Aa Jin, telah saya ceritakan garis besar kehidupan saya yang tampaknya lebih banyak jalan berliku dan kisah sedihnya ketimbang kisah manisnya. Menurut bapak adakah keadilan dalam dunia ini?
Dee, sebelum menjawabnya, saya ingin bertanya dulu, apa yang Dee maksudkan dengan keadilan? Apakah kriteria adil itu? Adil menurut siapa? Ada ungkapan dalam hukum :

 

Summum jus, summa injuria – Keadilan yang tertinggi adalah ketidak-adilan yang terbesar.

Maksudnya penuntutan penegakan hukum yang paling ketat justru berpotensi untuk membawa ketidak-adilan terbesar pada pihak lain, yang berarti menciderai keadilan itu sendiri.

Ketika kita mengatakan,  ‘ Ini tidak adil buatku. Aku menuntut keadilan.’ Kita harus yakin dengan arti dan batasan-batasan dari keadilan itu, jangan adil hanya menurut kita saja tapi tidak adil menurut orang lain.

Secara teori ada adil secara komutatif, distributif dan varian-variannya. Namun saya percaya bahwa keadilan yang Dee maksud tidak mengacu pada keadilan dalam dunia hukum atau legal formal, bukan? Tetapi rasa keadilan dalam hidup ini dalam spiritual dan moral sense.  Misalnya, ada orang yang tampak begitu baik, tapi selalu dirundung kemalangan. Sebaliknya ada orang yang jahat dan korup tapi hidupnya tampak lurus-lurus saja. Bukankah begitu maksud pertanyaannya?

 

Darimanakah kejahatan berasal? Apakah ia berada di luar kita atau tertanam laten dalam kesadaran kita sendiri?

 

Betul Aa, itu yang saya maksudkan. Kenapa di dunia ini ada kejahatan dan ketidak-adilan? Kenapa ada orang yang selalu dirundung kemalangan, ketelanjangan dan duka nestapa, sedangkan yang lain hidup dalam kemewahan?

Dimanakah tuhan yang katanya maha adil dan maha bijaksana? Kenapa kejahatan, kemalangan  dan ketidak-adilan merajalela di bumi ini? Sementara tuhan, kalaupun ada, kenapa tidak bertindak saja, malah cuma ongkang-ongkang kaki di surga sono. Bisanya cuman terima pujian dan penyembahan umat manusia. 

Baiklah Dee, sengaja saya membawa Dee pada pemahaman rasional tentang hukum dan keadilan agar Dee bisa menyadari bahwa seringkali keadilan yang kita maksud hanya bertumpu pada segi-segi emosional. Maka dari itu saya mengimbanginya dengan segi-segi rasional. Dengan demikian kita bisa melihat hidup ini lebih tenang dan lirih, tidak emosional.

Saya akan berusaha membahas ini secara runut. Kita mulai dari pokok permasalahannya terlebih dahulu. Karena topic bahasan ini panjang, maka untuk kali ini saya akan memfokuskan diri hanya pada topic Kejahatan saja. Dalam kesempatan berikutnya saya akan memfokuskan diri pada Penderitaan secara lebih mendalam.

 

Kejahatan  

Tentang kejahatan dan ketidak-adilan hidup, saya ingin Dee melihat suatu permasalahan yang lebih luas dari sekedar kejahatan, yaitu penderitaan, karena pada dasarnya kita mengatakan sesuatu itu jahat karena kita merasa menderita, baik secara fisik atau mental, sebaliknya kita tidak merasa sesuatu itu jahat apabila kita tidak merasakan penderitaan fisik dan mental.

 

Contoh 1: Hanya sedikit perasaan kita tersobek-sobek manakala melihat ayam disembelih, atau sapi qurban di sembelih pada saat hari raya Iedul Qurban. Padahal bagi si ayam dan si hewan qurban, penyembelihan dan pengambilan hak hidup mereka adalah tindak kejahatan atas pri-kebinatangan. Mengapa kita tidak mengatakan itu suatu tindak kejahatan?

 

Contoh 2: di Indonesia, di mana sentimen anti Yahudi dan Barat begitu kuat, mereka sontak mengutuk bangsa Yahudi manakala ada tayangan tv tentang kematian anggota Hamas dan rakyat sipil karena serangan balas Israel. “Itu kejahatan kemanusiaan“ katanya. Namun mereka tidak mau tahu dan tidak pernah menganggap suatu kejahatan bahwa serangan balasan Israel adalah dikarenakan roket-roket Hamas yang ditujukan ke daerah-daerah sipil yahudi dan menewaskan anak-anak yahudi yang sedang bersekolah. Bahkan serangan roket itu terjadi ketika perundingan damai sedang dilakukan! Kenapa mereka yang sering berdemo di jalan-jalan dan membakar bendera Amerika dan Israel tidak merasa serangan roket Hamas suatu kejahatan kemanusiaan? Karena mereka tidak merasa menderita secara materi dan mental dengan kematian anak-anak yahudi. Malah kebanyakan dari pendemo ini bersorak melihat anak-anak yahudi mati. Mereka juga menyembunyikan fakta bahwa para pejuang Hamas dan Palestina lainnya menjadikan ibu-ibu dan anak-anak sebagai tameng hidup agar mempunyai alibi ketika tentara Israel membalas serangan mereka. Mereka juga menutupi fakta bahwa daerah otonomi Palestina ini tidak menjamin keamanan sesama Palestina itu sendiri. Para pejuang Palestina lebih suka saling mencabik-cabik saudaranya masing-masing dan berlomba-lomba mengekspos keterjajahan mereka ke dunia luar, agar uang dan bantuan yang mengalir dapat masuk ke kantong kelompok  mereka sendiri untuk menjatuhkan kelompok lainnya.   

 

Hal ini saya kemukakan bukan karena saya pro-Israel. Namun untuk melihat betapa ketidak- adilan dan kejahatan menurut pemahaman suatu pihak, ternyata tidak mutlak suatu ketidak-adilan dan kejahatan menurut pihak lainnya.

 

Jadi intinya adalah kita mengatakan sesuatu itu adalah jahat, apabila ada sesuatu dalam diri kita yang terambil, terenggut dan hilang, baik itu secara material atau secara kenyamanan mental. Begitu pula sebaliknya. Nah dari terang pemahaman ini, tidakkah kita adanya suatu potensi bias tentang apa yang disebut jahat itu sendiri?  

 

Dari manakah datangnya kejahatan?

 

Kejahatan hanya ada karena manusia yang melakukannya. Tidak ada manusia, maka tidak ada kejahatan. Kita tidak mengatakan bahwa singa yang memangsa rusa telah melakukan tindakan kejahatan. Kita tidak mengatakan bahwa ikan arwana yang memangsa udang melakukan tindakan kejahatan. Manusialah yang berbuat jahat. Sesuatu itu jahat karena kita secara empiris, rasional dan intuitif menilainya sebagai suatu pencideraan fisik dan mental kepada sesama.

 

Saya teringat salah satu episode film serial The X-File. Dalam episode itu dikisahkan ttg Agen Fox Mulder yang mengkhayal ditampaki oleh sesosok genie atau jin perempuan yang cantik. Jin cantik ini memberi Fox Mulder satu permintaan untuk diwujudkan. Alih-alih meminta untuk jadi kaya dan dikelilingi wanita-wanita cantik, Mulder justru meminta agar dunia senantiasa aman, damai dan tentaram, tanpa perselisihan, perbantahan, intrik politik, perebutan kekuasaan dan peperangan. Dengan tersenyum si Jin mengangguk dan berkata “all done”. Saat itu juga Fox Mulder merasakan ketenangan dunia setenang-tenangnya.Tiada lagi perbantahan dan perselisihan. Tiada lagi perebutan kekuasaan. Bahkan segalanya jadi hening sehening-hening, lebih tepat lagi – mencekam. Ia berlari ke jalan-jalan, tiada ia dapati seorang manusiapun. Segalanya begitu senyap. Mobil berserakan di jalanan, tiada yang mengemudikannya. Lampu-lampu lalu lintas berkelap-kelip dengan sia-sia karena tidak ada yang menikmati kegunaannya. Dengan tidak ada manusia, tiada pula yang kebut-kebutan di jalan. Tiada pula yang merasa terancam dengan kebut-kebutan itu. Tiada pula yang menyumpah serapahi pelaku-kebut-kebutan.

 

Fox Mulder tercengang, tercekik dengan kesendirian dan kesepian. Ia terhempas dari dunia nyata. Bukan-bukan kedamaian seperti ini yang ia maksudkan. Namun kedamaian seperti apa yang ia maksudkan?

“Genie, kenapa semua orang kau buat menghilang? “  

“Bukankah itu yang kau inginkan? Kedamaian abadi hanya tercipta apabila manusia tidak ada, karena manusialah yang membuat semua kekacauan di bumi ini. Tiada manusia – tiada keributan. Tiada manusia – tiada hukum yang perlu dipatuhi, karena tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri.”

 

Begitulah memang faktanya. Kejahatan ada karena ia inheren dalam diri manusia. Seandainya mahluk yang diberi nama manusia ini tidak pernah hadir di bumi, maka tidak akan pernah ada kejahatan. Binatang buas hanya memangsa untuk keberlangsungan hidupnya. Singa-singa memangsa rusa hanya untuk menjamin kehidupannya. It’s not a crime. There’s nothing personal. Perburuan itupun hanya dilakukan sekali dalam dua minggu. Namun lihatlah keserakahan manusia! Satu orang manusia gila saja dengan revolver ditangannya dapat membunuh belasan teman-temannya. Bahkan perintah seorang tiran seperti Vol Vot, Hitler, Saddam, Suharto dsb dapat menewaskan jutaan orang dalam ladang pembantaian. Tidakkah kita sadari keganasan dan kebiadaban yang laten tersembunyi dalam  diri kita ini?

 

Dari manakah benih-benih kejahatan dan keliaran ini berasal? Jawabannya karena kita bukanlah mahluk sempurna yang diusir dari Taman Eden / Firdaus oleh suatu tuhan berpribadi hanya karena nenek moyang kita yang bodoh terperdaya oleh ular dan mengambil Buah Pengetahuan Yang Baik Dan Yang Buruk. Tapi karena kita berasal dari keluarga hewan. Gen yang kita miliki sebagai manusia adalah gen yang diwarisi dari suatu rantai evolusi yang sangat panjang. Baik sifat liar dan egois,  maupun sifat-sifat sosial dalam diri kita secara laten tertanam dalam gen-gen kita. Dan kita terus berevolusi agar dengan kesadaran kita yang lebih tinggi dari hewan, yang disebabkan oleh evolusi otak kita, untuk  mampu mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan kehidupan yang kita anggap lebih beradab, tertata dan memungkinkan suatu ruang aktualisasi dan individuasi.

 

Seiring dengan berkembangnya kemampuan otak kita, berkembang pulalah pengetahuan kita tentang apa yang baik dan buruk bagi kita baik secara individu dan masyarakat. Lewat pengalaman-pengalaman empiris kita merasakan bahwa disakiti orang lain adalah tidak menyenangkan, untuk itulah kita menetapkan suatu peraturan agar tidak menyakiti orang lain. Dengan tidak menyakiti orang lain maka kita berharap tidak disakiti oleh orang lain. Dalam hal ini kita melihat bahwa moralitas dan etika tidaklah datang dari langit, dijatuhkan oleh suatu ilah agama-agama tertentu, namun lewat dialektika manusia itu sendiri.

 

Bahkan aturan-aturan komunitas ini tidak hanya didapati dalam komunitas manusia saja, melainkan dalam komunitas-komunitas binatang juga. Dalam koloni kera misalnya, seekor kera jantan muda tidak boleh mendekati betina milik si ketua suku. Dalam komunitas kera lutung, betina yang sudah berjodoh dengan seekor jantan, tidak boleh didekati oleh jantan lain. Begitu pula sang jantan yang sudah beristri, tidak boleh dan secara naluri, tidak akan mendekati betina lain. Setiap pelanggaran akan mendapat sangsi dari anggota kelompoknya. Tidakkah ini mencerminkan bahwa hukum-hukum yang kita dapati tidak berasal dari langit namun berasal dari diri kita sendiri, dari perjalanan evolusi kita sendiri? Kitalah yang menemukan pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk, bermoral dan tidak, etis – tidak etis, bermakna tidak bermakna. Darimanakah sumber pengetahuan itu? Dari pengalaman-pengalaman empiris, dari konstruksi rasional dan dari intuisi kita.

 

Dalam mitos Adam dan Hawa versi agama Yahudi dan Kristen yang bersumber dari kitab Genesis / Kejadian, di situ jelas sekali terlihat bahwa para pujangga ingin memberi kita suatu petunjuk tersembunyi, yakni ketika dua anak manusia ini memakan buah Pengetahuan Yang Baik Dan Yang Buruk maka terbukalah bahwa mereka ini telanjang. Untuk itu dicarilah sesuatu untuk menutupi ketelanjangannya.

 

Apakah makna cerita ini bagi manusia moderen yang telah diterangi oleh sains dan rasionalitas, yang juga sudah menyadari bahwa kisah kejatuhan manusia tersebut bukanlah fakta sejarah melainkan mitos yang berisi suatu pesan moral?  Paling tidak inilah yang kita bisa ambil, yakni, ketika manusia mencari makna dalam hidupnya, seturut dengan perkembangan kesadaran mereka yang diakibatkan oleh meningkatnya kemampuan berpikir manusia karena evolusi otaknya, maka mereka memulai menetapkan standar dualitas apa yang baik dan buruk, apa yang bermoral dan tidak bermoral dsb, maka mereka mulai mencari sesuatu di luar diri mereka, suatu pengetahuan, seperangkat hukum, untuk menutupi ketidak-elokan dan kelemahan-kelemahan mereka, untuk menyamarkan asal-usul ketelanjangan mereka yang tadinya sama dengan para binatang dan menjadikan mereka berbudaya, berkesadaran melebihi sepupu-sepupu terjauh mereka yakni dalam keluarga besar hewan.

 

Fakta bahwa kita adalah hasil evolusi seharusnya semakin menyadarkan kita betapa kita telah melewati  suatu sejarah yang panjang sekali untuk bertahan hidup. Kita hidup di bumi ini bukan karena dikutuk oleh suatu ilah karena pelanggaran nenek moyang kita, melainkan karena suatu perjuangan yang maha panjang. Kita berhutang pada generasi-generasi sebelum kita yang telah mendasarkan peradaban dan pengetahuan kepada kita. Dengan cara apakah kita membalas jasa-jasa mereka? Dengan cara memberikan kontribusi positif kepada generasi-generasi di bawah kita, anak cucu kita, baik secara filosofis, ekonomis, saintifik maupun ekologis.

 

Jika untuk hidup adalah suatu kesempatan yang luar biasa besar, berarti hak hidup orang lain sama luar biasa bermaknanya dengan hak hidup kita. Dengan demikian, bagi kita yang sudah sadar, perlukah kita demi mempertahankan hidup kita  harus melanggar hak-hak hidup orang lain?

 

Bagaimana kita memerangi kejahatan? Dari segi praksisnya, ketika kita merasakan, melihat dan tahu dengan jelas bahwa kejahatan dan ketidakadilan merajalela dalam masyarakat. Ya mulai dari diri kita untuk:

1. Secara pasif : kita tidak melakukan hal yang sama, tidak ikut berpartisipasi dalam tindakan yang berdampak pada kejahatan dan ketidakadilan.

2. Secara aktif : Sebisa mungkin dalam jangkauan tindakan dan pengaruh kita, kita ikut berpartisipasi aktif, paling tidak menyuarakan akan adanya ketidak adilan dan kejahatan itu.  

 

Ketika kita menyadari bahwa kehidupan peradaban manusia itu dibangun atas dasar evolusi, kita terus menerus mengembangkan kehidupan, memperbaiki dan memperindah segi-segi kehidupan di sana-sini, maka kita harus terima bahwa tidak ada satu pihakpun yang memiliki cetak biru kehidupan. Kita, manusia sepanjang jaman, ikut berpartisipasi aktif dalam mencari, mengusahakan, dan memaknai keadilan dan kebenaran itu. Kita terus menerus mendesak batas-batas ketidak adilan itu.

 

Pada jaman dahulu ketika feodalisme masih merajalela, rakyat jelata tidak boleh mengenyam pendidikan. Suksesi kekuasaan hanya berlaku atas garis keturunan. Sekarang setiap orang boleh mengenyam pendidikan. Kita semua secara hukum memiliki akses yang sama untuk duduk dalam pemerintahan dan kekuasaan. Cuma masalahnya mau atau tidak, dan mampu atau tidak?

 

Namun ironisnya bahkan sampai saat ini di banyak tempat dimana hukum syariah dijalankan, perempuan sukar mendapatkan akses dalam pendidikan dan profesi. Maka dari itu setiap ketidak-adilan, pembodohan dan ketidakmanusiawian atas nama agama dan tuhan harus dihancurkan.

 

Kedamaian dunia tidak akan tercipta hanya karena suatu agama tertentu dipeluk oleh mayoritas penduduk dunia. Lihatlah peperangan dan ketidak-adilan yang berabad-abad disulut oleh agama-agama besar dan pusaran emosionalitasnya. Namun betapa butanya milyaran orang malah terus menerus menambahkan kayu bakar ego agama untuk memperbesar api kutuk ini. Mereka senang apabila ada orang lain masuk ke dalam kumpulan mereka. Kita dihujani dengan informasi-informasi konyol tentang kepindahan orang-orang dari satu agama ke agama lain. Apa signigikansinya bagi kesadaran manusia secara universal? Hanya keluar sumur yang satu dan masuk ke sumur yang lain.

 

Demi seperangkat keyakinan yang tidak disaring dengan rasionalitas dan akal budi, banyak orang tega memaksakan syariat-syariat kepada pihak-pihak yang tidak menginginkannya. Dan ini yang tengah terjadi di Indonesia?  Indonesia tengah dikepung oleh sekawanan penjaja hukum-hukum tuhan yang mereka pikir jatuh dari langit dan dijamin pasti berhasil. Dengan segala upaya mereka melancarkan gerilya politik untuk mengimplementasikan apa yang tidak satu ruh dengan kultur bangsa ini.  

 

Hidup ini terus berdialektika. Apa yang dulu mungkin bisa applicable, seperti halnya hukum-hukum agama, sekarang nampak tidak applicable, dan tidak manusiawi. Untuk itu kita harus berani menendang bentuk-bentuk pembodohan itu. Ambil spirit dari pembebasan, kebenaran dan keadilannya, bukan cangkangnya.

 

Nah untuk relaksasi dan mengingatkan Dee skan tanah air, saya ingin Dee menyimak lagu Padi Band berjudul Harmoni. Tidakkah dunia akan lebih indah apabila manusia meningkatkan kesadaran mereka akan betapa berartinya hidup dan hak hidup itu. Bagaikan sebuah alunan harmoni yang indah, setiap manusia dijamin hak hidupnya untuk hidup berdampingan tanpa ada label pembeda, menikmati kesempatan hidup yang sangat sukar ini, dan beraktualisasi di dalamnya seturut dengan kapasitas, kapabilitas masing-masing dalam semangat cinta kasih dan penghormatan akan sesama mahluk hidup. 

[tube]NfdqhIdnmME[/tube]