Teman saya , Wawan Setiawan, paling sebel sama semua celoteh para spiritualis mistik tahayulis sipilis dan para pemikir idealis yang mengagung-agungkan pipistemologi. Tapi ironisnya Wawan pernah menuliskan kata-kata luar biasa: "Puncak spiritual menurut saya adalah menjadi orsinil ".

 

Nah itulah kata-kata seorang Tan Malaka Indonesia moderen. Dan saya setuju dengan kalimat kamerad kita yang satu ini.

 

Memang masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang masih dalam fase “antara”, fase setengah jadi. Masyarakat kita terjepit antara dunia nyata yang mengharuskan kita berpikir runut, grounded, empiris dan dialektis dengan lekatan-lekatan budaya, dogma agama dan tradisi spiritual yang masih terjerambab di Welstanchauung / worldview masyarakat tribal ribuan tahun yang sempit. Maka dari itu tidak aneh apabila di tangan kita ada gadget luar biasa canggih, tapi di otak kita masih terpatri bahwa ada suatu kitab yang terakhir sempurna yang dikirimkan oleh ilah tertentu yang mutlak benar, yang juga mengirimkan nabi-nabi tertentu dalam budaya dan jaman yang jauh dari realitas keseharian kita, dan rantaian kenabian itu berakhir pada figur tertentu yang kesejarahannya belum tentu benar-benar bisa diverifikasi.

 

Tidak aneh apabila di dunia cyber kita temui orang-orang yang merasa dirinya spiritual tapi cara berpikir dan melankoli hatinya masih tertambat, terfokus pada romantisme psikologis keagamaan tentang jaman emas di belahan dunia sana ribuan tahun lalu. Ketika dogma, dan keyakinannnya diusik dengan metoda berfikir logis maka mereka marah-marah dan kembali ke zona aman mereka yakni : iman.

 

Seperti yang pernah saya tuliskan beberapa bulan yang lalu : “Rintangan yang paling sukar dilalui bagi mereka yang ingin memeniti jalan spiritual adalah kemelekatan pada kitab, dogma dan figur-figur tertentu sebagai kebenaran yang ajek, mutlak benar, final dan mengikat, aplikatif bagi segala manusia di segala tempat dan di segala jaman.”  

 

Seseorang tidak akan bisa menjadi orsinil apabila masih menggenggam sejumput keyakinan bahwa ada kitab tertentu yang tak mungkin salah, pasti benar dsb, ada sosok tertentu yang sempurna yang menjadi acuan teladan manusia sepanjang masa, padahal banyak cerita miring tentang moralitasnya yang kedodoran dan kurang-mampunya ia mengekang nafsu jelas-jelas bertaburan disana-sini, bahkan dalam kitab (yang katanya) sucinya sendiri. Apalagi masih percaya pada suatu sosok penyelenggara ilahi yang duduk di surga, ongkang-ongkang kaki, menerima pujian dari manusia dan mengawasi ke bawah, ke dunia, sambil sesekali melirik pada malaikat-malaikatnya untuk memperingatkan agar mereka tidak lalai mencatat semua amalan dan dosa manusia, sementara permasalahan dunia semakin kompleks dan populasi dunia semakin besar, sang ilah itu tetap diam membisu, hanya mengandalkan manusia untuk melihat kebelakang, pada suatu agama, kitab, dan tokoh yang ia berikan dengan stempel surgawinya sebagai yang terakhir dan sempurna. 

 

Menjadi spiritual, jika kata ini memang bermakna buat anda, adalah melihat kehidupan ini lirih, sebagai proses itu sendiri, tanpa perlu terus menerus terobsesi mencari suatu konsep ketuhanan, konsep kedirian, konsep kesemestaan yang final dan mutlak benar. Kita merasa at peace dan integrated dalam meniti hidup yang memang sering tidak menawarkan kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian; suatu hal yang para agamawan begitu sontak dan royal tawarkan dari ayat-ayat dalam jubah religi mereka.  

 

Sekali anda bisa  menembusinya, anda akan menyadari bahwa spiritual hanyalah sebuah kata. Semua berasal dari kategori dalam pemikiran dan perasaan kita.