Rabu, 18 Februari 2009 KERETA API Sribilah baru saja tiba di stasiun Medan, Sumatera Utara, pukul 6 pagi, 17 Februari 2009. Seharusnya pukul 23.00 kereta sudah berangkat dari Rantau Prapat, Labuhan Batu, menuju Medan. Ia baru bergerak pukul 00.30. Sesosok anak muda, berpenampilan tinggi, ber-blue-jeans, bersepatu putih bersih, berwajah segar, menyapa. Ia seakan melihat kegelisahan saya.

”Abang tak cermat, ini kan Labuhan Batu?”

”Salah satu penghasil karet utama di Sumut”

”Yah, jadi jam karet biasa.”

Kami tertawa, lalu berjabatan tangan, berkenalan.

Suasana stasiun kereta api peninggalan Belanda itu, sudah tak tampak lagi berkesan berarsitektur kolonial. Bagian plafon, dulu sewaktu kecil pernah saya simak tinggi. Kini sudah bersangkalan triplek, memberi kesan menyempit tidak lagi gran. Padahal jika saja bangunan stasiun itu dipugar sebagaimana wujud asli, dia akan menjadi landmark berciri khas tersendiri. Entah mengapa, di hampir di setiap daerah, acap kali bangunan tua dibuat merana.

Kereta api Sribilah memiliki kelas eksekutif AC dan bisnis. Saya memilih eksekutif, bertarif Rp 70 ribu. Duduk di gerbong satu, suasana mirip dengan keadaan interior kereta api Sembrani jurusan Jakarta, Gambir ke Surabaya – – setingkat di bawah jenis kereta api bertajuk Argo.

Sesosok anak muda lain di kanan saya, bersepatu putih bersih pula. Ini sudah yang ke lima kalinya saya melihat anak-anak muda bersepatu casual putih bersih – – sejak di pelataran parkir, hingga ke dalam kereta api. Bisa jadi, sepatu putih menjadi trend mode kawula muda di Rantau Prapat, kini.

Suatu yang menggalaukan ketika setiap naik kereta api di negeri ini, adalah kamar kecil, WC. Benar saja, sekitar pukul dua dini hari, saya ke kamar kecil. Air di kran tidak menyala. Lubang WC sudah coklat, bau pesing menyingsing.

Tak ingin sakit menahan pipis, saya memampatkan nafas sejadi-jadinya. Dada terasa sesak. Amboi, dua kali hidung harus dibuka, menghirup adonan aroma yang ada.

Kendati air kering, saya perhatikan dinding WC tidak ada coretan. Tidak macam WC kereta api di pulau Jawa, di mana ada saja tangan iseng menuliskan spidol, atau menggores dinding dengan benda tajam. Lantai WC pun tampak bersih, tidak berpasir, sehingga, bening metal lantai jelas mengkilap, bersih macam sepatu putih yang dipakai anak muda sana. Itu artinya, jika saja air mengalir ada, urusan bau pesing pun nyingsing.

Keamanan di kereta api, saya perhatikan terjamin. Ada beberapa petugas, berpakaian hitam-hitam, yang mengontrol rutin. Tidak sebagaimana yang selalu diwanti-wantikan kawan; bila berkereta api di Medan, kudu lebih hati-hati. Saya justeru merasakan sebaliknya; keramahan sesama penumpang muda, kenyamanan akan bergeraknya petugas keamanan berjaga-jaga.

Namun di dalam hidup, segala sesuatu diciptakan teratur, berujung kepada sikap dan karakter manusia yang menjalankan. Di balik kawula muda bersahaja, saya lihat seorang bapak, berbadan tambun, ber-tshirt coklat kotak-kotak dan bercelana jeans coklat, tanpa dosa mengnyalakan rokok di gerbong ber-AC di pukul 5.30 pagi itu.

Saya menatap tajam wajah perokok itu. Refleks tangannya menyembunyikan rokok ke arah bawah telapak tangan. Di ujung gerbong di bagian depan, saya lihat seorang bapak lain yang merokok, tetapi ia sengaja ke luar, berdiri di sela penyangga gerbong. Saya lalu teringat akan pesan kawan: bahwa di dalam kehidupan selalu saja ada good boy dan bad boy. Hidup akan terasa tersiksa, bila sang bad boy itu kemudian menguasai seluruh ranah kehidupan.

Sosok macam perokok di gerbong itu, duduk mengangkang, saya perhatikan penumpang berbadan kecil di sebelahnya harus mepet ke kiri. Orang-orang macam itu, anehnya, banyak beredar seakan menguasai hajat hidup orang banyak. Apalagi jikia mereka berada di ranah kekuasaan.

Sekali lagi saya mendapatkan kenyataan, bahwa sesungguhnya di lapangan orang muda lebih ekstrovert, lebih membuka diri, sementara kalangan tua macam perokok di gerbong ber-AC kereta apai Sribilah itu, tidak mawas diri.

Begitu tiba di stasiun Medan, pilihan kendaraan macam-macam. Saya memilih becak mesin yang lebih seksi. Becak mesin adalah motor yang ditempelkan ke samping ke sosok becak, yang di pulau Jawa kebanyakan digenjot dari belakang.

Itu artinya sama saja dengan naik motor disetangkan penarik. Ongkos untuk jarak agak jauh Rp 15 ribu. Saya menuju daerah Simpang Limun. Nama kawasan yang mengingatkan saya kepada minuman bersoda. Menurut Abang becak, memang di situ dulu ada pabrik limunnya. Becak Medan memang lebih manusiawi di banding becak di Pulau Jawa, digenjot manusia.

MENDEKATI Simpang Limun, melewati sebuah perempatan di Jl. Sisingamangaraja itu, di pinggir jalan masih dijejali pedagang sayuran. Saya lihat timun hijau-hijau, segar. Cabe keriting hijau, sayur bayam, dari yang hijau hingga merah, tumpuk-menumpuk di lapak jalanan. Ada pula deretan ikan asin, dari ikan teri Medan hingga udang rebon. Udang kecil-kecil putih itu membuat saya terkesima, melamunkan rasanya, digoreng berbawang merah dan berbawang putih plus rajangan cabe merah … Mak! lemak nian.

Pukul enam tiga puluh pagi itu, kesibukan jalan laksana pasar itu, sempat membuat padat jalanan, kendaraan terhalang. Ingatan saya melintas ke suasana mirip dengan kondisi di tepi jalan Kramat Jati, Jakarta Timur. Bahkan beberapa kios yang menjual alat-alat pernik klenik di beberapa ruas titik di jalan itu, persis sama dengan dagangan yang dijual di bilangan Kramat Jati, Jakarta Timur itu, macam sudah pernah saya narasikan di tulisan berjudul Pernik Klenik dan Lalat di: http://presstalk. info/tajuk/ detail.php? no=134.

Itu artinya, di urusan klenik, kendati pun negeri ini sudah akan memperingati kemerdekaanya 64 tahun, urusan satu itu seakan membuat keadaan seakan jalan di tempat di alam doeloe.

Apalagi belakangan di Jawa, di Jombang, Jawa Timur tepatnya, kini sedang heboh urusan dukun cilik, Ponari, penemu batu, yang kalau dimasukkan ke air batunya, sang air konon menyehatkan segala penyakit.

Saya menyimak koran ibukota Selasa pagi itu. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, tidak bisa membatasi dengan cara-cara rasional, praktik perdukunan macam itu. Fenomena Ponari, menurut Menkes, menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap suatu keajaiban yang tidak bisa dirasionalkan. Penyelesaian masalah ini hanya menunggu waktu.

”Ini tidak bisa diatur. Itu akan hilang seiring dengan waktu. Kalau sudah tahu bahwa dia tidak sembuh, nanti lama-lama pasti akan berhenti. Kita lihat saja nanti, ” kata Fadilah, Senin 16 Februari, sebagaimana saya kutip di Kompas.com.

Menurut Fadilah, yang lebih dituntut peranannya dalam hal ini adalah kalangan ulama untuk menyadarkan bahwa fenomena ini bisa mengarah pada hal-hal yang berbau syirik. Fadilah juga membantah jika fenomena Ponari ini berhuhungan dengan kurang teraksesnya layanan kesehatan masyarakat di wilayah Jawa Timur khususnya.

Fadillah, memaparkan, mereka yang datang ke Ponari itu bukan orang-orang miskin, malah orang-orang kaya yang punya mobil bagus, termasuk orang yang pergi berobat ke luar negeri.

”Fenomena Ponari tidak ada hubungannya dengan mahal dan murahnya. Jadi bukan masalah kurangnya layanan kesehatan, tapi itu fenomena sosial. Dimana ada sekelompok orang-orang yang ingin suatu keajaiban di dalam hidupnya,” ujarnya.

Jadi, Menkes, berharap kepada ulama berfatwa, layaknya demikianlah adanya.

Tetapi sayangnya ulama kini lebih memikirkan fatwa politik, macam menfatwakan Golput haram. Sebaliknya Menkes yang mengaku seakan tak punya tanggung jawab, padahal di pundaknyalah tanggung jawab menyehatkan masyarakat, menyuluh kesehatan publik ikut dibebankan.

Sebaliknya setelah reformasi kini, pelayanan kesehatan masyarakat yang bagus dulu, macam Posyandu, pusat kesehatan ibu dan anak, di berbagai daerah redup – – tak terkecuali di Sumut – – bahkan markasnya pun sudah ada yang berubuhan.

Jika menyimak pejabat yang sesungguhnya hanya pengelola negara itu menghindar, mereka yang mengelola uang rakyat itu, saya indikasikan mereka terkena sindrom keras kepala.

Ada kenyataan pahit terhadap kondisi dan kesulitan orang berobat, termasuk birokrasi kartu miskin, yang membuat sesosok orang tua, di saat anaknya wafat pun masih ditanya ini dan itu, untuk sekadar meminta bantuan angkutan ambulan. Akibatnya sang ayah harus menggendong mayat berjalan kaki pulang ke rumah.

Itulah fakta sindrom pengelaola negara keras kepala dengan aturan dan ketentuan, sehingga pelayanan publik, bukan menempatkan rakyat sebagai manusia di barisan depan. Sebaliknya rakyat hanya angka-angka, laksana timun bungkuk di jalanan Sisingamangaraja di Medan yang saya lihat di pagi Selasa itu hanya untuk menjadi tukuk.

Menempatkan rakyat kebanyakan bukan sebagai hitungan, adalah bentuk kekerasan kepala pengelola negara itu. Termasuk membiarkan iklan klenik di televisi, melalui konten ramalan yang terus menggila. Jika kemudian logika berpikir rakyat ikut rusak, pemimpin atau pengelola negara enggan disebut sebagai sosok yang layak dipersalahkan.

Dari sepenggal perjalanan singkat di Sumut, khususnya di kereta api Sribilah itu, kian meyakinkan diri saya, bahwa terlalu banyak manusia macam sosok yang merokok di dalam gerbong ber-AC itu kini, justru menjadi pemimpin bangsa. Mereka seakan membiarkan saja rakyatnya, yang penting hidup mereka, kelomompok mereka. Urusan memperbaiki mutu peradaban, mutu kesehatan, logika bernalar dalam diri hidup sehari-hari, seakan dibiarkanberlalu. Saya menyebut keadaan ini sebagai sindrom klenik keras kepala pengelola.

Saya percaya, kepada generasi muda yang lebih muda yang terbuka pikiran dan nalarnya,macam anak muda yang proaktif bertegur sapa di stasiun Rantau Prapat itu, ke depan bisa tampil menjadi pemimpin dan terjauh dari laku sindrom klenik keras kapala mengelola negara. ***

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, Presstalk.info.