Catatan kali ini bermula dari status seorang teman dengan profesi sebagai guru, yang ditanyai oleh muridnya tentang bisa tidaknya seseorang muslim mendoakan teman non-muslim yang baru saja meninggal. Kemudian saya beri saran jawaban, dan dibagian selanjutnya saya jelaskan lebih rinci.

 

 

Angel Ironheart: 

murid saya (anak SMA) bingung, temannya (beda agama) ada yang meninggal, dia mau doain temannya, katanya dia dengar kalo beda agama, doanya enggak diterima… saya bilang, tau darimana? wong yang bilang sama dia juga belum pernah bertemu Tuhan sendiri kok…. 😀

 

 

Aa Jin :

Kalau ibu mau pertimbangkan saran jawaban dari saya: 

1. Tuhan itu tidak beragama, dan bukan suatu sosok pem-back up agama manapun, jadi setiap doa, yang adalah emanasi dari pikiran dan energi, akan berjalan menemukan caranya dalam sistematika alam. 

2. Doa itu lebih memberi efek kepada si pendoanya sendiri, ketimbang yang didoakan. Jika kita berdoa kepada yang telah meninggal, berarti kita menabur benih-benih empati kepada diri kita sendiri. 

3. Doa, yang sebenarnya pikiran yang dipancarkan, akan kembali pada realitas dunia ini lagi.

Apakah doa kita benar-benar berpengaruh pada orang yang telah meninggal ? Saya tidak tahu, sebab kalau seseorang bisa dengan yakin menjawab 'Ya' , ia juga harus bisa memberikan bukti yang bisa diakses oleh banyak pihak secara konsisten. Dan keyakinan seperti ini sukar diverifikasi. Tapi yang jelas, dan bisa dibuktikan, doa itu berpengaruh pada orang yang masih hidup. Dengan mendoakan orang yang mati, kita diingatkan bahwa kita suatu saat akan mati juga, sehingga kita hidup lebih eling dan waspada. 

 

Dengan mengadakan doa bersama di keluarga yang ditinggalkan, akan memberi dampak psikologis bagi keluarga yang ditinggalkan berupa penghiburan dan perhatian dari tetangga.

 

 *********

 

 

Semesta dimana kita hidup adalah entitas kesadaran dengan berbagai hukum yang melekat padanya.  Hukum-hukum inilah yang mensistematikakan segalanya lewat kausalitas dan probabilitas. Doa seharusnya tidak dipahami sebagai suatu komunikasi antara seseorang dengan tuhannya, antara ciptaan dan sang pencipta, melainkan suatu momen dimana sang fragmen mengenang keutuhannya dan keterpaduannya dengan segala yang ada, yang mewujud dalam alam semesta dengan segala hukum-hukum yang ada padanya. Dan sejak jaman dahulu Alam semesta dan segala hukumnya itu dipahami dan diwakili dalam idea sederhana yaitu tuhan/ dewa / allah, yang seringkali dimetaforakan dalam panteon dewa-dewi atau sidang ilahi / council of godship. Semua itu adalah upaya manusia belaka dalam menyibak kehidupan lewat bahasa dan sastra, juga penghadiran simbol-simbol dan arketipe. 

 

Tuhan itu bukanlah seseorang yang tinggi besar bertahta di surga sono dan menengok ke bumi mendengarkan doa-doa dari manusia yang beragama tertentu. Itu konsep tuhan agama, suatu konsep yang hanya cocok dalam pemikiran manusia ribuan tahun lalu.

 

Tuhan adalah kata benda abstrak yang digunakan secara umum dan sederhana untuk mewadahi pikiran-pikiran yang dipercaya sebagai agung, mulia dan bermakna. Karena dia adalah kata benda abstrak dan konsep yang ditemukan manusia, maka tidak mungkin ia berfirman atau lebih suka mendengar doa orang-orang tertentu saja. Ketika para nabi berkata : “demikianlah firman tuhan….” , sebenarnya tuhan tidak berbicara apa-apa, karena tuhan bukan mahluk. Semua yang disebut firman  itu adalah buah perenungan. Dan buah perenungan itu bisa cerdas, benar, sesuai fakta, agung, atau bisa juga konyol, bodoh dan kekanak-kanakan, tergantung dari tingkat kesadaran si orang tersebut.  

 

Membayangkan atau bahkan mengimani adanya suatu tuhan yang sewenang-wenang dalam memberi ayat-ayat kitab suci (bunuh kafir dsb), gegabah dalam bertindak (membelah bulan atas doa Muhammad, membelah laut atas permohonan Musa dll) , dan sembrono dalam bersumpah demi ini dan itu (demi bulan, demi gunung dll) , sama sekali bukan gambaran yang cocok lagi bagi manusia yang berpikir cerdas. Kita melihat semua itu bukan sebagai fakta sejarah, namun merupakan kisah yang dikarang oleh orang-orang tertentu, di jaman-jaman tertentu, untuk mewujudkan suatu motif dan kepentingan tertentu (atau disebut historicizing literature).

 

Dengan ini saya telah menjelaskan kembali artikel saya sebelumnya bahwa agama , atau iman, atau spiritual, atau belief system (apapun istilah yang anda rasa cocok) itu tidak perlu dianggap sebagai intervensi dari suatu agen ilahi yang beritikad baik atas manusia, tapi harus dilacak dari kebutuhan psikologis dari natur manusia itu sendiri.  Dari kebutuhan untuk mencari jawaban akan makna keberadaan dirinyalah maka konsep-konsep dibuat, dijalin, dan dipercayai. Itulah fenomenologi kemunculan agama. 

 

Dengan memahami tuhan sebagaimana yang saya tulis di atas, maka sebenarnya kita sudah dengan mudah mengatasi masalah theis vs atheis, bahkan melampaui kedua-duannya.Tesis kaum theis yang percaya akan adanya satu pribadi tuhan yang berkehendak menata dunia dan menggelar rencana ilahinya di panggung dunia ini lewat kemunculan nabi-nabi yang dipilihnya dengan jalan memberi kitab-kitab tertentu telah kalah oleh kritik kaum atheis. Bahkan kekalahan agama-agama bukan hanya datang dari kritik ateis yang bersifat saintifik analitis, tetapi juga datang dari penelaah kritik historis, kritik sumber, kritik bentuk  dalam diri agama itu sendiri (jika memang mau diaplikasikan secara tegas).

 

Namun ateis tidak menang telak, sebab segera setelah tuhan-tuhan pribadi ala agama monoteis dan politeis  itu dibuang, maka manusia secara psikologis dan alami membangkitkan kembali tuhan-tuhan baru, tuhan yang lebih manusiawi, tuhan yang lebih sadar akan keterbatasannya, tuhan-tuhan yang lebih teralami oleh setiap orang, sebab  seperti yang saya tulis di atas, tuhan itu pada dasarnya adalah kata benda abstrak yang sederhana dan umum, yang berguna untuk mewakili idea-idea besar yang dianggap agung, mulia dan bermakna. Itulah kenapa di artikel beberapa bulan lalu pernah saya tuliskan :  Tuhan itu sama fungsinya dengan kata “smurf’ atau “semelekete”.