( Baris-baris kata ini saya tulis bertintakan duka perempuan pekerja migran Indonesia yang dikepung ancaman ajal).

Ketika saya sedang asik memotret burung- burung Dara yang hinggap dan berterbangan di rindang dahan pepohonan bunga Bauhenia, hingga menggugurkan puluhan kelopak bunga di Victoria Park. Tiba – tiba Kidung menepuk lengan saya. Saya tidak tau kapan datangnya. Tubuh kurusnya dibungkus baju lusuh, tanpa jaket. Padahal udara masih nakal mengigit, dingin! Walau Spring sudah mengantikan Winter.Tangannya menenteng tas kresek warna hitam berukuran sedang terlihat penuh dengan pakean yang ditaruh asal-asalan. Matanya sembab memerah bengkak mungkin akibat menangis. Wajah tirusnya layu.

… ” Aku diputus kontrak mendadak oleh majikan, Buk. Semua uang diminta agen sebab aku masih potongan gaji, ” ucapnya dengan suara parau lalu tangisnya pecah.

Saya biarkan Kidung menangis, untuk bisa mengurangi beban batinnya. Dada saya tiba-tiba sesak, ada rasa marah dan sedih, melumat rasa. Meski keluhan seperti sudah ribuan kali saya terima.

Saya peluk pundak Kidung. Saya sudah tau kisah selanjutnya tanpa dia bercerita kelanjutan kisah sedih ini. Agen akan meminta semua uang yang didapat dari majikan dengan alasan karena dia masih ada tanggungan potongan gaji dan untuk mengurus kontrak baru. Sedolar pun tak diberikan ke dia.

Agen akan mencarikan majikan baru, lalu menyuruhnya menunggu turun Visanya di Macau. Ya tanpa pegangan uang sepeser pun!.

Kidung dan seperti Kidung-kidung lainnya, perempuan belia belasan tahun, terpaksa nekat merantau demi ingin membantu ekonomi orang tuanya.

Tanpa persiapan bekal ilmu pengetahuan dan sangu uang yang cukup. Ketika di Tanah air saja tidak pernah ke kota besar, sekarang sudah berada di kota teramat besar dengan segalanya serba asing.

” Apa penyebab majikan memutus kontrak, Ndhuk?”

” Saya tidak bisa ngomong Kantonis juga Inggris, Buk”

” Sampean mau pulang apa masih ingin bekerja di Hong Kong?”

” Masih ingin bekerja, bapak sakit lumpuh sudah dua tahun, dirawat seadanya di rumah. Hutang kami sudah banyak untuk biaya pengobatan bapak. Ibu buruh tani, dua adikku masih kecil- kecil. Lagian jika tidak kerja, aku masih punya hutang pembayaran biaya ke Hong Kong. Akukan baru setor dua kali. Takut hutang ke agen ditagih ke rumah, buk”

Angin Victori berhembus basah, saya ternyata masih perempuan lemah, masih saja tak mampu membendung tangisan. Sekali lagi meski ribuan kisah sama sudah saya dengar puluhan tahun. Kami saling diam hanya air mata yang bicara.

Senja merebah di ujung kaki kami. Rinai hujan mengusap rambut, sepotong rembulan di langit entah apa bisa melukis pelangi di pekat malam. Apa dalam kegelapan tak akan ada keindahan?!

( Hong kong, di salah satu bangku Victori park, Causway Bay, Spring 2013)
———–

Menjelang Peringatan Kartini
Mega Vristian

kutulis baris-baris sederhana ini
bertintakan hitam duka perempuan pekerja migran
tak tertakar bilangan hitung dagang

dinar, dolar dan ringgit
bisa kau hitung di kolom debit kredit
martabat dan nyawa adakah kolomnya?

atau di mana kau golongkan
darah dan airmata
serta kehormatan perempuan?

–ataukah kami
yang perempuan ini
kau anggap hewan mudah diperdagangkan?

kutulis baris-baris sederhana ini
bagai epitaf nisan pekerja migran yang terbunuh
benar salah tersimpan di pembukuan rahasia

seperti yang lain kulihat kau mencibir
nyawa dan martabat kami kau cerca jika disingkap

baris-baris ini kutulis bertintakan duka perempuan pekerja migran
di kepung ancaman ajal

seperti yang lain tak ambil perduli
di hadapan secangkir kopi kau asyik menghitung laba
ketika kami berhitung dengan duka dan maut!

partai-partai sibuk mengatur strategi menang
para pejabat terlalu repot mengatur merebut saat untuk korupsi
maka siapa katakan negeri dan republik ini negeri demokratis
maka siapa katakan negeri dan republik ini adil pencinta ham?

ketiadaan adalah bangsa, tanahair dan negara kami
di mana kami mulai menghitung menghargai diri
sepakat bersatu dan bertekad melawan ketidak adilan

(Hong Kong, Causway bay)

Judul aslinya: Tentang Rasa Menjelang Peringatan Hari Kartini.