Ketika aku masih duduk di bangku sekolah, Borobudur bagiku hanyalah nama sebuah situs yang harus dihapalkan dalam pelajaran IPS. Saat itu Borobudur bagiku sama seperti Piramid atau Patung Liberty, sama-sama sebuah situs terkenal yang ada diawang-awang yang tidak mengikatku dengan hubungan emosional apapun. Meskipun setiap guruku IPS ku mengatakan Borobudur ini adalah kebanggaan Indonesia dan disebut-sebut oleh sebagai bukti tingginya peradaban bangsa ini di masa lalu. Tapi realitas kesadaranku pada saat itu belum sampai mampu merasakan realitas Borobudur itu sebagai sesuatu yang nyata.

Sejak kecil aku sangat menggemari buku-buku yang bercerita tentang
petualangan atau perjalanan ke berbagai daerah dan mengenal latar
belakang dan masyarakat yang ada di daerah itu. Saat membaca buku-buku
itu aku sering seperti merasakan sendiri antusiasme penulisnya ketika
berada di tempat-tempat yang dia ceritakan dalam bukunya. Apalagi
ketika SMA aku mulai berkenalan dengan majalah HAI dengan serial
balada si Roy nya. Serial di HAI yang kemudian juga dibukukan inilah
yang paling bertanggung jawab terhadap pilihan hidup yang kuambil di
kemudian hari. Cerita bikinan Gola Gong ini membuatku benar-benar
terobsesi untuk menjelajahi berbagai tempat di negeri ini. Hanya saja
saat SMA untuk melakukan petualangan seperti itu aku tidak pernah
memiliki kesempatan dan dana.

Kesempatan dan dana baru aku dapatkan ketika aku mulai kuliah,
atmosfer perkuliahan yang berbeda dengan SMA membuatku bisa
menyisihkan uang kiriman orang tua. Saat aku masuk ke fakultas Teknik
Unsyiah tahun 1992, waktunya bertepatan dengan Lustrum VI fakultas
Teknik Unsyiah. Sepanjang tahun itu banyak sekali kegiatan di fakultas
kami. Kegiatan-kegiatan dalam rangka Lustrum VI fakultas Teknik
Unsyiah ini memberiku kesempatan untuk mengunjungi berbagai daerah di
Aceh, entah itu untuk mengedarkan prosposal ke berbagai instansi dan
alumni di daerah atau untuk melakukan survey lapangan di kabupaten
tempat kami akan menyelenggarakan kegiatan dengan biaya yang
disediakan oleh panitia Lustrum. Dalam masa-masa itu, jika tidak
sedang ditugaskan ke daerah-daerah, setiap hari aku nongkrong di
kantor senat. Saat itu ketua senat dijabat oleh Bang Onny Vhonna,
anak teknik mesin angkatan 1988 yang menamatkan SMA di Jakarta.

Bang Onny ini banyak sekali akalnya, ada saja akalnya untuk
mendapatkan uang bagi kesejahteraan anggotanya. Mulai dari meminta
dana dari fakultas sampai mengirim proposal ke berbagai instansi di
Jakarta. Seringkali proposal itu sebenarnya tidak disetujui oleh
pengambil kebijakan di Universitas tapi Bang, Onny tidak pernah
kehilangan akal. Pernah untuk kegiatan Lustrum Unsyiah hanya memberi
kami izin untuk mengedarkan lima buah Proposal ke beberapa instansi
yang disetujui oleh PR III. Tapi karena PR III yang menandatangani
proposal itu meminta agar sebelum diedarkan proposal itu terlebih
dahulu distempel di bagian tata usaha. Bang Onny melihat peluang,
Lembaran proposal itu dia copy menjadi puluhan lembar dengan fotocopy
tanda tangan PR III. Lalu dengan sedikit'olah vokal' bang Onny
berhasil memperdayai petugas bagian tata usaha untuk meminjamkan
stempelnya. jadilah proposal yang beredar yang seharusnya cuma lima
menjadi berpuluh-puluh. Kami mendapatkan banyak dana dari situ,
karenan banyaknya dana yang di dapat itu. Di kantor senat fakultas
teknik selalu tersedia makanan untuk para panitia setiap jadwal makan
siang tiba. Jadi aku hampir tidak pernah mengeluarkan uang pribadi
untuk membeli makanan sehingga banyak sekali uang kiriman orang tua
yang bisa kuhemat.

Uang yang berhasil kuhemat pada masa inilah yang belakangan kugunakan
buat merealisasikan obsesi jalan-jalanku. Pada masa-masa awal aku jadi
backpacker, tempat yang kukunjungi adalah tempat-tempat yang tidak
terlalu jauh dari Banda Aceh, mulai dari Sabang, lalu ke Medan dan
sekitarnya seperti Bukit lawang, berastagi, Sipiso-piso sampai ke Prapat.

pada tahun kedua aku kuliah di teknik, aku bergabung dengan UKM-PA
Leuser Unsyiah. Sejak itu sebagai anggota UKM-PA Leuser Unsyiah aku
banyak mengikuti kegiatan ekspedisi sehingga akupun jadi banyak
mengunjungi tempat-tempat di pelosok Aceh terkait dengan aktivitasku
di organisasi mahasiswa ini. Pada masa-masa itu pula aku beberapa kali
pula dikirim oleh UKM-PA Leuser untuk menjadi peserta pelatihan
konservasi di berbagai kota di Indonesia. Seperti juga teman-temanku
di Leuser. Pelatihan yang konon merupakan proyek untuk menghabiskan
dana dari departemen kehutanan ini adalah tambang uang bagiku yang
hanya mendapatkan kiriman uang dari orang tua dalam jumlah pas-pasan.
Uang transportasi yang diberikan untuk kami saat menghadiri kegiatan
itu selalu jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan uang yang kami
keluarkan untuk biaya transportasi saat berangkat ke tempat itu. Di
Leuser, uang saku dan uang transportasi dari pelatihan konservasi itu
ditambah dengan uang kiriman orang tua yang tidak terpakai selama
kegiatan itu biasanya kami pakai untuk membeli berbagai peralatan
mendaki gunung atau ditabung untuk jalan-jalan sewaktu liburan.

Meskipun aku selalu menyisihkan uang yang kudapat dari pelatihan
konservasi semacam itu, tapi baru sekitar sepuluh tahun yang lalu aku
mulai melakukan perjalanan ke luar Sumatera dan kemudian mengunjungi
Borobudur untuk pertama kalinya.

Waktu itu seperti biasa saat sedang berjalan-jalan sebagai backpacker
ke berbagai kota seperti ini, aku tidak pernah menghitung biaya
penginapan dalam daftar pengeluaranku. Setiap kali aku tiba di suatu
kota, aku selalu langsung mencari angkutan menuju ke sebuah
Universitas yang ada di kota itu, mencari sekretariat Mapala yang
selalu disambut dengan hangat dan penuh sukacita oleh anggota mapala
di tempat yang kukunjungi itu dan segera pula langsung mendapat teman
baru. Begitu pula yang terjadi waktu itu ketika aku tiba di Jogja aku
langsung menuju UGM bertanya kepada mahasiswa yang kutemui dimana
lokasi sekretariat Mapala UGM dan seperti biasa ketika akhirnya
kutemukan teman-teman di sana menyambutku dengan penuh sukacita.

Setelah beberapa hari berada di Jogja teman-teman UGM mengajakku
melakukan melakukan arung jeram di kali Elo di Magelang. Sehabis
melakukan arung jeram itu mereka mengajakku ke Borobudur. Itulah
pertama kalinya aku mengunjungi candi yang selama ini cuma kulihat
foto atau gambarnya di televisi.

Saat aku pertama kali mengunjungi Borobudur, kesadaranku sudah mulai
bisa menerima kalau candi ini adalah sesuatu yang nyata. Meskipun
realitas Borobudur dalam pandanganku saat itu masih berupa realitas
yang dangkal, seperti realitas yang ada di kepala seorang turis
domestik saat mengunjungi sebuah situs wisata yang memandang sebuah
situs wisata menurut cara pandang dengan mentalitas pola prestise
khasnya. Yang memahami sebuah situs sebagai sebuah realitas yang
terpisah dari dirinya sendiri, tidak menyatu.

Jadi seperti kebanyakan turis domestik lainnya akupun saat itu
mengunjungi Borobudur untuk pertama kalinya itu. Aku datang bukan
dengan niatan untuk menikmati atau merasakan atmosfernya, memahami
kerumitan proses pembuatannya, mengenal latar belakang masyarakat yang
membentuknya, sama sekali tidak. Hal yang paling utama yang ingin
kulakukan saat berada di sana adalah berfoto dengan latar belakang
situs terkenal itu lalu memamerkannya kepada teman dan sanak saudara.
Karena aku sadar sepenuhnya dibandingkan banyak teman-temanku di Aceh
yang menganggap bahkan berkunjung ke Medan saja sudah merupakan
kemajuan luar biasa, aku sangat beruntung bisa berada di situs
kebanggaan Indonesia yang terletak di pulau yang merupakan pusat
kekuasaan dan peradaban di negara ini.

Belakangan setelah tempat-tempat yang kukunjungi semakin banyak dan
menemukan begitu banyak hal menarik di baliknya, aku kadang merasa
seharusnya waktu itu aku bisa mengenal Borobudur lebih dalam, tapi
kemudian aku menyadari pula kalau saat itu belum lepas dari sindrom
backpacker pemula. Tapi satu saat aku tahu pasti aku akan kembali lagi
ke tempat ini.

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com