( Baris-baris kata ini saya tulis bertintakan duka perempuan pekerja migran Indonesia yang dikepung ancaman ajal).
Ketika saya sedang asik memotret burung- burung Dara yang hinggap dan berterbangan di rindang dahan pepohonan bunga Bauhenia, hingga menggugurkan puluhan kelopak bunga di Victoria Park. Tiba – tiba Kidung menepuk lengan saya. Saya tidak tau kapan datangnya. Tubuh kurusnya dibungkus baju lusuh, tanpa jaket. Padahal udara masih nakal mengigit, dingin! Walau Spring sudah mengantikan Winter.Tangannya menenteng tas kresek warna hitam berukuran sedang terlihat penuh dengan pakean yang ditaruh asal-asalan. Matanya sembab memerah bengkak mungkin akibat menangis. Wajah tirusnya layu.
… ” Aku diputus kontrak mendadak oleh majikan, Buk. Semua uang diminta agen sebab aku masih potongan gaji, ” ucapnya dengan suara parau lalu tangisnya pecah.
Saya biarkan Kidung menangis, untuk bisa mengurangi beban batinnya. Dada saya tiba-tiba sesak, ada rasa marah dan sedih, melumat rasa. Meski keluhan seperti sudah ribuan kali saya terima.
Saya peluk pundak Kidung. Saya sudah tau kisah selanjutnya tanpa dia bercerita kelanjutan kisah sedih ini. Agen akan meminta semua uang yang didapat dari majikan dengan alasan karena dia masih ada tanggungan potongan gaji dan untuk mengurus kontrak baru. Sedolar pun tak diberikan ke dia.
Agen akan mencarikan majikan baru, lalu menyuruhnya menunggu turun Visanya di Macau. Ya tanpa pegangan uang sepeser pun!.
Kidung dan seperti Kidung-kidung lainnya, perempuan belia belasan tahun, terpaksa nekat merantau demi ingin membantu ekonomi orang tuanya.
Tanpa persiapan bekal ilmu pengetahuan dan sangu uang yang cukup. Ketika di Tanah air saja tidak pernah ke kota besar, sekarang sudah berada di kota teramat besar dengan segalanya serba asing.
” Apa penyebab majikan memutus kontrak, Ndhuk?”
” Saya tidak bisa ngomong Kantonis juga Inggris, Buk”
” Sampean mau pulang apa masih ingin bekerja di Hong Kong?”
” Masih ingin bekerja, bapak sakit lumpuh sudah dua tahun, dirawat seadanya di rumah. Hutang kami sudah banyak untuk biaya pengobatan bapak. Ibu buruh tani, dua adikku masih kecil- kecil. Lagian jika tidak kerja, aku masih punya hutang pembayaran biaya ke Hong Kong. Akukan baru setor dua kali. Takut hutang ke agen ditagih ke rumah, buk”
Angin Victori berhembus basah, saya ternyata masih perempuan lemah, masih saja tak mampu membendung tangisan. Sekali lagi meski ribuan kisah sama sudah saya dengar puluhan tahun. Kami saling diam hanya air mata yang bicara.
Senja merebah di ujung kaki kami. Rinai hujan mengusap rambut, sepotong rembulan di langit entah apa bisa melukis pelangi di pekat malam. Apa dalam kegelapan tak akan ada keindahan?!
( Hong kong, di salah satu bangku Victori park, Causway Bay, Spring 2013)
———–
Menjelang Peringatan Kartini
Mega Vristian
kutulis baris-baris sederhana ini
bertintakan hitam duka perempuan pekerja migran
tak tertakar bilangan hitung dagang
dinar, dolar dan ringgit
bisa kau hitung di kolom debit kredit
martabat dan nyawa adakah kolomnya?
atau di mana kau golongkan
darah dan airmata
serta kehormatan perempuan?
–ataukah kami
yang perempuan ini
kau anggap hewan mudah diperdagangkan?
kutulis baris-baris sederhana ini
bagai epitaf nisan pekerja migran yang terbunuh
benar salah tersimpan di pembukuan rahasia
seperti yang lain kulihat kau mencibir
nyawa dan martabat kami kau cerca jika disingkap
baris-baris ini kutulis bertintakan duka perempuan pekerja migran
di kepung ancaman ajal
seperti yang lain tak ambil perduli
di hadapan secangkir kopi kau asyik menghitung laba
ketika kami berhitung dengan duka dan maut!
partai-partai sibuk mengatur strategi menang
para pejabat terlalu repot mengatur merebut saat untuk korupsi
maka siapa katakan negeri dan republik ini negeri demokratis
maka siapa katakan negeri dan republik ini adil pencinta ham?
ketiadaan adalah bangsa, tanahair dan negara kami
di mana kami mulai menghitung menghargai diri
sepakat bersatu dan bertekad melawan ketidak adilan
(Hong Kong, Causway bay)
Judul aslinya: Tentang Rasa Menjelang Peringatan Hari Kartini.
nurjanah nj said:
Sederhana namun penuh makna, kayao kartini bangsa..
SukaSuka
jacob ereste said:
Aku mau kirim tulisan, prosedurnya kok ribet banget ya
SukaSuka
jacob ereste said:
Opini: RUU ORMAS AKAN MENGHAMBAT KEBEBASAN BERSERIKAT
Media Indonesia, Posted on March 18 2013 by En Jacob Ereste / IM
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi menjamin Rancangan Undang-Undang tentang
Organisasi Kemasyarakatan tidak akan menghalangi hak berserikat seperti yang tertuang dalam
UUD 1945. Mendagri meyakinkan tidak ada upaya menghalangi kebebasan berserikat, yang hendak
dilakukan pemerintah adalah bagaimana menata gerakan kemasyarakatan, baik kegiatannya maupun
keuangannya saja.
Pembentukan RUU Ormas tersebut untuk mengatur keberadaan ormas yang semakin menjamur di
Tanah Air. Selain itu, RUU Ormas juga dibentuk untuk mengatur kejelasan penegakan hukum terhadap
anggota ormas yang melakukan tindak pidana, misalnya anarkis atau identik dengan kekerasan.
Karena selama ini penegakan hukum terhadap sejumlah ormas yang bertindak anarkis di ruang publik
diberlakukan untuk individu atau secara personal anggota ormas saja. Namun RUU Ormas tidak pula
mengatur tentang hal penegakan hukum, karena hal itu menjadi tugas dan wewenang pihak kepolisian.
Kecuali itu, penataan ormas diperlukan karena sejumlah bentuk berkelompok, seperti partai politik
dan yayasan, juga sudah diatur dalam UU. Sementara Kepala Subdit Ormas Ditjen Kesatuan Bangsa dan
Politik Kemendagri Bahtiar mengatakan bahwa RUU Ormas diperlukan untuk menjamin hak asasi setiap
ormas agar tidak berbenturan dengan hak asasi ormas lain dan individu warga negara lain. Pengaturan
serupa itu dalam RUU Ormas diperlukan agar tidak terjadi tirani atas nama kebebasan berorganisasi
atau berkelompok dalam masyarakat, sehingga tidak lagi terjadi monopoli kebenaran oleh organisasi
kemasyarakatan tertentu di ruang publik.
Meski begitu, toh pembahasan RUU Ormas mendapat kecaman dari sejumlah ormas, salah satunya
misalnya Koalisi Akbar Masyarakat Sipil (KAMSI) yang menuntut agar pengesahannya dibatalkan.
Alasannya, karena publik banyak yang terkecoh mengira RUU Ormas adalah solusi akibat maraknya
tindak kekerasan yang melibatkan ormas.
Payung hukum untuk pengaturan organisasi kemasyarakatan (ormas) masih terus diolah di DPR. Untuk
itu, Komisi III DPR mengingatkan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas didasarkan
pada Pancasila dan UUD 1945. Pembahasan RUU Ormas memperhatikan Pancasila karena satu-satunya
asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta memperhatikan UUD 1945, karena
menyangkut setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Selain itu, Komite III DPD
mengingatkan agar RUU Ormas menguatkan aturan mengenai organisasi asing yang berkiprah di wilayah
Indonesia. Aturan itu, kata dia, termasuk mengaudit pendapatannya, baik sumbernya di dalam negeri
maupun di luar negeri
dakwatuna.com – Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas)
DPR Malik Haramain mengatakan, akan segera mengesahkan UU tersebut paling lambat bulan depan
(Februari 2013)1. Dalam RUU Ormas yang akan disahkan ini, kelak Ormas yang melakukan pelanggaran
akan dikenakan sanksi dengan pencabutan bantuan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan
pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Pencabutan SKT hanya akan dilakukan bila Ormas
melakukan pelanggaran yang tak bisa ditoleransi. Dan pencabutan SKT itu pun hanya akan dilakukan
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).
Anggota Komisi III Fraksi PKS Indra mendukung aksi masyarakat memboikot produk The Walt Disney
Company milik orang Yahudi. Dia juga mendesak pemerintah saatnya menindak tegas LSM asing seperti
RAN (Rainforest Action Network) yang dituding kerap intervensi dan kampanye negatif terhadap produk
Indonesia2. Maraknya LSM asing di Indonesia mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Mereka
meminta keberadaannya diatur lewat RUU Ormas. Pihak Kemendagri dan Kemenlu sendiri menyatakan
lebih dari 150 LSM asing beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 49 di antaranya tidak terdaftar,
dan 15 lainnya bermasalah.
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dinilai anarkis bisa dibubarkan. Hal yang sama berlaku untuk
Ormas yang menyebarkan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan, atau memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa3. Dalam Pasal 52 RUU Ormas menyebutkan tahapan-tahapan
pembubaran Ormas. Pertama adalah sanksi teguran tertulis. Jika tidak diindahkan maka pemerintah
berhak untuk mengajukan permohonan untuk membekukan aktifitas Ormas paling lama 90 hari sampai
keluarnya putusan pembekuan sementara dari pengadilan negeri atau Mahkamah Agung (MA).
Kecuali itu, Pengadilan negeri atau Mahkamah Agung wajib memutus permohonan pembekuan
sementara paling lama 30 hari terhitung sejak permohonan pembekuan sementara diajukan. Pasal
ini juga menyebutkan pada ayat tujuh, Ormas yang sudah dibekukan sementara tetap melakukan
pelanggaran, seperti mengganggu ketertiban dan merusak fasilitas umum, maka pemerintah berhak
mengajukan permohonan pembubaran kepada pengadilan negeri untuk Ormas setingkat kabupaten
atau kotamadya dan propinsi. Sedangkan Ormas nasional diajukan permohonan pembubarannya
kepada Mahkamah Agung (MA).
Pasal 52 ayat delapan RUU tersebut menyebutkan, pengadilan negeri atau Mahkamah Agung (MA)
wajib memutus permohonan pembubaran paling lama 30 hari terhitung sejak permohonan pembubaran
diajukan. Dari kepentingan Ormas, menilai Persyaratan administrasi (dalam RUU Ormas) menjadi
instrumen penghambat kemerdekaan berserikat dan berkumpul4. Dalam kepentingan Ormas sendiri,
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) bila kelak diberlakukan hanya akan
memperpanjang proses birokratisasi, sementara kemerdekaan berserikat dan berkumpul dijamin oleh
1.Tim dakwatuna.com – 28/01/13
2.Tim dakwatuna.com – 30/10/12 : RUU Ormas Upaya Melawan Komprador Asing
3 Republika – Kam, 3 Nov 2011 : RUU Ormas: Pengadilan Bisa Bubarkan Ormas Anarkis
4 ANTARA News, Kamis, 28 Februari 2013 : RUU Ormas dinilai akan perpanjang birokratisas
konstitusi. Misalnya untuk Ormas yang tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) dari pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan
aktivitasnya. Artinya, bagi Ormas yang tidak memiliki SKT akan dilarang melakukan kegiatan.
Kekhawatiran pihak Ormas, ternyata untuk mendapatkan SKT, Ormas yang bersangkutan harus
memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan
oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, dan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas. Disamping itu, juga disyaratkan kepada Ormas
adanya surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa
kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
Keberatan pihak Ormas seperti diungkap Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) dengan
merinci sebelas item, mulai dari definisi Ormas sangat umum, membelenggu semua bentuk dan bidang
kemasyarakatan, RUU Ormas mengecualikan organisasi sayap partai politik, RUU Ormas menyempitkan
amanat UUD 1945 dan membangkitkan momok represi gaya Orde Baru, RUU Ormas mengembalikan
politik sebagai panglima RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial, keagamaan, hingga
kemanusiaan ke ranah politik di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri, khususnya Ditjen
Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), RUU Ormas mengacaukan tata hukum di Indonesia.
Selain itu, disebutkan bahwa RUU Ormas memukul rata dan akan menimbulkan kekacauan mendasar
Jika disahkan dengan memasukkan badan hukum yayasan ke dalam kategori Ormas, Pemerintah
dan DPR jelas tidak memahami produk hukum yang dilahirkannya sendiri, persyaratan administrasi
menjadi instrumen penghambat kemerdekaan berserikat dan berkumpul, seperti pada Pasal 16, Ormas
tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah yakni
menteri, gubernur, bupati atau walikota agar bisa menjalankan aktivitasnya, RUU Ormas untuk alat
meningkatkan akuntabilitas Ormas kepada masyarakat, RUU Ormas memuat serangkaian pasal larangan
yang multitafsir, Pemerintah memegang kekuasaan menjatuhkan sanksi bagi Ormas, serta RUU Ormas
merefleksikan ambisi rezim politik atas nama negara untukmenciptakan totalitarianisme, absolutisme,
otoritarianisme, etatisme yang semuanya anti demokrasi dan membangkitkan kembali kediktatoran
kepemimpinan negara. ***
This post was submitted by En Jacob Ereste / IM
SukaSuka
jacob ereste said:
Aspirasi Perempuan Indonesia
Oleh : RA. Terbanggi – En Jacob Ereste
Secara nasional peluang kepemimpinan perempuan meningkat di lembaga legislative. Pada pemilu 2004 anggota DPR-RI perempuan berjumlah 61 orang (11,5 %) dan laki-laki 489 orang (88,5 %). Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04%) dan laki-laki menjadi 459 orang (81,6 %)19. Sementara untuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perempuan hasil pemilu 2004 berjumlah 26 orang (18,8%) dan laki-laki 106 orang (80,2 %). Pada pemilu 2009 mengalami peningkatan jumlah anggota DPD perempuan menjadi 34 orang (27,27 %) dan laki-laki 98 orang atau (72,73 %). Meski demikian, ia mengakui bahwa di bidang eksekutif dan yudikatif secara kuantitatif perbandingan dan kemajuan kepemimpinan perempuan belum begitu menggembirakan.
Walaupun belum terlihat secara signifikan, upaya untuk tindakan affirmasi dalam kehidupan politik di Indonesia telah menunjukkan hasilnya. Meskipun belum mencapai 30 % dari target sebelumnya, namun peningkatan tersebut diharap dapat memberikan warna baru dalam wajah kebijakan di Indonesia1. Dari 600 (enam ratus) orang anggota DPR RI, tercatat sekitar 100 (seratus) orang perempuan. Artinya, pemenuhan kuota yang seharusnya diduduki kaum perempuan di parlemen kita pun masih belum terpenuhi.
Rincian ini belum termasuk mereka yang berasal Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota parlemen yang mewakili langsung suara masyarakat. Karena seperti kita pahami, anggota dewan yang ada di DPR RI adalah mereka yang mewakili rakyat melalui perantara partai politik. Karenanya, jumlah bilangan anggota DPR RI dari kaum perempuan yang diwakili kaum perempuan yang diusung partai politik, jelas belum memenuhi kuota.
Setidaknya, Partai Gerindra misalnya belum memenuhi syarat kuota perempuan2. Tim verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan Partai Gerindra belum memenuhi persyaratan terkait kuota keterwakilan perempuan. Dan menurut anggota tim verifikasi KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, dari tiga syarat wajib yang harus dipenuhi hanya satu syarat yang belum dipenuhi.
“Yang kami saksikan pertama domisili kantor, sesuai apa tidak dengan apa yang dimiliki Partai Gerindra. Kedua pengurusaan inti, ketua umum, sekjen, sama bendahara umum, dan kami perlihatkan kartu anggotanya,” kata Ferry di Kantor DPP Gerindra, Jalan Harsono RM, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ( Senin, 5/11/2012).
Namun, pada persyaratan ketiga yakni keterwakilan perempuan, partai pimpinan Prabowo Subianto ini masih belum terpenuhi. “Dari 97 orang batas keterwakilan perempuan, 30% itu baru terpenuhi 82 orang,” tuturnya. Kurangnya angka tersebut dikarenakan 15 anggota perempuan tidak hadir dalama proses verifikasi faktual hari ini. “Kami harapkan besok 15 sisanya datang ke kantor kami untuk melengkapi,” kata Ferry.
KPU menetapkan Partai Gerindra lolos dalam verifikasi administrasi. Ferry menjelaskan, verifikasi sudah dilakukan dengan terbuka seperti domisili kantor apakah sesuai atau tidak, dan kedua pengurusan inti seperti Ketua Umum DPP Partai Gerindra, sekjen dan bendahara umum. “Kami juga diperlihatkan kartu tanda anggotanya.” Selain itu, mengenai kepemilikan Kantor Gerindra sendiri ternyata masih menyewa. “Kepemilikan kantor sendiri sewa,” ujarnya.
MasaLah Poligami
Masalah poliami di Indonesia masih menjadi topik pembicaraan yang tidak kunjung selesai dalam masyarakat. Hingga tidak sedikit diantaranya yang pro dan kontra dalam mensikapinya. Masalah poligami dianggap sebagai perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Karenanya, isu poligami wajar mencuat, sehingga Haji Oma Irama yang ingin maju sebagai Capres 2014, mendapat pertanyaan serupa. Bagi Haji Oma Irama bahwa, “Poligami hakikatnya sangat menghargai harkat dan martabat perempuan. Poligami bukan cacat moral, bukan juga cacat politik, dan bukan pula cacat integritas. Jadi orang berpoligami tidak bisa dijadikan alasan seseorang tidak bisa menjadi pemimpin”3.
Meski begitu, Rhoma Irama yakin isu poligami tidak bakal menggerus dukungan bagi dirinya untuk tetap maju sebagai calon presiden RI tahun 2014. Dia juga mencontohkan Rasulullah beristri lebih dari satu mampu menjadi pemimpin paling berhasil sejagat. “Itu sudah cukup menjadi bukti poligami tidak menjadi hambatan bagi pemimpin buat melaksanakan tugas lebih baik,” ujarnya kepafa merdeka.com di kediamannya, Jalan Pondok Jaya VI nomor 14, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan4.
Pembentukan Kementerian Pembangunan Wanita dan Keluarga bagi bangsa Malaysia misalnya, merupakan manifestasi keseriusan Negara jiran itu melaksanakan kesepakatan dari hasil Persidangan Keempat Wanita di Beijing pada tahun 1995 yang mensepakati Landasan Tindakan untuk memajukan wanita mulai tahun 2000. “Pewujudan sebuah Kementerian yang lengkap menggambarkan komitmen Kerajaan Malaysia yang tinggi untuk meningkatkan martabat wanita di negara ini”, kata Perdana Menteri Malaysia pada 17 Januari 2001.
Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki tugas dan fungsi dalam perumusan dan penetapan kebijakan di bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PA) ; koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang PP dan PA serta; pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang PP dan PA. Merujuk pada fungsi dan tugas tersebut, KPPPA menyampaikan data dan laporan tentang capaian hasil dan kinerja KPPPA di tahun 2012. Tiga program yang KPPPA di tahun 2010 – 2014 adalah progam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, program perlindungan anak, dan program penguatan kelembagaan5.
Jaminan perlindungan dan keadilan di semua bidang kehidupan merupakan hak setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanat oleh konstisusi. Sudah seharusnya proses hukum selalu dan tetap mempertimbangkan kebutuhan, aspirasi, dan kepentingan demi rasa keadilan bagi perempuan dan laki-laki. Hukum tidak hanya berupa peraturan semata, malainkan sebuah sistem hukum yang meliputi subtansi, struktur, dan kultur hokum6.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah membangun hukum yang berkeadilan gender, mengintegrasikan perspektif gender dan pengintegrasian perspektif kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka upaya pemenuhan hak-haknya. Sehingga upaya yang dilakukan tidak hanya mendorong lahirnya kebijakan hukum yang berkeadilan gender, melainkan juga mengubah paradigma yang tidak adil gender menjadi berkeadilan gender dan pada akhirnya tercipta budaya hukum masyarakat yang berkeadilan gender.
Parameter kesetaraan gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimaksudkan agar sejak awal akan dapat dicegah munculnya ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang bias gender atau diskriminatif, termasuk terhadap anak. Pedoman ini memang sudah direncanakan disosialisasikan pada tahun 2012, baik untuk tingkat pusat dan daerah. Ragam harapan masing-masing pemangku kepentingan didalam menyusun perundang-undangan dapat memakai pedoman ini sebagai alat analisis dengan pendekatan gender dan anak. Hal ini mengingat bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang diindikasi diskriminatif atau bias gender.
Untuk membangun sistem hukum yang responsif gender dan berperspektif kepentingan terbaik bagi anak, dibutuhkan peningkatan peran dan keterlibatan dari elemen masyarakat Indonesia, baik itu pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait lainnya. Hal ini dilakukan untuk terus menumbuh kembangkan persepektif HAM, aspirasi, pengalaman, kebutuhan, secara subtantif bagi laki-laki dan perempuan termasuk anak laki-laki dan anak perempuan sesuai situasi dan kondisinya.
Selain itu pula dibutuhkan constructive policy yang mendukung perwujudan kerangka sistem hukum yang berkeadilan. Kebijakan yang mengutamakan tindakan afirmasi ini diharapkan dapat mendukung masyarakat dalam menjalankan fungsinya sebagai pengontrol implementasi penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak konstitusional.
Seluruh upaya ini pada akhirnya akan berbanding lurus dengan strategi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsive gender dan persepektif kepentingan terbaik bagi anak, sehingga hukum berkeadilan dapat ditegakkan. Pemerintah tentu saja memegang peran penting dalam mewujudkan kebijakan yang akan dicanangkan. Karenanya diperlukan adanya peningkatan kapasitas dari para pembentuk maupun perancang peraturan perundang-undangan, sebab bagaimanapun juga substansi dari sebuah kebijakan merupakan nyawa dari strategi yang akan digulirkan kepada masyarakat. Karenanya, optimalisasi peran pengawas atau lembaga judicial review untuk dapat menilai dan memutuskan agar dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang belum responsif gender dan peduli pemenuhan hak anak.
Peningkatan peran pemerintah melalui kebijakan tidak hanya berhenti sampai disini, perlu dilakukan analisis perspektif gender dan kepentingan terbaik bagi anak dalam melakukan kajian dalam persiapan naskah akademis baik untuk penyusunan perancangan perundang-undangan maupun rancangan Perda. Seluruh alur ini diharapkan mampu menciptakan kebijakan yang berkeadilan dan menyeluruh, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah.
Partisipasi & Peranserta Masyarakat
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI ke-4 tentang Peran Perempuan dalam Pembangunan ini sempat berlangsung selama 3 hari ( 4 – 6 Desember 2012) di Jakarta dan dihadiri oleh 40 delegasi dari berbagai dengan Negara peserta sekitar 200 orang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Linda Agumm Gumelar, terpilih secara aklamasi sebagai ketua persidangan dengan dibantu oleh wakil ketua dari delegasi Mesir, Uganda, Palestina dan rapporteur dari Iran
Aparat penegak hukum, sebagai elemen masyarakat yang berdiri di garda depan dalam perwujudan hukum yang berkeadilan gender dan terbaik bagi anak, memiliki peran yang sangat strategis. Seluruh penguatan hukum yang responsif gender dan berperspektif kepentingan terbaik bagi anak, dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum melalui ragam upaya yang berdampak kepada sistem hukum yang diberlakukan secara menyeluruh. Mulai dari penguatan koordinasi sesama aparat penegak hukum, implementasi Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG), penguatan konsep pelatihan terpadu, penyusunan Standard Operational Procedure (SOP), implementasi MOU, sosialisasi internal, perwujudan bantuan hukum, sertifikasi paralegal dan pendampingan, penyusunan regulasi optimalisasi sarana dan prasana, peningkatan kapasitas SDM, hingga pelaksanaan kegiatan advokasi, sosialisasi dan fasilitasi. Seluruhnya terangkum dalam satu kerangka upaya yang diharapkan mampu mewujudkan hukum yang responsif gender dan berperspektif kepentingan terbaik bagi anak.
Selain itu diperlukan juga peran aktif dari masyarakat untuk menegakkan hukum yang responsif gender dan berperspektif kepentingan terbaik bagi anak. Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi tentang pemahaman terhadap aturan hukum yang responsive gender dan ramah anak kepada kelompok masyarakat. Publikasi dan informasi hukum ini akan lebih efektif lagi jika diperkuat dengan adanya keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam menyuarakan atau memediasi tuntutan atau hak-hak perempuan dan anak.
Peran lembaga-lembaga yang membidangi pemberdayaan perempuan dan anak juga sangat dibutuhkan untuk menciptakan hukum yang berkeadilan. Juga diperlukan adanya usaha penguatan lembaga yang sudah ada. Sosialisasi dan publikasi terhadap keberadaan lembaga terkait pun dirasa perlu, agar masyarakat dapat mengakses keterlibatan dari lembaga tersebut. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangatlah membantu, baik bagi masyarakat maupun pemerintah serta aparat penegak hukum untuk merealisasikan MOU maupun kesepakatan yang bekenaan dengan perwujudan hukum yang responsif gender dan berperspektif kepentingan terbaik bagi anak.
Permasalahan gender sudah cukup lama menjadi isu, bukan saja di Indonesia tetapi di dunia. Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) merupakan salah satu lembaga yang didesain untuk menjadi contoh bagaimana permasalahan gender bisa diatasi7. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, mengakui BPPT merupakan lembaga ke-31 yang bekerjasama dengan Kementerian PP & PA dalam menyusun kebijakan terkait pengarusutamaan gender. Kerjasama juga diperlukan agar Inpres Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan nasional yang diamanatkan bisa dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga. Begitu juga dengan Peraturan Menteri (Permen) Keuangan Nomor 112 Tahun 2012 yang mengamanatkan pelaksanaan anggaran yang responsif gender.
BPS mencatat pada 2009, jumlah penduduk perempuan di Indonesia mencapai 49,66 persen. Harapan terhadap besarnya potensi kaum perempuan Indonesia ini dapatlah kiranya menjadi solusi dalam pembangunan, mendukung program pembangunan dan juga ikut berpartisipasi serta dapat mempunyai akses dan mendapatkan haknya dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Lantaran, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati secara adil, efektif dan akuntabel oleh seluruh penduduk Indonesia. Penerapan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata serta sejahtera.
Peran perempuan di Indonesia pun dapat disandingkan dengan rasio karyawan yang ada di lingkungan BPPT misalnya. Jumlah karyawan BPPT sekitar 3.000 orang, total pegawai perempuannya mencapai 659 orang atau 22,84 persen. Sedangkan total pejabat struktural dan fungsional perempuan mencapai 305 orang atau 19,37 persen. Padahal, peranan perempuan dalam penguatan sistem inovasi akan semakin penting, mulai dari peranannya sebagai penganjur kebijakan publik hingga dalam kemajuan inovasi, difusi dan proses pembelajaran. Pengintegrasian isu gender dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan dan program untuk dikembangkan dalam upaya penguatan sistem inovasi di Indonesia.
IADS / HIV & Kerentanan Biologis Perempuan
Tema kampanye pada peringatan Hari AIDS Sedunia tahun 2012 adalah “Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS”8. Kampanye yang bertemakan tentang perempuan diharapkan agar para ibu mendapatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan mampu mengantisipasi dampaknya terhadap anak, terutama bayi yang dikandungnya. “Perempuan dan anak yang menjadi fokus kampanye AIDS tahun 201, semestinya bisa lebih mendapat perhatian dan memeperoleh didukung, karena perempuan secara biologis sangat rentan.” Data Kementerian Kesehatan mengenai kasus AIDS menurut jenis kelamin di Indonesia Januari – Juni 2012, perempuan mencapai 38,1 % dan laki-laki 61,8%, sedangkan untuk kasus HIV, perempuan mencapai 43 % dan laki-laki 57 %. Di tahun 2011, diperkirakan terdapat 8.170 ibu hamil yang positif mengidap HIV di Indonesia.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan kerjasama lintas sektor dan strategi nasional yang terkoordinasi dan sinergi dengan memberdayakan populasi kunci sebagai populasi berisiko tinggi tertular HIV, dukungan dunia usaha, serta komitmen yang kuat dari pemerintah dan kepedulian masyarakat luas. “Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk pada taraf yang disebut epidemi terkonsentrasi, yang berarti Indonesia mempunyai tingkat prevalensi lebih dari 5 % dalam kelompok populasi risiko tinggi. Kelompok ini menurut definisinya termasuk pekerja seks komersial, pengguna narkoba suntik dan mereka yang menjalankan hubungan seksual sesama jenis” jelas Boediono saat membuka acara puncak Peringatan HAS 2012.
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI ke-4 tentang Peran Perempuan dalam Pembangunan ini sempat berlangsung selama 3 hari ( 4 – 6 Desember 2012) di Jakarta dan dihadiri oleh 40 delegasi dari berbagai dengan Negara peserta sekitar 200 orang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Linda Agumm Gumelar, terpilih secara aklamasi sebagai ketua persidangan dengan dibantu oleh wakil ketua dari delegasi Mesir, Uganda, Palestina dan rapporteur dari Iran9 .
Peranan Perempuan Dalam Ekonomi
Fokus pembicaraan mengupayakan penciptaan enabling environment yang dapat memperkuat peran dan partisipasi perempuan di bidang ekonomi. Deklarasi memuat sejumlah rekomendasi guna merespon isu-isu yang menjadi permasalahan bersama anggota OKI terkait perempuan di bidang ekonomi. Diantara rekomendasi itu antara lain : (1). Secara umum, mendorong implementasi pengarusutamaan gender sebagai strategi kunci dalam pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di semua sector, (2). Secara umum, mendukung partisipasi dan peranan penuh perempuan di bidang ekonomi dengan memenuhi hak-hak dasar mereka melalui: (i) peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan melalui program tindakan khusus sementara seperti kuota di parlemen maupun peningkatan jumlah perempuan di badan eksekutif dan yudikatif; (ii) penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan melalui program pelatihan sensitif gender bagi penegak hukum dan para garda depan lainnya yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan serta pembentukan mekanisme perlindungan bagi perempuan korban kekerasan; (iii) penciptaan kerangka pemenuhan keadilan gender (gender justice) melalui implementasi kebijakan dan peraturan hukum yang inklusif termasuk terhadap perempuan, serta upaya memperbaiki kerangka hukum dengan mengarusutamakan perspektif gender dan meningkatkan kapasitas penegak hukum; (iv) peningkatan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan yang paling mendasar melalui program pelayanan kesehatan gratis bagi perempuan miskin dan marjinal.
Berikutnya (3), khusus terkait isu perempuan dalam sektor ekonomi, perlu dilakukan langkah-langkah untuk: (i) memajukan kapasitas ekonomi perempuan dengan mendorong peningkatan akses perempuan terhadap sumberdaya produktif, seperti tanah, modal, pinjaman dan kredit, ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain melalui program untuk membangun pemahamam terhadap masalah keuangan (financial literacy), dan berbagai pelatihan lainnya, (ii) mendukung penciptaan pekerjaan di usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang banyak mempekerjakan perempuan; (iii) meningkatkan keterampilan dan kapasitas perempuan agar dapat bersaing di dunia kerja, melalui kebijakan untuk memperbaiki akses perempuan terhadap pendidikan, termasuk pendidikan yang berkualitas, pendidikan kejuruan dan tepat guna; (iv) mengatasi adanya segregasi laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja dan kehidupan sosial melalui program pengembangan kurikulum yang sensitif gender di semua tingkat pendidikan dan melakukan langkah-langkah konkrit dalam memastikan agar materi pendidikan tidak mendukung stereotype laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya, 4) untuk menuju ke arah ini, deklarasi mendorong agar: (i) negara anggota OKI meneruskan mekanisme pembahasan isu perempuan yang sudah ada sekarang dan meningkatkan intensitasnya melalui kerja sama diantara anggota-anggota OKI, baik dalam bentuk inisiatif bersama maupun dalam konteks global. Terkait hal ini, Indonesia mendorong adanya bentuk-bentuk kerjasama triangular diantara Negara anggota OKI. (ii) Negara anggota menandatangani piagam dari OIC Women Development Organization agar organisasi dapat segera berfungsi dan berkontribusi dalam pembahasan isu perempuan di OKI.
Dalam konferensi ini, Indonesia telah secara resmi menandatangani piagam dimaksud; (iii) Independent Human Rights Commission (IPHRC) untuk ikut membahas isu hak perempuan dan anak dalam kerjanya. Berkenaan dengan hal ini, Indonesia juga telah menjadi tuan rumah pertemuan perdana IPHRC pada bulan Februari 2012; (iv) semua pemegang kepentingan, mulai dari sektor publik, swasta, akademisi, organisasi masyarakat madani, yayasan dan filantropi untuk turut mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, termasuk melalui kerja sama dengan pemerintah.
Selanjutnya, (5) pada saat konferensi, seluruh Negara anggota OKI menyampaikan selamat dan dukungan atas keberhasilan Palestina meraih status “non member observer state” dalam PBB dan berharap bahwa hal ini dapat meningkatkan leverage dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina serta tercapainya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat berdampingan dengan Israel. Diskusi juga sempat membahas pentingnya peningkatan status dan kapasitas perempuan Palestina guna berkontribusi pada pembangunan Negara Palestina yang independen.
Kemudian (6), kesempatan ini juga telah dimanfaatkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan untuk mengadakan pertemuan bilateral dengan beberapa pihak, diantaranya UN Under Secretary General/Executive Director UN Women; ketua delegasi Kuwait, Uni Arab Emirate, Mali, Afghanistan, Gabon, Somalia dan Iran. Disela-sela Konferensi Tingkat Menteri ini Indonesia dan Mozambik juga telah menandatangani MoU terkait perlindungan Perempuan.
Kecyuali itu (7), konferensi juga mengadakan side event berjudul “Islam and Women Rights in Democracy Indonesia” dengan menghadirkan pembicara Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ibu Yuniyanti Chuzaifah, Ph.D dan Dra. Sri Danti, MA. Peserta Konferensi juga diajak untuk mengunjungi Katumbiri Expo di JCC yang mengangkat tema “Peningkatan Peran Perempuan dan Laki-laki dalam Membangun Tonggak perjuangan perempuan Indonesia yang diikrarkan pada Kongres Perempuan Indonesia yang pertama tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta.
Keharuan dan kebanggaan ini adalah bentuk “warisan” para pejuang bagi generasi penerus untuk dijaga dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna tetap tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sudah 84 (delapan puluh empat) tahun peringatan Hari Ibu di Indonesia dilakukan, artinya semua pihak berkepentingan untuk tetap menjaga semangat dan roh perjuangan perempuan Indonesia bersama-sama dengan mitranya kaum laki-laki agar perempuan dapat hidup sebagai “agent of change” dan mitra strategis laki-laki di dalam berbagai bidang pembangunan10.
Tema Peringatan Hari Ibu adalah “Peran Perempuan dan Laki-Laki dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan menuju Kesejahteraan Bangsa” mempertimbangkan antara lain bahwa Sekretaris Jenderal PBB telah menunjuk Presiden Indonesia bersama-sama dengan Perdana Menteri Inggris dan Presiden Republik Liberia sebagai “Ketua Bersama” Tingkat Tinggi Para Tokoh Terkemuka untuk merumuskan Visi dan Agenda Pembangunan Pasca Sasaran Pembangunan Millenium tahun 201511.
Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan Pasca Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs yang mensyaratkan adanya keseimbangan di antara pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan serta pembangunan di bidang politik dan penegakan hukum. Pembangunan berkelanjutan juga mensyaratkan adanya kesetaraan berbasis gender dan wilayah tanpa memandang status sosial, agama dan suku, mendorong adanya pembangunan yang inklusif (pembangunan yang dapat dinikmati oleh semua masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, lanjut usia, anak-anak, kelompok masyarakat adat dan kelompok yang terpinggirkan) dan dilaksanakannya kebijakan “affirmative action” bagi mereka yang masih tertinggal.
Kesetaraan Perempuan Dalam Berbangsa dan Negara
Kesetaraan gender dalam pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan telah dijabarkan dalam prioritas pembangunan jangka menengah tahun 2010-tahun 2014 dan seterusnya sampai dengan 2024 (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional–RPJPN) melalui pelaksanaan strategi pengarusutamaan gender. Hal ini bahkan semakin diperkokoh melalui komitmen Indonesia untuk bergabung dalam gerakan Equal Futures Partnership (EFP) bersama 13 negara lainnya yang diluncurkan di sela-sela persidangan Majelis Umum PBB ke-67 bulan September 2012 di New York. Rencana Aksi EFP Indonesia terutama diarahkan untuk mengamandemen peraturan perundangan ketenagakerjaan dan ekonomi yang belum responsif gender dan meningkatkan representasi dan partisipasi perempuan di dalam politik dan pengambilan keputusan guna mendukung pembangunan berkelanjutan.
Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang adil dan setara di dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dan didalam memperjuangkan kesejahteraan ekonomi, sosial, politik dan hukum serta mendapatkan akses dan kesempatan yang sama di dalam mendapatkan sumberdaya pembangunan, termasuk akses terhadap informasi, teknologi dan komunikasi serta perlakuan yang adil di muka hukum. Untuk itu kemajuan yang sudah dicapai kaum perempuan dan laki-laki di dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan.
Kesetaraan gender dalam pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan telah dijabarkan dalam prioritas pembangunan jangka menengah tahun 2010-tahun 2014 dan seterusnya sampai dengan 2024 (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional–RPJPN) melalui pelaksanaan strategi pengarusutamaan gender. Hal ini bahkan semakin diperkokoh melalui komitmen Indonesia untuk bergabung dalam gerakan Equal Futures Partnership (EFP) bersama 13 negara lainnya yang diluncurkan di sela-sela persidangan Majelis Umum PBB ke-67 bulan September 2012 di New York. Rencana Aksi EFP Indonesia terutama diarahkan untuk mengamandemen peraturan perundangan ketenagakerjaan dan ekonomi yang belum responsif gender dan meningkatkan representasi dan partisipasi perempuan di dalam politik dan pengambilan keputusan guna mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) juga telah menyelenggarakan dan memotori persidangan Konperensi Tingkat Menteri IV tentang Peranan Perempuan dalam Pembangunan Negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Hasil dari KTM ini berupa “Jakarta Declaration” yang berisi deklarasi para Negara anggota OKI untuk turut meningkatkan pembangunan berkelanjutan berbasis manusia (people-centered sustainable development), melalui peningkatan dan penguatan di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Deklarasi Jakarta juga semakin memperkokoh komitmen dan pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi utama negara anggota OKI didalam mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP&PA), Linda Amalia Sari, bersama Kepala Lembaga Administrasi Negara, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, melakukan Penandatangan Nota Kesepakatan Bersama tentang Percepatan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di lingkungan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Kesepakatan Bersama ini sangat penting dan strategis dalam rangka membangun sinergi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender pada lingkup tugas dan fungsi Lembaga Administrasi Negara12.
Berdasarkan laporan Index Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan UNDP tahun 2011, menggambarkan bahwa IPM Indonesia berada dalam rangking 124 dari 187 negara. Sedangkan Indeks Pemberdayaan Gender (IPG), Indonesia menduduki peringkat 93 dari 134 negara. Rendahnya IPM dan IPG tersebut disebabkan oleh rendahnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif serta jabatan profesional lainnya. Untuk mendongkrak nilai IPM dan IDG tersebut, perlu dilakukan perluasan aksesibilitas perempuan terhadap berbagai posisi jabatan publik.
Peran Perempuan Dalam Politik & Pemilu serta Pemerintahan
“KPP-PA sangat peduli terhadap penyelenggaraan Pemilu 2014 yang lebih berkualitas dan syarat akan muatan partisipasi yang inklusif dan aspiratif baik untuk laki-laki maupun perempuan”, ungkap Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan di Kantor KPU, Kamis (19/07), ketika menandatangani nota kesepahaman bersama dengan Komisi Pemilihan Umum tentang Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Politik
Hasil Pemilu tahun 2009 mencatat, keterwakilan perempuan di legislatif mencapai 101 anggota (18,3%) dari 560 anggota DPR. Pada anggota DPD hanya mencapai 27 %. Sedangkan DPRD di 33 Provinsi hanya mencapai 16 % dan DPRD Kabupaten/Kota hanya mencapai 12 %, bahkan masih terdapat 10 % dari 497 Kabupaten/Kota tidak terdapat keterwakilan perempuan di legislatif. Pada posisi eksekutif dapat dilihat dari keterwakilan perempuan yang sangat minim. Tercatat hanya terdapat 1 orang Gubernur dan 1 Wagub dari 33 Gubernur/Kada, serta 38 Bupati/Walikota (7,6%) dari 497 Kabupaten/Kota. Keterwakilan perempuan pada posisi Menteri/Wakil Menteri pun baru mencapai 11% dari 56 Menteri/Wakil Menteri atau setingkat Menteri.
Kemudian, data tahun 2010 dari Kementerian PAN & RB menyatakan bahwa jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 4.598.100 orang, yang terdiri dari perempuan 46,48% dan Laki-laki 53,52% dengan komposisi keterwakilan perempuan: Eselon I sebanyak 9 %, Eselon II sebanyak 7 %, Eselon III sebanyak 16 % dan Eselon IV sebanyak 25 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jabatan tersebut semakin rendah posisi perempuan.
Keterwakilan perempuan di lima lembaga yudikatif pun menunjukkan angka keterwakilan yang tidak begitu signifikan, yakni dengan komposisi keterwakilan pada Mahkamah Agung sebanyak 12 %, Mahkamah Konstitusi sebanyak 11 %, Komisi Yudicial & Komisi Pemberantasan Korupsi sebanyak 0 %, serta Komisi Pemilihan Umum sebanyak 14 %. Lalu, perempuan professional yang menduduki jabatan direksi 142 BUMN di Indonesia hanya mencapai sekitar 5 % dari 650 direksi. Di tambah lagi, apabila dicermati jumlah perempuan yang mengikuti pendidikan di LAN setingkat PIM I dan PIM II masih sangat terbatas.
Untuk Itulah LAN sebagai institusi yang bertanggungjawab untuk mencetak aparatur pemerintah yang professional dan kompeten perlu memberi ruang agar strategi pengarusutamaan gender dapat dilaksanakan di berbagai lini, mulai dari tataran penyusunan kebijakan/program dan kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan LAN yang responsif gender, termasuk didalam penyusunan perencanaan dan penganggarannya sehingga kebijakan di LAN dapat berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan gender pada pendidikan dan pelatihan, temasuk para pengambil keputusan yang berprespektif gender.
“Melalui Kesepakatan Bersama ini, kami akan mengadvokasi agar para widiaiswara dapat memakai issue gender dalam pelaksanaan belajar mengajar yang berwawasan gender. Harapan kami kedepan, semoga ada mata ajar atau kurikulum tentang pemahaman gender dan Pengarusutamaan Gender sebagai bagian dari kurikulum LAN. Gender merupakan issue lintas bidang yang perlu dipahami bersama. Pengarusutamaan Gender berbanding lurus dengan perwujudan pemerintahan yang baik (good governance), sehingga good governance dan pengarusutamaan gender menjadi satu kesatuan yang saling memperkuat. Oleh karena itu, penandatanganan kesepakatan bersama ini diharap dapat bermanfaat bagi semua pihak serta memberi daya ungkit yang besar dalam mencapai target kinerja pemerintahan dan pembangunan guna mendorong terwujudnya kesetaraan gender dalam semua aspek pembangunan.”, ungkap Meneg PP&PA.
“KPP-PA sangat peduli terhadap penyelenggaraan Pemilu 2014 yang lebih berkualitas dan syarat akan muatan partisipasi yang inklusif dan aspiratif baik untuk laki-laki maupun perempuan”, ungkap Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan di Kantor KPU, Kamis (19/07), ketika menandatangani nota kesepahaman bersama dengan Komisi Pemilihan Umum tentang Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Politik13.
Keterlibatan kaum perempuan di bidang politik, khususnya di legislatif akan memberikan keseimbangan dan mewarnai perumusan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang berperspektif gender dan menjamin kepastian kesejahteraan semua lapisan masyarakat demi kemajuan bangsa yang non diskriminatif, lebih adil dan setara sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005 – 2025). Keterlibatan perempuan secara penuh di politik juga mencerminkan terimplementasinya demokratisasi dan penegakan HAM yang akan berdampak pada praktik-praktik demokrasi yang berkualitas.
Meski sudah sepuluh kali pemilu dilaksanakan di Indonesia, namun hasilnya keterwakilan perempuan tidak pernah mencapai angka 30 persen. Hasil terbesar terjadi pada pemilu 2009 yang menghasilkan angka 18 persen dari total 560 anggota legislatif. Ini pun atas kerja keras dan dukungan berbagai pihak dan gerakan perempuan, meski hasilnya ternyata tidak merata. Terjadi tren inkonsistensi pada keterpilihan perempuan. Semakin ke tingkat lokal, keterpilihan anggota legislatif semakin banyak didominasi laki-laki. Bahkan di sejumlah daerah pemilihan, masih ada yang tidak mendudukkan perempuan sebagai wakil terpilih sama sekali. Ini berarti keterwakilan perempuan masih menempati jumlah yang sangat kecil dan amat jauh untuk menuju sistem keterwakilan yang memperhatikan komposisi gender berimbang.
“Nota Kesepakatan Bersama antara KPP-PA dengan KPU hari ini merupakan “benchmark” penting dalam upaya kita bersama ke arah yang lebih baik bagi perempuan Indonesia untuk terlibat dan melibatkan diri di dunia politik. Terkaitan dengan itu, diharapkan agar dalam Pemilihan Umum pada tahun 2014, selain berjalan secara demokratis dan elegan, dapat lebih berkualitas baik prosedural maupun substansial. Hal ini bisa dicapai bila semua pihak yang terlibat dalam pemilihan umum baik selaku penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat pemilih memegang teguh secara konsisten terhadap peraturan perundangan bidang Pemilu.
Pada kesempatan ini, Meneg PP&PA juga menghimbau kaum perempuan kader partai politik yang menjadi calon legislatif, agar dapat menjadi kampiun-kampiun demokrasi yang akan menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan ramah. Untuk itu, model kampanye ‘kolaboratif perempuan kader partai politik’ dapat menjadi wahana kampanye damai yang sesuai dengan naluri perempuan itu sendiri.
Peringatan Hari Kartini itu diselenggarakan di kediaman Mendag Mari Elka Pangestu di Kompleks Perumahan Menteri Jalan Widyacandra, Jakarta Selatan. Empat menteri tersebut adalah Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana14.
Sementara itu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan jumlah wanita yang menjabat eselon I di seluruh kementerian dan lembaga kurang dari 10 persen. “Masih sekitar 9 koma sekian persen, ini harus kami tingkatkan,” katanya. Linda berharap jumlah ini akan terus meningkat demi menyukseskan program gender di Tanah Air.
Kepemimpian Perempuan-perempuan Indonesia
Sejarah posisi perempuan Indonesia pada bagian pinggiran pun dapat diusut dari keberadaan kementerian yang menangani secara khusus kaum perempuan di Indonesia. Misalnya dimulai dari keberadaan Kementerian Negara Peranan Wanita (1983-1988, 1998-1999), Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (1988-1998), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001, 2004-2005), Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita (2001-2004), Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2005-2009), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2009-sekarang).
Sementara itu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan kementeriannya akan meningkatkan jumlah wanita yang menjabat eselon I. “Kementerian kami akan meningkatkan jumlah wanita yang menjabat eselon I” katanya15. Peremuan pertama Indonesia yang menjabat sebagai menteri Negara adalah Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dengan masa jabatan 12 Maret 1946 26 Juni 1947, semasa Pemerintahan Sutan Sjahrir. Berikutnya adalah Soerastri Karma Trimurti, menjabat Menteri Buruh pada periode 3 Juli 1947 29 Januari 1948, semasa pemerintahan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, selanjutnya adalah Rusiah Sardjono, menjabar Menteri Sosial periode 6 Maret 1962 -26 Maret 1966, semasa Soekarno.
Perempuan Indonesia berikutnya yang menjabat menteri semasa Orde Baru, diantaranya Lasiyah Soetanto (Menteri Peranan Wanita), Anindyati Sulasikin Murpratomo (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita), Nani Soedarsono (Menteri Sosial), Haryati Soebadio (Menteri Sosial), Mien Sugandhi (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita), Endang Kusuma Inten Soeweno (Menteri Sosial ) dan Siti Hardiyanti Rukmana (Menteri Sosial) dan Tuty Alawiyah (Menteri Negara Peranan Wanita) semasa Soeharto – Bacharuddin Jusuf Habibie. Begitu juga Yustika Sjarifuddin Baharsjah (Menteri Pertanian), hingga Wakil Presiden dan kemuidan menjabat Presiden RI, Megawati Soekarnoputri.
Saat Gus Dur menjabat presiden , tercatat Khofifah Indar Parawansa menjabat Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan, Erna Witoelar (Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah), Rini Mariani Soemarno Soewandi (Menteri Perdagangan dan Perindustrian), Sri Redjeki Sumarjoto (Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Wanita). Hingga pada masa pemerintahan SBY terdapat menteri perempuan seperti Meutia Hatta (Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan), Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan dan Pejabat Sementara Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, kemudian mnjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).
Ada juga Sri Mulyani Indrawati (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 20 Oktober 2004 – 7 Desember 2005. Kemudian menjabat Menteri Keuangan, 7 Desember 2005 – 20 Mei 2010 dan Pelaksana Tugas Menteri Kooordinator Perekonomian, 13 Juni 2008 – 21 Oktober 2009). Kecuali itu ada juga Siti Fadilah Supari (Menteri Kesehatan), Endang Rahayu Sedyaningsih (Menteri Kesehatan ), Nafsiah Mboi (Menteri Kesehatan), Linda Amalia Sari (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Armida Alisjahbana (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Perempuan-perempua Indonesia yang sempat menjabat sebagai kepala Deerag diantaranya Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Rustriningsih (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Tri Risma Harini (Walikota Surabaya), Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang Selatan), Rina Iriani (Bupati Karanganyar), Sri Suryawidati (Bupati Bantul), Ni Putu Eka Wiryastuti (Bupati Tabanan), Juliarti (Bupati Sambas), Rustriningsih (Bupati Kebumen), Widya Kandi Susanti (Bupati Kendal), Christian Euginia Paruntu (Bupati Minahasa Selatan), Idza Priyanti (Bupati Brebes), Rita Widyasari (Walikota Kutai Kartanegara),
Sedangkan di lembaga internal pemerintahan ada Sudarti Subakti (Kepala BPS), Rita Subowo (Ketua KONI), Karen Agustiawan (Direktur Pertamina), Jusabella Sahea (Direktur Pelni), Intan Abdams Katoppo (Direktur Hotel Indonesia). Meski banyak tokoh perempuan sudah menduduki posisi penting dalam pemerintahan, toh perbandingannya disbanding kaum laki-laki – misalnya dalam jajaran kabinet yang berjumlah sekitar 40-an orang itu, jumlahnya belum mencapai 30 (tigapuluh) persen. Bahkan masih berada dibawah 15 persen.
Sejarah posisi perempuan Indonesia pada bagian pinggiran pun dapat diusut dari keberadaan kementerian yang menangani secara khusus kaum perempuan di Indonesia. Misalnya dimulai dari keberadaan Kementerian Negara Peranan Wanita (1983-1988, 1998-1999), Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (1988-1998), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001, 2004-2005), Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita (2001-2004), Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2005-2009), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2009-sekarang).
Begitu juga wajah perempuan Indonesia di parlemen. Hasil survei Women Research Institute (WRI) menunjukkan bahwa perempuan anggota parlemen belum memberikan kontribusi maksimal pada pembuatan kebijakan di DPR RI16. Pada rapat-rapat di komisi maupun di alat kelengkapan dewan, anggota DPR RI kaum perempuan masih sungkan melakukan interupsi untuk menyampaikan pandangannya,” kata salah satu peneliti WRI, Rahayuningtyas. Meski menurut hasil survei perempuan anggota DPR RI rajin menghadiri rapat dan pertemuan dewan namun tingkat keaktifan mereka dalam menyampaikan pendapat dan argumentasi masih rendah. Tingkat keterlibatan perempuan anggota DPR RI dalam proses lobi antarfraksi, juga baru sekitar 22 persen. Ini terjadi karena perempuan anggota DPR RI umumnya masih merasa kurang percaya diri dan kurang menguasai persoalan.
Direktur Eksekutif WRI, Sita Aripurnami, merekomendasikan partai politik meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dan meningkatkan kapasitas mereka. Partai politik hendaknya melakukan kaderisasi dan pendidikan politik untuk meningkatkan kapasitas terhadap calon anggota legislatif perempuan.
Women Research Indonesia (WRI) mengumumkan sembilan anggota DPR RI dari kaum perempuan yang dinilai paling aktif. Baik dalam menghadiri rapat maupun menyampaikan argumentasi pada rapat-rapat di DPR RI, kata Rahayuningtyas ketika mempresentasikan hasil survei WRI17. Dari sejumlah anggota DPR RI perempuan yang aktif, tercatat sembilan anggota yang aktif. Mereka adalah Nurul Arifin dari Fraksi Partai Golkar dengan nilai 10, Mestariany Habie (Fraksi Gerindra), Ribka Tjiptaning, Ina Ammania, dan Eddy Mihati.
Anggota DPR RI perempuan lainnya yang dinilai aktif adalah, Rieke Diah Pitaloka (FPDIP), Eva Kusuma Sundari (FPDIP), Agustina Basikbaik (FPG), dan Miriam Haryani (FHanura) masing-masing dengan nilai tiga. Lucunya. dari 160 anggota DPR RI perempuan yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) serta anggota Komisi II dan Komisi VIII DPR RI yang menjadi obyek penelitian,18 hingga 12 April 2012, kata dia, hanya sebanyak 36 anggota DPR RI perempuan yang mengembalikan kuisioner. Tingkat keaktifan anggota DPR RI perempuan berdasarkan fraksi, menurut hasil penelitian yang sama, Fraksi PDI Perjuangan 31 persen, Fraksi Partai Golkar 24 persen, Fraksi Partai Demokrat 18 prsen, Fraksi Gerindra delapan persen, Fraksi Hanura enam persn, Fraksi PAN tiga persen, kemudian Fraksi PPP dan Fraksi PKB masing-masing dua persen.
Angka-angka ini memang tidak bisa dijadikan ukuran yang mutlak, namun untuk melakukan perkiraan terhadap kondisi obyekltif perempuan Indonesia untuk melakukan perbaikan, tidak ada salahnya menjadi acuan. Sehingga apa yang dikatakan Menneg PP-PA bahwa Kepemimpinan Perempuan Indonesia meningkat, pun tidak membuat aktivis perempuan jadi berpuas diri dan lalai melakukan agenda-agenda besar guna mendukung dan memajukan perempuan Indonesia untuk lebih berperan dalam berbagai segi kehidupan.
Aktivis Perempuan Indonesia
Data badan kepegawaian negara tahun 2008 menunjukkan bahwa pegawai negeri sipil perempuan yang menduduki jabatan struktural eselon I, II, III dan IV hanya 1.807.472 orang sementara laki-laki 2.254.382 orang. Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan terus mengambil langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan serta senantiasa meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan
Menneg PP-PA mengklaim secara nasional peluang kepemimpinan perempuan meningkat di lembaga legislative. Pada pemilu 2004 anggota DPR-RI perempuan berjumlah 61 orang (11,5 %) dan laki-laki 489 orang (88,5 %). Pada pemilu 2009 jumlah anggota DPR-RI perempuan meningkat menjadi 101 orang (18.04%) dan laki-laki menjadi 459 orang (81,6 %)19. Sementara untuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perempuan hasil pemilu 2004 berjumlah 26 orang (18,8%) dan laki-laki 106 orang (80,2 %). Pada pemilu 2009 mengalami peningkatan jumlah anggota DPD perempuan menjadi 34 orang (27,27 %) dan laki-laki 98 orang atau (72,73 %). Meski demikian, ia mengakui bahwa di bidang eksekutif dan yudikatif secara kuantitatif perbandingan dan kemajuan kepemimpinan perempuan belum begitu menggembirakan.
Data badan kepegawaian negara tahun 2008 menunjukkan bahwa pegawai negeri sipil perempuan yang menduduki jabatan struktural eselon I, II, III dan IV hanya 1.807.472 orang sementara laki-laki 2.254.382 orang. Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan terus mengambil langkah untuk menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan serta senantiasa meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan.
Pertarungan kaum perempuan dalam Pemilu maupun Pulkada, pun bisa dikatakan cukup menyenangkan. Empat perempuan calon Dewan Perwakilan Daerah Kalimantan Barat, Erma Suryani Ranik, Hairiah, Maria Goreti, dan Sri Kadarwati, saat ini mendominasi perolehan suara sementara dari sebanyak 26 calon provinsi tersebut dalam Pemilu Legislatif 200920. Calon DPD Kalbar ada 26 orang. Dari jumlah tersebut, empat calon merupakan perempuan sedang 22 lainnya laki-laki. Sayangnya, calon DPD termuda itu sadah berusia 33 tahun. Karena sebelumnya — sebagaimana umumnya aktivis perempuan di Indonesia — sebelumnya mereka aktif sebagai anggota lembaga swadaya masyarakat.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Pada Perempuan (Komnas perempuan) mendesak keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di legislatif sebagai hal yang mutlak. Komnas pun meminta agar caleg wanita ditaruh di urutan teratas. Revisi undang-undang ini merupakan hal yang penting dan harus dikawal oleh gerakan perempuan sehingga usulan dan masukan perempuan yang sebesar 30% itu dapat dipenuhi†ujar Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, dalam jumpa pers di kantornya, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat21.
Masruchah menilai beberapa butir dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 soal Pemilu, dianggap kurang menampung aspirasi kaum perempuan. Dia mengusulkan untuk mengubah pasal 53, ayat 1 dan 2 serta pasal 55. Dalam pasal 53 pengusulan yang terjadi adalah dengan menambahkan kata ˜wajib dan sekurang-kurangnya”, serta juga peniktiberatan untuk penempatan 30% perempuan dalam pemilihan umum mencakup pemilihan DPR, DRD pemprov, DPRD kabupaten dan kota. Sedangkan usul yang diajukan untuk pasal 55 mengharuskan adanya satu calon perempuan dalam tiga calon laki-laki. Dia berharap ada sanksi bagi partai yang tidak memenuhi syarat 30 persen untuk caleg wanita. Dia mengusulkan agar parpol yang melanggar, tidak diikutsertakan dalam Pemilu. ***
Jakarta, 1 Januari 2013
• RA. Terbanggi adalah Direktur Eksekutif Atlantika Institut Nusantara
• En Jacob Ereste adalah Sekretaris Jendral DPP MIG SBSI
Hp: 08197975737,08211745533
Rek BCA : 0611893735
Footnotes :
1 Daftar Perempuan Terpilih Anggota DPR-RI 2009-2014, tercatat pada 23 June 2009
2 Renny Sundayani | Inilah.Com– Sen, 5 Nov 2012
3 Poligami bukan cacat moral dan politik : Merdeka.com – Jum, 4 Jan 2013
4 Merdeka.com – Jum, 4 Jan 2013 : “Tuhan saja tidak mau dimadu, jadi wajar saja banyak
perempuan tidak suka kalau cinta mereka diduakan.”
5. Laporan Hasil Capaian Kinerja KPPPA Tahun 2012, JUMAT, 28 DESEMBER 2012
6. SEKRETARIS KEMENTERIAN KPP DAN PA MENUNJUKKAN BUKU PARAMETER KESETARAAN
GENDER: HUKUM YANG BERKEADILAN UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER, JUMAT, 04 MEI 2012
7. Kementerian PP & PA Teken MoU dengan BPPT; JUM’AT, 28 DESEMBER 2012
8 Acara Puncak Peringatan HAS 2012, SELASA, 11 DESEMBER 2012
9. Jakarta Declaration : KTM OKI ke-4 tentang Peranan Perempuan dalam Pembangunan (Sepakati
Jakarta, Declaration), KAMIS, 06 DESEMBER 2012
10 SAMBUTAN PADA ACARA PUNCAK PERINGATAN HARI IBU KE-84 TAHUN 2012, Jakarta, 18
Desember 2012
11 Post 2015 Development Agenda.
12 PENGARUSUTAMAAN GENDER MENDORONG PENINGKATAN APARATUR NEGARA, KAMIS, 20
DESEMBER 2012
13 Press Relase: KPP-PA Peduli Kualitas Partisipasi Perempuan Dalam PEMILU 2014, KAMIS, 19
JULI 2012
14 Empat Menteri Perempuan Peringati Hari Kartini ; Rabu, 13 Juni 2012
15 Sumber: antaranews.com
16 WASPADA ONLINE
17 Kompas.com
18 Pada 12 Maret 2012.
19 kapanlagi.com, Minggu, 24 Januari 2010
20 DPD Kalbar Didominasi Suara Caleg Perempuan : kapanlagi.com, Senin, 20 April 2009
21 Parpol diminta penuhi aturan soal caleg perempuan : Kamis, 9 Februari 2012
SukaSuka