Salah satu perusahaan di mana saya pernah bekerja memiliki lingkungan sangat religius. Tiap hari jumat saat istirahat siang yang panjang untuk memberi kesempatan jumatan bagi yang muslim, diadakan juga persekutuan doa bagi yang kristiani. Perusahaan sampai memanggil pendeta.. Konon yang membayar pendeta itu adalah perusahaan, padahal perusahaan terkenal pelit melilit terhadap karyawannya. Minta isi pensil buat kerja saja kadang bisa susah bukan main.

Tentu saja saya malas mengikuti kegiatan seperti itu. Saya lebih suka beristirahat sambil ngobrol dengan teman-teman. Tapi apa daya, saya ini junior yang kikuk saat dibujuk-bujuk senior. Termasuk bos. Demi menjaga perasaan mereka dan kemalasan saya, saya memakai sistem buka tutup. Sekali datang, sekali tidak. Sekali datang, dua kali tidak.

Pada suatu Jumat, seperti biasa saya datang sengaja terlambat. Acara sudah dimulai. Saya santai saja duduk. Yang tidak biasa waktu itu adalah adanya beberapa leaflet di meja. Saya buka-buka leaflet itu sebagai pengisi waktu. Terkejut saya. Isinya adalah ajakan untuk memerangi perkembangan Islam dengan melakukan kristenisasi. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa ada di sini? Bagaimana jika teman-teman muslim melihatnya? Bukankah ruangan ini sering digunakan tidur oleh mereka?

Bagaimana leaflet itu ada di sana terjawab beberapa saat kemudian. Saat pendeta berdasi itu memulai khotbah.

Isi khotbahnya setali tiga uang dengan isi leaflet. Plus hitung-hitungan matematika ala multi level marketing. Kalau satu orang kristiani mampu mengkristenkan sekian warga negara Indonesia lain, maka dalam beberapa tahun mendatang negara Republik Indonesia mampu menjadi negara dengan nafas kristiani. Bah!

Bah! Bah!

Saya sedih. Muak. Marah. Jijik. Semua campur aduk jadi satu. Saya lihat teman-teman saya. Mereka mendengarkan seolah itu biasa saja. Saya gelisah. Rasanya tidak sudi mendengar lebih jauh.

Jadi saya angkat kaki saya. Keluar dari ruangan itu. Sehabis selesai, ada seorang kawan yang bertanya,

“Tadi kenapa keluar?”

“Makan. Nggak kuat nahan lapar,” tentu saja saya bohong. Saya pilih tidak ingin ribut. Saya ingin hubungan saya dengan teman-teman tetap biasa saja. Sebuah pilihan yang saya sesali kemudian.

***

Sebelum wafat Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi pesan kepada penerusnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pesan itu menyatakan agar harus lebih berani mengatakan apa yang benar sebagai benar, dan apa yang salah sebagai salah.

Sri Sultan menjelaskan bahwa selama ia melalui dua presiden, Soekarno dan Soeharto, ia memilih diam. Karena selama itu ia meyakini bahwa diam adalah tindakan yang benar. Jadi saat banyak hal yang berbeda soal kebenaran terhadap dua presiden itu, beliau memilih diam. Dan akibatnya hingga saat ini rakyat Indonesia masih miskin dan bodoh.

Beliau menyesali sikap diamnya itu.

***

Semakin lama saya merasa kebutuhan saya untuk mengunggah komik Koel semakin besar. Bukan cuma karena apresiasi pembaca yang membuat semangat saya tetap terjaga, namun juga kontrol yang mereka berikan.

Saya menghargai pembaca yang menyatakan suka. Dari situ saya tahu saya berhasil membuat karya yang menarik. Saya juga menghargai pembaca yang menyatakan tidak suka. Dari situ saya tahu saya gagal membuat karya yang menarik.

Saya sangat menghargai pembaca yang mau menegur saya jika saya melewati batas. Baik itu batasan “canggih”nya lelucon antara bisa dimengerti dan tidak bisa dimengerti, juga batasan moral dan etika yang saya lakukan pada karya saya. Batas-batas yang bagi saya sangat absurd itu diperjelas oleh masukan pembaca.

Bahkan beberapa hari lalu, seorang kawan yang lulus dengan predikat cumlaude dari kuliah psikologi mengangkat obrolan mengenai efek Koel bagi anak-anak. Setuju tidak setuju, menurut tidak menurut, saya dipaksa merenungkan lebih dalam. Dan merenung selalu memperkaya hati perenungnya.

Saya sangat berterima kasih pada mereka yang menyuarakan pendapatnya. Yang tidak diam.

***

Seharusnya saya tidak cuma bersikap diam. Atau berbohong. Seharusnya saya nyatakan pada pendeta itu kalau yang ia khotbahkan ngawur. Memalukan. Menodai semangat cinta kasih Yesus. Tokoh yang ia usung untuk cari nafkah dan menyebarkan pemikiran.

Paling tidak saya katakan dengan jujur pada teman saya. Saya keluar karena tidak tahan dengan pikiran gila pendeta berdasi. Saya menolak ajakan kristenisasi.

Masalah nanti pertemanan saya kacau itu soal lain. Resiko memang harus dihadapi atas nama tanggung jawab kemanusiaan. Dibenci, dikucilkan, atau malah dipecat bukan sesuatu yang harus ditakuti. Bukankah jelas-jelas saya juga punya teman yang tidak suka persekutuan doa itu.

Pun Nabi Muhammad dilempari batu. Gandhi dipenjara. Sidharta diusir. Yesus disalib. Ketakutan saya untuk menyatakan sikap jelas-jelas bentuk dari kekerdilan jiwa saya.

Toh menyatakan sikap itu bukan berarti lantang nantang mengajak duel. Bawa pentungan pukul sana-sini. Nyolot adu otot asal mbacot. Melempar sumpah serapah plus doa penuh harap agar yang buruk-buruk menimpa.

Menyatakan pendapat itu sesederhana berkata,

“Ya, saya sependapat.”

“Tidak, saya tidak setuju.”

Atau cuma, “Masa sih?”

Menyatakan pendapat itu sesederhana meneruskan berita tentang hal yang baik dan tidak baik. Memberi jempol ke atas atau jempol ke bawah pada sebuah artikel dan atau komentar di internet. Atau malah sekadar pesan pribadi berisi dukungan.

Tidak perlu debat. Terlibat adu argumen. Silat lidah apalagi baku hantam.

Saya juga menyesali ketakutan saya waktu itu. Kenapa saya tidak berpikir bahwa mungkin saja teman saya sependapat dengan saya. Tidak suka dengan si pendeta. Cuma lebih kuat sehingga mampu bertahan mendengar. Tapi sama takutnya dengan saya hingga memilih diam.

Bukankah begitu kebanyakan dari kita? Berani menyatakan pendapat baru setelah mengetahui ada orang lain yang sependapat dengan kita?

Maka marilah kita berani menyatakan pendapat. Menyatakan dukungan pada yang kita anggap benar, dan menyatakan ketidaksetujuan pada yang kita anggap salah.

Jangan biarkan kehidupan bermasyarakat kita dirusak segelintir orang picik ngawur yang modal ngotot. Teriak-teriak sok adu argumen tanpa logika. Bergaya ilmiah tapi menutup mata pada kenyataan. Pentung sana-sini tak peduli hukum bersama.

Tolak segala upaya penebaran kebencian. Tanpa membalas benci apalagi turut melakukan kekerasan. Cukup dengan pernyataan tidak mau turut membenci.

Tidak perlu takut dikafir-kafirkan. Tidak perlu takut dimurtad-murtadkan. Tidak perlu takut dibejat-bejatkan. Tidak perlu takut digoblok-goblokan. Karena ketakutan itu dimulai gara-gara kita semua diam. Diam dan merasa sendirian.

Tapi tenang kawan, kamu tidak sendiri.

The world is a dangerous place to live; not because of the people who are evil, but because of the people who don’t do anything about it. (Albert Einstein)

Yogyakarta, 25-26 Agustus 2011. Di kamar, sambil makan timun, jeruk, dan mangga. Lalu tiba-tiba pilek