Membuka Facebook pagi-pagi, mata saya tertumbuk pada artikel yang dishare di wall seorang teman,

Apakah bangsa Arab lebih unggul ketimbang bangsa-bangsa lain?

Dalam artikel tersebut dibahas panjang lebar aliran-aliran yang mengatakan bangsa Arab lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Memang ada perbantahan di kalangan orang Arab sendiri.  Namun nyatanya, orang-orang dari paham itu masih punya pengikut dan pendukung.

Saya jadi teringat obrolan dengan teman-teman saat kuliah. Karena rumah saya cukup jauh dari kampus, saya sering tinggal di kampus untuk menunggu kuliah berikutnya. Kampus di Pleburan dan rumah di Banyumanik, butuh waktu sekitar 30 menit lebih untuk pergi saja. Pulang balik bisa satu jam. Capek di jalan. Akhirnya saya ikut nongkrong dengan teman-teman satu angkatan, beda angkatan, satu jurusan dan beda jurusan.

Waktu itu saya nongkrong dengan teman satu jurusan. Ada seorang teman kakak angkatan ikut nongkrong. Dia punya grup band yang kami semua ikut bangga dengan grup bandnya itu.

“Gimana nih perkembangan grup band kamu?” seorang teman nyeletuk.

“Ini vokalisnya lagi ribet urusan cinta,” katanya.

“Kenapa lagi?”

“Udah cinta mati, sama keluarga pacarnya disuruh putus. Pacarnya udah nggak boleh ketemu dia lagi.”

“Segitunya. Memang kenapa sih?”

“Kan ceweknya Arab.”

“Mang kalo Arab kenapa?” seorang teman bertanya dan saya juga ingin tahu jawabannya.

“Kata orang tua ceweknya, mereka keturunan Nabi Muhammad yang ke berapa, gitu. Kalau sampai anak perempuannya dapat yang bukan keturunan Nabi, darah keturunan mereka tercampur, udah enggak murni lagi sebagai keturunan Nabi. Jadinya ya ceweknya nanti mesti nikah sama Arab juga, kalo bisa yang murni keturunan Nabi juga.

“Wah, segitunya ya?” kami semua yang mendengar terheran-heran.

Saya juga heran. Tapi saya jadi tahu kenapa tetangga saya yang istrinya Arab dan suaminya Jawa, sekarang jadi penggerak pengajian di lingkungan tempat tinggal orang tua saya, dulunya ketika akan menikah tidak direstui oleh orang tua si istri. Seiring berjalannya waktu, suami yang Jawa ini menunjukkan bahwa dia suami dan bapak yang baik. Akhirnya keluarga mereka bisa menerima.

Maka ketika seorang teman cewek yang Cina pacaran dengan seorang cowok Arab, saya mulai meramal ending kisah mereka. Suatu sore, mereka duduk berdua di teras ruang kuliah dengan wajah kacau. Saya tahu pasti mereka sebentar lagi putus. Dan benar. Keluarga cowoknya tidak mengijinkan anaknya pacaran dengan teman saya yang Cina. Padahal saya sempat iri dengan mereka. Cowoknya ganteng, teman saya cantik, mereka mesra sekali. Tapi apa mau dikata?

Saya tetap saja tak paham kenapa bisa mereka merasa lebih unggul dari bangsa yang lain. Setelah menganjurkan bangsa lain mengikuti agama yang mereka bawa, lalu menganjurkan juga pengikut dari bangsa lain memakai pakaian seperti mereka, nyatanya mereka masih menganggap bangsa lain itu berbeda. Ironis.

Saya tahu tidak semua orang Arab berpikiran seperti itu. Tapi pemikiran ini merupakan sebuah wacana yang tidak bisa diabaikan begitu saja, seolah tidak pernah ada. Semua ini perlu diketahui, disadari, lalu direvisi.

***

Sentimen ras memang mewarnai dunia sampai sekarang. Jangan dikira Cuma Amerika atau Afrika Selatan yang bermasalah dengan ras hitam – putih. Kita juga punya masalah rasis, diakui atau tidak.

Waktu SMA pacar saya Cina. Ibu saya marah.

“Enggak kasian sama anak-anak kamu nanti? Yang namanya Cina itu masih jadi ejekan di mana-mana.”

Tapi yang namanya cinta, mau apa? Biarpun ibu saya menyindir, ngomel, marah, tetap saja kami jalan bareng. Akhirnya ibu saya mengijinkan kami pacaran, cuma kisah ini berakhir karena dia memutuskan saya dan menggandeng cewek lain, yang juga Jawa.

Tidak jadi menikah dengan Cina dan akhirnya dapat orang Jawa, bukan berarti karma saya berakhir. Suami saya sering dikira Cina. Ketika kami masih pacaran, dia sudah menceritakan hal ini tapi saya belum begitu percaya. Sampai suatu ketika kami makan bakso dan dia dipanggil ‘koh’, baru saya sadar apa yang dia katakan itu benar.

Ketika sudah menikah, ada seorang kenalan bapak saya yang bertanya,

“Besan bapak itu Cina kan ya?”

Bapak saya menjelaskan bahwa bapak mertua saya Jawa, bukan Cina. Kenalan bapak saya itu pasien lama bapak mertua yang dokter saraf. Dia baru tahu kalau dokter langganannya itu Jawa dan bukan Cina seperti yang dia kira, baru setelah diberi tahu bapak saya.

Seorang teman kuliah saya kaget ketika tahu bahwa keluarga suami saya bukan Cina. Pasalnya dia berteman dengan adik ipar saya sejak awal kuliah dan setahu dia adik ipar saya itu Cina. Waktu itu dia bertemu suami dan tahu kalau suami saya kakaknya teman dia, Hapsoro namanya. Dia heran,

“Hapsoro bukannya Cina ya?”

“Bukan,” kata saya tertawa.

Saya tahu maksud dia adalah klarifikasi apakah saya menikah dengan orang Cina.

“Oalah. Tahu saya dia itu Cina, lha namanya kaya Cina gitu.”

Adik ipar saya namanya Hapsoro dan membawa nama ayahnya, Hadinoto. Menurut teman saya, nama Hapsoro Hadinoto itu ke-Cina-Cina-an. Gantian saya yang heran mendengar analisa dia. Kok saya tidak pernah terpikir sampai ke situ?

“Udah gitu dia maunya berteman cuma sama yang itu-itu aja. Agak sombong gitu.”

Wah, ternyata ada indikasi lainnya. Jadi menurut pendapat umum, Cina itu biasanya sombong. Walah. Iya kalo mereka ini benar-benar sombong. Setahu saya, orang tidak mau bergaul dengan yang lain karena banyak alasan. Bisa saja justru karena ada beban batin yang dia tanggung. Jangan-jangan mereka yang Cina bukan sombong dan tidak mau kenal dengan banyak orang tapi karena minder suka diejekin oleh orang Jawa sejak kecil.

Saya lihat sendiri bagaimana teman-teman SMA saya mengejek pacar saya yang Cina waktu itu. Saya sedih melihat dia diejek karena keCina-annya. Apa salah dia?

Melihat saya prihatin, dia berkata, “Nggak papa, sudah biasa kok.”

Hati saya seperti ditusuk sembilu. Saya tidak pernah paham kenapa orang mengejek orang Cina. Saya tidak paham kenapa ibu saya melarang saya pacaran dengan Cina. Dan saya tetap tidak paham kenapa teman saya yang S2 bercanda tentang anak tetangganya,

“Kasian, kecil-kecil sudah Cina.”

***

Tuhan menciptakan manusia-manusia di bumi ini pasti karena satu alasan. Kalau Tuhan maunya dunia ini diisi oleh satu jenis tertentu saja, pasti dunia ini cuma diisi ras itu saja. Sekarang di dunia, kita yang diharapkan untuk saling mengenal dari perbedaan-perbedaan kita, malah saling menghina berdasarkan perbedaan itu.

Dan pasti Tuhan menciptakan semua manusia itu sama derajatnya. Tidak ada bangsa unggulan. Kalau memang orang Arab itu bangsa unggulan, mungkin itu bisa dipahami orang-orang yang percaya pada Nabi Muhammad. Kalau yang tidak?

Orang Jawa bisa saja menghina orang Cina, tapi apa salahnya terlahir jadi Cina? Siapa sih yang bisa minta jadi apa saat terlahir ke dunia?

Ingin rasanya menyadarkan semua orang bahwa kita itu semua sama. Tak perlu merasa lebih dari yang lain. Saya mendapat banyak manfaat karena bergaul dengan siapa saja. Kebahagiaan hidup itu justru didapat dari penerimaan terhadap semua jenis manusia, bukan dengan merendahkan.