Suatu hari saya melintas di depan sebuah rumah mewah.

“Wah, aku ingin sekali punya rumah seperti itu,” kata saya spontan.

“Besok kalau aku kuaya ruaya, aku beliin!” jawab Puji, teman saya dari  boncengan sepeda motor.

Saya sendiri pernah menjanjikan Puji helikopter jika saya yang jadi kaya raya. Lain dengan Nugie, ia janji membuatkan patung raksasa kami jika punya harta tak terhingga.

Begitulah kami, anak SMA dari keluarga kelas menengah yang berharap punya sepeda motor baru saja susah. Apalagi punya mobil mewah dan pamer kekayaan seperti di sinetron. Cuma mimpi yang kami bisa. Hiburan murah meriah. Mirip-miriplah dengan onani. Tak apa. Teman kami Aji malah menulis kata “masturbatorium” di pintu kamar kosnya.

Siapa yang tak ingin kaya. Sedari kecil kita diajar tentang konsep harta benda. Ada yang diajar harta adalah segalanya, ada yang diajar harta bukanlah segalanya. Tapi semuanya sama, harta jadi pusat tata surya kita. Ada di tengah. Seperti nama saya, Kurnia Harta Winata. Harta di tengah.

Kalau Anda membaca blog saya ini, berarti Anda tidak tinggal terus menerus di hutan. Berarti Anda juga tidak bisa hidup wajar tanpa uang. Bersinggungan dengan peradaban berarti bersinggungan dengan uang. Bersinggungan dengan uang berarti bersinggungan dengan iklan. Iklan aneka media. Koran, TV, majalah, poster, bujuk rayu mulut, termasuk pameran perhiasan tetangga. Kita ingin ini, ingin itu. Dari yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan. Ingin jalan-jalan keluar negeri. Ingin spa. Ingin dipijat. Ingin pamer saja. Dan jika kita sudah bingung akan apalagi yang bisa kita nikmati, iklan menawarkan cara membuang uang untuk sesuatu yang tidak bisa kita nikmati. Lagu yang didengar orang yang menelpon kita (lagunya pilihan kita, entah yang mendengar suka atau tidak). Salon untuk binatang peliharan, lengkap dengan pijat dari kepala sampai pantat. Spa untuk bayi. Oh, senangnya melihat bayi kita tertawa (dan keponakan saya sudah tertawa saat ada karet gelang digoyang-goyang dihadapannya).

Kita ingin kaya. Kaya. Kuaaayyaaaaa!

Dan lingkungan sekitar membuat kita semakin ingin kaya. Kaya. Kuaaaaayyaaaa!

Apa sih yang tidak bisa didapat jika kita kaya. Barang barang keren. Rumah. Sawah ladang hutan. Pulau pribadi. Istri cantik. Suami ganteng. Wajah keren asli made in salon. Tubuh singset hasil penyedot lemak. Hidung mancung dari plastik. Payudara ranum penuh silikon. Kebahagiaan? Kebahagiaan tak bisa dibeli dengan uang? Tentu saja. Tapi segala fasilitas penyedia kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Kalau tidak, ya itu bodohnya yang punya uang.

Yang jadi pertanyaan sederhananya adalah, apa sih kaya itu?

Punya uang banyak!!! Seberapa banyak? Tak terhingga!! Buat apa punya uang tak terhingga tapi kena perang, inflasi, nggak punya rumah, nggak punya kendaraan, mau makan susah, dan seterusnya dan sebagainya.

Oke, kita coret “punya uang banyak” dari daftar definisi kaya.

Robert Kiyosaki merumuskan kaya dengan pengertian yang lebih beradab. Kaya adalah seberapa lama kita bisa bertahan hidup tanpa mengubah gaya hidup, jika kita berhenti bekerja. Jadi hitungan kaya itu satu tahun, dua tahun, seumur hidup, atau tujuh turunan. Menyenangkan. Saya suka definisi ini. Sayangnya dalam kehidupan nyata gaya hidup kita berganti-ganti. Bolehlah dari lahir sampai mati cuma makan juwawut dan minum air tajin. Tapi kita terus menambah jumlah tanggungan. Satu istri. Tambah anak. Beberapa anak. Lalu beristri lagi. Dan seterusnya.

Kita beralih saja ke definisi kaya menurut saya sendiri. Kaya adalah mampu memiliki semua yang kita inginkan!

Yeaaah! Ingin jalan-jalan ke Timbuktu tinggal carter pesawat. Ingin makan salju Himalaya tinggal pesan lewat yellow page. Semua yang kita inginkan, semua yang dapat dibeli, semua yang dapat dibarterkan, semua dapat kita miliki. Ini baru namanya kayaaa! Saya bisa punya rumah mewah. Saya bisa memberi helikopter pada Puji. Saya bisa membuat patung raksasa untuk Nugie. Saya bisa menyewakan 72 pelacur untuk Aji.

Lebih dari satu tahun yang lalu saat masih bekerja di Jakarta, saya merenung sendirian. Di atas kasur dalam kamar kos tujuh meter persegi tanpa AC dan kamar mandi di luar. Di rak samping ada tumpukan buku bacaan. Di lemari ada dua celana panjang dan beberapa kaos gratisan. Di depan pintu ada sandal jepit swallow untuk kemana saja. Di atas meja ada perangkat gambar dan sebuah notebook. Di kolong ranjang ada sebuah scanner. Di tas ada kamera saku digital. Di sebelah bantal ada handphone bekas pemberian kakak. Itu daftar harta benda saya. Saya sendiri habis makan dari warung nasi goreng samping kos. Dan saya berandai-andai apa yang saya lakukan jika punya pendapatan sepuluh kali lipat dari saat itu.

Mungkin saya ingin memperbaharui notebook saya. Tapi entah, notebook saya masih bagus dan saya suka. Saya ingin kamera DSLR, tapi saya akan malas membawa-bawanya. Saya lebih suka kamera saku saya.

Saya akan tetap tinggal di kos saya itu. Saya tak suka AC. Saya juga tak suka kamar mandi dalam. Repot, kalau ada apa-apa harus bersih-bersih sendiri. Saya tak akan beli kendaraan, repot memeliharanya. Dan saya suka berjalan. Laju pembelian buku saya juga akan tetap, menyesuaikan dengan kecepatan baca saya. Saya nyaman dengan sandal jepit dan baju-baju saya. Saya malas ganti handphone, saya tak suka gadget baru, susah mempelajarinya.

Mungkin saya hanya akan lebih banyak mencoba makanan aneh-aneh di mall. Tapi tunggu, sebenarnya kalau hanya untuk itu pendapatan saya cukup. Saya bahkan menabung lebih banyak daripada pengeluaran.

Saat itulah, bukannya berpikir bagaimana mencari kerja dengan pendapatan yang lebih tinggi, saya berpikir untuk berhenti bekerja dan mencoba hidup seperti yang saya suka.

Di sinilah saya, di Yogyakarta dengan status pekerja serabutan. Freelance kerennya. Kembali berandai-andai, apa sih yang sebenarnya saya inginkan.

Dua dari tiga impian besar sedari masih di Jakarta telah tercapai. Mendaki gunung! Saya taklukan Sindoro dengan bantuan teman dan dengkul yang bergetar. Menerbitkan komik! Sudah dua! Walau belum kunjung cetak ulang, seorang pembaca bercerita komik saya masuk rak best seller di salah satu toko buku. Memiliki rumah sendiri! Setelah lelah mencari saya temukan saya masih ingin sekamar dengan anjing saya. Ia tentu akan mati stress jika harus pindah tempat tinggal. Dan tinggal bersama orang tua itu menyenangkan juga, tidak perlu bingung makan dan mencuci.

Mungkin menikah, berkeluarga, dan punya anak. Tapi saya masih belum menemukan orang yang saya cintai, sedang saya malas mencari.

Apa? Apa yang benar-benar saya inginkan tapi belum saya dapatkan? Saat ini dan di sini?

Saya sadar saya masih labil. Kadang saya ingin menyerah dan kembali memburuh. Tinggal terima perintah dan rekening menggembung. Dan dari tiap pikiran itu saya teringat renungan kamar kos saya. Apa? Apa yang saya inginkan dari rekening saya  yang menggembung? Saat ini dan di sini?

Kalau kaya memang didefinisikan dari kemampuan untuk mendapatkan semua hal yang kita inginkan, maka saya memperkenalkan dua cara menjadi orang kaya sejati.

Yang pertama carilah harta benda sebanyak-banyaknya. Sampai-sampai kau mampu membeli segalanya.

Yang kedua syukuri semua yang ada. Sampai-sampai kau tak menginginkan segalanya.

Hmmm…sepertinya sulit buat wanita suka pada pria seperti saya. Tak apa.

 Yogyakarta, 8 Agustus 2011. Di kamar. Seharusnya bekerja, tapi susah konsentrasi sebab demam. Ah, aku tahu apa yang kuinginkan. Ingin sembuh dari demam >_<!

*gambar dapat dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150402243340558&set=a.10150402243320558.446110.526675557&type=1&ref=nf