Konflik-konflik horisontal yang terjadi di negeri kita, salah satunya disebabkan adanya watak arogansi akibat rasa unggul sebagai pemeluk agama yang berdasarkan sensus kependudukan dinyatakan sebagai agama yang dipeluk oleh mayortas rakyat Indonesia.
 
Islam, disebut-sebut sebagai agama yang dipeluk oleh 87% rakyat Indonesia. Dan inilah yang kemudian melahirkan sebutan Islam sebagai agama mayoritas. Dengan demikian, pemeluknya disebut (atau menyebut dirinya) sebagai golongan mayoritas, sementara  agama lainnya adalah minoritas dan pemeluknya pun disebut sebagai golongan minoritas.
 
Penggolongan ini menjadi biang yang melahirkan watak diskriminatif dan membuka peluang bagi kelompok-kelompok minoritas garis keras dalam komunitas Muslim untuk melakukan tindak represif bahkan anarkhis terhadap pemeluk agama lain atau penganut kepercayaan yang dianggap “tidak benar” dengan mengatasnamakan dirinya sebagai golongan mayoritas.
 
Padahal, komunitas Muslim yang mayoritas bukanlah yang menganut garis keras, melainkan kaum moderat, seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, dan mereka tidak memusuhi apalagi bertindak anarkhis terhadap pemeluk agama bukan Islam atau terhadap golongan minoritas.
 
Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di berbagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, di mana kelompok radikal atau garis keras selalu merupakan kelompok minoritas dari mayoritas. Mereka sebenarnya macan kertas, namun orang takut karena radikalismenya dan selalu meminjam jaket Islam sebagai agama mayoritas.
 
Mereka maju dengan membawa konsep bellum contra omnes (siapa kuat, menang), padahal “kekuatan”nya karena merasa sebagai bagian (bahkan merasa mewakili) dari yang 87% itu. Nenek moyang kita  bilang mereka itu pronken met andermans veren. Berbangga diri dengan bulu orang lain. Setiap tindakannya selalu dilampiri label “atasnama umat Islam”.
 
Yang dipertanyakan, sampai sejauh mana sebenarnya validitas angka 87% (atau 90% atau 95%) sebagai data statistik yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam? Sekali lagi, sumbernya adalah sensus penduduk berdasarkan pengakuan yang kemudian dicantumkan dalam kolom agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk), di mana (ada kemungkinan) angka tersebut semu.
 
Menurut  UU No. 23/2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk), dalam KTP harus dicantumkan agama si pemilik pada kolom agama (Pasal 64 Ayat 1).Sialnya, dalam Ayat 2 pasal tersebut ada keterangan bahwa “bagi peduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau penghayat kepercayaan, tidak diisi”. Maksudnya cukup diberi tanda strip (-) saja.
 
Sialnya lagi, sebelum itu Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang diundangkan melalui UU No. 5/1969 yang menjelaskan bahwa “agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu adalah agama yang dipeluk penduduk di Indonesia” ditafsirkan bahwa hanya itulah agama yang diakui pemerintah. Artinya, pemeluk agama selain yang enam itu dan juga penganut aliran kepercayaan yang amat banyak jumlahnya, tidak diakui.
 
Padahal sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ”Di negeri kita tidak dianut istilah agama yang diakui atau tidak diakui negara. Prinsip yang dianut UUD adalah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya itu. Negara tidak akan pernah mencampuri ajaran agama”.
 
Dua sial ini mengakibatkan berjuta-juta penganut aliran kepercayaan (demi keamanan dan kemudahan dalam mencari kerja, pernikahan dll) mencantumkan salah satu agama yang disebut dalam UU No.5/1969 tersebut sebagai agamanya. Dan kebanyakan mereka memilih Islam, padahal mereka bukan pemeluk Islam. Mereka agnostik. Percaya kepada Tuhan, menyembah Tuhan, namun tidak beragama.
 
Berapa jumlahnya? Tidak diketahui pasti. Apalagi komunitas agnostik bukan hanya para pemeluk aliran kepercayaan. Bahkan juga yang tidak beragama dan tidak menjadi pengikut aliran kepercayaan, hanya mempercayai adanya Tuhan dan jumlah mereka yang religius namun tidak memiliki religion ini mungkin amat banyak sebagai “silent mayority” dalam suatu komunitas agama.
 
Keberadaan mereka yang seperti gunung es itu pernah dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk memasukkan para penghayat aliran kepercayaan ke dalam GBHN berdasarkan TAP No.IV/MPR/1978 dengan alasan untuk pembinaan  “agar tidak menjadi agama baru”,  padahal karena secara politis dapat mendongkrak perolehan suara Golkar.
 
Karena itu muncullah sebutan “Islam KTP” dan ini yang “menghasilkan” atau “mendongkrak” angka statistik 87%.  Mereka yang termasuk "silent mayority " lebih merasa aman dengan mencantumkan “Islam” dalam kolom agama di KTP-nya daripada memberi tanda strip atau kosong.
 
Alasannya, mudah ditebak. Dengan mengosongkan kolom agama di KTPnya bisa diartikan sebagai “tidak beragama” dan ini cukup rawan bagi datangnya tuduhan sebagai orang atheis, tidak sesuai dengan Pancasila dan bahkan bisa mengundang stigmatisasi sebagai orang komunis.
 
Kondisi menggelembungnya “Islam KTP” inilah yang kemudian diklaim oleh kelompok ekstrimis, radikalis dan fundamentalis untuk dijadikan senjata guna melakukan tindak kekerasan atau represif terhadap golongan minoritas karena merasa digdaya, bahkan ingin mengganti Pancasila dengan Syariat Islam sebagai dasar negara.
 
Padahal kelompok ekstrimis itulah yang sesungguhnya minoritas. Karena itu cita-citanya selalu kandas bukan karena ditentang oleh golongan minoritas (non Islam), tetapi justru oleh umat Islam sendiri yang mayoritasnya berpandangan moderat, pluralis dan karena itu tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.