Tag

 Kalau saya ingat-ingat kejadian itu – ada juga memetik hikmahnya – bahwa saya masih sempat mengalami Perang Dunia Kedua – tahun 1941 – 1942. Ketika itu pagi menjelang jam 11.00 – saya masih diopname di RumahSakit yang
kami namakan Hospital. Sedang berobat karena operasi diselangkangan paha,
karena membengkak dan karena….nah ini…terlalu nakal – mencuri kelapa
keluarga sendiri – dan ketika di tengah naik pohon kelapa – ketahuan dari
yang punya – terlihat dia mengacungkan golok ke arah saya. Saya meloncat
turun – dan tergeletak tak bangun-bangun dan akhirnya keluarga kami si
pemilik kebun itu sendiri mengangkat saya membawa ke rumah kami.

Pagi itu terdengar kedakan begitu dahsyat – menggoncangkan jendela kaca dan
dinding tembok RS. Kami pasien-pasien pada ketakutan – ada ledakan apa dan
di mana. Ketika itu masih bersuasana Perang Dunia Kedua – ada yang bilang
Perang Pasifik. Penduduk ibukota Belitung – Tanjungpandan yang biasanya
tenteram dan damai – kini beramai-ramai mau melihat dari dekat apa yang
terjadi. Ketika itu memang dibunyikan alarm – sirene tanda bahaya-udara yang
meraung-raung memenuhi pelosok kota Tanjungpandan. Memberitahukan ada bahaya
– ada pesawatterbang musuh mendekati arah ibukota kabupaten Belitung –
Tanjungpandan, Hanya beberapa menit – lalu terdengar raungan pesawat-udara –
pembom musuh – Jepang. Pesawat itu memutari bagian kota. Barangkali mereka
mau tahu reaksinya di bawah. Tetapi samasekali serdadu Belanda tidak ada
perlawanan apapun – diam saja dan bertahan saja.

Dengan seenaknya Jepang mengebomi kota kami. Yang paling hacur yalah gedung
sekolah Tionghoa tidak jauh dari Pasar Ikan – lalu ada beberapa rumah gedung
bagian dari Kantor GMB =- Gemeenschappe Maatschappij Billiton. Gedung semua
ini hancur sampai puing-puingnya – sangat dahsyat. Barangkali Tuhan masih
menolong kota kami – ketika pengeboman itu seharusnya penuh anak-anak
sekolah. Tetapi hari itu adalah Hari Minggu – anak-anak yang tak berdosa itu
terselamatkan – terhindar dari kematian yang mengenaskan.

Memang ada yang menjadi korban – tetapi boleh dikatakan tidak banyak pabila
dibandingkan dengan pengeboman dan rentetan senapang-mesin yang begitu
bertubi-tubi memekakkan telinga. Anak-anak sekolah Tionghoa sudah tentu
terpaksa diliburkan panjang sekali – lagipula sekarang itu dalam keadaan
gawat dan tegang karena Perang Dunia Kedua sedang pada puncaknya. Jepang
berencana pada tahun itu juga semua bagian Indonesia harus didudukinya. Dan
rupanya kehendak Jepang ini dengan mudah dapat dicapainya – sebab perlawanan
di pihak Belanda sangat tak dapat diharapkan. Dan akhirnya Belanda
menyerahkan kekuasaannya ke tangan imperialis-fasis-baru – Jepang!

Ada pengeboman dan perang laut antara kapalperang kecil Belanda dengan
pesawatterbang Jepang – pemburu dan pengebom. Dan kami melihat suasana
perang itu dari kejauhan – tetapi tampak ledakan dan asap tebal menghitam –
dan kedengaran suara jauh sekali – ada ledakan entah apa – mungkin
kapaperang tapi mungkin kapalterbang Jepang jadi kamikaze lalu menubrukkan
pesawatnya ke badan kapalperang dan semua hancur. Betapa hebat kerusakan
akibat perang itu. Dan betapa menakutkannya – dan disana-sini bergelimpangan
mayat dan lalu orang-oran cacat – tak punya kaki – tak punya tangan –
berjalan dengan dua tongkat kruk.

Lalu kesengasaraan lainnya – karena waktu-perang, bahan makanan sangat
kurang dan bahan pakaian juga sangat sulit didapatkan. Banyak orang –
termasuk keluarga kami – yang makan nasi campur singkong atau ubi-jalar.
Rasanya sangat tidak enak. Rasa yang tidak enak dan kami anak-anak selalu
saja merasa lapar – sampai kini terbayang pada saya – padahal kejadian itu
adalah pada tahun 1942 – 1944 – lebih 60 tahun yang lalu – tapi masih
terbayang – kengerian dan ketakutan kami anak-anak balita – dan rasa lapar
kami – sangat tidak enak makan nasi campur singkong.

Ketika masa Perang Dunia Kedua itu – banyak sekali orang mati kelaparan. Dan
banyak sekali orang-orang berpakaian bekas karung-goni – dari tikar tipis
dan kumpulan perca ( kain-kain bekas lalu disambung-sambung menjadi kain
agak lebar – dan diselimutkan jadi sarung ). Di Belitung tidaklah sesengsara
di Pulau Jawa. Di Jawa banyak orang mati kelaparan – banyak perampokan dan
kejahatan lainnya.

Yang di Belitung kami alami sendiri – begitu sulit mau makan yang agak enak
– sangat sulit mau makan nasi tanpa campur singkong. Dan tidak ada orang
yang bermewah-mewah dengan pakaian bagus atau bersih tanpa cacat.
Orang-orang sudah mulai mencari makanan yang dulunya tak terpikirkan kok
bisa dimakan – dan kok kita sendiri turut-turut makan juga. Apa saja bisa
dimakan seperti ular – trenggiling dan lainnya dan ketika itu manapula
sempat berpikir apakah makanan itu haram ataukah halal. Perut sangat lapar –
di depan kita ada binatang yang bisa dimakan – lalu mau apa kita? Akh
janganlah lagi terjadi Perang Dunia yang keberapapun!

—————————————————————-

Holland,- 13 April 06,-