Aa Jin, telah saya ceritakan garis besar kehidupan saya yang tampaknya lebih banyak jalan berliku dan kisah sedihnya ketimbang kisah manisnya. Menurut bapak adakah keadilan dalam dunia ini?
Dee, sebelum menjawabnya, saya ingin bertanya dulu, apa yang Dee maksudkan dengan keadilan? Apakah kriteria adil itu? Adil menurut siapa? Ada ungkapan dalam hukum :
Summum jus, summa injuria – Keadilan yang tertinggi adalah ketidak-adilan yang terbesar.
Maksudnya penuntutan penegakan hukum yang paling ketat justru berpotensi untuk membawa ketidak-adilan terbesar pada pihak lain, yang berarti menciderai keadilan itu sendiri.
Ketika kita mengatakan, ‘ Ini tidak adil buatku. Aku menuntut keadilan.’ Kita harus yakin dengan arti dan batasan-batasan dari keadilan itu, jangan adil hanya menurut kita saja tapi tidak adil menurut orang lain.
Secara teori ada adil secara komutatif, distributif dan varian-variannya. Namun saya percaya bahwa keadilan yang Dee maksud tidak mengacu pada keadilan dalam dunia hukum atau legal formal, bukan? Tetapi rasa keadilan dalam hidup ini dalam spiritual dan moral sense. Misalnya, ada orang yang tampak begitu baik, tapi selalu dirundung kemalangan. Sebaliknya ada orang yang jahat dan korup tapi hidupnya tampak lurus-lurus saja. Bukankah begitu maksud pertanyaannya?
Betul Aa, itu yang saya maksudkan. Kenapa di dunia ini ada kejahatan dan ketidak-adilan? Kenapa ada orang yang selalu dirundung kemalangan, ketelanjangan dan duka nestapa, sedangkan yang lain hidup dalam kemewahan?
Dimanakah tuhan yang katanya maha adil dan maha bijaksana? Kenapa kejahatan, kemalangan dan ketidak-adilan merajalela di bumi ini? Sementara tuhan, kalaupun ada, kenapa tidak bertindak saja, malah cuma ongkang-ongkang kaki di surga sono. Bisanya cuman terima pujian dan penyembahan umat manusia.
Baiklah Dee, sengaja saya membawa Dee pada pemahaman rasional tentang hukum dan keadilan agar Dee bisa menyadari bahwa seringkali keadilan yang kita maksud hanya bertumpu pada segi-segi emosional. Maka dari itu saya mengimbanginya dengan segi-segi rasional. Dengan demikian kita bisa melihat hidup ini lebih tenang dan lirih, tidak emosional.
Saya akan berusaha membahas ini secara runut. Kita mulai dari pokok permasalahannya terlebih dahulu. Karena topic bahasan ini panjang, maka untuk kali ini saya akan memfokuskan diri hanya pada topic Kejahatan saja. Dalam kesempatan berikutnya saya akan memfokuskan diri pada Penderitaan secara lebih mendalam.
Kejahatan
Tentang kejahatan dan ketidak-adilan hidup, saya ingin Dee melihat suatu permasalahan yang lebih luas dari sekedar kejahatan, yaitu penderitaan, karena pada dasarnya kita mengatakan sesuatu itu jahat karena kita merasa menderita, baik secara fisik atau mental, sebaliknya kita tidak merasa sesuatu itu jahat apabila kita tidak merasakan penderitaan fisik dan mental.
Contoh 1: Hanya sedikit perasaan kita tersobek-sobek manakala melihat ayam disembelih, atau sapi qurban di sembelih pada saat hari raya Iedul Qurban. Padahal bagi si ayam dan si hewan qurban, penyembelihan dan pengambilan hak hidup mereka adalah tindak kejahatan atas pri-kebinatangan. Mengapa kita tidak mengatakan itu suatu tindak kejahatan?
Contoh 2: di Indonesia, di mana sentimen anti Yahudi dan Barat begitu kuat, mereka sontak mengutuk bangsa Yahudi manakala ada tayangan tv tentang kematian anggota Hamas dan rakyat sipil karena serangan balas Israel. “Itu kejahatan kemanusiaan“ katanya. Namun mereka tidak mau tahu dan tidak pernah menganggap suatu kejahatan bahwa serangan balasan Israel adalah dikarenakan roket-roket Hamas yang ditujukan ke daerah-daerah sipil yahudi dan menewaskan anak-anak yahudi yang sedang bersekolah. Bahkan serangan roket itu terjadi ketika perundingan damai sedang dilakukan! Kenapa mereka yang sering berdemo di jalan-jalan dan membakar bendera Amerika dan Israel tidak merasa serangan roket Hamas suatu kejahatan kemanusiaan? Karena mereka tidak merasa menderita secara materi dan mental dengan kematian anak-anak yahudi. Malah kebanyakan dari pendemo ini bersorak melihat anak-anak yahudi mati. Mereka juga menyembunyikan fakta bahwa para pejuang Hamas dan Palestina lainnya menjadikan ibu-ibu dan anak-anak sebagai tameng hidup agar mempunyai alibi ketika tentara Israel membalas serangan mereka. Mereka juga menutupi fakta bahwa daerah otonomi Palestina ini tidak menjamin keamanan sesama Palestina itu sendiri. Para pejuang Palestina lebih suka saling mencabik-cabik saudaranya masing-masing dan berlomba-lomba mengekspos keterjajahan mereka ke dunia luar, agar uang dan bantuan yang mengalir dapat masuk ke kantong kelompok mereka sendiri untuk menjatuhkan kelompok lainnya.
Hal ini saya kemukakan bukan karena saya pro-Israel. Namun untuk melihat betapa ketidak- adilan dan kejahatan menurut pemahaman suatu pihak, ternyata tidak mutlak suatu ketidak-adilan dan kejahatan menurut pihak lainnya.
Jadi intinya adalah kita mengatakan sesuatu itu adalah jahat, apabila ada sesuatu dalam diri kita yang terambil, terenggut dan hilang, baik itu secara material atau secara kenyamanan mental. Begitu pula sebaliknya. Nah dari terang pemahaman ini, tidakkah kita adanya suatu potensi bias tentang apa yang disebut jahat itu sendiri?
Dari manakah datangnya kejahatan?
Kejahatan hanya ada karena manusia yang melakukannya. Tidak ada manusia, maka tidak ada kejahatan. Kita tidak mengatakan bahwa singa yang memangsa rusa telah melakukan tindakan kejahatan. Kita tidak mengatakan bahwa ikan arwana yang memangsa udang melakukan tindakan kejahatan. Manusialah yang berbuat jahat. Sesuatu itu jahat karena kita secara empiris, rasional dan intuitif menilainya sebagai suatu pencideraan fisik dan mental kepada sesama.
Saya teringat salah satu episode film serial The X-File. Dalam episode itu dikisahkan ttg Agen Fox Mulder yang mengkhayal ditampaki oleh sesosok genie atau jin perempuan yang cantik. Jin cantik ini memberi Fox Mulder satu permintaan untuk diwujudkan. Alih-alih meminta untuk jadi kaya dan dikelilingi wanita-wanita cantik, Mulder justru meminta agar dunia senantiasa aman, damai dan tentaram, tanpa perselisihan, perbantahan, intrik politik, perebutan kekuasaan dan peperangan. Dengan tersenyum si Jin mengangguk dan berkata “all done”. Saat itu juga Fox Mulder merasakan ketenangan dunia setenang-tenangnya.Tiada lagi perbantahan dan perselisihan. Tiada lagi perebutan kekuasaan. Bahkan segalanya jadi hening sehening-hening, lebih tepat lagi – mencekam. Ia berlari ke jalan-jalan, tiada ia dapati seorang manusiapun. Segalanya begitu senyap. Mobil berserakan di jalanan, tiada yang mengemudikannya. Lampu-lampu lalu lintas berkelap-kelip dengan sia-sia karena tidak ada yang menikmati kegunaannya. Dengan tidak ada manusia, tiada pula yang kebut-kebutan di jalan. Tiada pula yang merasa terancam dengan kebut-kebutan itu. Tiada pula yang menyumpah serapahi pelaku-kebut-kebutan.
Fox Mulder tercengang, tercekik dengan kesendirian dan kesepian. Ia terhempas dari dunia nyata. Bukan-bukan kedamaian seperti ini yang ia maksudkan. Namun kedamaian seperti apa yang ia maksudkan?
“Genie, kenapa semua orang kau buat menghilang? “
“Bukankah itu yang kau inginkan? Kedamaian abadi hanya tercipta apabila manusia tidak ada, karena manusialah yang membuat semua kekacauan di bumi ini. Tiada manusia – tiada keributan. Tiada manusia – tiada hukum yang perlu dipatuhi, karena tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri.”
Begitulah memang faktanya. Kejahatan ada karena ia inheren dalam diri manusia. Seandainya mahluk yang diberi nama manusia ini tidak pernah hadir di bumi, maka tidak akan pernah ada kejahatan. Binatang buas hanya memangsa untuk keberlangsungan hidupnya. Singa-singa memangsa rusa hanya untuk menjamin kehidupannya. It’s not a crime. There’s nothing personal. Perburuan itupun hanya dilakukan sekali dalam dua minggu. Namun lihatlah keserakahan manusia! Satu orang manusia gila saja dengan revolver ditangannya dapat membunuh belasan teman-temannya. Bahkan perintah seorang tiran seperti Vol Vot, Hitler, Saddam, Suharto dsb dapat menewaskan jutaan orang dalam ladang pembantaian. Tidakkah kita sadari keganasan dan kebiadaban yang laten tersembunyi dalam diri kita ini?
Dari manakah benih-benih kejahatan dan keliaran ini berasal? Jawabannya karena kita bukanlah mahluk sempurna yang diusir dari Taman Eden / Firdaus oleh suatu tuhan berpribadi hanya karena nenek moyang kita yang bodoh terperdaya oleh ular dan mengambil Buah Pengetahuan Yang Baik Dan Yang Buruk. Tapi karena kita berasal dari keluarga hewan. Gen yang kita miliki sebagai manusia adalah gen yang diwarisi dari suatu rantai evolusi yang sangat panjang. Baik sifat liar dan egois, maupun sifat-sifat sosial dalam diri kita secara laten tertanam dalam gen-gen kita. Dan kita terus berevolusi agar dengan kesadaran kita yang lebih tinggi dari hewan, yang disebabkan oleh evolusi otak kita, untuk mampu mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan kehidupan yang kita anggap lebih beradab, tertata dan memungkinkan suatu ruang aktualisasi dan individuasi.
Seiring dengan berkembangnya kemampuan otak kita, berkembang pulalah pengetahuan kita tentang apa yang baik dan buruk bagi kita baik secara individu dan masyarakat. Lewat pengalaman-pengalaman empiris kita merasakan bahwa disakiti orang lain adalah tidak menyenangkan, untuk itulah kita menetapkan suatu peraturan agar tidak menyakiti orang lain. Dengan tidak menyakiti orang lain maka kita berharap tidak disakiti oleh orang lain. Dalam hal ini kita melihat bahwa moralitas dan etika tidaklah datang dari langit, dijatuhkan oleh suatu ilah agama-agama tertentu, namun lewat dialektika manusia itu sendiri.
Bahkan aturan-aturan komunitas ini tidak hanya didapati dalam komunitas manusia saja, melainkan dalam komunitas-komunitas binatang juga. Dalam koloni kera misalnya, seekor kera jantan muda tidak boleh mendekati betina milik si ketua suku. Dalam komunitas kera lutung, betina yang sudah berjodoh dengan seekor jantan, tidak boleh didekati oleh jantan lain. Begitu pula sang jantan yang sudah beristri, tidak boleh dan secara naluri, tidak akan mendekati betina lain. Setiap pelanggaran akan mendapat sangsi dari anggota kelompoknya. Tidakkah ini mencerminkan bahwa hukum-hukum yang kita dapati tidak berasal dari langit namun berasal dari diri kita sendiri, dari perjalanan evolusi kita sendiri? Kitalah yang menemukan pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk, bermoral dan tidak, etis – tidak etis, bermakna tidak bermakna. Darimanakah sumber pengetahuan itu? Dari pengalaman-pengalaman empiris, dari konstruksi rasional dan dari intuisi kita.
Dalam mitos Adam dan Hawa versi agama Yahudi dan Kristen yang bersumber dari kitab Genesis / Kejadian, di situ jelas sekali terlihat bahwa para pujangga ingin memberi kita suatu petunjuk tersembunyi, yakni ketika dua anak manusia ini memakan buah Pengetahuan Yang Baik Dan Yang Buruk maka terbukalah bahwa mereka ini telanjang. Untuk itu dicarilah sesuatu untuk menutupi ketelanjangannya.
Apakah makna cerita ini bagi manusia moderen yang telah diterangi oleh sains dan rasionalitas, yang juga sudah menyadari bahwa kisah kejatuhan manusia tersebut bukanlah fakta sejarah melainkan mitos yang berisi suatu pesan moral? Paling tidak inilah yang kita bisa ambil, yakni, ketika manusia mencari makna dalam hidupnya, seturut dengan perkembangan kesadaran mereka yang diakibatkan oleh meningkatnya kemampuan berpikir manusia karena evolusi otaknya, maka mereka memulai menetapkan standar dualitas apa yang baik dan buruk, apa yang bermoral dan tidak bermoral dsb, maka mereka mulai mencari sesuatu di luar diri mereka, suatu pengetahuan, seperangkat hukum, untuk menutupi ketidak-elokan dan kelemahan-kelemahan mereka, untuk menyamarkan asal-usul ketelanjangan mereka yang tadinya sama dengan para binatang dan menjadikan mereka berbudaya, berkesadaran melebihi sepupu-sepupu terjauh mereka yakni dalam keluarga besar hewan.
Fakta bahwa kita adalah hasil evolusi seharusnya semakin menyadarkan kita betapa kita telah melewati suatu sejarah yang panjang sekali untuk bertahan hidup. Kita hidup di bumi ini bukan karena dikutuk oleh suatu ilah karena pelanggaran nenek moyang kita, melainkan karena suatu perjuangan yang maha panjang. Kita berhutang pada generasi-generasi sebelum kita yang telah mendasarkan peradaban dan pengetahuan kepada kita. Dengan cara apakah kita membalas jasa-jasa mereka? Dengan cara memberikan kontribusi positif kepada generasi-generasi di bawah kita, anak cucu kita, baik secara filosofis, ekonomis, saintifik maupun ekologis.
Jika untuk hidup adalah suatu kesempatan yang luar biasa besar, berarti hak hidup orang lain sama luar biasa bermaknanya dengan hak hidup kita. Dengan demikian, bagi kita yang sudah sadar, perlukah kita demi mempertahankan hidup kita harus melanggar hak-hak hidup orang lain?
Bagaimana kita memerangi kejahatan? Dari segi praksisnya, ketika kita merasakan, melihat dan tahu dengan jelas bahwa kejahatan dan ketidakadilan merajalela dalam masyarakat. Ya mulai dari diri kita untuk:
1. Secara pasif : kita tidak melakukan hal yang sama, tidak ikut berpartisipasi dalam tindakan yang berdampak pada kejahatan dan ketidakadilan.
2. Secara aktif : Sebisa mungkin dalam jangkauan tindakan dan pengaruh kita, kita ikut berpartisipasi aktif, paling tidak menyuarakan akan adanya ketidak adilan dan kejahatan itu.
Ketika kita menyadari bahwa kehidupan peradaban manusia itu dibangun atas dasar evolusi, kita terus menerus mengembangkan kehidupan, memperbaiki dan memperindah segi-segi kehidupan di sana-sini, maka kita harus terima bahwa tidak ada satu pihakpun yang memiliki cetak biru kehidupan. Kita, manusia sepanjang jaman, ikut berpartisipasi aktif dalam mencari, mengusahakan, dan memaknai keadilan dan kebenaran itu. Kita terus menerus mendesak batas-batas ketidak adilan itu.
Pada jaman dahulu ketika feodalisme masih merajalela, rakyat jelata tidak boleh mengenyam pendidikan. Suksesi kekuasaan hanya berlaku atas garis keturunan. Sekarang setiap orang boleh mengenyam pendidikan. Kita semua secara hukum memiliki akses yang sama untuk duduk dalam pemerintahan dan kekuasaan. Cuma masalahnya mau atau tidak, dan mampu atau tidak?
Namun ironisnya bahkan sampai saat ini di banyak tempat dimana hukum syariah dijalankan, perempuan sukar mendapatkan akses dalam pendidikan dan profesi. Maka dari itu setiap ketidak-adilan, pembodohan dan ketidakmanusiawian atas nama agama dan tuhan harus dihancurkan.
Kedamaian dunia tidak akan tercipta hanya karena suatu agama tertentu dipeluk oleh mayoritas penduduk dunia. Lihatlah peperangan dan ketidak-adilan yang berabad-abad disulut oleh agama-agama besar dan pusaran emosionalitasnya. Namun betapa butanya milyaran orang malah terus menerus menambahkan kayu bakar ego agama untuk memperbesar api kutuk ini. Mereka senang apabila ada orang lain masuk ke dalam kumpulan mereka. Kita dihujani dengan informasi-informasi konyol tentang kepindahan orang-orang dari satu agama ke agama lain. Apa signigikansinya bagi kesadaran manusia secara universal? Hanya keluar sumur yang satu dan masuk ke sumur yang lain.
Demi seperangkat keyakinan yang tidak disaring dengan rasionalitas dan akal budi, banyak orang tega memaksakan syariat-syariat kepada pihak-pihak yang tidak menginginkannya. Dan ini yang tengah terjadi di Indonesia? Indonesia tengah dikepung oleh sekawanan penjaja hukum-hukum tuhan yang mereka pikir jatuh dari langit dan dijamin pasti berhasil. Dengan segala upaya mereka melancarkan gerilya politik untuk mengimplementasikan apa yang tidak satu ruh dengan kultur bangsa ini.
Hidup ini terus berdialektika. Apa yang dulu mungkin bisa applicable, seperti halnya hukum-hukum agama, sekarang nampak tidak applicable, dan tidak manusiawi. Untuk itu kita harus berani menendang bentuk-bentuk pembodohan itu. Ambil spirit dari pembebasan, kebenaran dan keadilannya, bukan cangkangnya.
Nah untuk relaksasi dan mengingatkan Dee skan tanah air, saya ingin Dee menyimak lagu Padi Band berjudul Harmoni. Tidakkah dunia akan lebih indah apabila manusia meningkatkan kesadaran mereka akan betapa berartinya hidup dan hak hidup itu. Bagaikan sebuah alunan harmoni yang indah, setiap manusia dijamin hak hidupnya untuk hidup berdampingan tanpa ada label pembeda, menikmati kesempatan hidup yang sangat sukar ini, dan beraktualisasi di dalamnya seturut dengan kapasitas, kapabilitas masing-masing dalam semangat cinta kasih dan penghormatan akan sesama mahluk hidup.
[tube]NfdqhIdnmME[/tube]
Anonim said:
Menurut nenek moyang dahulu, sumber kejahatan adalah; Mencuri, Minuman Keras, Pelacuran, Obat Bius dan Perjudian.
SukaSuka
Anonim said:
Sumber kejahatan terbesar adalah pembunuhan manusia atas manusia lainnya.
SukaSuka
Anonim said:
Kalau membahas tentang Israel harus dimulai dari pembentukan Negara Israel, perluasan Negara Israel dengan penyerbuan Israel kesekelilingnya. Jangan cuma sepotong-sepotong.
SukaSuka
Anonim said:
Sumber kejahatan masa kini; Korupsi, Manipulasi, Pengemplangan, Harga Diri, dll
SukaSuka
Anonim said:
Ada yg mengatakan, segala sesuatu yg terjadi di dunia ini adil seadil-adilnya, hanya saja kebanyakan “have eyes but cannot see” keadilan absolut itu. Dasar dari keadilan absolut itu adalah hukum tabur tuai, hukum karma, Apa yg ditabur, akan 100% pasti dituai. Lho, bagaimana dengan pembunuh yg lolos dari jeratan hukum dan bisa bebas bersenang-senang sampai mati, adilkah? Karena kebanyakan manusia tak mampu melihat hukum tuai tabur lintas inkarnasi (tak percaya reinkarnasi atau percaya tapi tak mampu melihat inkarnasi masa lalu), maka kesannya dunia sangat tidak adil. Tentu saja dunia kelihatan sangat tidak adil mana kala seorang anak lahir di istana raja dan anak lain, lahir dari pengemis. Kalau seandainya Tuhan ada, kenapa distribusi nasib dan rejeki bisa begitu timpang, demikian biasanya manusia menggugat Tuhan yg tidak dikenalnya, dan si Tuhan rekaan ini dipaksa untuk menjalankan peran sesuai keinginan sang penggugat. Alasan kenapa seseorang bisa ‘beruntung’ lahir di Istana adalah merit (tabungan baik) dari past life incarnation berbuah pada present life incarnation, tentu saja bila berasumsi reinkarnasi adalah fakta kehidupan. Demikian juga kenapa ada wanita yg mati diperkosa tercabik-cabik di peperangan Darfur misalnya. Ingatkah ketika seorang wanita memutuskan mengaborsi bayi dalam kandungannya, bayi tersebut tak mampu melawan dan mati tercabik-cabik? Tidakkah ada konsekuensi dari tindakan aborsi tersebut? Penuaiannya bisa terjadi pada inkarnasi di masa depan. Kalau begitu apakah setiap wanita yg mati tercabik-cabik diperkosa perlu dibiarkan begitu saja sebab berdasarkan hukum tabur tuai, itu bisa diakibatkan perbuatan mereka di inkarnasi sebelumnya? Tidak setiap kejahatan yg terjadi akibat karma masa lalu, ada juga mature souls yg memilih berinkarnasi untuk mengalami kejahatan untuk suatu tujuan tertentu, misalnya bertujuan mengajarkan suatu pelajaran hidup pada orang-orang tertentu atau banyak orang. Jika tak mampu melihat semua variabel tabur tuai penyebab terjadinya suatu kejahatan, menolong korban sedapat mungkin masih pilihan yg terbaik. Demikian salah satu sudut pandang yg bisa memberikan penjelasan yg mungkin sekali dicemooh oleh entah atheis ataupun theis yg berpandangan lain. Kalau mengenai kejahatan, seseorang yg kesadarannya telah bangun akan menyadari penderitaan ternak yg disembelih untuk santapannya dan bertindak untuk mencegah dengan memilih gaya hidup vegetarian. Prinsip bagi yg telah bertumbuh lebih dewasa: love thy neighbour (including lesser neighbour = animal etcs) as thyself. Kalau saya tidak ingin disembelih, saya tidak akan membayar pembunuh bayaran (penjagal ternak) untuk menyembelih untuk memuaskan selera perut saya, demikian pandangan mereka yg tingkat kesadarannya telah bertumbuh lebih tinggi, strive to walk the golden rule. Golden rule adalah anjuran relasi antar manusia yg paling optimum dalam meminimalisir kejahatan.
SukaSuka
Anonim said:
Dalam skala individu mungkin Hukum Tabur Tuai masih masuk akal, tetapi begitu masuk ke skala pemusnahan dan kemusnahan massal baik karena perbuatan agresi kelompok manusia lain maupun karena bencana alam rasanya hukum tabur tuai itu tidak bisa menjawab atau menjelaskan kausalitasnya. Dunia yang berusia milyaran tahun ini pernah mengalami kepunahan mahluk hidup berkali-kali. Juga umat manusia yang berjalan di atas bumi selama jutaan tahun pernah mengalami kepunahan peradaban yang tak terhitung berapa kali jumlahnya. Bagaimana hal itu hendak dijelaskan dengan Hukum Tabur Tuai? Lalu, nah ini yang paling penting, siapa yang mulai pertama kali melakukan kejahatan itu dan menabur apa si korban pertama itu? Hidup memang tidak adil Dee, kita harus menerima kenyataan itu dan hidup terus atau mati bersamanya.
SukaSuka
Anonim said:
“Kalau membahas tentang Israel harus dimulai dari pembentukan Negara Israel, perluasan Negara Israel dengan penyerbuan Israel kesekelilingnya. Jangan cuma sepotong-sepotong.” Lho? Gimana sih? Kan gak ngomongin Israel v. Palestina, melainkan mengenai keadilan! Keadilan itu ditentukan oleh sudut pandang orang yang mengukurnya menurut ukurannya sendiri. Orang Palestina yang pro Hamas (ada yang anti lho!) akan merasa adil kalau roket Hamas membunuh penduduk sipil Israel tetapi sebaliknya akan teriak-teriak merasa diperlakukan tidak adil ketika Israel membalas dan terkena penduduk sipil yang dijadikan tameng oleh Hamas. Gitu lho. Kalau melihat persoalan itu jangan keluar dari konteksnya dong!
SukaSuka
Anonim said:
Tidak banyak orang yang mampu memahami secara utuh mengenai hukum karma, hendaknya yang belum memahami secara utuh tidak menjudge bahwa hukum karma itu ‘ada’ ataupun menjudge ‘tidak ada’ sebaliknya berehipasiko, pelajari dulu dimengerti dari sumber yg teruji dan dibuktikan dulu oleh yang bersangkutan. Terima kasih
SukaSuka
Anonim said:
Menurut hemat saya, asal mulanya kejahatan itu adalah AA JIN SM, yakni penulis artikel diatas sendiri. Jin itu ada dua macam, JIN hitam dan JIN putih. JIN hitam itu adalah yang menyebarkan kejahatan, dan AA JIN SM jelas adalah JIN hitam ….. asal mulanya kejahatan ……
SukaSuka
Anonim said:
Maaf, saya tidak “menjudge” melainkan bertanya. Tolong jawab berdasarkan sumber yang dapat dipercaya. Pertanyaan saya justru timbul setelah menerapkan EHIPASIKO. Silakan.
SukaSuka
Anonim said:
Hukum tabur tuai adalah hukum yg dapat diamati sendiri. Menaman biji salak, tumbuh pohon salak, dan akhirnya buahnya bisa dituai. Melangkah keluar dari jendela lantai 12 (tabur), jatuh ke bawah mati (tuai). Menyentuhkan jari ke ketel panas (tabur), jari melepuh (tuai). Pada dasarnya hukum tabur tuai adalah hukum kausalitas sebab akibat. Dasar dari hukum tabur tuai dalam kaitannya dengan manusia adalah setiap tindakan, pikiran, perasaan, keinginan ada konsekuensinya, entah konsekuensi ‘baik’ atau ‘buruk’. Masalahnya apakah hukum tabur tuai ini berlaku secara universal seperti hukum gravitasi yg berlaku di semua tempat dan di setiap waktu. Jika pernyataan ‘segala sesuatu yg terjadi ada penyebabnya’ benar, maka hukum tabur tuai berlaku universal. Jika hukum tabur tuai ini berlaku secara universal seperti hukum gravitasi, maka dapat di-inferensi-kan bahwa setiap bencana besar, kemusnahan massal, juga terjadi akibat hukum ini. Yg bisa menjadi perdebatan adalah sebab apa menghasilkan akibat apa, apakah kesadaran sekelompok manusia misalnya turut andil dalam kejadian seperti tsunami ataupun tubrukan meteor. Tidak bisa menjelaskan variabel penyebab mass extinction tak berarti mass extinction tak mematuhi hukum tabur tuai. Kemudian soal siapa yg memulai kejahatan dan apa yg ditaburnya, ini bisa mengarah ke debat klasik mengenai siapa manusia pertama dan apa yg dilakukannya. Kita mungkin tak tahu apa yg memulai suatu riak, tetapi kita bisa amati efek riak di permukaan air. Sama seperti kita belum bisa memastikan siapa/apa yg menciptakan gravitasi itu, tapi berhubung efeknya bisa dirasakan dan diukur, maka seperti pisau yg bisa digunakan untuk tujuan baik buruk, gravitasi juga bisa digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Demikian juga bila hukum tabur tuai setelah diamati dan dipertimbangkan, dianggap bagian dari hukum kehidupan, pilihan yg ada adalah menyelaraskan diri dengannya atau melawannya dengan resiko menderita. Hukum tabur tuai bukan hukum yg fatalis dalam arti melakukan tindakan X, secara kaku pasti akan menuai hasil Y. Selang waktu antara menabur dan menuai menyebabkan si pelaku bisa mengubah hasil tuaiannya. Katakanlah seorang wanita out of ignorance telah memilih mengaborsi bayinya akibat hubungan seks yg tak bertanggung jawab, tetapi kemudian hati nurani sadar akan tindakannya yg kurang bertanggung jawab sehingga memutuskan membantu wanita lain membuat pilihan yg lebih bijak, tuaian yg akan didapatnya tentu akan jauh berbeda dengan apabila dia mencari-cari justifikasi terhadap tindakannya. Memandang kehidupan sebagai tidak adil dari sononya tentu tak masalah jika tidak menjadikan diri apatis kehilangan arti jadi manusia, untuk apa jadi manusia kalau segala sesuatu terjadi begitu saja tanpa tujuan dan arti. Tapi jika hukum tabur tuai berlaku, harapan masih ada dimana bisa dilakukan tindakan hari ini untuk menghasilkan perubahan di masa depan.
SukaSuka
Anonim said:
Asal kejahatan adalah otak manusia yang beragam-ragam isinya. — Proses evolusi tidak penah membuat manusia lebih manusiawi. — Kejahatan mustahil bisa dihilangkan, bahkan oleh tuhan sekalipun, tapi bisa dikurangi. — Dengan berhenti punya anak dan menyelamatkan anak yang sudah dilahirkan malang oleh tuhan, niscaya hidup manusia akan lebih sentosa.
SukaSuka
Anonim said:
gu setuju kalau sumber kejahatan itu sebetulnya dari AA JIN itu sendiri..
SukaSuka
Anonim said:
Setuju bahwa kesadaran orang pribadi tentang Hukum Tabur Tuai akan membawa kebaikan bagi dirinya sendiri maupun masyarakat. Dalam skala kosmis menurut pengamatan saya posisi manusia sangat marjinal, dan bahkan sama sekali tidak menjadi faktor penyebab kejadian-kejadian kosmis, justru manusia dipengaruhi atau menjadi obyek penderita dari dampak kejadian kosmik itu. Turun ke skala dunia atau bumi, bencana alam yang akibat ulah manusia menampakkan berlakunya Hukum Tabur Tuai itu, akan tetapi menimbulkan pertanyaan baru karena faktanya orang lain yang makan nangkanya orang lain lagi yang kena getahnya. Contohnya, penggundulan hutan di hulu oleh segelintir orang yang mengakibatkan banjir di hilir membawa penderitaan bagi orang banyak di hilir padahal mereka tidak ikut-ikut menggunduli hutan. Pemanasan global akibat gas buangan industri negara-negara besar yang menimbulkan efek rumah kaca, yang terimbas akibatnya kok orang-orang di negara berkembang yang tidak melakukan apa-apa dan tidak ikut menikmati hasilnya? Bagaimana itu penjelasannya menurut Hukum Tabur Tuai?
SukaSuka
Anonim said:
Coba yang komentar bahwa AA Jin SM adalah sumber kejahatan dan yang setuju pada komentar itu jelaskan bagaimana kok bisa begitu menurut anda?
SukaSuka
Anonim said:
Hukum Tabur Tuai dikembangkan di India oleh filosof-filosof Theravadin setelah Sang Siddharta Gautama mangkat. Di China, Konfucius mengembangkan The Golden Rule: “Perbuat bagi orang lain apa yang engkau inginkan orang lain perbuat terhadap dirimu” atau “Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang engkau tidak suka orang lain lakukan terhadap dirimu.” Hukum Tabur Tuai merupakan hasil pemikiran falsafati yang lebih mendalam dari The Golden Rule-nya Confucius, tetapi keduanya dapat dikatakan sesuai satu sama lain. Alangkah indah dan nyamannya hidup bermasyarakat jika kedua falsafah hidup itu diterapkan oleh setiap pribadi.
SukaSuka