Suara langkah-langkah kaki membangunkanku dari tidur. Padahal baru saja aku mencoba rebahan di bawah pohon yang rindang. Telah berhari-hari aku berjalan di negeri asing yang panas dan kering ini. Dengan enggan aku bangun dan memperhatikan apa gerangan yang terjadi.

 

“Dia telah datang. Dia telah datang. Mari saudara-sudara yang baik kita pastikan  teman-teman yang lain juga mengetahuinya,” kata seorang laki-laki.

“Ya, ini kesempatan yang jarang terjadi, kawan. Dan jangan lupa kita kumpulkan semua pertanyaan yang menggelayuti pikiran kita untuk ditanyakan pada Sang Baghawan,” timpal yang lainnya.

Aku jadi tertarik untuk mengetahui apa yang mereka sedang bicarakan. Perlahan aku ikuti rombongan itu. Tak berapa lama aku lihat ternyata telah banyak orang berkumpul di satu lapang di depan sebuah bangunan aula desa. Dari berbagai penjuru desa mereka berkumpul. Apa yang orang-orang ini akan lihat dan dengar?

 Tak lama kemudian tampillah beberapa laki-laki berkepala plontos dan berjubah warna kuning padi siap tuai. Mereka dikepalai oleh seorang lelaki berumur sekitar 40an tahun. Ia tampak anggun, berwibawa, tenang dan teduh bagaikan seorang raja diraja. Ia dipersilahkan duduk terlebih dahulu, baru para muridnya dan semua penduduk desa melakukan hal yang sama. Lelaki muda kepala para petapa itu adalah Petapa Gautama, seorang mantan pangeran yang memutuskan untuk membaktikan dirinya mencapai pencerahan sempurna. Dan para rombongan pemuda yang tadi aku ikuti ini adalah pemuda dari suku-suku Kalama.

 

Dalam pengembaraan jiwaku ini, aku memutuskan untuk mengarungi lautan, melintasi waktu, menuju India, tanah dimana spiritualitas disemai. Sekalipun secara genetika, nenek moyang umat manusia berasal dari Afrika Timur, namun tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa India-lah yang menjadi rahim manusia2 yang berkesadaran tinggi. India adalah ibu yang melahirkan banyak man of spirit, para mistik. India adalah dapur raksasa dimana para koki meracik masakan dan menyajikan hidangan dengan ‘rasa’ super. Rasa Dharma. Dhammasuka.

 

Ada kesalahan umum dalam benak kita bahwa hindu adalah sebuah agama orang India. Ini  tidak benar. Yang benar adalah hindu bukan agama. Hindu adalah budaya, falsafah dan spiritualitas hidup bangsa India. Hinduisme adalah isme-nya, atau falsafahnya, orang india. Dalam falsafah hidup, budaya dan spiritualitas ini  berkembanglah dharma, yaitu ajaran2 dan metoda2 pencapaian spiritual yang beragam. Dalam hinduisme ada banyak dharma, diantaranya Shiva Dharma, Vhaisnavaya Dharma, Sanatahana Dharma, Brahmana Dharma, Buddha Darma, Sikh Darma, Jain Darma, Hare Krishna Dharma, Tantra Dharma dan banyak lagi lainnya.

 

Selama 3 ribuan tahun dharma2 ini hidup berdampingan dengan harmonis. Tentu saja ada berbagai perbedaan dogma di antara dharma-dharma tersebut. Namun secara budaya dan kebathinan manusia-manusia India diikat erat oleh kesadaran akan ahimsa (non-kekerasan), non-ego dan harmoni. Dalam peradaban manusia, peperangan antar kerajaan nampaknya menjadi suatu yang nisbi. Namun selama ribuan tahun tidak pernah satu kalipun ada peperangan yang dipicu oleh perbedaan dharma / agama. Karena inti dari agama-agama India adalah olah bathin, olah rasa.

 

India telah menjadi miniatur kesadaran manusia sejagat dimana penganut animisme, dinamisme, politheisme, monotheisme, dan pantheisme, panentheisme atheisme hidup berdampingan tanpa harus saling membinasakan.

 

Dalam keragaman budaya, ketimpangan sosial, kemiskinan yang telanjang, mereka masih bisa mengedapankan prinsip2 hidup berdampingan atas nama Dharma…… sampai para penyerbu dari Turki, mongol dan Turki-Mongol yang merangsek tanah ibu India dan menancapkan kekerasan dan memaksakan agama yang hanya menekankan dogma dan syariat yang sama sekali asing di mata mereka dan memandang rendah agama lain yang tidak sepaham dengannya. Tak terhitung vihara, pura dan cand-candi yang indah dihancurkan karena dianggap pemujaan berhala. Perpustakaan2 di bakar. dan pembantaian berdarah-darah terjadi. Sejak saat itulah tanah India terpisah menjadi kerajaan-kerajaan berdasarkan agama, dengan garis marka yang jelas, penuh kecurigaan dan dendam.

 

 === == +++++ ====

 

Setelah perkenalan dari pihak para tetua adat suku Kalama dan pihak Petapa Gautama, maka sesi tanya jawabpun dimulailah.

 

“Petapa Gautama, telah banyak para petapa dan brahmana terpandang datang ke desa kami. Masing-masing dari mereka mengaku bahwa mereka memiliki dharma yang paling benar dan unggul. Dan sambil mengajar mereka juga saling mencela dan memandang rendah petapa-petapa lainnya. Hanya metoda ini yang benar sedang yang lain salah. Hanya ajaran inilah yang sempurna sedang yang lain cacat dan sesat. Dan sekarang engkau dan murid-muridmu datang ke desa kami, tentu saja engkau akan mengajarkan dharma juga. Kami jadi ragu dan bingung menilai mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimanakah menurut pendapatmu, Petapa Gautama?

 

Dan demikianlah jawaban Petapa Gautama:

 

“Oh para tetua dan pemuda Kalama. Adalah tepat bagimu untuk meragukan apa yang layak untuk diragukan. Adalah tindakan yang benar untuk menilai dan mempertimbangkan sesuatu sebelum kamu mempercayainya. 

 

Inilah prinsip yang kalian harus pegang:

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar karena hal itu didesas-desuskan oleh banyak orang.

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar karena hal itu diturunkan oleh tradisi.

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar karena hal itu tertulis dalam kitab-kitab suci.

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar karena berdasarkan logika dan kesimpulan belaka.

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar karena hal itu berdasarkan perenungan orang lain.

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar karena hal itu dirasa cocok dengan pandanganmu.

– Jangan percaya bahwa sesuatu itu benar hanya untuk menyenangkan gurumu atau tokoh yang kau hormati

 

Tetapi renungkanlah hal itu dengan seksama dengan akal budi dan hati yang jernih.

* Apakah hal demikian membawa kebaikan untuk sesama dan dirimu?

* Apakah hal demikian berguna bagi sesama dan dirimu?

* Apakah hal demkian membawa cela bagi sesama dan dirimu?

* Apakah hal demikian membawa kerugian dan penderitaan bagi sesama dan dirimu?

* Apakah hal demikian dibenarkan oleh para suciwan dan bijaksana?

 

Jika semua faktor itu kalian telah pertimbangkan, dengan hati dan pikiran yang terarah kepada sikap mulia, maka peganglah kebenaran itu erat-erat.

 

Apakah, oh Suku Kalama, tanda-tanda dari hati dan pikiran yang terarah pada sikap mulia itu?

– Jika pada dirinya tidak didapati keserakahan.

– Jika pada dirinya tidak didapati kebencian

– Jika pada dirinya tidak didapati kebodohan batin

 

Dalam orang yang pikiran dan hatinya dipenuhi 3 sikap mulia itu, maka semua pertimbangan yang aku sebutkan tadi akan mampu menilai mana ajaran yang benar dan mulia, dan mana yang tidak.

 

Seandainya, oh Suku Kalama, memang benar ada alam-alam kehidupan setelah kematian, maka mereka yang telah terbebaskan dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin akan menikmati kelahiran2 di alam-alam yang baik.

 

Seandainya pun, oh Suku Kalama, tidak benar ada alam-alam kehidupan setelah kematian, maka mereka yang telah terbebaskan dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, di dunia ini pun mereka telah terbebas dari perasaan bermusuhan.

 

Mereka yang telah bebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, oh Suku Kalama, akankah mereka hidup dalam kejahatan? Tentu tidak bukan? Dengan demikian mereka telah membebaskan diri dari kemungkinan bencana yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan jahat.

 

Karena tidak adanya kemungkinan bencana yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan jahat, oh Suku Kalama, maka mereka yang telah bebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin akan hidup dalam sukacita, kebahagian dan tanpa ketakutan dalam kehidupan ini.

 

Demikianlah ada empat keuntungan yang dapat kalian tuai dalam kelahiran ini dan kelahiran yang akan datang bagi mereka yang berusaha membebaskan diri dari kebencian, keserakahan dan kebodohan batin.

 

          = = =  =

 

Aku terhenyak. Begitu terkejutnya diriku mendengar wejangan petapa muda ini. Sungguh luar biasa petapa ini. Ia bukan seperti yang aku bayangkan, yakni seorang guru agama yang cuma berbicara tentang kehidupan setelah kematian dan segala cerita alam-alam ghoib yg tidak bisa dibuktikan secara empiris. Atau tentang kunjungan mahluk-mahluk halus semacam malaikat atau dewa yang memberi sabda ini dan itu. Justru petapa ini begitu rasional. Ia mengajak setiap orang mulai independen menyikapi hal yang paling asasi dalam hidup ini, yaitu keyakinan.

 

Inilah yang seharusnya menjadi jantung dari segala ajaran agama, yaitu tidak mudah meyakini sesuatu.

Kesalahan agama-agama adalah melulu menekankan umatnya untuk mengimani akan adanya tuhan, nabi, kitab dan ajaran yang sempurna, tanpa mendorong mereka untuk meragukan, membandingkan dan menilainya sendiri. Belum apa-apa umat manusia sudah dicekoki dengan konsep kitab yang sempurna, agama yang terakhir dan sempurna, nabi terakhir dan sempurna, juru selamat penebus dosa dsb. Bagaimana mungkin manusia bisa cerdas apabila kacamata yang dipakai untuk menatap dunia adalah kaca mata iman dan klaim-klaim kebenaran sepihak?

 

Ingat bahwa saya sedang berada di India utara 2500 tahun yang lalu. Namun sedini ini, petapa Gautama telah menancapkan suatu sikap mulia yang jauh melebihi ajaran nabi-nabi agama samawi yang melulu menekankan iman, iman kepada sesuatu yang seringkali sukar diterima akal sehat orang dewasa.

 

Inilah spiritualitas yang sebenar-benarnya, keluar dari sikap mempercayai buta suatu ajaran, kitab dan tokoh agama, dan mulai berani melangkah sendiri melihat dunia apa adanya. Anda tidak perlu pintar dalam filsafat dan theologi  untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam agama-agama.  Spiritualitas sejati membebaskan kita dari perbudakan kebodohan, dan mulai mempercayai diri kita dalam tanggung jawab dan integritas.

 

Ubi dibium ibi libertas – dalam keraguan ada kebebasan.

 

Bukan tujuan saya untuk mempromosikansuatu agama tertentu, justru dengan mengambil kisah ini umat Buddha di Indonesia harus sadar bahwa tokoh agama kalian justru seorang free thinker sejati yang menekankan indipendensi manusia, bukan hanya mempelajari ajaran karena tradisi, kitab dan menurut kata-kata biksu saja. Bukankah kalian memiliki jargon ehi pasikho – datang dan selami sendiri?

 

Jikalau petapa Gautama mengundang pemuda Kalama untuk menelaah ajaran-ajaran agama dengan akal budi dan integritas, maka buddhisme sendiri tak terkecuali harus dibedah dan dianalisa jangan dipercayai begitu saja!

 

Hal yang ironis adalah justru umat Buddha yang selalu mengagung-agungkan Khotbah Buddha untuk suku Kalama, enggan mengkritisi ajarannya sendiri, karena takut dengan budaya, tradisi atau dikucilkan oleh komunitasnya.

 

Ratusan tahun setelah Buddha wafat, justru para yogi non-buddhislah yang tampil membela dharma sejati dengan menghasilkan kompilasi ajaran-ajaran agung dalam kitab yang sangat termashur yaitu Bagavad Gita. Dalam kitab inilah para yogi mengkristalkan dharma, bahwa ada banyak jalan dharma, dan semua dharma itu berasal dari yang satu dan mengarah pada yang satu. Pada saat itu justru ajaran buddhis sudah dikooptasi oleh sekelompok elitis biksu yang merasa berhak menilai mana sutra yang berasal langsung dari bibir Buddha dan mana yang tidak. Padahal semua sutra di tulis paling dini 200 ratus tahun setelah Buddha wafat dan memungkinkan untuk terjadinya bias budaya, politik, tafsir, interpolasi, dan  kepentingan dogma!

 

Menangislah kalian umat Buddha, karena kalian sudah mendegradasi ajaran guru kalian sendiri dan membakukannya dalam dogmatika kaku. 

 

          ============

 

 

 

Pada saat itu tampillah pula seorang pemuda dari kasta brahmana. Ia sangat cakap dalam pengetahuan weda, sastra dan kitab-kitab suci lainnya.

 

“Petapa Gautama, engkau bukan berasal dari kasta brahmana, melainkan kasta ksatria. Begitu pula umurmu masih muda. Pada kami ada kitab-kitab suci yang umurnya jauh lebih tua darimu. Kami mengamati ajaranmu, dan kami dapati bahwa ajaranmu tidak ditemukan dalam kitab-kitab kami. Padahal kami telah meneelah bahwa kitab yang kami miliki adalah benar dan sempurna. Hanya inilah yang benar dan yang lain salah. Bagaimana kamu memandangnya?”

 

“Oh brahmana yang muda, berapakah umurmu?”

“Umurku kurang dari 20 tahun, oh Bagawan.”

“Kalau begitu apakah engkau, dengan matamu sendiri, melihat dan mengawasi bagaimana kitab-kitab itu disampaikan dari satu generasi ke generasi, disalin dari satu naskah ke naskah yang lain tanpa mengalami pengurangan dan pelebihan, dan pemaknaan setiap kata dan kalimatnya tidak pernah bergeser dari generasi ke generasi?”

“Tentu tidak , oh Bagawan.”

“Apakah orang tuamu, atau kakekmu, atau kakek buyutmu, melihat dan mengawasinya seperti yang aku tanyakan sebelumnya?”

“Tidak pula oh Petapa Gautama. Sesungguhnya kitab-kitab ini jauh lebih tua dari pada kakek buyut generasi ketujuh kami.”

 

“Kalau demikian, bagaimana kamu bisa sampai pada kesimpulan bahwa inilah kitab yang benar sedang kitab yang lain salah? Bagaimana kamu bisa sampai pada kesimpulan bahwa ajaran inilah yang benar sedang ajaran lain salah?

 

Bagaikan sederet orang-orang buta yang berpegangan tangan.  Yang depan mengatakan, ‘aku telah melihat seekor gajah yang demikian dan demikian,’ dan pernyataan itu disampaikan begitu saja kepada orang-orang buta dibelakangnya, demikianlah pemahamanmu.

 

Jika engkau sudah mengatakan hanya inilah yang benar dan yang lain salah, maka engkau telah melekat kepada sesuatu. Dan manakala engkau telah melekat pada sesuatu, engkau tidak bisa beranjak kepada kesadaran yang lebih tinggi.

 

Oh brahmana, sesungguhnya setiap manusia memiliki benih-benih keluhuran budi, tanpa memandang kasta dan latar belakang agamanya. Benih-benih keluhuran budhi ini hanya akan mekar apabila avidya, ketidak tahuan akan kesejatian sifat segala sesuatu, kebencian, serta kemelekatan kepada nafsu dan konsep sedikit demi sedikit dilenyapkan.

 

Kepada murid-muridku aku tak pernah lelah menekankan bahwa ada tiga pilar dalam menempuh kehidupan suci, yaitu:

– Sila, usaha untuk menegakan moral dan etika.

– Samadhi, usaha untuk selalu mencari keheningan bathin, lepas dari menilai dan menghakimi, menggenggam dan melepaskan, menyukai dan membenci.

– Panna, usaha untuk selalu menambahkan kebijaksanaan dan pengetahuan.

 

Ketiga pilar ini harus seimbang dan simultan.

* Mereka yang hanya menekankan sila akan terjebak pada kemelekatan akan syariat kaku dan menjadi budak dari batasan-batasan yang kita pakai sendiri.

* Mereka yang hanya menekankan Samadhi akan kehilangan pijakan di dunia nyata. Mereka akan mengawang-awang dalam intuisi dan salah kaprah dengan menjadikan intuisi, yang adalah pengalaman subyektif, sebagai alat pengetahuan yang obyektif dan mutlak. 

* Mereka yang hanya menekankan pada panna, atau kebijaksaan akan cenderung merasa benar sendiri, mudah menyalahkan orang lain yang tidak secerdas dan sebijaksana mereka.

 

Kitab-kitab suci oh Brahmana muda, hanyalah kumpulan pengalaman dan prinsip-prinsip baik dari para penempuh kesucian di masa lalu. Mereka menuliskannya sebagai respons akan permasalahan mereka dalam ruang, waktu dan cara berpikir orang sejamannya.

 

Jikalau engkau dewasa melihat dunia ini, maka engkau akan dapati bahwa semua yang terbentuk dari unsur-unsur yang menggagasnya, suatu saat akan pula lenyap berdasarkan sifat-sifat dari unsur yang menggagasnya, begitu pula ajaran dan konsep dalam kitab suci, oh Brahmana muda.

 

Kebenaran yang sempurna tidak akan kau temui dalam kitab-kitab. Justru dalam tubuh yang tidak lebih dari dua meter ini, tersimpanlah rahasia-rahasia abadi. Dalam tubuh yang tidak lebih dari dua meter ini, tersimpanlah benih-benih untuk direalisasikan, apakah itu surga atau neraka, samsara atau nibanna.

 

Demikianlah oh Brahmana muda, telah aku jawab, aku jelaskan dan aku perinci mutiara-mutiara  kebijaksaan kepadamu, sekarang terserah dirimu, akankah engkau menerimanya atau tetap bersikukuh dalam pemahamanmu.”

 

Bagai dikejutkan oleh halilintar di siang bolong. Bagaikan tanah kering kerontang yang disirami oleh hujan lebat, demikianlah hatiku kala mendengar ucapan Sang Buddha. Tak kuasa kedua mata ini meneteskan air mata. Aku teringat di negeriku tercinta Indonesia. Di negeri ini justru orang terilusi dengan agama-agama bentuk. Mereka mengagung-agungkan hal yang remeh temeh. Mereka justru terikat dengan kebenaran yang masih kasar. Masih banyak orang yang terilusi dengan cerita surga dan neraka abadi yang dialami setelah kematian. Masih percaya pada kebenaran mutlak dari kitab-kitab dan ajaran-ajaran yang dianggap suci, sempurna dan tidak bisa dikoreksi. Masih percaya pada tokoh ini dan itu yang sama sekali tidak bisa diusik kesejarahan dan kebenaran cerita hidupnya.

 

Padahal yang sempurna itu bukanlah kitab atau ajaran, melainkan perjalanan evolusi kesadaran manusia sejagat itu sendiri. Kesadaran itu sempurna karena ia mampu untuk berdialektika dan mencari makna baru menurut ruang, waktu dan pengetahuan dalam jamannya masing-masing. Sempurna yang terus mengusahakan kesempurnaannya lagi. Suatu usaha yang tidak pernah berakhir.

 

Sampai kapan kebodohan di negeri ini terus diperam? Sampai kapan yang cangkang dimuliakan sedangkan yang isi dibuang dan dianggap membahayakan? Satu-satunya cara agar bangsa ini terbebaskan dari kebodohan yang mengelayuti benak putra-putri bangsa ini adalah memisahkan antara negara dan agama. Agama harus dimasukan ke dalam wilayah privat. Wilayah pribadi, yang tidak boleh dicampurtangani oleh pemerintah dan tidak boleh dimonopoli oleh suara mayoritas. Pelajaran-pelajaran agama seharusnya diajarkan di keluarga dan komunitasnya masing-masing saja, bukan di sekolah-sekolah umum. Justru di lembaga2 pendidikan dan di masyarakat yang bermulti wajah ini, yang dikedepankan adalah adab, etika, kejujuran, intelektualitas, dan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan kebenaran berdasarkan dogma suatu agama.

 

Aku merindukan Indonesia yang baru, Indonesia yang mengedepankan kejujuran, intelektualitas, kemanusiaan dan tanggung jawab. Aku merindukan anak-anak bangsa ini bebas memilih apa yang diyakininya, bahkan dalam batas-batas tertentu, bebas untuk melakukan kesalahan-kesalahan yang darinya mereka akan belajar kebaikan-kebaikan yang lebih tinggi.

 

Aku merindukan Indonesia dengan beragam perspektif pemikiran. Biarkan para pengusung spiritisme. animisime, dinamisme, politheisme, monotheisme, deisme, pantheisme, panentheisme, agnotisme bahkan atheisme untuk mencari makna hidupnya sendiri dan berdialektika dalam kodrat diri dan kapasitas kesadarannya masing-masing. Asalkan mereka diikat dengan kesadaran akan semangat hidup berdampingan dan menjunjung hak hidup dan berkeyakinan masing-masing. 

 

 Ketika sesi Tanya jawab itu selesai, maka tiap orang mengucapkan terima kasih atas penjelasan dari Petapa Gautama dan murid-muridnya. Mereka menungkupkan kedua tangannya di depan dada dan mengangguk sebagai tanda hormat. Ingin rasanya aku menanyakan banyak hal kepada Petapa Gautama, namun bibir ini terasa terkatup erat. Membisu seribu bahasa. Mungkin karena apa yang aku baru saja dengar, masih terlalu tinggi buatku, terlalu halus buat pikiranku.

 

Setelah kami semua berdiri dan memberi ruang kepada Petapa Gautama dan murid-muridnya untuk meninggalkan aula desa, mereka pun berdiri dan meminta diri. Satu persatu dimulai dari sang pemimpin yaitu pertapa Gautama berjalan tenang, kepala mereka tertunduk. Hati mereka teduh. Dan ternyata di barisan itu terdapat pula banyak umat awam dan perumah tangga biasa yang menjadi murid-murid inti sang Buddha, bukan hanya para biksu!

 

Yang membuatku bergetar adalah manakala Petapa Gautama melirik ke arahku. Ia berhenti untuk sejenak memperhatikanku.  Tentu saja ia tahu aku orang asing. Dari penampakan tubuhku yang terbilang pendek dan ringkih di banding orang2 India yang tinggi besar, aku bagaikan setitik tinta hitam dihamparan kain putih. Dengan kedua telapak tangan di dadanya ia menebarkan senyum khusus untukku. Senyum berjuta arti. Aku membalasnya dengan senyum pula. Senyum pembebasan. Terima kasih Gautama. Terima kasih India.

 

 

Spiritualitas – ketelanjangan dan kejujuran.

 

Dalam setiap note saya selalu menekankan kejujuran. Dan spiritualitas yang sejati berbicara tentang kejujuran. Kejujuran yang menelanjangi setiap kepongahan dan kecongkakan agama lahiriah dan dogma.

 

Manusia spiritual adalah manusia yang jujur melihat betapa agama-agama dibangun diatas dogma yang  rapuh, dan irrasional. Manusia spiritualitas adalah manusia jujur yang melihat kebohongan sejarah agama dan tidak mau ikut menambah kebodohan umat manusia dengan berpura-pura memujanya dan menyalutnya dengan eufemisme. Manusia spiritual bahkan tidak mau menerima uang dan hidup dari membodohi umat manusia.

 

Ada sesuatu yang salah dengan agama-agama.

Ada sesuatu yang salah dengan keberagamaan kita.

Ada sesuatu yang salah dengan pemujaan-pemujaan kita kepada tuhan, agama dan tokoh2 agama dan kitab-kitabnya.

 

Kesalahan itu ada pada tidak diberdayakannya akal budi dan nurani kita.

Dan tuhan yang takut dengan analisa akal budi, adalah tuhan yang tidak layak dipuja oleh nurani kita.  

 

Banyak dari kami yang akhirnya memilih untuk tidak ikut ambil bagian dalam organisasi keagamaan dan ritualnya. Kami lebih memilih hidup sederhaa dan mandiri.

 

Agama yang sejati sebenarnya hanya diperuntukan untuk mereka yang sudah dewasa.

Agama sejati lahir dari sikap hati. Bukan dari dogma dan kitab-kitab.

Agama sejati lirih dan hening menghadap ke dalam, namun lembut dan ceria menghadap keluar, kepada alam dan sesame mahluk hidup.

 

Manusia spiritual adalah manusia yang telanjang. Dengan telanjang kita lahir ke bumi ini, dan dengan telanjang kita mengarungi pengembaraan spiritual kita.

Telanjang dari segala ketakutan akan materi.

Telanjang dari segala mulut manis apologetis.

Telanjang dari segala titel semu dalam hierarki agama.

Telanjang dari segala pengakuan-pengakuan dogmatis.

Telanjang, bagai kisah adam dan hawa sebelum mereka memahami nilai benar dan salah.

 

Alaniss Moressete, seorang penyanyi dari Kanada, pernah menghabiskan hidupnya di India selama 1,5 tahun. Dan baru di India dia bisa menerima hidupnya apa adanya. Sebelumnya ia selalu bergumul dengan rasa takut, bulimia, obat2an dan krisis diri. Melihat masyarakat India yang begitu bersahaja dalam kemiskinan dan kepolosannya, Allanis sadar bahwa ia tidak perlu terus membawa-bawa rasa takut, trauma luka hati, kebiasaan buruk dsbnya. Alih-alih ia bisa menerima dan menikmati hidup yang hanya satu kali saja. Dalam kekurangannya ia menerima semuanya itu dan menjadikannya sebagai kekuatan hidupnya.

 

Sebagai rasa terima kasihnya pada bangsa India, ia menuliskan lagu Thank You sebagai katarsis dari fase penerimaan dirinya. Dalam video klip itu, ia berpose telanjang dan dalam ketelanjangannya ia memaknai  ruang dan waktu hidupnya dan menyapa setiap orang yang ia temui apa adanya, sebagai sesama manusia. 

 

terima kasih India

terima kasih rasa takut

terima kasih kekecewaan

terima kasih kerapuhan diri

terima kasih konsekwensi

terima kasih, terima kasih keheningan

 

saat-saat dimana aku melepaskan

adalah saat dimana aku menerimanya dgn melimpah

saat-saat dimana aku melompat

adalah saat dimana aku mendarat

 

terima kasih India

terima kasih pemeliharaan

terima kasih kekecewaan

terima kasih kekosongan

terima kasih kejelasan

terima kasih, terima kasih keheningan

 

[tube]OOgpT5rEKIU[/tube]