“Tahu lowongan ini dari mana?”

“Dengar dari teman.”

“Sudah punya pengalaman meninta komik?”

“Sudah. Komik saya sendiri.”

“Sering baca komik saya?”

“Sering.”

“Di mana?”

“Di toko buku, sama di pagenya Koel.”

“Oh. Gratisan ya. Menurutmu komik Koel lucu nggak?”

“Eh…, nggak.”

“Kamu nggak tertawa ya?”

“Eh, mmm, nggak.”

“Hmm, kalau demikian sepertinya kamu nggak cocok bekerja membantu saya meninta Koel.”

***

Ah, tentu saja percakapan di atas fiktif belaka. Saya belum pernah buka lowongan mencari tukang tinta buat Koel. Bukan saya tidak suka dibantu, tapi uang dari mana coba untuk membayar mereka.

Saya merasa terganggu dengan beberapa obrolan antara pencari kerja dan pemberi kerja. Gangguan itu terutama terkait dengan pertanyaan apakah pencari kerja menyukai apa yang akan ia kerjakan. Semacam percakapan fiktif di atas. Terang-terangan, atau dengan cara yang lebih halus. Dan rasa risih itu meningkat akhir-akhir ini.

Pertanyaan semacam itu memojokkan pencari kerja pada sudut kejujurannya. Untung jika ya. Jika tidak, pencari kerja dihadapakan pada dilema berbohong agar kesempatan kerja meningkat, atau jujur dan kesempatan kerja menciut. Atau malah hilang sama sekali.

Kalaupun pemberi kerja tetap mempekerjakan pemberi kerja jujur yang berkata tidak, suasana tak menyenangkan bisa terbangun di antara keduanya.

Ada juga obrolan lain sejenis yang tampaknya cukup sering,

“Kamu melamar jadi komikus, memangnya suka ngomik?”

“Suka.”

“Pernah kerja apa saja.”

“Jadi komikus dan jadi pemulung.”

“Enak mana ngomik sama mulung?”

“Dari ketenangan jiwa sih, enak jadi pemulung.”

“Wah, kalau gitu ngapain nglamar jadi komikus! Jadi pemulung saja sana.”

Lagi-lagi, kejujuran pencari kerja disudutkan. Bukan saja pencari kerja menutup kesempatan dengan kejujurannya, namun profesionalitasnya juga dilecehkan. Adalah hak bagi siapapun untuk mencari kerja sesuai yang diinginkannya. Bukan mesti sesuai dengan yang disukainya.

Berapa banyak pekerja yang bekerja pada bidang yang bukan paling disukainya, tapi baik-baik saja. Malah lebih baik nasibnya daripada jika bekerja pada bidang yang paling ia sukai.

Berapa banyak pekerja yang bekerja pada bidang yang paling ia sukai, namun tidak mengerjakan proyek yang ia sukai. Dan tetap dikerjakan secara bertanggung jawab dengan sepenuh hati.

Bahkan banyak pekerja yang tetap mengerjakan pekerjaan yang dibencinya dengan baik.

Banyak. Banyak. Saya yakin sebagian besar pekerja bekerja tidak pada bidang dan proyek yang paling ia minati.

Mengerjakan pekerjaan dengan baik, entah itu disukainya atau tidak, adalah sikap seorang profesional. Mengaduk-aduknya dengan “ujian kejujuran yang sulit diketahui hasilnya oleh penguji” adalah hal yang konyol.

Perekonomian sedang sulit. Harga kebutuhan semakin meningkat. Cobaan semakin berat. Cari kerja semakin susah. Apalagi cari uang. Pertanyaan-pertanyaan yang menggoda pencari kerja untuk berbohong dan menjilat seperti itu sebaiknya dihindari.

“Oh tentu saja Koel itu lucu! Saya terbahak-bahak saat membaca tiap halamannya! Semakin diulang, semakin terpingkal saya! Perut saya sering sakit gara-gara Koel!”

“Enak ngomik! Tidak ada pekerjaan yang lebih menarik dari ngomik! Komikus adalah profesi paling asik dan paling keren sedunia!”

Selain tidak layak, pertanyaan yang memancing jawaban seperti di atas sebenarnya tidak banyak berguna untuk pemberi kerja. Yang perlu dilakukan pemberi kerja adalah memberi kejelasan pekerjaan macam apa yang harus dikerjakan bila pencari kerja diterima dan menerima pekerjaan itu.

Walau awalnya suka, adalah hal biasa ketika di tengah jalan berubah tidak suka. Demikian pula sebaliknya. Dan penerima kerja memiliki tanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sampai akhir ikatan kerja, jika itu berupa kontrak atau kerja yang berdasar proyek. Atau mengundurkan diri dengan pemberitahuan terlebih dahulu jika berstatus karyawan tetap.

Pemberi kerja seharusnya lebih mengutamakan sifat bertanggung jawab yang dimiliki pencari kerja, bukan antusiasme pencari pekerja mengenai calon pekerjaannya. Yang tentu saja, besar resikonya bahwa pencari kerja berbohong mengenainya.

Dan apabila pemberi kerja akhirnya memberi pekerjaan kepada pencari kerja yang jujur tidak menyukai atau sependapat dengan apa yang dikerjakannya, resiko untuk saling merasa tidak nyaman saat bekerja pun menjadi besar.

Karena itu sekali lagi, pertanyaan macam itu sebaiknya dihindarkan. Tidak layak dan menciderai kedua pihak.

Selama ini saya masih mampu untuk jujur dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan macam itu. Entah besok, jika saya menghadapinya dalam keadaan tidak punya uang, dan harus mencari biaya untuk anak yang harus segera dioperasi. Kebohongan kecil kok. Tidak akan mencederai siapa saja, kecuali ketenangan batin saya sendiri.

Tulisan ini bukan rintihan saya akan pekerjaan yang terlepas karena (mungkin) saya berjuang untuk jujur. Tulisan ini adalah ratapan saya mengenai kondisi masyarakat yang terus didorong untuk berbohong demi kelancaran karir.

Saya jadi teringat pertanyaan dalam wawancara-wawancara kerja yang pernah saya hadapi,

“Apakah kamu bersedia lembur jika dibutuhkan?”

Pertanyaan tersebut tidak berbunyi, “Apakah kamu senang lembur jika dibutuhkan?”

“Lembur?!? Ah, itu sih santapan sehari-hari! Tiga kali sehari, satu setengah sendok teh setelah makan!”

Yogya, 25 November 2011, di kamar

*Komik diatas diambil dari buku “Catatan Si Koel”, tentu saja seijin komikusnya :D