Hidup penuh dengan persinggungan. Dari yang lama seperti menjadi teman sekelas bertahun-tahun atau cuma duduk bersama dalam angkot, kereta api atau pesawat. Kita tidak mengira bahwa sebuah persinggungan ternyata bisa menyisakan kenangan yang tersimpan begitu lama. Saya tidak pernah menyadarinya hingga sore tadi.

Seharian ini saya dan dua orang teman serta tiga orang murid saya mengikuti workshop di hotel Pandanaran. Salah satu murid itu Dila yang memang murid di tempat saya mengajar. Workshop saat liburan begini lebih baik mengajak anak sendiri yang jelas-jelas tidak sedang liburan ke mana-mana. Agak susah meminta anak ikut kegiatan di masa liburan begini.

Kegiatan berlangsung dari pagi sampai sore. Pulangnya saya sudah berencana naik angkot bersama Dila dan dua orang murid lain ke Java Mal. Tapi ternyata ketika keluar, hujan yang sangat deras menghadang. Tidak mungkin kami naik angkot. Akhirnya saya putuskan naik taksi. Jarak yang tidak terlalu jauh membuat argo hampir sama dengan minimum charge : lima belas ribu.

Salah satu murid pulang duluan, sementara yang satu lagi jalan-jalan di Java bersama Dila. Saya sendiri ke Gramedia. Selesai urusan di Java Mal, Zulfa yang tadi bersama Dila, pulang. Sementara saya dan Dila ke Erlangga untuk menginap di rumah ibu mertua. Izza dan ayahnya sudah menunggu di sana. Karena hujan masih turun meski tinggal gerimis, saya mencari taksi. Dila bilang, “paling nanti kena minimum charge.”

Tapi nyatanya mencari taksi tidak mudah. Karena sudah lelah saya memutuskan untuk menyeberang jalan depan Java Mal, naik mikrolet sampai Bangkong, nanti dilanjut naik becak ke rumah mertua. Dulu saya waktu kuliah di Undip juga begitu. Turun di Bangkong langsung naik becak. Memang rumah mertua ada di sekitar Undip Pleburan. Fakultas Ekonomi menghadap ke jalan Erlangga, sementara fakultas lain menghadap ke jalan Pleburan. Saat ini hampir semua fakultas sudah pindah ke Tembalang.

Begitu turun dari angkot sudah ada tukang becak yang menawari dengan semangat.

“Becak, becak! Becak ya..!”

Saya mengangguk. Saya dan Dila segera menuju becak menghindari gerimis menimpa kepala.

“Berapa?” tanya saya.

“Sudah berapa aja… “

“Jangan gitu. Berapa?”

“Sudah berapa aja mbak. Ini sejak tadi baru ini narik…”

Saya dan Dila naik.

“Erlangga barat, pak.”

Bapak tukang becak itu hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut. Saya pikir nanti saya bisa memberi tahu lagi sambil jalan. Ternyata bapak tukang becak tidak banyak tanya dan segera tahu jalan mana yang harus dituju.

“Itu yang ada tulisannya penjahit Wahyu pak. Ada jembatan, masuk.”

“Depan itu kan? Saya tahu kok. Dulu suka nganter masnya.”

“Oya?”

Yang dia maksud pasti suami saya.

“Iya, nganter mbaknya juga. Ingat nggak?”

Itu sudah lama sekali. Kami sering naik becak waktu Dila masih kecil. Setelah Izza lahir kami lebih sering naik taksi. Izza sekarang sudah 8 tahun. Berarti sudah lama sekali.

Becak melalui jembatan kecil menuju rumah mertua.

“Pojok kiri ya pak.”

“Iya, tahu. Dulu saya juga sering bawa mbaknya dari Ekonomi situ.”

Ah, itu memang sekitar kelahiran Izza. Waktu itu saya sempat melanjutkan di Fakultas Ekonomi dan Izza lahir saat saya di akhir semester tiga. Satu semester berikutnya saya lulus. Berarti memang sekitar 8-9 tahun yang lalu. Begitu lama.

“Makanya saya enggak ‘ngarani’ (nyebut berapa) tadi,” kata bapak itu.

Jadi begitu. Saya dan Dila turun. Saya  mengulurkan uang pada bapak tukang becak. Dia menerima dengan mengangguk takjim. Saya masuk ke rumah, disambut ponakan-ponakan yang sudah ada di rumah mertua bersama Izza.

Benak saya jadi memikirkan kata-kata bapak tukang becak tadi. Dia masih mengingat saya padahal saya sudah tidak ingat lagi pada dia. Begitu banyak orang yang datang dan pergi dalam kehidupan saya, dalam persinggungan-persinggungan.

Dalam hidup ini terjadi banyak persinggungan. Bisa jadi dalam persinggungan itu kita diingat karena orang senang dengan kita atau sebaliknya, kita begitu menyebalkan. Saya hanya berharap bapak tukang becak itu mengingat saya karena hal yang baik. Begitu juga orang-orang lain yang pernah bersinggungan dengan saya. Kalaupun ternyata persinggungan itu karena saya membuat mereka sebal, saya berharap mereka sudah memaafkan saya. Sore itu saya berdoa semoga siapapun yang pernah bersinggungan dengan saya selalu berbahagia dan memiliki sebab-sebab kebahagiaan.