijak?
{mosgoogle}
Tetapi, seperti kebanyakan pertanyaan yang berhubungan dengan
masalah-masalah sosial yang umumnya sangat kompleks itu, jawaban atau
pertanyaan di atas tidak hanya “ya” atau “tidak”.

Di satu pihak kunjungan tersebut secara implisit mengakui eksistensi dan
kedigdayaan para “preman berjubah” tersebut yang dapat meningkatkan
kepercayaan diri mereka untuk melakukan tindakan-tidakan intimidasi dan
pemaksaan terhadap hal-hal yang mereka anggap “sesat”, bertentangan atau
merugikan “umat Islam”.

Namun di lain pihak, seperti tersirat dalam pernyataan Pdt Weinata
Sairin, kunjungan ini bertujuan untuk meningkatkan komunikasi dan
silaturahmi yang selama ini dirasakan kurang sehingga hal-hal yang
semestinya dapat dimusyawarahkan tidak dilakukan dengan semestinya.

Selain itu kunjungan ini seakan menegaskan, bahwa kekuatan utama dari
gerakan keagamaan adalah kekuatan moral, bukan lainnya. Hanya dengan
berhungan dan membina hubungan dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah saja, masalah-masalah aktual di lapangan tidak dapat
diatasi dengan cepat karena NU, dan lebih-lebih Muhammadiyah merupakan
kekuatan moral.

Suka tidak suka, FPI waktu ini memang merupakan kekuatan ril dan
"kompeten" di lapangan, sesuatu yang tidak dipunyai NU dan Muhammadiyah.

Kita saksikan misalnya, walaupun Gus Dur dan Hasyim Muzadi berjanji akan
mengerahkan Banser untuk melindungi asset Ahmadiyah, melindungi dan
membuka kembali Gereja yang ditutup, pelaksanaannya tidak mudah. Di
samping masalah logistik, pengerahan Banser untuk keperluan seperti itu
tidak mudah mendapat restu dari para ulama sepuh yang umumnya
konservatif yang merupakan “penguasa sebenarnya” dari Jamiah NU (harap
tidak lupa bahwa Rois Syuriah yang sangat berkuasa di NU, yang dapat
menganulir apapun yang diputuskan Ketua Tanfidziah juga merupakan Ketua
Umum MUI yang menandatangani Fatwa MUI yang kontroversial itu).

Apalagi Muhammadiyah (baca: Buya Syafei Maarif) sama sekali tidak punya
Banser. Dengan kata lain kekuatan Gus Dur dan Buya Syafei Maarif adalah
kekuatan moral, yaitu pengaruh pemikiran mereka terhadap generasi muda
NU dan Muhammadiyah, yang butuh waktu yang tidak singkat untuk menjadi
mereka menjadi kekuatan riil di kedua organisasi besar tersebut [*].

Seperti saya tulis sebelum ini, sebagai seorang yang tidak punya latar
belakang “aktivis”, FPI ini dengan “komandannya” yang sepertinya tidak
tersentuh hukum, keleluasannya untuk bergerak, kemampuan dalam
mengerahkan masa berikut dukungan logistik, bagi saya merupakan misteri.
Tidak selamanya memang yang mereka lakukan buruk, misalnya ketika mereka
dikerahkan untuk melakukan evakuasi mayat korban tsunami di Aceh yang
mereka kerjakan dengan sangat baik dan berdisiplin.

Tetapi baik atau bukan, laskar-laskar seperti ini pada akhirnya harus
dikuidasi dan penegakan hukum hendakya hanya dilakukan oleh aparat
keamanan dan bukan oleh yang lainnya, kalau kita benar-benar
menginginkan Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan aman.

Dan ini salah satu ujian bagi Presiden SBY, yang dalam kampanyenya
menjanjikan Indonesia yang aman dan sejahtera.

Akhirul kalam, semoga kunjungan dan pertemuan para tokoh agama Kristen
dan Katolik dengan Habib Rizieq memberikan hasil yang diharapkan.
Wallahuaalam bissawab

Wassalam, Darwin
[*] Sekaligus merupakan jawaban terhadap posting Mas MS Suryawan
terhadap forwarding kolom Buya Syafei Maarif di Republika:: “Cak Nur”.

===============================================================

Rohaniwan Katolik dan Protestan Temui FPI

Jalan Kaki Damai dari Bundaran HI ke Monas

Kompas, Minggu, 04 September 2005

Jakarta, Kompas – Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Al-Habib Muhammad
Rizieq Syihab (Habib Rizieq) menyambut baik permintaan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono agar umat Islam mengedepankan musyawarah dalam
penyelesaian setiap perbedaan di masyarakat.

Hal itu disampaikan Habib usai menerima kunjungan sejumlah tokoh agama
Kristen dan Katolik, Sabtu (3/9), di kediamannya di Jalan Petamburan
III, Jakarta Pusat. Akan tetapi, Habib meminta pemerintah terlebih
dahulu bersikap tegas menegakkan aturan hukum.

”Permintaan Presiden sudah pada tempatnya. Segala sesuatu memang harus
diselesaikan lewat koridor hukum. Namun kami juga minta pemerintah tegas
tegakkan aturan hukum. Jangan sampai masyarakat yang mengambil sikap
dengan cara mereka sendiri-sendiri,” ujar Habib.

Sejumlah tokoh yang hadir seperti rohaniwan Katolik Franz Magnis Suseno,
rohaniwan Kristen Pdt Shephard Supit, Wakil Sekretaris Jenderal
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Weinata Sairin,
Sekretaris Eksekutif Persekutuan Injili Indonesia (PII) Pdt Ign Dachlan
Setiawan, Afung dari People’s Institute.

Dalam pertemuan yang berlangsung hampir tiga jam, Habib dan para
rohaniwan itu juga membahas kontroversi Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, SKB No 01 BER/ MDN-MAG/1969,
soal tempat ibadah.

Menurut Habib, pihaknya mengajak semua umat beragama sama-sama mematuhi
SKB sebagai aturan yang sah. Akan tetapi hal itu tidak berarti FPI akan
menghalang-halangi umat beragama lain jika mereka berusaha memberi
masukan ke pemerintah untuk merevisi aturan tersebut.

Franz Magnis Suseno mengatakan, dalam pertemuan itu dirinya juga
menjelaskan dampak pemberlakuan SKB, yang menyulitkan izin pendirian
tempat ibadah, khususnya bagi umat Kristen dan Katolik.

Menurut Magnis, dirinya sudah menjelaskan ke Habib soal sulitnya
mendirikan gereja seperti dialami selama ini. Selain lamanya mengurus
perizinan, syarat harus ada persetujuan dari warga dan tokoh masyarakat
sekitar lokasi pembangunan gereja juga menyulitkan.

”Saya belum pernah bertemu Habib. Karena nama beliau sering disebut,
saya pikir sangat kompeten untuk menemui pemimpin FPI. Selama ini saya
sering berhubungan dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,”
ujar Magnis.

Pdt Weinata Sairin mengatakan dirinya juga telah memaparkan sejumlah
persoalan, yang selama ini terjadi di lapangan. Menurut dia, sebagai
bangsa yang terbiasa bermusyawarah, selama ini disadari semua pihak
memang kurang berkomunikasi dan saling bersilaturahmi.