Musibah….tentu saja urusan Tuhan. Juga urusan selamat atau kecelakaan dari pesawat.



Ketika komisi penerbangan Eropah melarang semua maskapai
penerbangan Indonesia mengoperasikan pesawatnya
untuk melintasi Eropah, maka segala pikiranpun berlomba
menduga-duga. Mulai reaksi pembelaan patriotik, tanggapan
introspeksi sampai komentar ....rasain lho....

Juga "hipotesa analisis" segera saja berhamburan, coba
dengar saja...
"Ini sekedar persainagn Boeing-Airbus..."
"Ini memang karena statistik kecelakaan yang tinggi..."
"Ini memang karena orang Eropah sentimen saja..."
"Ini sudah wajar...seharusnya seluruh dunia melarang..."

Tapi mencari tahu alasan sesungguhnya pelarangan terbang
tentu saja akan sesulit mengetahui isi hati orang.
bahkan mengetahui isi hati anak sendiripun mustahil.

akhirnya, segala reaksi dan tanggapan yang muncul di media
tentang pelarangan terbang oleh Eropah yang kemudian diikuti
Arab saudi, bisa dilihat sekedar sebagai pengumuman sikap...

Tentu saja sangat layak ketika menteri perhubungan RI
bersikap membela diri malah konon akan membalas.
Layak pula para pemakai jasa penerbangan melihat
larangan terbang ini sebagai tantangan untuk perbaikan.
Juga layak, para kompetitor bisnis penerbangan yang
diuntungkan berkomentar puas.

tapi, menyaksikan investigator kecelakaan pesawat bekerja
dan melihat tumpukan gambar rancangan dan hitungan analisa
pesawat saat pesawat dibangun.....Juga mendengar milyaran
man-hours telah dihabiskan untuk bikin pesawat....
Dan disisi lain, musibah akhirnya juga mutlak urusan Tuhan...

maka ada satu hal yang mungkin "unspoken" dari
pelarangan terbang.... karena....mungkin.
"Orang Indonesia tidak mau berkontribusi untuk ilmu pesawat"

Konon, Wright bersaudara dianggap sebagai bapak pesawat karena
dia yang memulai bikin pesawat dengan pendekatan sistematis
ilmiah, mulai dari merancang, menghitung dan mengujinya.
Pesawat Wright bukan yang pertama bisa terbang.
Wright adalah orang yang menerbangkan pesawat "pake ilmu".

Dan puncak sumber ilmu pesawat paling berharga, bahkan diatas
data hasil pengujian adalah data pengalaman dilapangan....
Data dari satu kecelakaan pesawat akan jauh lebih berharga
daripada ribuan data test, lebih berharga dari jutaan
man-hours analisa hitungan.

Konon juga, semua aturan keselamatn yang diterapkan, sampai
aturan detail design pesawat komersial terutama, sangat
rely terhadap temuan-temuan dilapangan....dan sangat
mutlak mengikuti kesimpulan hasil investigasi kecelakaan.

Jika kemudian, ada puluhan kecelakaan pesawat terjadi
di Indonesia.....yang notabene paramount dari sumber ilmu
Tapi sangat minim data yang diperoleh.....
Apalagi, malah lebih banyak data ditutup-tutupi.....
atau istilah keren-nya...dipeti-es kan...
Lalu, gila-nya lagi hanya cukup dibilang "sudah takdir"

Maka orang Indonesia pasti selain dianggap tidak mau
berbagi pengalaman berharga, juga akan dianggap sebagai
bangsa yang menyalahgunakan TAKDIR....dan menipu Tuhan.

karena takdir mah.....ujung dari segala jalan upaya.

Dan menghentikan atau malah mengabaikan dilakukannya
upaya penyidikan kecelakaan pesawat harus dianggap sebagai
kejahatan terhadap ilmu dan juga terhadap keselamatan.

Orang pelit ilmu memang layak dilarang ikut menerbangkan
pesawat yang jelas-jelas diterbangkan semata-mata pake ilmu.
Orang jahat ...seharusnya harus dihukum lebih berat
daripada sekedar pelarangan terbang.


salam,
DjayaWikarta