Tag

 Catatan penulis : Tidak semua tokoh di roman Bongkaran itu fiksional. Sebagian karakter di rombongan gengnya dan musuh Bonang sekali lagi saya ingatkan buat pembaca, saya ambil original tanpa mememinta property right dari orang orang yang pernah saya kenal melalui perdebatan sengit di forum apakabar.

 Dengan Ahmad Sudirman, polisi di komdak dalam Roman Bongkaran saya pernah berduet di sini :
arsip1 .  arsip2

Lalu dengan Hasan Rasyidi, tukang rentenir tetangga Bonang bisa ditemukan di sini
arsip3

Dengan Adit, tokoh baru yang masuk ikut ikutan di gengnya Bonang di sini
arsp4

Mungkin tidak terlalu penting, tapi buat anda yang penasaran dan kebetulan sedang kuliah di fakultas psikologi, turut menyelami karakter dan sifat orang-orang di atas barangkali bisa dijadikan untuk tesis skripsi yang lumayan menarik. Selamat menikmati petualangan gombal dan picisan Roman Anak Bongkaran.. Thanks

 

 Malam kamis hujan menggujur Jakarta dengan derasnya. Gemuruh dan kilatan Halilintar terdengar seperti ledakan misiu yang cahaya flashnya seperti sedang memotret dataran penuh dosa di bawahnya. Seakan Tuhan sedang memberikan tembakan peringatan bagi divisi manusia ingkar juga para algojo berseragam serta batalion dewa-dewa dajal yang memerintah negeri ini -untuk segera berhenti dan kembali menjadi manusia yang lurus dan mencuci niat buruk dan jutaan dosa yang pernah mereka perbuat dengan air langit ini- atau akan mengalami eksekusi dari sang Khalik suatu saat nanti.

Tapi cuma sedikit orang yang tergetar hatinya oleh suara gesekan dua partikel di awan sana. Sebagian kecil dari mereka bangkit dari gubuknya untuk berlari menerjang kegelapan dan hujan untuk ambir air wudhu di pompa luar dan kembali kedalam rumah yang biliknya terus menerus bergetar untuk sholat Tahajud. Mereka akan menenggelamkan diri mereka pada Tuhan dan memohon ampun pada sejumlah dosa yang mereka pernah perbuat. Tapi sebagian besar dari mereka justru meneruskan maksiat. Di ratusan kamar hotel-hotel mewah perzinahan berjalan terus. Gemuruh petir bahkan terdengar seperti mengiringi irama erotis getaran ranjang, membuat mereka ekstasi. Di beberapa gedung-gedung mewah, para pengusaha kelas kakap yang sedang terjerat kasus manipulasi melakukan lobi lobi gelap untuk meloloskan diri dengan selusin Jaksa yang tawar menawar harga sebuah keadilan dengan angka-angka tinggi. Di kompleks perumahan mentri, beberapa preman dan serdadu bayaran bergabung dengan beberapa santri penjual agama nampak sibuk mendengarkan instruksi dari sang operator untuk meneruskan rencana mereka mengganjal seorang wanita dari kursi kepresidenan dengan cara apa saja-demi sebuah kekuasaan.

Tapi gelegar halilintar lenyap setelah lewat tengah malam. Seperti yang sudah sudah, Tuhan akhirnya putus asa mengetahui bahwa mahluk ciptaan bernama manusia jarang mempan di gertak oleh senjatanya. Kini di langit yang tertinggal cuma gerimis kecil membuat suasana malam makin menjadi begitu romantis. Dan malam yang syahdu seperti ini adalah malam yang cocok untuk para manusia berjiwa melankolis untuk berpuisi.

Saat itu semua orang yang merasa atau mengaku berjiwa seniman bangkit dari pembaringan. Bonang segera bergegas mencari sehelai kertas dan pulpen. Tarjo yang di dalam kamarnya berdiri dan bersiap dengan kapur tulis dan papan tulis. Ahmad Aidit berhenti membaca Das Kapital di ruang tamu rumah kontrakannya yang sumpek , sang penyair yang puisinya pernah terbit di pojokan koran Pos Kota ini merasakan desakan yang kuat untuk menulis kembali. Bahkan Abung yang tidak pandai baca tulis ,segera membangunkan si Ipung, anak SD tukang jual koran yang sedang numpang tidur di kamarnya untuk membantu dia mendikte perasaan romantisnya. Bukan cuma dia, Ahmad Sudirman, sersan polisi yang dulu pernah menggampari Abung di Komdak juga ikutan mempunyai dorongan kuat untuk menciptakan puisi. Laki -laki galak yang menjelang usia pensiun dan pernah naik haji 3 kali dan bercita-cita mengarabkan Indonesia serta sangat anti Komunis ini duduk dengan tegak menghadap keluar jendela rumah mencoba menangkap inspirasi. Adalah Ahmad Aidit yang menggoreskan pena duluan. Setelah memejamkan mata 10 menit, dia mulai menulis. Judul puisinya :

" Rinduku Padamu Stalinku " kemudian dibawahnya dengan tangan bergetaran karena emosi, dia menulis baris demi baris:

jejak kaki Gerwani Adalah langkah pasti negeri ini.
Muso adalah sang nabi Kau pasrahkan jiwamu pada kaum petani.
dor..dor dor.. kamupun lewat.
kini aku ditinggali sendirian
dimanakah komunis cintaku beranjak pergi
bahkan bangkai Lenin dan Stalin sudah pergi lama transmigrasi
dari kuburan mewah ke bumi Russia kembali.
padamu Stalin, aku mengabdi…

– A.Aidit Kampung Rambutan 14 Juni.

Karena puisi itu menyangkut hakekat emosi mana yang lebih mendominasi, Puisi Abung lain lagi. Sambil menggaruk-garuk karena ngantuk, Ipung mendiktekan ekpresi perasaan Abung yang sedang teringat akan pengalaman digebuki pasukan anti huru hara dalam kertas,:

KENANGAN DI SENAYAN

setoran gagal
bajajku remuk
demonstari mahasiswa
bikin muka dan dompetku benyut.
macet di sini, macet di sana.
negeri ini seperti mesin bajaj tanpa busi.
polisi..? Ih seremnya..
muka tampanku, digampari mereka.
di Senayan, hidupku merana..

Sedang Tarjo yang terobsesi pada perjuangan nasibnya. Menulis ala Sutarji atau siapalah itu penulis puisi rumit yang hobby menyelipkan kalimat-kalimat sok nyentrik.

HIDUP KOLANG KALING

ling kamu berhembus
lang kamu terbang
cemas cemas gesit meraba di dada
ling, aku daun
lang dikau tiada.
pret pret pret pantatku kecepirit.

-Tarjo Sukirno

Setelah selesai, Tarjo menatap papan tulis dan terpesona oleh puisinya sendiri, walaupun dia sendiri sebenarnya tidak mengerti artinya sama sekali " Pokoknya kedengaran satra lah " begitu dalam hatinya.

Ahmad Sudirman, sang satpam from Komdak, pecinta UU Madinah lain lagi. Setelah menangkap ide dengan gagah dia menuliskan puisi ini:

DALAM RANGKA MENEGAKAN KEADILAN SOSIAL BAGI BANGSA INDONESIA SESUAI DENGAN PIAGAM MADINAH DAN STRATEGI RASULLULAH MENGHADAPI BAHAYA LATEN YAHUDI DI KHAYBAR. – ( maaf ini baru judul )

Karena saya menerima surat dari Pak Gunadi yang tinggal di Jogjakarta.
Tertanggal 10 Juni Tahun sembilan belas sembilan puluh sembilan.
Inilah jawaban saya terhadap problema Indonesia.
Yaitu kembalilah wahai umat muslim dan saudaraku semua.
Kembalilah kepada amanat nabi sang rasul terakhir.
Muahamadarasullulah diucapkan sejuta kali.
Allah akan menumpas komunis dan sekularisme.
Tangan tangan para nasrani akan dibumi hanguskan.
Negara Agama adalah tujuan.
Mari Islamkan bumi Indonesia sesuai dengan Undang Undang Madinah.
Wakum Dinkukum Waljadin.
Allahu Akbar..Allahu Akbar…
Asasamualaikum WWW.com

Ahmad Sudirman.

Karet Belakang. Jumat Pon, 24 Juni 1999

Oke menyimpang sedikit, jauh di seberang benua, seorang perantauan berinisial HB siang itu duduk didepan komputer. Jiwa kosong dan pengejarannya akan esensi Tuhan plus ditambah dengan tingkat kecerdasan yang rendah walaupun telah berpuluh-puluh menamatkan berbagai jenis buku, menulis puisi yang menunjukan keputus-asaan akan Tuhan, berjudul

" where are you, asshole? "

di bawahnya dia menulis dua bait:

yo, god..
where the fuck are you?

Tapi setelah memikirkan bahwa tidak ada nilai estetika sama sekali pada itu puisi, HB segera merubahnya dengan judul " Rindu Tuhan "

Kali ini dia menulis dengan 3 bait:

tuhan, aku buta dan lumpuh
kamu mematung dan bisu
kapan kita bisa bertemu?

Mari tinggalkan HB dan kembali pada Bonang. Dalam batok kepala pria Batak berdagu petak ini, sosok Nisye begitu mendominasi. Seperti layaknya seorang pecinta ,dia menjadi pemuja. Malam ini tidak ada satupun hal yang bisa menggeserkan Nisye dari pikirannya. Seperti syair lagu-lagu cengeng karya Deddy Dores, Bonang menuliskan ini puisi:

AKU CINTA KAMU, NISYE SAYANG.

Aku terduduk disini
kamu di sana sayang
Jemuran eh basah lagi sayang
Biarpun bumi ini berhenti berputar sayang.
Engkauuu…..
( BLAARRR!!! Tiba tiba suara gemuruh halilintar menggelagar dahsyat, Bonang segera berhenti menyelesaikan itu puisi, Barangkali Tuhan sedang memperingatkan dia untuk tidak lagi menulis syair-syair murahan yang menjemukan jiwa )

 Entah dari mana datangnya perubahan itu, tiba tiba Bonang mampu menulis kelimat dengan cara yang jauh lebih beradab.

INI PUISI

malam ini aku melahirkan ini puisi
kuberikan nyawa pada setiap kalimat dan kata
kuberikan dia merdeka
puisiku berlari dan mengetuk setiap pintu hati.
dia ingin menyapa setiap jiwa santun yang bisa ditemui.
tapi hampir semua pintu tetap saja terkunci.
satu dua yang terbuka
cuma ingin memenjarakannya pada bingkai bingkai kosong tanpa arti.
puisiku menggelandang, berjalan, merayap dan melata.
dia tersesat dalam dalam setiap rimba.
puisiku menjadi pengemis dari kota ke kota.
sampai dia meyaksikan kehadiranmu
kamu menyambutnya dengan suka
kamu berikan puisiku jiwa.
kamu menyerahkan separuh cinta.
dan kamu tabung sisanya untuk kita bersama.
sebuah pelabuhan dia temukan di balik dadamu.
dan dia mengabari ini dalam sebuah pesta
sayangku,
kita dipertemukan oleh kalimat-kalimat ini.
kita telah lebur bersatu dalam kata-kata.
sebuah puisi tidak akan pernah mati.
ketika generasi ini padam dan sirna nanti.
ketika aku dan kamu telah lama pergi.
puisi ini akan terus melantunkan lagu cinta kita
sampai bumi binasa..

– Bonang –

Kampung Lontar, Malam di bulan Juni.

 

~20 Mei 2009.