Tanya:

Aa Jin, ada pertanyaan yg selalu mengganjal di pikiran saya. Kenapa sih (setahu saya… lho) atheisme, humanisme, free will, atau hal2 yg menunjukan kemajuan pemikiran dlm peradaban manusia, selalu menjurus pada dukungan thdp kebebasan orientasi sex (lesbian, homosex,

bisex, dsb) bahkan dukungan thd praktek aborsi.

Memang ada hubungannya?

Jawab:

Karena orang-orang ini sudah berpikir rasional, memakai nalar dalam memilah dan memilih, mempercayai dan menulusuri kebenaran.  Mereka sudah sadar bahwa kebenaran-kebenaran yang dipegang oleh agama, ya sebenarnya buatan manusia juga, manusia-manusia jaman dulu. kebenaran jaman dulu mungkinapplicable pada waktu jaman itu, dgn segala konsekwensinya,  tapi untuk jaman sekarang masih applicable kah?

Contoh: pada jaman dahulu, kaum homoseksual ditindas oleh para lelaki pemuja male chauvinisme seperti bangsa Israel dan arab. Kenapa? karena mereka bangsa yang kecil yang selalu dalam keadaan berperang untuk mempertahankan eksistensi ras mereka. Bangsa-bangsa jaman dulu ingin bangsanya besar dalam populasi, agar bisa mendapatkan banyak tentara dan banyak penggarap tanah. Ingat bahwa pada jaman dahulu peperangan dan industri dilakukan secara manual. Nah jika suatu bangsa populasinya banyak yg homo dan lesbian, gimana dapat keturunan? ya khan? Kaum ini dianggap kanker yg melemahkan sendi-sendi kebangsaan, baik dari segi moral maupun kontribusi terhadap masyarakat.

Memang pada jaman itu pun, di banyak kebudayaan, adalah hal lumrah apabila ada beberapa lelaki yang dikebiri / kasim / taikam dijadikan pejabat istana, biasanya yang berhubungan dengan urusan keputrian. Tujuannya jelas, agar mereka tidak main gila sama dayang-dayang raja.  Namun jelas ini bukan bawaan, dan sekarang dianggap suatu bentuk pelanggaran HAM berat.

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_kasim

Namun sekarang kan beda. Sains menunjukkan bahwa gay / lesbian yang murni bawaan, bukan bentukan, adalah masalah dalam otaknya, seperti halnya orang kidal. Bukan suatu kutukan. Memang benar bahwa selain factor bawaan, ada juga factor lingkungan.  Namun fakta bahwa seseorang memiliki benih tersebut secara natural menyadarkan kita bahwa mereka pun berhak memiliki kehidupan dan dimensi2 kehidupan yang setara dengan kita seperti halnya dalam profesi, spiritualitas, bahkan hierarki dalam institusi keagamaan !

 

http://netsains.com/2008/10/simetri-otak-homoseksual-sangat-mirip-dengan-lawan-jenis/

http://www.sciencedaily.com/releases/2008/06/080617151845.htm

http://www.narth.com/docs/bioresearch.html

http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2010/07/tafsir-atas-homoseksualitas-dalam-kitab.html

 

Bahkan sudah lama dalam psikologi analitika Carl Gustav Jung mengemukakan bahwa dalam dalam alam nirsadar manusia, setiap manusia memiliki sisi lawan jenis yang direfleksikan dalam kecenderungan dan prilaku dalam alam sadar mereka.

Dengan kata lain : dalam alam nirsadar setiap laki-laki terdapat ekspresi dari inner-personalitas  perempuan, anima.  Begitu pula dalam alam nirsadar setiap perempuan terdapat ekspresi dari inner-personalitas laki-laki, yang disebut animus. 

http://en.wikipedia.org/wiki/Anima_and_animus

http://drannehilty.wordpress.com/2010/03/14/animus-anima-yin-yang/

 

Bagaimana kita berprilaku, mengembangkan factor anima atau animus dalam diri kita dan  memandang lawan jenis, biasanya dibentuk oleh masyarakat. Pada jaman dahulu mana boleh anak laki-laki main masak-masakan? Pula janggal rasanya anak perempuan main robot-robotan. Demikianlah cara kita memandang dunia, dan diri kita sendiri telah dibentuk dan dipermak oleh budaya. Kalau budayanya budaya rasional ya bagus, tapi sering kali kita dibentuk oleh budaya irrasional dan diskriminatif. Maka dari itu mencerdaskan bangsa ini dari irrasionalitas dan emosionalitas agama, adalah sangat sukar.    

 

Mereka yang rajin mengobral keyakinan bahwa ada suatu tuhan yang maha sempurna dalam segala ciptaannya, justru seharusnya bisa menerima bahwa fenomena ini termasuk keragaman dari ciptaan yang sempurna itu tadi.

 

Di lain pihak, saya sering menyesalkan proyeksi-proyeksi kaum marginal oleh media yang sering berlebihan. Seakan-akan kaum tertentu layak jadi bahan tertawaan di media karena prilaku yg dianggap berlebihan. Seharusnya semua sendi kehidupan dipaparkan apa adanya dalam kesewajaran saja, bahwa mereka ada dan hak-hak hidup serta hak beraktualisasi mereka diakui sama dan sederajat.   

 

Saya humanis, tapi masalah aborsi? Tunggu dulu donk. aborsi macam apa yang anda maksud?

Kalau aborsi karena si janin adalah hasil pemerkosaan, dan akan menjadi kepahitan buat si penderita / calon ibunya, saya mendukung. Tapi kalau sudah besar janinnya, lebih baik ada yayasan-yayasan amal/ yatim piatu yang menampung ‘bayi yang tidak diinginkan’ itu.

 

Kalau aborsi karena hasil free-sex, saya tidak dukung, sekalipun itu wewenang si ibunya, tapi bagaimanapun ada buah dari perbuatan yang harus ditangggung.

 

Makanya kebebasan itu harus disertai dengan kedewasaan.

 

Kalau suami istri gak mau kebablasan, takut punya anak lagi – punya anak lagi, yah pakailah pengaman, dari pada kebablasan, terus merasa berdosa buat dikuret / digugurkan.

 

Prinsipnya, berpikirlah panjang. Jangan utamakan nafsu.

 

Saya rasional, tapi masalah free sex? saya sangat mendukung cinta kasih seyogyanya dilakukan dalam koridor pernikahan dimana laki dan perempuan sama derajatnya. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah. Keduanya saling melengkapi.  Dalam koridor pernikahanlah hak-hak istri dan anak akan terlindungi.

 

Dan tidak hanya itu, saya mendukung agar budaya menikah dgn biaya mahal jangan dituruti. Buat apa menikah dengan harga mahal tapi bikin susah calon keluarga? Beranilah menentang arus dan turuti kata hati. Makanya ada yang bilang, menikah itu 100 juta ga cukup, tapi cerai biaya formulirnya cuman 10 ribu hehehe.

 

Jadi prinsipnya bagi saya adalah kebebasan berpikir harus disertai tanggung jawab dan kedewasaan. Tidak perlu perlu karena merasa sudah dewasa sradak-sruduk sana sini.  Kalau sudah bertemu dengan orang yang sreg, ajaklah menikah dan hidup sederhana. Mau kita hidup melimpah kek, mau kita hidup sederhana kek, kalo mati kan ga bawa apa-apa. Keenakan anak-anak kita dong hehehe.

Cukuplah kita hidup di atas level standar-terpenuhi, asal semua kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Setelah itu kita berusaha memberi untuk mereka yang membutuhkan. Disitulah kehidupan akan terasa bernilai.

Begitu kira2 jawaban praktis dari saya.

[keterangan foto 1: menurut psikologi analitika, dalam alam nirsadar setiap manusia terdapat sisi lawan jenisyang bersifat laten, yang mengimbangi pribadi tersebut dan tercermin dalam prilaku dan kecenderungan di alam sadar. Anima, sisi perempuan dalam diri laki-laki, dan animus, sisi laki-laki dalam diri perempuan.]

 

 

 

[Keterangan foto 2 : dalam mithology hindu, penyatuan shiva dan shakti adalah moksa itu sendiri atau ketercerahan. Kita tercerah bahwa pada dasarnya kita sendiri yang membeda-bedakan semua perwujudan dari Substansi / Brahman/ Samudra Variochana / Alam itu sendiri.]