<ket fot 1. Neraka sebagai lautan api dimana roh-roh yang menghuni tempat itu dibakar siang dan malam secara abadi dan tanpa ampun – hiyyyyyy sungguh tak bermoral pencipta konsep kepercayaan ini>

 

 

Halo Aa Jin, tulisan Aa Jin yang terakhir membuat saya teringat kembali pencarian-pencarian kebenaran yang saya lakukan dulu ketika masih aktif di gereja. Sayangnya pencarian itu berakhir dengan keputus-asaan. Untunglah saya bertemu Aa Jin, sehingga pencarian itu kembali berlanjut.

 

Dulu saya sering bertanya, jika surga dan neraka ada, dimanakah keadilan tuhan? Bagaimana dengan jiwa-jiwa yang harus menderita? Pertanyaan ini sering saya tanyakan kepada pendeta atau guru Pendalaman Alkitab, jawabannya lagi-lagi cuman , “ya, maka dari itu mari kita siarkan kasih dari allah bapa dalam pengorbanan darah yesus kristus. Sebab hanya yesuslah satu-satunya jalan menuju bapa.”

 

Saya benar-benar tak habis pikir: ‘tuhan maha adil dan maha kasih macam apa jika milyaran orang harus ditolak masuk surga dan terdampar di neraka hanya karena tidak percaya kalau Yesus itu juru selamat?’

 

Setelah beberapa bulan  penuh gejolak, akhirnya saya buang jauh-jauh konsep surga dan neraka dalam pikiran saya. Namun kembali pertanyaan demi pertanyaan datang. Jika tidak ada surga dan neraka, dimanakah adilnya hidup ini? Ada yang terlahir cacat dan miskin, ada yang hidup enak-enakan dalam kejahatan dan kesewenang-wenangan. Saya dapati ini , Aa Jin,  baik percaya ataupun tidak percaya akan keberadaan surga dan neraka, ternyata tidak memberi jawaban yang memuaskan.

 

Lalu muncul ide dalam diri saya, jikalau mungkin roh manusia itu harus diganjar entah di  surga atau di neraka, semua itu tidak kekal, setelah rewards dan punishment itu berakhir si jiwa mendapatkan kembali kehidupan baru dalam bentuk-bentuk kehidupan lain. Dalam hal ini konsep reinkarnasi menjadi lebih logis ketimbang keyakinan agama-agama samawi tentang surga dan neraka.

 

Bagaimana menurut Aa Jin?

 

Surprise. Baru kali ini Dee menulis email cukup panjang. Biasanya kalau curhat tentang cinta baru panjang. Kalau dijelasin hal-hal yang serius, jawabannya biasanya cuma ‘ ….. hemmmm ….. hemmmmmm ‘gie mikir keras …. hmm…’  (Joke Mode : ON)

 

Nah, tidak seperti biasanya dimana lagu datang belakangan, karena topik yang akan kita bahas cukup berat dan menyeramkan, yaitu tentang neraka, karma dan reinkarnasi, jadi sekarang saya mengajak Dee mendengarkan lagu dulu. Judulnya I Knew I Loved You dari Savage Garden. Salah satu lagu favorit saya.

 

Nikmati lagunya, selami liriknya dan perhatikan videonya. Saya paling suka scene awal dimana Kristen Dunst, yang waktu itu masih belia sekali,  dengan muka yang innocent menatap Darren Hayes dan kemudian menundukkan wajahnya malu-malu, atau melempar ke arah lain, sambil matanya tetap melirik. Oh, she’s an angel

http://www.youtube.com/watch?v=uIIfO_efVc0

 

 I knew I love you

maybe it's intuition

some things you just don't question

like in your eyes I see my future in an instant

and there it goes I think I've found my best friend

 

I know that it might sound more than a little crazy

but I believe

 

I knew I loved you before I met you

I think I dreamed you into life

I knew I loved you before I met you

I have been waiting all my life

 

there's just no rhyme or reason

only this sense of completion

and in your eyes I see the missing pieces

I'm searching for

I think I've found my way home

 

I know that it might sound more than a little crazy

but I believe

 

I knew I loved you before I met you

I think I dreamed you into life

I knew I loved you before I met you

I have been waiting all my life

 

Ooo aaa

(a thousand angels dance around you)

ooo  aaa

(I am complete now that I've found you)

ooo aaa

I knew I loved you before I met you

I think I dreamed you into life

I knew I loved you before I met you

I have been waiting all my life

 

I knew I loved you before I met you

I knew I loved you before I met you

 

***

 

 

Wooowww saya paling seneng lagu ini waktu kecil Aa Jin. Pencerahan apa lagi nih yang bisa digali dari lagu ini?

 

 

Yah nikmati saja Dee. Baiklah kita mulai obrolan kita dimulai dengan 'Neraka'.

 

 

Neraka

 

Banyak orang beragama berbicara tentang neraka, neraka, dan neraka sebagai sebuah tempat di seberang kematian yang menunggu mereka yang dikatakan oleh orang beragama sebagai kaum yang tidak taat beragama, pendosa, musrik, kafirun, fasik. Pezinah  dsb, tanpa mereka tahu ide awal dari mana asalnya kata dan konsep tentang neraka itu.

 

Kata ‘neraka’ dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa pali dan sansekerta  yaitu ‘naraka’. Kata ini merujuk pada suatu dimensi kehidupan dimana penderitaan mewarnai hampir semua kehidupan para mahluk yang hidup di dalamnya.

 

Sedangkan dalam Yudaisme, yang darinya muncul kekristenan dan islam, hanya dikenal sheohl, yaitu dunia orang mati. Tempat dimana orang-orang yang telah meninggal dikumpulkan untuk menunggu hari terakhir dan pengadilan.

 

Kalau Dee perhatikan dalam Alkitab, kata neraka itu sendiri baru muncul di Perjanjian Baru, bukan di Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Baru kata neraka adalah gehenna. Kata Gehenna berasal dari pelafalan bahasa Yunani geenna untuk kata bahasa Ibrani ‘gehinnom’.  Gehinnom adalah suatu tempat  di luar kota Yerusalem dimana terdapat lembah dimana sampah-sampah  dari kota Yerusalem dan bangkai-bangkai binatang dibuang dan dibakar di sana. Pada jaman Perjanjian Lama lembah ini disebut Lembah Hinnom, tempat dimana mayat para tentara yang mati dalam peperangan dan para penjahat dibakar. Dalam tradisi agama Yahudi, pembakaran mayat adalah suatu keterkutukan, sebab bagi mereka kematian yang wajar adalah dikubur dalam tanah atau dibiarkan membusuk dalam gua. Bukan dibakar.

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Gehenna

 

<ket foto 2. Gehena dimasa sekarang, lembah yang sudah bersih jauh dari kesan mengerikan>

 

Jadi Gehenna adalah incinerator, tempat sampah dibakar dalam api dan dalam suatu proses kimia dan fisika menjadi sesuatu materi lain, seperti yang ada di Bantar Gebang Bekasi. Istilah Gehena merujuk kepada idea bahwa ada api keadilan yang terus menyala siang dan malam bagi para pendosa. Jadi perlu diketahui bahwa pada awalnya bukan jiwa-jiwa yang abadi dan mengalami hukuman abadi di dalam gehena, tapi yang abadi adalah apinya. Api adalah simbol pemurnian dan sistematika keadilan.

 

Darimanakah bangsa Yahudi mengambil ide api abadi ini? Banyak ahli teologia mengatakan bahwa ide itu diambil dari agama Persia yang diserap oleh mereka pada waktu bangsa Yahudi berada dalam pembuangan di Babel dan Persia. (masih ingat penjelasan saya tentang kitab Ayub yang berasal dari pasca jaman pembuangan ?). Sebelum masa pembuangan, bangsa Yahudi / Israel tidak mengenal tentang kisah api abadi.

 

Kelak 600 tahun setelah Yesus, bangsa Arab mengambil kata Gehena atau Gehinom ini untuk melukiskan suatu tempat yang dilalui para pendosa setelah kematian dimana terdapat penghukuman yang abadi dalam api yang tak pernah padam, dan bahan bakar api abadi itu adalah manusia-manusia yang dilaknati oleh allah. Itulah neraka Jahnnam. Yang dalam bahasa indonesia menjadi neraka Jahanam. Perhatikan kesamaan pelafala antara ‘Jahnnam’ dengan ‘Gehinom’.

 

Jadi jelas di sini bahwa agama-agama ternyata saling meminjam idea dan melakukan kontekstualisasi dengan budayanya sendiri. Dan ironisnya dari setiap kontekstualisasi itu ideanya semakin melenceng dari idea awal. Lebih ironis lagi kisah, konsep dan cerita itu dianggap sebagai fakta sebenar-benarnya yang harus dipercaya begitu saja, tanpa perlu dikritik. Mereka yang mengkritik justru dihujani hujatan dan ancaman sebagai para pendosa yang layak dimasukan kedalam neraka dan dijadikan bahan bakar api abadi itu.

 

Jika itu terjadi 2000 atau 1400 tahun lalu, masih bisa kita excuse. Tapi sekarang kita hidup di abad informasi, dimana sains dan pengetahuan manusia tentang alam dan dirinya  sudah jauh beranjak dari apa yang leluhur kita, di jaman dimana agama-agama ini muncul dan berkembang, dan dipahami. Dengan ini jelas bahwa agama dogma justru membelenggu dan menyeret otak manusia untuk tetap tertambat di jaman-jaman kegelapan. Agama di jaman ini bukan mencerahkan, tetapi malah meracuni pengikutnya dengan semangat-semangat primordialitas.

 

Baiklah Dee, di suratmu di atas, Dee menyebutkan tentang reinkarnasi sebagai suatu alternatif keimanan untuk menjawab masalah keadilan ini.  Untuk itu mari kita membahas tentang keadilan dan reinkarnasi dalam pemahaman agama-agama dan filsafat  timur secara umum.

 

 

 

Keadilan Hidup Dalam Sistem Karmaik

 

Dalam agama-agama timur, sekalipun beberapa masih berkutat dalam politheistik, secara umum  mereka percaya akan adanya keadilan dalam hidup. Keadilan hidup ini dijalankan oleh suatu sistematika yang halus, rumit dan tidak terlihat, bukan oleh suatu tuhan berpribadi, melainkan oleh suatu sistematika  yang disebut karma. Darimanakah kontemplasi akan karma didapat? Dari perenungan akan cara kerja alam.

 

Karma berarti perbuatan atau buah dari perbuatan. Ini hampir sama dengan hukum aksi reaksi dan hukum sebab akibat, namun sayangnya konsep karma sering diberi muatan atau mengacu pada moral belaka.

 

Sebenarnya kita bisa katakan bahwa seperti ini:

– jika sebuah mobil di isi 10 liter bensin (aksi), sedangkan dengan kecepatan konstan 60 km/jam mobil itu bisa bergerak sejauh 160 km(aksi), maka karma dari si mobil itu adalah ia akan berhenti setelah menempuh 160 km (reaksi).

 

– Matahari kita konon akan sudah ada 4 milyar tahun lalu,dan masih akan hidup 4,5 milyar tahun lagi. Dan itu sudah karmanya.

 

– 2 milyar tahun dari sekarang sinar matahari akan lebih panas dirasakan oleh planet bumi. Bukan karena sinar matahari semakin panas, namun karena efek gelembungnya akan makin besar menjelang waktu kematian matahari. Sehingga matahari akan membesar dan panasnya akan meradiasi sampai kebumi ribuan kali lipat dari sekarang. Dan pada saat itu tentu planet bumi akan meleleh. Itulah karma yang akan dialami planet bumi menjelang kematian bintang induknya, yaitu matahari.

 

– Anda menjatuhkan air dalam gelas (aksi), maka konsekwensinya air jatuh ke atas tanah (reaksi). Itulah karma sebenar-benarnya.  Suatu hubungan kausalitas atau sebab akibat.

 

Namun dalam rangka pembangunan masyarakat yang berhukum dan berkeadilan, pengertian karma dalam agama, menjadi mengerucut menjadi masalah reward and punishment. Selalu bermuatan moral.

 

– berilah maka kamu akan diberi.

– jangan menipu orang kalau tidak mau ditipu.

– setiap perbuatan, buahnya akan kembali pada pembuatnya

 

sehingga setiap fenomena akibat selalu dicari ihwal sebabnya. Padahal dalam kadar tertentu kita sadar akan adanya faktor ketidakpastian dimana si sebab belum tentu menghasilkan si akibat spt yang diharapkan sebelumnya, atau si akibat ini belum tentu dihasilkan oleh si sebab yang itu. Dalam fisika Quantum ini disebut hukum Ketidakpastian Heisenberg.

 

To make it worse, konsep karma menjadi suatu dalih ketidaktahuan dan ketidakmautahuan kita akan sesuatu sebab dari suatu fenomena akibat.  Misalnya:

 

Pada jaman dahulu di India, orang akan mudah mencap bahwa si A, B, C terlahir miskin Karena dalam kelahiran terdahulunya jarang memberi dsb. Kelahirannya sebagai orang miskin dan papa adalah konsekwensi logis karena dalam kehidupan lalunya jarang memberi kepada rohaniwan dan sesama.

 

Padahal dalam analisa sosial yang rasional, kemisikinan disebabkan oleh berbagai factor, baik itu intern ataupun ekstern, structural ataupun individual.

 

Kemiskinan yang massive terjadi karena strukturl kemasyarakatannya yang keliru, untuk itu perbaiki dengan langkah-langkah sosial, bukan dengan religi.

 

Benar atau tidaknya seseorang itu dulunya pernah jadi manusia yang jarang memberi kepada rohaniwan dan sesama, siapa yang tahu?  Bagaimana cara menghadirkan bukti-bukti ilmiahnya?

 

Bagaimana dengan orang yang hidup dalam kekayaan, padahal kekayaan itu dihasilkan dari menyedot darah rakyat, hasil dari korupsi dll. Apakah terlahir menjadi seorang anak di keluarga kaya yang kekayaannya didapat dari system feodalistik, oligarkis dan korup adalah suatu karma baik?

 

Keyakinan akan karma menjadi sebuah enigma apabila terus ditelusuri setiap kasus perkasus.

 

Konsep karma malah menjadi dalih bagi pembenaran balas dendam, bahkan dalam hal cinta, seperti halnya lagu Karma oleh Coklat Band

 

Jangan menangis sayang

Bila umurku panjang kelak ku kan datang ku buktikan

Satu balas kan kau jelang

 

Jangan menangis sayang

Ku ingin kau rasakan sakitnya terbuang sia-sia

Memang kau pantas dapatkan

 

                                                         ***

 

 

Baik itu hinduisme, Jainisme, Buddhisme, agama-agama India lainnya, Taoisme dan Konfusian mempercayai karma dan reinkarnasi. Mereka tidak pernah ambil pusing apa dan siapa pembuat karma dan sistematika alam lainnya.

 

Apa atau siapa yang menciptakan karma? Bagaimana keseimbangan karma itu bisa terlaksana? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mendesak untuk dijawab, dan memang tidak bisa dijawab, karena secara empiris kita tidak bisa keluar dari alam semesta ini untuk melihatnya dari luar dan mencari tahu siapa yang menciptakan alam semesta dan hukum-hukumnya. Yang mendesak adalah bagaimana kita hidup sesuai dengan hukum itu secara harmonis.

 

Saya akan ambil satu kisah terpopuler dari Buddhisme. Suatu saat seorang murid Pertapa Gautama meminta bertemu dengannya  untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan penting. Sang murid mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang asal muasal alam semesta dan apa yang berada di luar sistematika alam semesta ini.

 

Guru katakanlah padaku, apakah alam semesta ini tercipta, atau ada dengan sendirinya?

Apakah alam semesta ini kekal atau tidak kekal?

Apakah alam semesta ini terbatas  atau tidak terbatas?

Apakah jiwa ini tercipta atau tidak tercipta?

Apakah jiwa ini kekal atau tidak kekal?  Dsb.

 

Buddha hanya menjawab dengan sebuat analogi:

 

Bikkhu, katakanlah jika ada seorang serdadu terluka di medan pertempuran, kemudian seorang tabib datang untuk merawat lukanya, dan si serdadu ini alih-alih membiarkan diri dirawat dengan tenang, justru malah memberondongi si tabib dengan pertanyaan-pertanyaan seputar sebab-sebab terpanahnya dirinya, ‘Tabib, aku menolak untuk diobati sebelum aku tahu siapakah pemanah yang memanah diriku? Dari suku manakah? Kasta apakah? Dari siapakah ia belajar? Sudah berapa lamakah ia belajar? Memakai kayu jenis apa anak panahnya? Buatan siapa busurnya?”  Bukankah ini suatu kebodohan dan penghambur-hamburan waktu?

 

                                                                     ***

 

 

Natur Kehidupan Ini Memang Tidak Memuaskan / Sempurna (Dukkha)

 

 

Berbeda dengan pemahaman agama-agama samawi dimana dalam memandang penderitaan hidup ini mereka merujuk pada mitos tentang ketidaktaatan Adam dan Hawa yang menyebabkan mereka diusir oleh suatu tuhan berpribadi, Buddhisme melihat dengan lirih dan mempercayai bahwa penderitaan dalam kehidupan ini ada karena memang hidup ini tidaklah sempurna. Gerak dari alam bersifat abadi terus menerus mewujud, berkembang dan terurai, mewujud, berkembang dan terurai, bahkan dalam kadar tertentu bergantung pada asas ketidakpastian. Gerak alam inilah yang dalam hinduisme disebut sebagai trimurti :

 

Brahma adalah personifikasi sifat alam sebagai sang pencipta,

Wisnu adalah personifikasi sifat alam sebagai sang pemelihara,

dan Shiva adalah personifikasi sifat alam sebagai sang pelebur, yang nantinya kembali lagi pada penciptaan sesuatu yang baru lagi (disebut juga brahmacakra – siklus penciptaan semesta).

 

Jadi sekalipun waktu tidak bisa diputar mundur tapi fase-fase  kehidupan itu bersifat siklikal / siklus / berputar.

 

Keberlanjutan suatu kehidupan ditopang oleh kematian dari bentuk kehidupan lain. Contoh: untuk mendapatkan hasil padi yang baik, petani harus mengenyahkan hama-hama berupa serangga dan tikus. Agar kita bisa mendapatkan ayam goreng yang nikmat tentu harus ada ayam yang kehilangan nyawanya, harus ada pohon kelapa sawit yang rela diambil buah sawitnya untuk dijadikan minyak goreng. Agar ikan hias peliharaanmu di aquarium tetap hidup harus ada ikan-ikan kecil dan udang yang mati sebagai santapannya.

 

Inilah sifat dari kehidupan, alam tidak pernah memberi hidup tanpa mengambil kehidupan dari yang lainnya. Itulah kenapa Gautama mengatakan hidup ini dukkha, yang berarti bersifat menderita atau tidak sempurna, tidak memuaskan secara total. Karena eksistensi kehidupan kita ternyata ditopang oleh kematian mahluk lain. Suatu kematian menopang suatu kehidupan. Dan pada gilirannya nanti bentuk-bentuk kehidupan ini akan mati untuk menopang bentuk-bentuk kehidupan yang lain.

 

Ketidak-sempurnaan atau ketidak-memuaskan ini menjadi sifat nyata dari kehidupan semesta, dan puncak dari penderitaan mahluk hidup adalah kematian itu sendiri, karena ia menganggap adanya pribadi yang ajek, utuh dan definitif didalam dirinya yang harus tercerai dengan tubuh yang dicintainya. Berhentinya keberadaan adalah rasa takut tertinggi dari mahluk hidup yang menganggap adanya aku yang berpribadi kekal, utuh dan terpisah.

 

<ket. foto 3: Siklus penciptaan yang abadi. Lihatlah tanda 8 terbalik dari kibasan pedang Dewa Kematian dan Dewa Kehidupan, itulah simbol keabadian dari kelahiran, perkembangan dan kematian.  >

 

 

 

Siapa Dibalik Mekanisme Semesta Ini?

 

 

Aa, saya mengalami kesulitan mengejar pemahaman Aa, tapi akan saya coba. Jika penderitaan atau tepatnya ketidak-memuaskan ini adalah sifat dari alam semesta ini, siapa atau apakah yang berada dibalik sifat ketidaksempurnaan dan ketidak-memuaskan ini? Adakah ia atau sesuatu yang menjamin keadilan dalam alam semesta ini? Apakah penderitaan dan kemalangan ini digerakkan oleh suatu intelegensi luar biasa sehingga kemalangan ini tidak pernah salah sasaran?

 

 

 

Dee, pertanyaanmu ini dengan sendirinya mengandung kemustahilan untuk dijawab.  Mengapa? Karena pertanyaan ‘siapakah’ dan ‘apakah’ mempersyaratkan pembuktian empiris tentang suatu ‘ada’, sedangkan pada faktanya tidak pernah ada manusia yang bisa membuktikan kebenaran mutlak dari konsep tentang realitas tertinggi itu, yang terpisah dari alam dan kehidupan.

 

Sekali lagi saya tekankan kalimat yang saya tulis di atas:

 

Apa atau siapa yang menciptakan karma? Bagaimana keseimbangan karma itu bisa terlaksana? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mendesak untuk dijawab, dan memang tidak bisa dijawab, karena secara empiris kita tidak bisa keluar dari alam semesta ini untuk melihatnya dari luar dan mencari tahu siapa yang menciptakan alam semesta dan hukum-hukumnya. Yang mendesak adalah bagaimana kita hidup sesuai dengan hukum itu secara harmonis.

 

Kita akhirnya bergelut dalam rasionalitas dengan menggunakan analogi-analogi terbatas untuk mencoba menyibak tabir misteri alam. Sebagian orang cukup puas dengan mencitrakan adanya suatu figur tuhan berpribadi dibalik penciptaan ini (theisme) atau pada kekuatan lain yang non pribadi yang setelah menciptakan alam semesta justru bersembunyi dalam kemisteriusan (deisme). Sedangkan kelompok lain cukup puas dengan penjelasan-penjelasan rasional dan keterbatasan logika kita dan lebih berfokus pada pencarian makna dan harmonisasi dengan kehidupan ini (antitheisme, pantheisme). Dan inti dari spiritualitas Buddhisme dan Hinduisme serta spiritualitas moderen lainnya   tampaknya berada di kelompok terakhir ini. Itulah kenapa saya tuliskan kisah tentang Buddha dan muridnya.

 

 

Apa yang ada dibalik alam semesta adalah mustahil untuk dijawab. Bagaikan dua ekor ikan di samudera Pasifik yang ingin mengetahui apa yang terjadi di pedalaman hutan Zimbabwe. Manatah mungkin? Karena manusia hanya dapat menggali dan mendasarkan pengetahuan dari apa yang bisa diindera dan dicerap oleh nalar, maka yang nampak itulah yang menjadi concern kita.

 

Konsep tuhan tidak akan pernah hadir tanpa adanya alam semesta tempat kita mengalami empirisme dan mengumpulkan data-data serta menyusunnya dalam rasionalitas. Dengan demikian, tuhan tidak bisa dipahami diluar alam semesta sebab segala analogi yang kita sematkan padanya justru berasal dari pemahaman alam semesta yang tercerap dalam otak kita, teralami dalam hidup kita, berdasarkan empirisme kita.

 

Dengan demikian, secara parallel akan lebih mudah bagi kita untuk menerima bahwa tuhan yang dimaksud agama-agama sebenarnya adalah personifikasi dari alam semesta dan segala mekanisme yang ada di dalamnya. Ia bukan berada di balik alam semesta, di luar alam semesta, terpisah dan terasing dari alam semesta, namun ia adalah personifikasi dari alam semesta dan gerak hidup itu sendiri.

 

 

 

Free will dari jiwa-jiwa dan tuhan Pencipta

 

 

(Bingung Mode :ON) J adi kalau begitu dalam filsafat / agama timur, tidak dikenal free-will atau kebebasan kehendak, karena segala sesuatu dianggap suatu kesatuan yang utuh?

 

 

Benar. Agama-agama timur yang lirih dalam menatap kehidupan dan mendasarkan filsafatnya di atas naturalisme menolak free-will atau kebebasan berkehendak.

 

Pemahaman free-will  berasal dari agama-agama samawi yang mencitrakan suatu tuhan berpribadi dan berkehendak, yang kehendaknya bisa mengatasi sistematika alam semesta. Agama samawi percaya bahwa allah mampu merobek dan menjungkir-balikan hukum alam demi kecintaannya pada suatu bangsa atau nabi. Lihatlah kisah-kisah mujizat keluarnay bangsa Israel dari Mesir, anak-anak sulung mati, laut terbelah dll. Jika allah adalah tuhan yang berkehendak, dan kehendaknya mengatasi hukum alam, maka jiwa-jiwa yang diciptakan oleh allah berkehendak itu dengan sendirinya memiliki kebebasan berkehendak.

 

Dalam agam-agama timur manusia dipandang pada hakekatnya tidak memiliki free-will yang absolut. Ia adalah bagian dari alam semesta, tunduk di bawah alam semesta. Namun demikian dalam batas-batas keberadaan dan kapabilitiasnya manusia masih mampu berkehendak dan memilih apa yang baik dan bermakna baginya.

 

Jika dianalogikan freewill mungkin seperti ini : ikan laut bebas berenang di laut, namun ia tetap tidak bebas hidup di darat. ia akan mati jika mencoba hidup di darat. Dalam natur keterbatasannya di laut, ia masih berkehendak bebas dalam batas-batas kapabilitasnya di laut, tapi tidak bisa semau gue di darat. Begitu pula sebaliknya mahluk-mahluk darat.

 

Analogi kedua tentang free will adalah jalan raya. Di jalan raya yang lebar dan panjang, Dee menyetir mobil. Dee mempunyai free will untuk bergerak serong kiri atau serong kanan, dan maju ke depan dengan  kecepatan yang Dee bisa atur, tapi Dee tidak memiliki free will untuk mundur karena akan ditabrak mobil dari belakang. Pula Dee tidak memiliki free will untuk melenceng berpindah jalur ke jalur yang arahnya berlawanan dengan arah mobil Dee karena akan ditabrak dari depat.  Itulah free will dan not free will / takdir.

 

Membayangkan jiwa-jiwa manusia yang free will dan juga suatu sosok tuhan atau dewa yang berpribadi yang sewenang-wenang berfirman ini itu merusak tatanan alam semesta, adalah sama sekali asing dan tidak masuk akal.

 

Mereka yang dibesarkan dalam agama-agama timur akan kebingungan dengan ide-ide gila dari agama-agama samawi tentang tuhan berpribadi yang katanya maha kasih tapi juga menyuruh nabi-nabinya membantai bangsa-bangsa sekitarnya (nabi Musa, Samuel dan Muhammad), atau mengasihi suatu kelompok yang percaya pada penebusan yang ditawarkan pada manusia, dan menolak mereka yang tidak mempercayai kemujaraban penebusan ilahi itu (agama kristen). Ide-ide gila semacam itu hanya terjadi pada agama-agama yang mengkonsepkan tuhan sebagai pribadi berkehendak absolut yang terpisah dari alam. Ide-ide tak waras tentang adanya tuhan yang memback-up suatu klan, atau bangsa, atau kelompok agama, sebenarnya didasari atas kepentingan politik pengusung ajaran-ajaran tersebut yang tengah terancam oleh bahaya-bahaya yang berpotensi menghapus keberadaan mereka di muka bumi ini, atau memang kelompok itu punya ambisi imperalistik gila yang ingin menghempaskan seluruh dunia di bawah kakinya.  

 

 

Titik pijak agama-agama timur adalah etika, dan harmonisasi diri, masyarakat, dan semesta. Agama-agama timur, sekalipun penuh dengan aroma mistik, simbolisasi dan superstisi, namun apabila dibedah dengan tajam oleh nalar, akan tampak intinya yang indah.

 

 

 

Reinkarnasi

 

Menarik sekali Aa, logis juga. Nah sekarang bagaimana dengan konsep reinkarnasi, surga dan neraka dalam agama-agama timur?

 

 

Satu hal yang kita harus pahami, yaitu bahwa ada beragam konsep tentang reinkarnasi dalam agama-agama timur. Tetapi yang sering dipahami orang adalah dua yaitu reinkarnasi ala Hindu, dan reinkarnasi ala Buddhisme yang disebut Tumimbal Lahir atau Kelahiran Kembali. Namun di atas semua itu, konsep tentang reinkarnasi sebenarnya sudah ada lama sebelum agama-agama timur muncul. Hal ini bisa dilacak sampai ke jaman Neanderthal.

 

www.philofreligion.homestead.com/files/Immortality.ppt

 

Dari dari temuan-temuan paleontolog ditemukan adanya kuburan-kuburan manusia purba dimana si jenazah dikuburkan dalam posisi meringkuk, sama halnya dengan posisi bayi di dalam rahim ibu.

 

Mungkin, fenomena ini dapat dipahami seperti ini:

 

Ketika manusia purba telah mengenal bahasa, dan telah menjalani hidup yang settled  karena telah menemukan cara bercocok tanam, mereka mulai memiliki waktu yang cukup untuk lebih dari sekedar mencari mangsa buruan. Mereka kemudian mengasah kemampuan berbahasa dan bernalar. Mereka juga mengabstraksikan suatu dalam diri mereka sebagai sesuatu yang independen, yang kita sebut roh. Mereka melihat alam sebagai sesuatu yang ada dan terus ada, seperti halnya musim yang datang dan kembali, seperti halnya biji-biji tanaman yang jatuh ke bumi dan mati untuk sementara untuk kemudiam tumbuh menjadi tumbuhan yang baru.

 

Tidak mungkinkah ada dalam diri kita yang merasa, berpikir dan berkehendak ini sebagai suatu yang utuh yang tidak larut dalam kematian namun berpulang pada bumi untuk suatu saat kembali lagi menjalani kehidupan baru terlahir dalam rahim sang ibu?

 

Jadi bagi saya, spiritisme berasal dari abstraksi manusia akan dirinya yang berkehendak akan suatu kehidupan yang berkesinambungan. Kematian hanyalah suatu recharge jiwa-jiwa kemudian kembali lagi terlahir. Dari spiritisme diri maka berlanjut pada spirit alam,  maka dikenallah roh hutan, roh danau, roh gunung, roh pantai dll yang lebih berkuasa dari pada roh-roh manusia. Roh-roh besar ini mengerami roh-roh manusia, bagaikan tanah yang mengerami biji-biji yang jatuh ke atasnya agar suatu saat ditumbuhkan kembali.

 

Ketika koloni manusia telah mengenal sistem kemasyarakat yang lebih maju, yakni kerajaan, maka roh-roh lokal ini menjadi dewa-dewa. Sebagaimana raja bertahta di kerajaan begitu pula dewa pun menempati suatu ruang dan waktu tertentu. Maka muncullah politheisme. Dan dari politheisme muncullah monotheisme. <lihat Note saya : Adakah Engkau Di Surga Sana Oh Tuhan? >

 

Konsep Surga dan Neraka lahir dari agama-agama politheisme dimana pada waktu itu masyarakat agraris nomaden seringkali berperang untuk penguasaan lahan. Peperangan dan ketidakadilan terjadi maka konsep surga dan neraka sebagai tempat rewards dan punishment dari suatu dewa besar mulai muncul. Dewa besar ini dipercaya telah memastikan suatu tatanan hukum yang apabila dituruti akan mengantarkan si pemercaya kepada suatu kehidupan menyenangkan bersama sang dewa, sedangkan apabila tidak dituruti akan membawa petaka dilemparkan kedalam penyiksaan. Namun jiwa-jiwa manusia tetap dipandang kekal dan akan melewati surga atau neraka dan dunia kehidupan yang baru. Dengan demikian terpeliharalah keadilan dan pemberian kesempatan kepada setiap jiwa.

 

Namun masalahnya adalah apakah konsep ini benar-benar terjadi? Apakah benar ada jiwa yang kekal yang mengalami eksotisme surga dan kengerian neraka?

 

 

Ini yang akan kita bahas segera.

 

 

 

Annata – dan Tumimbal Lahir

 

Perbedaan yang kentara antara Buddhisme dengan Hinduisme di samping kasta adalah perihal adanya jiwa, roh atau atman.

 

Dalam hindudharma, diyakini bahwa ada atma yang bersarang dalam diri manusia, yang menghidupkannya, terpisah dan independen dari tubuh. Ketika tubuh mati maka atma ini berpindah pada kehidupan lain bagaikan seekor burung yang keluar dari satu sarang ke sarang yang baru. Burung itu melambangkan atma/roh/jiv / jiwa sedangkan sarang itu melambangkan tubuh. Inilah yang disebut reinkarnasi.

 

 

<ket. foto 4: reinkarnasi: bagaikan seekor burung yang lepas dari satu sangkar dan hinggap ke sangkar yang lain, demikianlah atma / jiv / roh manusia lepas dari satu tubuh ke tubuh lain – pemahaman Hinduisme pada umumnya>

 

 

 

Buddhisme menolak keyakinan ini. Sebab bagi buddhisme tidak ada yang disebut atma / roh / jiv / jiwa yang kekal. Gautama mengajukan pandangan anataman atau anatta yang artinya tiada atma / diri / roh yang independen.

 

Dikisahkan bahwa suatu saat para murid Gautama melaporkan adanya seorang bikkhu yang mengajarkan adanya kesadaran dalam diri manusia yang  berpindah seketika tubuh ini mati kepada tubuh berikutnya.

 

Gautama memanggil bikkhu tersebut dan menanyainya dari mana ia mendapatkan pemahaman tersebut, sebab selama ini ia tidak pernah mengajarkan hal demikian.

 

Singkatnya Gautama, dengan gaya tutur dan apresiasi dari saya sendiri,  memberi penjelasan dengan cara demikian.

 

Bayangkanlah oh bikkhu, di depan matamu ada sebatang kayu. Kayu itu engkau bakar dengan api dari sebuah obor. Maka timbullah api dari kayu itu.

Darimanakah api itu berasal? Tentu dari proses kimia antara api di obor dengan kayu itu, bukan?.

 

Kemudian ketika kayu itu akan padam engkau mendekatkannya pada setangkup jerami kering. Maka jerami itupun terbakar.

Darimanakah api jerami ini berasal?

Apakah si api ini meloncat dari obor kepada kayu terus kepada jerami?

 

Jika memang api itu meloncat dari obor ke kayu, kemudian ke jerami, bisakah api itu meloncar ke air sehingga air terbakar?

 

Tidak mungkin bukan ? bagaimana kayu itu bisa terbakar? Bagaimana jerami itu terbakar? Sedangkan air tidak terbakar?

 

Jawabannya adalah karena baik kayu atau jerami memiliki sifat-sifat yang mendukung timbulnya api jika ia dibakar sedangkan air tidak memiliki sifat-sifat yang mendukung timbulnya api jika ia dibakar.

 

Jadi apakah api itu yang berpindah? Tentu tidak sama sekali. Sebab jika memang api itu yang berpindah, oh bikkhu, kenapa ia tidak berpindah ke air dan membakar air?

 

Jawabannya adalah karena baik kayu maupun jerami itupun sudah memiliki potensi akan hadirnya api jika mereka dbakar, hal yang tidak dimiliki oleh air karena sifat-sifatnya yang unik.

 

Wahai bikkhu, api itu alegori dari kesadaran. Sebagaimana api itu bisa timbul dari pembakaran kayu dan jerami, namun tidak mampu timbu dalam pembakar air demikianlah tidak mungkin adanya suatu kesadaran yang terlepas, independen dan abadi terlepas dari sifat-sifat materi, yang berpindah-pindah dari satu tubuh ke tubuh lain.

 

Adapun mengapa api dari kayu bisa timbul ketika kayu dibakar, dan api  dari jerami bisa timbul pada waktu jerami dibakar, adalah karena hadirnya faktor-faktor sebab, potensi dan kondisi.

 

Faktor sebab, oh bikkhu, yaitu bahwa api dari obor didekatkan pada kayu atau jerami,

faktor potensi, oh bikkhu, yaitu bahwa sifat kayu atau jerami memang mudah terbakar,

dan faktor kondisi , ya bikkhu, bahwa jika kayu atau jerami itu tidak basah, maka timbulah api dari proses terbakarnya kayu oleh api dari obor, begitu pula dengan jerami, ia bisa terbakar karena adanya sebab, potensi dan kondisi.

 

Untuk itu akupun tidak mengajarkan adanya perpindahan kesadaran dari satu tubuh ke tubuh lain. Kesadaran tidaklah independen dari tubuh/ materi sebagaimana potensi api dalam kayu tidak akan hadir bila tidak ada kayunya.

 

Sebagaimana aku ajarkan bahwa manusia itu terdiri dari nama (mental) dan rupa (tubuh) yang simultan, maka tidak ada kesadaran yang utuh, independen terpisah dari tubuh dan berpindah-pindah keluar dari satu tubuh kepada tubuh yang lain. Sebab ketika ada satu tubuh terlahir (prakithi) disitu pula ada kesadaran yang terjalin (purusha).

 

 

Jadi apakah yang ada dari proses terbakarnya kayu oleh api dari obor, dan terbakarnya jerami oleh api dari kayu, apabila bukan api itu yang berpindah-pindah?

 

Yang ada adalah proses sebab akibat yang terus menerus yang dikarenakan oleh sebab, kondisi dan potensi. Itulah tumimbal lahir, oh bikkhu.

 

Dan karma, oh bikkhu, adalah jalan cerita yang menghadirkan kemungkinan-kemungkinan faktor sebab, potensi dan kondisi itu.

 

Karma adalah sistematika yang menciptakan jalan cerita di episode mendatang. Seperti halnya suatu kayu yang hampir habis terbakar disandarkan lagi pada kayu berikutnya, demikianlah cara kerja karma dan kelahiran kembali.  karma dan tumimbal lahir dirajut oleh kita sendiri. Kitalah yang menabur, menyemai, menumbuhkan dan menuai karma itu sendiri lewat jalan-jalan cerita yang ditempuh lewat drama yang disebut kehidupan.

 

Proses sebab akibat itu hanya akan berhenti apabila faktor-faktor  sebab, kondisi dan potensi ditiadakan.

 

Bayangkanlah oh bikkhu, apabila kayu yang terbakar itu tadi, terbakar seluruhnya dan tidak disandarkan lagi kepada sebatang kayu lainnya, atau kepada  segunduk jerami kering, apakah yang akan terjadi dengan si api itu?

 

Tentu api itu akan padam bukan?

 

Jika api itu padam, kemanakah perginya api itu?  

 

Demikianlah oh bikkhu, pemadaman itu adalah nibanna, dimana proses tumimbal lahir itu ditiadakan.

Ditiadakan dengan cara bagaimana ya bikkhu? Dengan menganalisa sebab-sebab dari kelahiran, dengan memotong faktor kondisi dan potensi dari kelahiran itu.

 

Darimanakah proses itu berlangsung? Dalam pikiran kita, oh bikkhu.

 

Pikiran kitalah yang mengejar konsep ingin terlahir dan ingin mati (yang dalam bahasa psikoanalisanya adalah libido dan mortido) atau menolak kelahiran dan menolak kematian.

 

Pikiran kitalah yang terus menerus menggenggam pemahaman yang keliru tentang adanya diri yang kekal dan berpindah-pindah sehingga kita ingin terus menerus menjalani suatu kisah kehidupan berikutnya.

 

Nafsu inilah, oh bikkhu, yang melahirkan kelahiran itu terus menerus sehingga kita terjebak dalam sekat-sekat dualitas dan tidak mampu mengatasinya untuk melihat kehidupan ini apa adanya. 

 

 

                                                        ***

 

 

Apa Yang Ada Dibalik Semua Konsep Ini?

 

 

Jadi Aa percaya yang mana? Menurut Aa yang bener yang mana? Apa surga dan neraka kekal? Apa reinkarnasi? Apa tumimbal lahir?

 

 

Hahahaha kelihatannya Dee semakin bingung dan putus asa, jadi ingin jalan pintasnya saja. Ingatlah  akan hal ini Dee:

 

  – percaya bahwa sesuatu ada, tidak berarti sesuatu yang kita percayai itu benar-benar ada.

 

Percaya bahwa Jibril, Giam Lo Ong, neraka dan surga ada, tidak berarti bahwa itu semua harus ada.

 

Dee, alam semesta ini tidak mengenal apa yang disebut keadilan.

 

Alam semesta, sejauh yang bisa kita kenal dan demonstrasikan lewat bukti-bukti empiris hanya mengenal Kausalitas atau Hukum Aksi – Reaksi, Sebab Akibat dan kesetimbangan.

 

Lihatlah rumus-rumus ini :

 

E = MC2   atau ρ = m / v

 

bukankah mengacu pada kesetimbangan dan aksi reaksi?

 

Keadilan, moral, dan etika adalah bahasa manusia. Moralitas dan Karma adalah konsep yang ditemukan oleh manusia dalam meniti dan memaknai kehidupannya dibumi. Konsep ini lahir karena adanya interaksi dan dialektika kepentingan dari manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Tidak ada manusia, maka tidak ada yang disebut konsep keadilan seperti yang manusia pahami sekarang secara subyektif.

 

Jadi karena konsep ini dilahirkan oleh manusia, maka tugas manusia pula untuk terus  mengusahakan dan mengembangkannya baik secara individual maupun kolektif.

 

Adapun konsep neraka dan surga serta reinkarnasi lahir karena keterbatasan manusia untuk melihat rentetan sebab akibat itu karena adanya dinding yang tidak bisa ditembus, yaitu kematian. Apa yang terjadi sebelum kelahiran dan apa yang terjadi setelah kematian adalah tetap misteri sehingga tak seorang pun boleh petantang – petenteng merasa lebih tahu, atau tahu benar apa yang terjadi setelah sebelum kelahiran dan setelah kematian, sebab setiap orang akan meminta bukti padanya.

 

Karena apa yang ada sebelum kelahiran dan setelah kematian adalah diluar empirisme, maka kita tidak bisa mengatakan ini benar-benar ada atau itu tidak benar-benar ada. Semua kisah itu dipahami sebagai pengetahuan manusia dalam kerangka theleologis, yaitu maksud pembelajaran moral dan etika dibalik kisah-kisahnya.

 

Sekali lagi, pengetahuan manusia berasal dari apa yang diketahuinya. Sesuatu bisa diketahui apabila bisa diindera dan dikonsepsikan secara nalar. Surga, neraka, purgatori, alam barzakh, tidak bisa diindera, tidak bisa dibuktikan.

 

– Secara empiris semua konsep tentang kehidupan setelah mati bisa dikatakan tidak mencukupi syarat untuk dipercayai.

 

– Secara rasional menurut saya hanya paham tumimbal lahir minus surga neraka adalah yang rasional. Tidak ada jiwa, tidak ada roh, yang ada adalah gerak kehidupan semesta yang memakai identitas-identitas ruang dan waktu yang terbatas. Apa yang kita lakukan sekarang menjalin cerita pada identitas kelahiran kita berikutnya yang sama sekali bukan kita lagi, namun sebagai bentuk kehidupan yang baru lagi karena pada dasarnya tiada 'kita' sebagai individu yang ajek dan kekal. Namun hampir semua mazhab buddhisme akan menampik tumimbal lahir minus surga dan neraka ini, sebab surga dan neraka memang tertulis ada di kitab-kitab mereka.

 

 

Untuk mengatasi kebingungan ini saya menawarkan dua alternatif pada Dee;

 

1.      Perlakukan semua konsep itu sebagai metafora.

 

Jaman dahulu manusia memakai cerita sebagai wadah untuk menyampaikan idea-idea mereka.

Jika kita cukup logis dan skeptis dalam menyikapi ajaran-ajaran ini, maka akan mudah bagi kita untuk memperlakukan surga dan neraka bukan sebagai  tempat di kehidupan seberang sana, melainkan sebagai fase dalam kehidupan ini. Surga, Neraka dan Nibanna adalah state of mind dan pengalaman dari mereka yang mengalaminya.

 

Sebagaimana Gehena atau Lembah Hinom dengan apinya dimetaforakan sebagai api hukuman abadi, begitu pula kita bisa balikkan konsep ini bahwa Surga dan Neraka adalah metafora dari keadaan dunia dan keadaan pikiran atau kejiwaan kita sendiri.

 

Lihatlah pengrusakan alam yang menghilangkan kesempatan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya. 

 

<ket. foto5 Kerusakan Hutan di Indonesia. Hilangnya hutan adalah neraka bagi mahluk yang habitat aslinya terancam. Bagaimana rasanya jika anda terlahir sebagai binatang di hutan itu?>

 

 

 

Lihatlah peperangan dan kemiskinan yang menimbulkan api neraka di bumi ini,

Bayi-bayi yang mati kelaparan serta ditinggal mati ayah ibu mereka.

Mereka didera api kebencian setinggi langit . Mereka di terombang-ambing dalam samudera keputus-asaan.  Siapakah malaikat atau boddhisatva yang rela menolong mereka selain manusia-manusia yang mencintai kehidupan ini? Tidakkah anda dan saya, bila memiliki kapasitas untuk menolongnya, segera mengulurkan tangan padanya?

 

 

 

 

 

<ket. foto 6, 7 & 8 : jawablah saudaraku, bagaimana jika kita terlahir menjadi anak-anak korban peperangan dan kemiskinan ini? Tidakkah ini juga adalah neraka? Mengapa mesti jauh-jauh meyakini neraka di seberang kehidupan manakala di bumi ini sendiri neraka tersaji dengan melimpah ruah? >

 

 

Lihatlah jiwa-jiwa anak manusia yang merana karena dikhianati cinta, diperdaya dan dihanyutkan oleh nafsu. Tidakkah itu bentuk lain dari neraka? Siapakah yang mau menarik mereka dari neraka keputusasaan ini?

 

<ket. foto 9: Apakah anda tega menciptakan neraka bagi orang yang anda cintai? bagi istri, suami, dan anak-anak yang bersamanya kita menjalani hidup yang singkat ini? >

 

Sekarang lihatlah surga yang terpancar dari senyum anak-anak polos yang menikmati kehidupan ini tanpa tanda tanya, tanpa  sekat-sekat konsep halal-haram, mukmim – kafir. Tidakkah ini surga?

 

<ket foto. 10: Hanya anak-anak kecil yang bisa mewarisi Kerajaan Surga, demikianlah kata Yesus dari Galilea.>

 

Lihatlah surga dalam rumah tangga yang penuh dengan cinta dan penerimaan satu sama lain. Tidakkah anda tergerak untuk menciptakan surga itu dalam rumah tangga anda sendiri?

 

 

<ket foto 11. Sebagaimana Buddha katakan bahwa hidup ini tidak memuaskan, maka tidak ada surga yang benar-benar memuaskan, namun setidaknya surga rumah tangga jauh lebih baik daripada neraka rumah tangga. >

 

Lihatlah kebahagiaan surga dalam kerelaan si musafir untuk melepaskan diri dari ikatan belenggu2 yang mengikat kita secara emosi. Tidakkah kita tertarik untuk ikut ambil bagian secara proporsional dalam hidup ini, keluar dari cangkang keegoan kita dan menjangkau apa yang bisa kita jangkau untuk mewujudnyatakan surga / kerajaan Surga di bumi?

 

<ket foto 12. Sewaktu-waktu para penganut hindu, buddha dan spiritual lain yang tinggal di kaki-kaki pegunungan Himalaya  meluangkan waktu untuk melakukan perjalanan ke biara di puncak-puncak pegunung di Himalaya. Mereka menjadi musafir , peziarah  untuk berkontemplasi bahwa hidup ini memang suatu peziarahan abadi.>

 

 

2.      Ketahui Motif Moral dibalik ajaran itu

 

Semua ajaran tentang surga, neraka, reinkarnasi / tumimbal lahir dan keadilan bisa dilihat sebagai upaya untuk menanamkan suatu moralitas dan etika pada si pemercayanya. Yang penting bukan ada atau tidak adanya surga, neraka dan reinkarnasi tetapi sikap hidup kita yang didasari atas nilai-nilai luhur yang kita pegang untuk diri sendiri dan masyarakat.

 

Ketika kita kecil kita selalu diingatkan norma dan aturan bermasyarakat oleh orang tua kita, setelah kita dewasa kita tahu bahwa semua peraturan itu dibentuk  oleh manusia untuk tujuan tertentu dan dalam konteks tertentu agar kita bisa menempatkan diri dalam bermasyarakat. Seorang dewasa telah membatinkan semua aturan itu dalam hatinya dan tidak menganggap sebagai aturan dari luar tapi menjadi gaya dalam hidupnya.

 

Dulu saya sempat memperhatikan bahwa undang-undang psikotropika di Indonesia, jika diimplementasikan dengan konsisiten, adalah yang salah satu undang-undang yang paling berat tuntutan hukumannya. Ngeri juga saya membaca penalti hukuman maksimalnya. Namun segera saya berpikir, “ Aku tidak pernah berhubungan dengan hal yang seperti itu. Jikalau hidupku tidak pernah menyerempet dunia semacam itu, mengapa pula aku harus takut? Justru mereka, para pelaku kejahatan psikotropika itu, yang seharusnya takut dan jera, bukannya aku.” 

 

Nah, hal yang sama seharusnya kita aplikasikan dalam diri kita. Entah surga dan neraka itu ada, entah reinkarnasi dan tumimbal lahir itu ada, jikalau hidupku ini bertumpu pada etika yang aku setujui, dimana hati nuraniku tidak menuduhku, dan tidak ada orang ataupun pihak lain yang dibuat menderita olehku, untuk apa aku pusing?

 

Jikalau tumimbal lahir itu benar ada, maka kelahiran ini berarti suatu anugerah dari alam semesta bagiku untuk kunikmati kini dan di sini bersama-sama dengan orang yang mencintai dan kucintai, sebab sebelum aku lahir, aku bukan aku, setelah aku mati nanti aku bukanlah aku. Aku adalah gerak fenomena hidup dalam ruang dan waktu. Jadi hidup adalah kesempatan bagiku untuk menimba pengetahuan hidup / semesta sebesar-besarnya.

 

Bersamaan dengan itu kita tambahkan ke dalam diri kita semangat untuk terus mengisi hidup dengan hal-hal yang bermakna dan memberi dampak baik bagi sesama.

 

Kelahiran telah kulalui, kehidupan tengah aku jalani, kematian akan ku jelang dengan rasa cinta, dan ucapan syukur.

 

Jika memang aku terlahir kembali, tentu tidak menjadi aku lagi, namun berarti aku diberi lagi kesempatan untuk menoreh pengalaman dan pengetahuan baru dalam wahana kehidupan maha luas ini.

 

 

 

                                                                    ***

 

 

Pada awal bagian artikel ini saya mengajak Dee untuk menonton video klip I Knew I loved You.  Inilah yang saya ingin sampaikan lewat lagu dan videoklip tersebut:

 

Ada kalanya, ketika kita bertemu dengan seseorang atau suatu hal, sering kali kita seperti bertemu dengan sesuatu yang seakan-akan telah lama menjadi bagian dalam kehidupan kita, entah jelas atau samar, tersembunyi dalam relung memori semesta , terkubur dalam alam bawah sadar kita.

 

Seperti halnya si lelaki itu (Darren Hayes), ketika bertemu dengan si perempuan (Kirsten Dunst), tidak mengerti bagaimana membahasakan nuansa itu. Dalam kegelapan ketika tangan mereka berpegangan ada rasa yang tak terperikan dengan jelas, ada kelengkapan yang tak terlukiskan dengan seksama, ia hanya mampu katakan:

 

 

maybe it's intuition

some things you just don't question 

like in your eyes I see my future in an instant

searching for I think I found my way home

 

there’s just no rhyme or reason

only a sense of completion

 

I think I found the missing pieces

 

 

I know it sounds more than a little crazy but I believe

 

 

Entah bagaimana, bagi saya perjalan spiritualitas saya bagaikan perjalanan ke relung samudera memori yang tidak begitu asing bagi saya, tersembunyi sejak time of immemorial, (maybe it's intuition some things you just don't question), suatu perjumpaan akan suatu kelengkapan ( I think I find my way home). Seketika itu pula saya merasa lengkap ( only a sense of completion).   

 

Dulu saya, seperti halnya Dee, mencari-cari absolutisme, truisme, suatu kebenaran yang pasti benar-benar benar. Sekarang setelah semuanya nampak terbuka, saya diam dan membatinkan semua perjalanan diri itu. Tiada kata. Tiada pelukisan apapun. Hanya hening (no rhyme or reason).

 

Beberapa orang pernah katakan bahwa masa lalu saya seorang yang tak berumah tangga, pertapa dan musafir. Dan dalam kehidupan sekarang ini, pertemuan dengan spiritualitas  adalah suatu pertemuan kembali. Jika itu benar, maka apa yang saya sering lihat dalam meditasi adalah benar. Namun entahlah, bagi saya sendiri itu adalah masa lalu. Sekarang ya sekarang.

 

Mungkinkah pertemanan kita saat ini adalah hasil dari karma-karma di masa lalu?  I dunno.

Mungkinkah kesempatan saya untuk menulis, dan kesempatan bagi para pembaca untuk membaca artikel saya, telah dirajut oleh kejadian-kejadian dikehidupan masa lalu yang sukar dilacak, seperti halnya kisah-kisah Jataka antara pertapa Gautama dengan murid-muridnya? I dunno.

 

Yang jelas, tidak ada suatu sesuatu yang terjadi secara kebetulan,  semuanya berada dalam rentetan kausalitas yang rapat, dengan segala faktor kemungkinan dan asas kepastian dan ketidakpastian.

 

Anyway, memang kita tidak pernah kemana-mana. Kita adalah energi yang terus menerus berubah gugus materinya karena proses kimia. Kita adalah fragmen-fragmen kehidupan, riak-riak dalam samudera energi semesta yang menyimpan tak terhitung memori kehidupan dan sisa-sisa gelombang atau frekwensi masa lalu. Tidak ada identitas diri yang kekal, yang kekal adalah identitas kehidupan itu sendiri. 

 

I know that it might sound more than a little crazy

but I believe