SEWAKTU mengaji duduk membaca kitab kuning, saya hafal betul definisi karamat. Biasanya, karamat atau karamah diartikan sebagai ’amr khâriqun lil `âdah (Arab), atau perkara-perkara menakjubkan atau mencengangkan yang melampaui atau bersifat luar biasa (lita’âjubiyah). Agar definisinya jâmi` (meliputi apa-apa yang masuk katagori karamat) dan mâni` (mereduksi apa-apa yang bukan), definisi itu dikunci hanya pada ”perkara-perkara mencengangkan yang ditunjukkan oleh para tuan guru atau ulama saja, dengan campur-tangan dari Yang Mahakuasa”. Kunci ini pula yang diberlakukan untuk definisi mukjizat, yang berlaku hanya bagi para nabi atau rasul.
Dengan begitu, keajaiban-keajaiban yang bukan hasil kreasi para tuan guru atau ulama, seperti yang diperagakan tukang sihir, dukun, pesulap, ataupun manusia-manusia jenius di bidangnya, dianggap bukan karamat tetapi istidrat (lanjuran). Atas dasar itulah, karamat dibedakan dengan sihir, sulap, tenung, atau keajaiban yang bukan bersumber dari para tuan guru dan ulama.
Untuk tahu fungsi karamat, kita dengan gampang dapat menganalisis asal kata karamat itu sendiri, yaitu karim. Kata Arab karim yang merupakan kata dasar dari karamat itu berarti mulia atau kemuliaan. Kemuliaan di sini dimaksudkan memiliki kelebihan, sesuatu yang melemahkan atau membuat takjub dan takluk mereka yang menjadi objek pesan yang sedang disampaikan sang penyampai (tuan guru atau ulama). Fungsi dan definisi ini juga sama dengan arti mu’zi, yaitu asal kata mukjizat yang disematkan kepada para nabi atau rasul.
Dalam kisah para nabi dan rasul, konon, dengan kemampuan menghadirkan naganya ular, Musa mampu membuat takjub dan takluk para penyihir Fir’aun di era yang masih magis itu. Konon, dengan keperkasaan dan kekuatan tenaganya menempa besi menjadi peralatan perang, Daud berhasil memesona umatnya, dan mengajak mereka menjalankan risalah Ilahi. Dengan pelbagai kemampuan di bidang terapi penyakit, Isa mampu memikat beberapa umatnya, dan menebarkan risalah kasih sayang kepada umat manusia. Konon, Al Qur’ân yang dianggap sebagai mukjizat terbesar Islam, hadir mencengangkan di masa-masa keemasan prestasi kepenyairan Arab di jarizah Arab, dan banyak menginspirasi jalan hidup umat Islam sampai kini.
Dalam manakib para tuan guru, ulama dan wali – yang di dalamnya banyak saya temukan dongeng-dongeng –, konon, Syekh Abdul Qadir Jailani mampu menghidupkan kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang hingga kemudian mengucap syahadat. Konon, Datu Sanggul bisa shalat Jum’at setiap minggu ke Masjidil Haram di Mekkah dan pulangnya membawa nasi kabuli yang dibungkus daun pisang.** Konon, Alimul ‘Alamah Al Arif Billah Asy Syekh HM Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul) mampu menghadirkan buah rambutan di luar musimnya; dikjaya menghentikan arus banjir ketika hendak menghadiri haul datuknya sendiri, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari;*** mampu menangkapi bom yang dijatuhkan ke Irak oleh tentara AS dan sekutunya sewaktu sengketa Kuwait dan membuangnya ke laut Merah. Dan seabrek bentuk karamat lainnya dari para tuan guru dan ulama.
Namun, masihkah bentuk-bentuk mukjizat zaman arkaik dan karamat zaman datu tersebut betul-betul menakjubkan dan berfungsi bagi manusia zaman kini? Sebagian mungkin ya, sebagian lagi tidak. Apalah artinya ular memakan ular untuk zaman kita kini; dan pesona apakah yang bisa ditebar oleh bernyawanya kembali ayam panggang yang sudah tinggal tulang-belulang bila pertunjukan sulap pun sudah dapat memamerkannya? Ketakjuban apakah yang bisa ditawarkan dari menghadirkan buah rambutan di luar musimnya kalau di era lemari es dan makanan kaleng berpengawet ini sudah demikian mudah didapatkan? Apalah kelebihannya menghentikan arus banjir di zaman Manohara ini, ketika Dedy Corbozer dan Limbad pun dapat lebih dari itu melakukannya.
Saya tertarik menyoroti contoh karamat yang terakhir. Benarkah kedikjayaan Guru Sekumpul menghentikan arus banjir ketika menghadiri haulan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru (secara ideologis) sekaligus datuknya (secara biologis) itu adalah sebuah karamat atau justru karamput? Ada dua argumen yang mendukung keraguan saya terhadap bentuk karamat tersebut – bahkan terhadap bentuk-bentuk karamat pada umumnya. Pertama, identifikasi sebuah ke-karamat-an yang disematkan terhadap seorang tuan guru atau ulama dilakukan tanpa melalui metode yang arjah (menguji dan membandingkan argumentasi dasar, sumber dan metode yang lebih kuat). Semua hanya bersumber dari ujar ke ujar tanpa penyeleksian secara saksama tentang keotoritatifan ujar-ujar tersebut sebagaimana lazimnya diberlakukan dalam penyeleksian dan pengklasifikasian shahih tidaknya sebuah hadits. Untuk meneliti otentisitas sebuah hadits diperlukan adanya dua hal yang merupakan unsur dari pada hadits itu sendiri, yaitu matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Tanpa adanya dua hal ini sebuah ucapan yang diklaim sebagai hadits tidak dapat dipertimbangkan apakah ia hadits atau bukan, karena secara ilmiah ia gugur untuk dapat dipertimbangkan sebagai suatu hadits. Metode ini rasanya tidak pernah diberlakukan untuk meneliti otentisitas sebuah ujar tentang karamat. Dengan demikian, ujar-ujar berkenaan karamat tersebut tidak memenuhi standar baku sebagaimana metode untuk meneliti otentisitas sebuah hadits, baik dari segi matan (matn, teks) dan sanad (tranmissi, silsilah keguruan). Jadi dengan sendirinya ujar-ujar tersebut gugur, tidak dapat dipakai untuk mendukung dasar sebuah karamat. Atau – sebagaimana dalam kaidah penelitian hadits – ujar-ujar tersebut termasuk dalam ujar maudhu, palsu, atau karamput! Ala kulli hal, kalau sebuah hadits yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al Qur’ân saja sering dan bisa dipalsukan, apatah lagi hanya dengan sebuah karamat.
Kedua, jika apa yang diujarkan tentang peristiwa Guru Sekumpul saat menghadiri pelaksanaan haul Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura itu adalah benar sebuah karamat, maka dengan sedikit lancang saya sebutkan kalau ke-karamat-an itu didasarkan atas “penghinaan” dan “pengkhianatan” (dengan atau tanpa tanda kutif) terhadap guru sekaligus datuk Guru Sekumpul itu sendiri. Berikut argumentasi saya:
Dalam kitab Sabilal Muhtadin lit Tafaquhi fid Din (Jalan Orang yang Memperoleh Petunjuk dalam Memahami Ajaran Agama), tepatnya pada buku kedua bab Jenazah, halaman 741-742, terbitan PT Bina Ilmu Surabaya tahun 2005 cetakan keempat (disalin dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Drs. H. Muhammad Aswadie Syukur, Lc) disebutkan:
“Sunat bagi seisi kampung yang kematian dan seluruh keluarga sekalipun jauh membawa makanan untuk keluarga yang kematian untuk makanan mereka pada siang hari dan malamnya atau untuk selama mereka masih dalam keadaan bersedih hendaklah mereka selalu makan untuk menjaga kondisi kesehatannya.”
“Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti yang kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat. Makruh lagi bid’ah menghadiri undangan itu dan haram menyediakan makanan untuk yang menangis dengan suara nyaring karena yang seperti itu dapat membawa kepada kemaksiatan. Makruh lagi bid’ah menyembelih binatang di atas kuburan dan tidak sah wasiat untuk memperbuat yang seperti itu dan menurut para ulama perbuatan yang seperti itu adalah perbuatan orang di masa Jahiliyah. Makruh lagi bid’ah mencium atau mengecup bagian dari kuburan atau tangga tempat ziarah kuburan para ulama dan aulia.”
Pembaca pasti sudah hafal benar bahwa kitab tersebut dikarang oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru dan datuknya Guru Sekumpul.**** Saya pun merasa tak perlu lagi menjelaskan kandungan fatwa hukum dari kutipan kitab tersebut. Namun saya hanya ingin bertanya, tidakkah keikutsertaan Guru Sekumpul dalam pelaksanaan haul itu kontradiktif dengan kandungan fatwa hukum dalam kitab karangan guru dan datuknya tersebut? Lalu, pantaskah seorang yang telah melakukan “penghinaan” dan “pengkhianatan” terhadap fatwa guru sekaligus datuknya sendiri disebut karamat? Layakkah seorang yang terang-terangan menyelesihi tuntunan syari’at diberi gelar karamat? Pembaca barangkali mempunyai jawaban beragam, di samping terkejut, tersinggung atau bahkan mungkin marah terhadap testimoni saya ini. Tapi saya masih punya argumen lain:
Saya sadar tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan. Ada dimensi-dimensi tertentu dalam agama yang tak bisa sepenuhnya dipahami secara rasional. Contoh yang baik adalah masalah ibadah. Yang saya maksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang terbatas, yaitu apa yang sering disebut dengan ibadah mahdah alias ibadah murni seperti salat, puasa, dan haji. Tata cara ibadah dalam Islam, menurut saya, berlaku sepanjang zaman dan tidak bisa dirasionalkan.
Tentu ada sejumlah tata-cara ibadah yang bisa didiskusikan ulang. Tidak semua hal berkenaan dengan tata-cara ibadah bersifat “harga mati”. Tetapi dalam hal ritual penyelenggaran jenazah, pada banyak sisi, tata-cara ritual tersebut sudah bersifat “fixed” alias harga mati dan boleh dikatakan baku sistem tuntunannya.
Namun demikian, saya tentu tidak menjadikan kutipan dalam kitab Sabilal Muhtadin tersebut sebagai sumber satu-satunya yang menjadi standar hukum seputar ritual dan tata-cara penyelenggaraan jenazah. Karena sebagai salah satu kitab fikih, Sabilal Muhtadin, sebagaimana kitab-kitab fikih pada umumnya, kitab ini lahir sebagai “buah pemikiran” sang pengarang dalam pengkajian hukum Islam pada masanya. Itu berarti, kitab ini selalu menuntut koreksi dan perbaikan bahkan kritik, dikarenakan waktu, kondisi dan situasi yang terus berkembang. Fikih Islam itu banyak, kondisional, temporer dan cenderung subjektif. Fikih lahir sebagai “penafsirtan” umat Islam terhadap ajaran Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi pada ketika itu.
Lantaran fikih itu lahir atas dasar “penafsiran” umat Islam terhadap ajaran agamanya, maka tentu saja fikih Islam itu jadi beragam, tergantung siapa (orang), kondisi dan waktu serta tempat di mana ia berada. Buktinya Islam adalah satu, tetapi fikih Islam bermacam-macam; ada fikih Maliki, fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Hambali dan yang lainnya. Hal ini, sekali lagi, fikih harus selalu memerlukan pengkajian, perbaikan dan penafsiran ulang; tidak sepi dari koreksi bahkan kritik. Hal ini juga sebagai apresiasi terhadap pesan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sendiri dalam mukaddimah kitabnya tersebut: “…kuharapkan pula dari orang yang alim untuk memperbaiki isi kitab ini, dengan bahasa yang lebih baik dan dengan pendapat yang lebih benar.”
Namun dalam konteks status hukum dan tuntunan tata-cara ritual penyelenggaran jenazah, sejumlah hadits dan atsar sudah sejak awal-awal memberikan pengajaran cukup jelas dan tegas (mudahan ini tidak dianggap menggurui): Diriwayatkan dari ‘AbdulLah ibn Ja’far ia berkata: “Ketika datang berita tentang Ja’far bahwa ia telah terbunuh, maka berkata Nabi Saw.: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang musibah yang membuat mereka berduka cita’.” (HR Thabrani, Baihaqi, Hakim, Syafi’i, Daruqutni dan lain-lain).
“Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah duka dan membuat makanan sesudah mayit ditanam (dikuburkan) adalah termasuk meratap.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
“Ketika Jabir datang kepada Umar ia ditanya: ‘Apakah mayit – kaummu – diratapi? Jabir menjawab: ‘Tidak.’ Umar bertanya lagi, ‘Apakah mereka membuat makanan di keluarga mayit? Dijawab: ‘Benar.’ Umar berkata: ‘Itu ratapan.’”
Saya tak perlu lagi menjelaskan karena saya yakin pembaca tentu sudah paham betul maksud riwayat di atas. Namun saya ingin memberi sedikit catatan. Pada hadits tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw. menganjurkan bagi para pelayat untuk membuat makanan bagi keluarga yang mengalami musibah kematian, bukan sebaliknya. Pada kedua atsar disebutkan pendapat para sahabat Nabi Saw. yang melarang meratapi mayat, berkumpul di rumah duka dan membuat makanan.
Dengan dasar hadits dan atsar tersebut, berarti esensi dan subtansi dari fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan ketentuan hukum yang telah dituntunkan dalam sunnah Nabi Saw. dan atsar sahabat sebagai sumber dasar dalam yurispudensi hukum Islam setelah Al Qur’an. Ini berarti pula, bahwa praktik-praktik yang inkosisten dengan tuntunan riwayat tersebut merupakan “penghinaan” dan “pengkhianatan” tidak saja terhadap fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin itu saja, tetapi juga kepada sekte (mazhab) Imam Syafi’i, yang, seperti diakui oleh pengarang sendiri, bahwa kitab Sabilal Muhtadin tersebut ditulis sebagai kitab fikih menurut aliran sekte Imam Syafi’i yang mayoritas dianut oleh masyarakat di daerah ini. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah kitab yang menjadi rujukan pengarang seperti Syarah Minhaj karangan Zakariya Anshari, Al Mugni karangan Syekh Khatib Syarbaini, At Tuhfah karangan Ibnu Hajar Al-Haitami, An Nihayah Syekh Jamal karangan Sykeh Ramli dan beberapa buah kitab sarah dan komentar lainnya.
Oleh karena esensi fatwa hukum dalam kitab Sabilal Muhtadin senada dengan tuntunan RasululLah Saw. dalam haditsnya, maka dapat pula dikatakan bahwa perlakuan orang-orang yang menyelisihinya sama juga dengan “penghinaan” dan “pengkhianatan” (sekali lagi, dengan atau tanpa tanda petik) terhadap sunnah Nabi Saw.!
Dengan argumen-argumen itu, apakah lantas saya menjadi orang yang tidak percaya atau menolak karamat? Saya tidak mau menjawab pertanyaan ini. Saya hanya akan mengajukan hipotesa berikut: Menolak, atau paling tidak mempersoalkan tentang karamat, tidak sama dengan tidak percaya. Dalam pandangan saya, menolak dan mempersoalkan ke-karamat-an seorang tuan guru atau ulama bukan berarti menyurutkan dan menyudutkan otoritas dan kualitas ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an pribadi bersangkutan. Bahkan lebih meneguhkan lagi ke-tuan-guru-an dan ke-ulama-an atau ke-wali-an mereka dalam bentuk dan makna yang sangat manusiawi. Karena tunduknya umat terhadap tuan guru, ulama atau bahkan wali, tidaklah sampai ke tingkat melenyapkan kedudukan mereka sebagai manusia dan yang serupa dengan itu. Umat tidak harus memposisikan mereka sebagai “manusia setengah dewa” (meminjam istilah Iwan Fals).
Ada kemungkinan – dan ini sangat besar – karamat yang dimiliki oleh seorang tuan guru dan ulama itu hanya berdasar dari ujar-ujar melalui jalur yang tidak jelas sumber muasalnya bahkan karamput. Kemungkinan lain – dan ini memang kecil, tetapi tetap ada – bisa juga dari pribadi tuan guru dan ulama itu sendiri yang dikarenakan oleh kepentingan atau tuntutan tertentu hingga memposisikan diri mereka sendiri sebagai seorang yang memiliki karamat.
Sudah saatnya, pencitraan sosok tuan guru dan ulama yang selama ini terlalu menonjolkan aspek-aspek heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna, mesti dieliminasi. Kita perlu mengapresisasi dan mengekpresi sosok tuan guru dan ulama kepada hakekatnya yang profesional dan proporsional sebagai warasatul anbiya; penerus dan pewaris para Nabi, pun sebagai seorang manusia biasa yang bisa “terpeleset” ke dalam lubang kesalahan, di samping kesalehan. Kita juga berharap kaum tuan guru dan ulama sendiri jangan pula memposisikan diri mereka yang dengan sadar dapat berakibat pada pengkultusan yang over dosis untuk kemudian dijelmakan sebagai sosok heroik, suci, maksum bahkan sakti mandraguna. Dengan begitu, sosok tuan guru dan ulama akan menjadi khazanah teladan ideal dan figuratif otentik di tengah-tengah umat sebagai warasatul anbiya sebagaimana mestinya.
Sekarang, buat apalah bacaan-bacaan dan amalan-amalan tuan guru dan ulama bila tidak menstimulasi umatnya untuk menghadirkan karamat-karamat baru yang lebih dahsyat di zaman modern ini? Kini, dunia semakin berkembang berkat kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap hari, ada saja perkembangan terbaru di bidang sains dan teknologi. Di manakah letak dan kontribusi umat Islam?
Tuan guru dan ulama memang ada yang sedikit-banyak berbicara perihal sains dan teknologi, soal alam raya, watak-watak dan gejala-gejala yang ditimbulkannya, seperti fenomena bintang-gemintang dan bahkan gunung-gunung dan gurun-gurun. Tapi sedikit sekali yang bisa menerjemahkan ”karamat saintifik” sunatulLah itu ke dalam penelitian yang mampu memahami dan menjinakkan watak bengis alam raya yang kadang-kadang muncul seketika.
Ada juga tuan guru dan ulama yang secara normatif menganjurkan umat Islam untuk mencermati bagaimana si burung bisa melanglang-buana di angkasa raya, dan langit bisa terbentang tanpa tiang. Tapi hanya BJ Habibie yang mengerti bagaimana caranya burung besi mampu terbang ke hamparan angkasa. Kini terasa betul, kita membutuhkan karamat-karamat modern dari para jenius-jenius Islam yang lebih menakjubkan.
Karamat-karamat tersebut dapat saja diabdikan untuk menekan angka kematian dan menaikkan tingkat harapan hidup; mempermudah sarana transportasi dan komunikasi, serta mengantisipasi kemalangan dan dampak buruk bencana alam. Tentu masih banyak lagi fungsinya yang diharapkan.
Di sini, karamat dalam artian yang konvensional, seperti yang dimuat kitab kuning dan diajarkan di pesantren itu, sudah bergeser maknanya. Ia tidak hanya datang dari tuan guru dan ulama atau wali karena dengan begitu tidak akan ada lagi karamat. Sementara, dunia terus saja mengharap karamat.
Karamat di masa kini dan di sini, kita maknai sebagai segala bentuk terobosan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang oleh umat beragama dapat saja dijadikan sebagai bentuk keterpanggilannya oleh ayat-ayat kauniyyah Alqur’an, dan lebih penting lagi, diabdikan untuk sebanyak mungkin kemaslahatan manusia.
Dengan kemampuan membuat lebih banyak karamat itulah umat Islam akan dihargai di tingkat dunia dan kebesaran Islam dan umat Islam dapat dicapai. Selagi kita tidak dapat membuat karamat-karamat baru, kita akan tetap menjadi tumbal dari karamat ”burung besi” yang dipaksa terbang meski sudah tua dan renta. Tanpa kemampuan mengkreasi karamat-karamat baru dalam pelbagai lapangan kehidupan, kita akan selalu menjadi pengumpat kemurkaan alam, walau dengan niat baik menyebutnya sebagai bala atau ujian Tuhan. Dengan kemampuan menghadirkan karamat dalam teknik penanggulangan gempa, misalnya, kita terbebas dari efek destruktif gempa sekaligus kecenderungan berburuk sangka kepada AlLah. Rasanya, kita memang membutuhkan lebih banyak karamat lagi, sekalipun tidak datang dari seorang tuan guru atau ulama bahkan wali.
Sejatinya, seorang tuan guru dan ulama atau wali yang dikatakan punya karamat adalah mereka yang selalu meminta HIDAYAH untuk semua umat. Sedang mereka yang selalu meminta HADIAH kepada semua umat adalah seorang tuan guru dan ulama atau wali yang karamput! []
Kandangan, 26 September 2009
*) Karamput (bhs. Banjar) = dusta, bohong.
**) Padahal, secara letak geografis terdapat selisih waktu hampir lima jam antara Indonesia dengan Arab Saudi. Artinya, ketika di Indonesia masuk waktu shalat Jum’at, di Arab Saudi baru selesai shalat Subuh. Dapat pula dibuktikan bahwa pisang bukanlah tumbuhan yang ada di daerah Timur Tengah, khususnya lagi di Arab Saudi. Jadi bukankah tidak masuk akal Datuk Sanggul pulang shalat Jum’at dari Masjidil Haram sambil membawa nasi kabuli berbungkus daun pisang segala.
***) Sebagaimana sering dikutif sejumlah media massa di Kalimantan Selatan dari buku “Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari” yang dutulis oleh Abu Daudi atau KH Irsyad Zien.
****) Guru Sekumpul adalah juriat dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dengan jenjang silsilah keturunan yang ke sembilan.
Anonim said:
Karamat dulu yang diciptakan untuk membuat malas generasi sekarang. Setuju sekarang waktunya keramat2 berdasarkan sains. artikel yng bagus.
SukaSuka
anonymous said:
klo loe udh bisa ngumpulin jamaah sebanyak guru sekumpul,baru loe boleh cuap-cuap.
SukaSuka
agus said:
alay bgt om..cari tentang diri lo aja dmna dustanya,
SukaSuka
irsyadi said:
embah pina musti yg menulis neh,,,, hanyar b’isi ilmu seujung kuku, sdh bisa menyimpulkan apa itu qaramah…
situ yg keramput…. klo gak suka sms aza 085248290812
SukaSuka
Arif said:
“janganlah satu golongan memperolok-olok golongan yang lainnya, karna boleh jadi golongan yang di perolok-olokkan itu lebih baik dari yang memperolok-olokkan”
SukaSuka
ali ghobank said:
Astagfirullah…
Mudah2an beliau ini mendapatkan ampunan dari ALLAH SWT
Insya Allah
Jangan manyupani Kandangan *Njing ai
kumpulakan sajuta pasukankam sini kusandang!!!
Wallahu A’lam
SukaSuka
ipul said:
bangsat nieh..!
SukaSuka
jali boss said:
penulisnya kurang pintar.
SukaSuka
syaef az zuhrie said:
talalu banyak ilmu nyawa tu…. baguru kada?
ke pede an jar urang jua..
SukaSuka
Julak said:
Wajar !!! aku kd hanya menyelami isi pikiran si penulis dengan kesimpulan sbb :
1. Penulis mendengar kabar (keramat) namun akal tiada menerima
2. Penulis mengambil riwayat Nabi Muhammad dan bersalahan dengan ulama dimaksud
3. Penulis masih dalam perjalanan akaliyah, sehingga masih terkurung dalam logika.
Saran kepada penulis : ( Jika berkenan )
1. Jika berkenan, carilah guru yang lengkap dan tanyakan apakah hakikat diri ???
2. Pelajarilah “Awwaluddin Ma’rifatullah”
3. Jika otak tak mampu memecahkan masalah, maka ia akan kembali kepada keegoannya, nah cobalah tembuskan benteng akal hingga keluar, butakan mata dan lihatlah, tulikan telinga dan dengarlah serta matikan dirimu kemudian hiduplah dengan sebenarnya ….
Pahami ja tulisanku ini, Insya Allah baik berataan !!! eiiithhh sebelumnya buang ke egoan, karena semakin ego dilonjakkan, maka semakin jauh kita tersesat …. Wallahu a’lam
SukaSuka
gurabak said:
kg penting nanggapi si penulis babi seikung ni,,, sok bikin situs kritis,plural, sekuler… gaya2 an ngebahas keramat, ngjelasin apa itu keramat aja ga becus,,,
SukaSuka
Pipin Nurhayati said:
Membaca komentator yang sok suci saya jadi sangat prihatin dengan orang yg begitu cupet pikirannya, jaman dahulu agama memang dibuat untuk membuat manusia tidak menjadi buas atau seenaknya sendiri, karena hukum tidak ada, makanya manusia ditakutin dengan istilah ‘keramat’, nah sekarang tiap negara (kecuali mungkin di midle east)hukum tidak benar2 dilaksanakan, lihat saja di Syria, pemerintahnya membunuhi ratusan ribu umatnya, mana ada reaksi keras dari negara2 muslim, coba lihat ada pembunuhan di Afganistan oleh tentara USA hampir tiap forum dan berita memojokan USA, meskipun pemerintah USA sudah menangkap tentara2 yang telah berbuat diluar perintah. Jadi kesimpulannya apabila sesama muslim saling bunuh adalah normal, tetapi apabila orang kafir yang membunuh, maka seluruh bangsa dari si kafir harus dibunuh kalau perlu di lenyapkan, inilah ajaran muslim, jadi saya kira penulis diatas memang 100% benar saya sangat salut atas keberanian penulis tersebut. salam
SukaSuka
syaef az zuhrie said:
pipin nurhayati > Topik nya masalah ” Keramat ” nggak nyambung banget….
SukaSuka
Ahmad Muzany Al Arsyadi Al Banjari said:
Surah Al An’am ayat 159 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
Surat Al Faathir ayat 8 :
“orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena Kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
SukaSuka
Murid Mangaradau (Zidaran) said:
aku ni murid mangaradau n gagilaan,ternyata ada ja masih sidin nih nang labih mangaradau wan labih gilanya pada aku…mudahan barataan di bari ampunan wan berkah PAGURUAN…
Jangan mnyupani urang hulu sungai lah…pariksai dulu diri dulu…saku ada ta soal pribadi nang maubah pola pikir spean…inya mun dah kada suka tu barang-ai di cariakan dalilnya…
TOOOOBAAAAAT LAKASI PAKACIL-AI
SukaSuka
Khairul Fuad - Tanjung said:
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada penulis, karena dari tulisan yang anda hadirkan tersebut telah membuat ketenangan didalam hati saya tentang siapa sosok Guru Sekumpul sesungguhnya, yang mana pada awal membaca tulisan anda tersebut sempat membuat hati saya sangat geram. Namun setelah sedikit mengikuti metode berpikir anda, saya menjadi mulai memahami permasalahannya. Dan menjadikan argument yang anda sampaikan sangat logis hanya bagi anda, namun sesungguhnya bagi saya sendiri argument tersebut justru terkesan sangat subjektif. Karena tanpa didasari pemikiran yang ilmiah. Oleh sebab itu saya pun mencoba menanggapi pemikiran anda dengan pola piker yang sama, namun sedikit ditaburi dengan bumbu ilmiah. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih, karena dari tulisan itu saya kembali menemukan “karamah” yang tersebunyi dari sosok Guru Sekumpul. Sehingga justru telah memupuk rasa cinta dan rindu saya kepada sosok Guru Sekumpul.
Sedikit mengutip argument penulis, yaitu;
……………………
Pembaca pasti sudah hafal benar bahwa kitab tersebut dikarang oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, guru dan datuknya Guru Sekumpul.**** Saya pun merasa tak perlu lagi menjelaskan kandungan fatwa hukum dari kutipan kitab tersebut. Namun saya hanya ingin bertanya, tidakkah keikutsertaan Guru Sekumpul dalam pelaksanaan haul itu kontradiktif dengan kandungan fatwa hukum dalam kitab karangan guru dan datuknya tersebut? Lalu, pantaskah seorang yang telah melakukan “penghinaan” dan “pengkhianatan” terhadap fatwa guru sekaligus datuknya sendiri disebut karamat? Layakkah seorang yang terang-terangan menyelesihi tuntunan syari’at diberi gelar karamat?
……………………….
Saya menolak argument yang diajukan penulis tersebut.
>>>>>
Sangat jelas faktanya bahwa Guru Sekumpul sama sekali tidak pernah melakukan “Penghinaan” dan “Penghianatan” kepada kitab dan pengarang kita Sabilal Muhtadin, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Seperti yang DITUDUHKAN PENULIS. Namun sebaliknya, sangat selaras.
Memang sangat bisa saya rasakan bahwa keikutsertaan Guru Sekumpul dalam pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ataupun haulan-haulan lainnya akan member kesan yang kontradiksi dengan isi Kitab Sabilal Muhtadin seperti yang dikutip penulis (namun sayang kutipannya tidak dimulai dari halaman 740).
Ya, argument tersebut memang benar JIKA KITA MENGIKUTI ALUR PEMIKIRAN YANG DIMILIKI PENULIS.
Namun argument tersebut akan gugur dengan sendirinya dan bahkan sama sekali tidak pernah melekat pada diri KH. Zaini Abdul Ghani kecuali hanya sepintas lewat dan langsung kembali kepada pelontarnya. Title “Penghinaan” dan “Penghianatan” pun secara deras telah kembali melekat pada dirinya sendiri.
Dia telah menghina dirinya sendiri dengan menunjukkan betapa sempitnya ilmu yang dimilikinya jika disbanding dengan keluasan dan kedalaman ilmu yang dimiliki Guru Sekumpul.
Dia telah menghianati akalnya dengan menolak rasionalitas, yaitu member argument terhadap apa yang belum diketahuinya dan dikenalnya. Dan saya sangat yakin kalau penulis tidaklah mengenal sosok seorang KH Zaini Abdul Ghani. Kecuali hanya sebatas pada biografinya saja. InsyaAllah.
Saya pun pernah berpikir demikian terhadap Rasulullah saw sebelum saya mengenalnya. Karena memang saya terbiasa hidup dalam keluarga non muslim.
Dalam hal ini saya hanya berniat membantu anda. Insya Allah.
Secara terang-terangan Guru Sekumpul telah menyampaikan bahwa perayaan suatu Haulan tujuannya adalah semata-mata agar kita bisa mengenal dan bisa meneladani sosok yang dihauli tersebut, serta sebagai wujud bukti bahwa kita mencintai orang saleh.
Mengenai keramat, perlu diketahui pula bahwa keramat bukanlah sesuatu yang bisa DIDAPATKAN sehingga kita bisa menempatkan kegunaanya sesuai kehendak kita. Namun, keramat adalah sesuatu yang DIBERIKAN oleh Allah SWT kepada orang yang dikehendakinya sebagai alat untuk meneguhkan imannya sekaligus sebagai ujian kepada orang tersebut. Dan keramat bisa saja dibukakan Allah meski orang tersebut sudah meninggal dunia dengan maksud agar mereka yang masih hidup bisa mengambil pelajaran darinya.
Guru Sekumpul pernah kembali menyampaikan dengan penuh penekan kata bahwa : “Jika menutup aurat itu wajib, maka menutup keramat lebih wajib lagi”
Dan terimakasih anda telah membantu menampakkan keramat beliau dengan menjadikan nyata kebenaran wasiat yang pernah beliau sampaikan.
Memang bisa dimaklumi kalau anda tidak menyukai beliau karena anda belum mengenalnya, namun mestinya anda juga tidak boleh membencinya.
Dalam syair Guru Sekumpul ada dua bait syair yang berbunyi ;
=>HIDUP DI DUNIA JANGAN HERAN’NYA. NEGRINYA BALA NEGRI YANG PANA. SETIAP ORANG CINTA PANDANYA. ADA JUGA ORANG BENCI PADANYA..!!
=>RASULULLAH PUN YANG PALING MULIA. ADA YANG BERIMAN ADA YANG KAFIRNYA. DARI NABI ADAM HINGGA KIAMATNYA. ADA YANG SUKA ADA YANG BENCINYA.!!
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa saya tanggapi dari tulisan anda, namun kiranya cukuplah sampai disini saja saya menanggapi tanpa harus membongkar kesalahan-kesalahan pemahaman anda. Semoga anda termasuk orang yang dimaafkan oleh Guru Sekumpul, sehingga Allah mau menerima tobat anda. Amiin.
SukaSuka
yanni said:
Terlanjur fiksi…karamatnya
SukaSuka
palui said:
banyak nang tamakan keramat kakaramputan sudah, sampai kisah pintar wan alim. sampai2 isi kebun binatang takaluar…kadada baisi ilmu handak koment, yaa kaya itu jadinya.
‘
Untuk Penulis: Lanjutkan Tulisanmu. jangan hiraukan orang2 yg tak berilmu menghinamu. Allah selalu bersama orang yang benar 🙂
Terima kasih
SukaSuka
Muhammad said:
lamun kdada urg yg kya panulis ne,,,pas kosong naraka.pina musti,,wani lah nywa mnjamin bhwa ilmu nyawa to bjur,??adakah sdh alloh ta’ala mdhkan bhwa ilmu.nywa yg haq..
SukaSuka
Muhammad said:
nang,nywa pang musti pina bujur,di qur’an adlah suruhan mang ghibah urg, apalgi yg di sambati urg nya sdh maninggal,balajar nang ae dlu bjur2,,klo jar nyw td tntang bnjir waktu haulan datu kalampayan und mnyaksikan sorang kd ujar lg muha ae.kaluaran sdh anak dajjal.
SukaSuka
amang alus said:
Belum tahu siapa Guru Sekumpul penulis ni, buhan Wahabi kalo nih, atau Muhammadiyah kah? nyata dah! kd percaya wali buhan kam ni. Banyaki bado’a minta hidayah ja penulis ai.
SukaSuka