Pada tanggal 28 Desember 1895 Bio-Scope alias gambar hidup untuk pertama kalinya dalam sejarah memutar proyektor secara umum di kota Paris. Hanya lima tahun berselang, yakni pada tahun 1900, bioskop pertama hadir di kota Batavia. Film Amerika pun mulai diimpor masuk ke Hindia-Belanda (kini Indonesia) secara besar-besaran segera setelah itu.

 

Baru pada tahun 1926 seorang sutradara Belanda bernama L. Heuveldorp, yang bernaung pada perusahaan Java Film Co. ,membuat film berjudul Loetoeng Kasaroeng dengan bintang Martoana dan Oemar – ada yang kenal??. Pemutaran perdananya di Bandung pada tanggal 31 Desember 1926 disambut amat heboh oleh masyarakat.

Loetoeng Kasaroeng Poster

Kesuksesan Loetoeng Kasaroeng ini diangap amat berprospek secara bisnis sehingga pengusaha keturunan Tionghoa di Indonesia mulai merambah dunia perfilman. Salah satu tokoh perfilman Indonesia yang tersohor kala itu adalah The Teng Chun anak pedagang yang berkuliah di San Fransisco dan juga terjun di dunia film di Hollywood sebagai asisten sutradara. Sekembalinya ke Batavia ia menjadi importir film Tiongkok sekaligus menyutradarai beberapa film lokal. Sementara itu muncul aktor-aktor kenamaan baru yang menjadi idola baru masyarakat seperi Tan Tjeng Bok (pernah saya ulas di tulisan film Drakula Mantu), Wolly Sutinah alis Mak Wok (ibunya Aminah Cendrakasih – yang berperan jadi Emaknya Doel di sinetron Si Doel Anak Sekolahan), Kartolo (bapaknya Rahmat Kartolo), dan Mas Sardi – Hadidjah (Ayah-Ibu  pemain biola Idris Sardi, kakek-nenek aktor Lukman Sardi). Demikianlah perfilman Indonesia menuju masa keemasannya yang pertama hingga Jepang tiba.

Bung Karno, Anti Budaya (Barat) Ngak Ngik Ngok

Dari masa pendudukan Jepang, Orde Lama, hingga awal Orde Baru, film menjadi alat propaganda penguasa. Apalagi di masa akhir jabatan Presiden Soekarno yang melarang budaya “ngak-ngik-ngok”, sebagai akibat dihentikannya impor film Amerika, entah kenapa film lokal menjadi mati suri. Mungkin kelesuan itu diakibatkan pula dari kesulitan perekonomian negara kita kala itu.

Baru pada tahun 1970 gairah dunia perfilman kita bangkit lagi setelah sutradara Turino Djunaidy membesut sebuah film bertemakan seks berjudul Bernapas dalam Lumpur yang dibintangi aktris panas Suzanna yang belakangan lebih dikenal sebagai ratu film horor Indonesia.

Bernapas Dalam Lumpur, Film Panas Indonesia Pertama

Setelah pemerintah berganti, izin mengimpor film dibuka lagi dengan syarat untuk setiap judul film yang diimpor harus ada film lokal yang dibuat. Karena para importir ini hanya semata memburu keuntungan maka dibikinlah film yang mudah, murah, dan terbukti mudah “diserap” oleh pasar yakni film bertema seks, horor atau gabungan keduanya. Begitulah seterusnya film lokal dibuat mengikuti logika picik ini hingga kini.

Ada yang mau sedikit berjuang keluar jalur dan sukses yakni para pelaku genre komedi seperti Kwartet Jaya (Bing Slamet, Edi Sud, Ateng, dan Iskak), Jayakarta Group (Jojon, Tjahjono, Joni, dan Uk-uk), Benyamin S yang berduet dengan Ida Royani, serta Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Warkop adalah yang paling sukses dan paling lama bertahan. Mereka hampir setiap tahun menjelang Lebaran meluncurkan film dan bioskop selalu penuh.

***

Pada saat saya menyadur tulisan ini, adalah H-3 menjelang lebaran 2011, warkop sudah lama tidak mengeluarkan film baru menjelang lebaran karena Dono dan Kasino sudah almarhum sejak lama. Radio Kayu Manis yang pagi ini saya perdegarkan di mobil yang membawa saya ke kantor mengiklankan berkali-kali tentang film dengan anggaran termahal sepanjang sejarah perfilman Indonesia yakni 25 milyar Rupiah. Film itu berjudul Di Bawah Lindungan Ka’Bah.

Poster Di Bawah Lindungan Ka'Bah

Tentu saya penasaran seperti apa sih film Indonesia termahal sepanjang sejarah itu. Malam-malam saya sambangi Blitz Megaplex Teras Kota di BSD karena ada jadwal pemutaran film pukul 22.00. Tiba di gerai makanan yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penjualan tiket saya mengatakan ingin menonton film Di Bawah Lindungan Ka’Bah tersebut. Si penjual tiket berteriak ke rekannya yang di depan teater yang seharusnya memutarkan film yang saya maksud,

“Jun, udah landing belom?”.

Counterpart-nya pun memberi kode tangan sebagai konfirmasi ke penjual tiket kalau film belum landing.

“Maaf, Pak. Filmnya enggak diputar” katanya.

“Kenapa?”, tanya saya dengan keheranan.

“Biasa sih kalau film Indonesia malem gini gak ada yang nonton, siang aja sepi”.

Gubrak – [adegan jatuh ala kartun Jepang]

Kenyataan ini sangat jauh berbeda ketika sepekan sebelumnya saya menonton Transformer. Film pertarungan antar robot ini sangat dipadati penonton. Bahkan untuk pemutaran pukul 23.00 saya hanya mendapatkan bangku nomor 3 dari bawah karena semua deretan di atasnya penuh.

Saya bukan Muslim tapi saya yakin film Di Bawah Lindungan Ka’Bah jauh lebih bermakna untuk saya tonton ketimbang  robot yang sedang bergelut. Sayangnya film ini kena kutukan karena lahir sebagai Film Indonesia. Itu saja. Masyarakat sudah melabeli film lokal semuanya sebagai film seks, horor, atau gabungan keduanya selebihnya tidak dikenal genre lain apalagi setelah genre film komedi macam Warkop, yang selalu muncul menjelang Lebaran, turut mati.

***

Dengan dimotori oleh teman saya Kurnia, kami pernah membuat beberapa judul film independen dengan biaya hanya beberapa ratus ribu rupiah per film. Kami  beruntung karena satu film berhasil diputar untuk umum dan penontonnya memenuhi auditorium Lembaga Indonesia Perancis di Yogyakarta, satu film lain masuk nominasi Festival Kesenian Yogyakarta meskipun akhirnya tidak menang, dan setelah saya pergi merantau ke Jakarta teman-teman lain justru lebih sukses lagi karena membuat film yang menjuarai festival yang diselenggarakan oleh KPK. Yang terakhir ini adalah yang paling sukses kalau ditinjau dari segi pendapatan.

Dengan nostalgia yang indah macam ini saya selalu memiliki keinginan untuk kembali membuat film dan beberapa saat yang lalu pernah membicarakannya dengan Kurnia. Namun dengan tegas dia menolak ide saya karena menurutnya kehidupan saya saat ini terlalu beresiko untuk dipertaruhkan di film apa lagi saya kini sudah punya keluarga.

Dan kenyataan malam ini agak mempertegas keraguan saya (ragu kok tegas??). Kalau pun saya nanti berhasil membikin film bernilai ratusan milyar rupiah , orang niscaya akan melabeli (tepatnya mengutuk) film saya sebagai Film Indonesia semata.

Sejenak (atau mungkin selamanya) saya harus melupakan cita-cita menjadi pembikin film. Urusan saya sekarang adalah mencari duit bukan bermimpi, berusaha membayar cicilan rumah dengan bekerja merunut tabel excel bukannya ngeblog atau mengomentari film Indonesia. Saya dan film Indonesia tidak saling sesuai. Terlalu berat usaha yang harus dilakukan dan terlalu besar resiko yang harus ditanggung kalau saya memilih jalur hidup berdasarkan nostalgia dan utopia.

*Dan kenyataan lain bahwa grup kami dulu tidak lolos seleksi API (Audisi Pelawak TPI) juga menambah keraguan saya pribadi untuk menjadi sineas komedi. Sementara hanya genre itu yang mungkin layak kami usung dengan wajah ndeso kami.

**Mungkin selamanya saya tidak akan menonton Di Bawah Lindungan Ka’Bah yang merupakan film Indonesia termahal sepanjang sejarah (karena sudah lupa). Sebaliknya saya harus banyak-banyak menonton film yang umumnya ditonton orang seperti Transformer supaya tidak tampak aneh saat mengobrol di warung dengan teman-teman.

Reference: Indonesia Cinemags 100th Edition