SUATU pagi di hari Jum’at, tiga orang pemuda tanggung datang ke kompleks perumahan. Mereka semua berpakaian hampir seragam; mengenakan sarung, baju koko wara putih dan berkopiah haji warna putih pula. Ini entah sudah yang ke berapa kali mereka datang ke kompleks perumahan pada hari dan dengan tujuan yang sama. (gambar dari: http://faridwajdiarsya.files.wordpress.com/)

Sebenarnya saya tidak perlu lagi bertanya, sebab, dari busana yang mereka kenakan, saya sudah bisa memastikan bahwa mereka, kalau tidak dari jamaah sebuah pengajian atau majlis taklim, pastilah dari panitia pembangunan langgar atau masjid, atau mungkin santri dari sebuah pondok pesantren. Paling jauh, mereka pasti dari group maulid atau kru tarbanger. Dan dari bakul purun bertuliskan “Mohon Sumbangan Sukarela” yang masing-masing mereka bawa, makin menegaskan maksud kedatangan mereka. Tapi saya tetap juga bertanya, dari mana dan apa maksud kedatangan mereka.

Benar saja. Para remaja tanggung itu memang santri dari sebuah pondok pesantren tradisional di wilayah Kandangan, bahkan kiai pimpinan pesantrennya cukup akrab dengan saya. Mereka saban pagi Jum’at setiap minggunya “bergerilya” menadahkan bakul purun guna mengumpulkan sumbangan dari kaum muslimin di daerah ini berupa uang, baik dari zakat, infak, sedekah, atau sumbangan tidak mengikat lainnya. Hasil sumbangan itu, menurut mereka, digunakan untuk menunjang kelangsungan aktivitas thalabul ilmi di pondok pesantren mereka. Memperhatikan para santri yang datang berkelompok sambil menadahkan bakul purun untuk mengumpulkan sumbangan itu, saya jadi teringat dengan film-film Thailand yang menampilkan kegiatan para biksu muda yang juga secara berkala mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengumpulkan derma untuk kegiatan agama Budha dan kebutuhan hidup mereka di kuil-kuil.

Saya tidak ingin menceritakan kepada Anda apakah saya memberikan sumbangan atau tidak terhadap para santri penadah “bakul amal” tersebut. Saya hanya ingin bercerita sedikit tentang interaksi yang pernah saya alami dengan pesantren. Meski secara fisik saya tidak pernah mondok dan nyantri di sebuah pesantren, namun sejak dulu saya sering bergaul dengan banyak santri, sering juga mengikuti pengajian ala pesantren (mangaji duduk mambaca kitab kuning) dan pernah pula bermalam di sejumlah pesantren. Di perpustakaan pribadi di rumah, terpampang koleksi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, meski kebanyakan dalam edisi terjemah. Bahkan, saya juga banyak kenal dan bergaul akrab dengan beberapa ustadz dan kiai yang mengajar atau memimpin sebuah pesantren.

Saya tertarik menyoroti yang terakhir. Dari sejumlah ustadz dan kiai yang mengajar atau memimpin sebuah pesantren di HSS (dan barangkali juga di daerah-daerah lain), sebagian besar dari mereka – kalau tidak dikatakan seluruhnya – sekarang sudah berada dalam strata kehidupan yang tidak bisa dibilang “rendah”; mayoritas para ustadz dan kiai pemilik pesantren di HSS – dan pemuka agama pada umumnya – sekarang sudah menjadi golongan masyarakat kelas kakap (height class) dengan kelompok sosial ekonomi tinggi. Sebagai barometer umum, rata-rata para ustadz dan kiai pemilik pesantren dan pemuka agama itu telah memiliki rumah cukup mewah, lengkap dengan fasilitas pendukungnya, dari motor yang selalu hampir baru hingga sebuah mobil. Barometer ini berlaku juga pada diri kiai pemilik pesantren yang santrinya saban Jum’at datang menadahkan bakul purun ke kompleks perumahan itu.

Salahkah bila seorang ustadz atau kiai pemilik pesantren memiliki fasilitas mewah semacam itu? Anehkah bila seorang pemuka agama seperti tuan guru, ustadz atau habib mempunyai dan menikmati kelebihan berupa harta atau benda? Jawabnya tentu saja tidak. Tetapi, kenapa saya harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu? Tidakkah seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren bila memiliki fasilitas semacam itu akan semakin mendukung pelaksanaan segala aktivitasnya dalam pengelolaan pesantren? Bukankankah seorang pemuka agama seperti tuan guru atau habib yang mempunyai kelebihan harta akan lebih memudahkannya dalam melaksanakan kegiatan dakwah keagamaan yang ia jalankan? Tidakkah wajar bila seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren, pemuka agama, tuan guru atau habib yang bertugas sebagai penjaga moral dan spiritual umat, sebagai pengemban dakwah keagamaan yang tidak mendapat gaji dari pemerintah seperti pegawai pada umumnya, diberikan dan memperoleh imbalan berupa uang atau fasilitas lainnya dari umat atau jamaah yang dibimbingnya?

Kenyataan lain akan segera menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu retoris belaka. Karena betapa banyak pemuka agama seperti ustadz atau kiai yang justru hidup hanya semata-mata dari ”isi amplop” yang ia dapatkan sebagai pembayaran dari kegiatan dakwah yang ia jalankan, tanpa memiliki pekerjaan atau kegiatan usaha yang lain. Tak terhitung pemuka agama yang menggantungkan hidupnya semata-mata hanya dari penghasilannya sebagai juru dakwah bayaran. Tidak sedikit para pemuka agama dan juru dakwah yang menjadikan aktivitas keagamaannya dan profesi keulamaannya sebagai pekerjaan yang mesti mendapatkan upah, dan mengelola lembaga keagamaannya – baik itu pesantren, majlis taklim, group maulid, dan yang lainnya – layaknya sebuah badan usaha yang mesti menghasilkan fulus guna memenuhi segala keperluan hidupannya. Bukannya menjadikan profesi dan kegiatan dakwahnya serta lembaga keagamaan yang dikelolanya tersebut sebagai sebuah tugas apalagi kewajiban, baik secara individu maupun kolektif, sebagai pemuka agama atau penggiat dakwah. Jika hal ini benar terjadi, apa bedanya seorang pemuka agama yang berprofesi dan bergiat sebagai aktivis dakwah dengan pekerja komersil atau karyawan pabrik dan perusahaan yang mendapatkan upah dan gaji? Apa bedanya kegiatan para santri yang bergerilya menadahkan bakul purun itu dengan kegiatan para biksu yang mengumpulkan derma seperti dalam ajaran Budha?

Belum lagi, hati ini rasanya giris sekaligus marah ketika menemukan ratusan atau bahkan ribuan ”kotak amal” untuk pembangunan rumah Tuhan atau kegiatan pendidikan pesantren bertebaran hampir di setiap tempat umum di Kandangan seperti di emperan mini market, di pojok-pojok pertokoan, di ujung meja warung, di sudut perkantoran bahkan di pelataran instansi pemerintah. Beginikah wajah Islam kita, khususnya di Kandangan? Apakah sudah sedemikian lemahnya kehidupan warga sesama kita, sehingga mengesankan hal-hal yang bukan saja kurang pantas tetapi juga memalukan sekaligus menghinakan terjadi di muka umum? Bagaimana hati ini tidak giris dan marah melihat Islam yang ditampilkan di ruang publik dengan cara demikian murah seolah mengidentikkan umat Islam sebagai kaum pengemis atau kelas melarat, karena secara spektakuler kita telah mempertontonkan kepedulain sosial yang begitu kerdil di antara kita. “Bagi mereka yang suka meminta-minta di dunia, di akherat kelak ia akan datang dengan muka tanpa daging!” (HR Muslim). Na’udzubillah!

Bukankah ironis sekali bila seorang ustadz atau kiai pimpinan pesantren atau pemuka agama dan juru dakwah yang sudah memiliki fasilitas rumah cukup mewah hingga mobil baru tapi masih ”mengeksploitasi” para santri atau jamaahnya untuk bergerilya menadahkan bakul purun demi penggalangan dana guna mendukung aktivitas belajar-mengajar – atau mungkin untuk kebutuhan makan dan hidupnya – di pesantren, majlis taklim atau lembaga keagamaan yang ia kelola. Tidakkah menggelikan, para pemuka agama yang sudah berada dalam strarata kehidupan golongan masyarakat kelas kakap dengan kelompok sosial ekonomi tinggi; yang telah memiliki rumah cukup mewah dilengkapi fasilitas motor bahkan mobil, tapi terus menerima pemberian zakat yang dikeluarkan umat? Apakah fenomena ini disebabkan oleh sebuah hadits yang berlatar ”klenik” dan dicomot sebagiannya kemudian ditafsirkan seperti sistem ”waralaba”? Inna ahaqqa ma-akhajtum ’alaihi ajran katabulLah. ”Upah yang paling berhak kamu ambil adalah upah Kitab AlLah.” (HR. Bukhari).

Pertanyaannya sekarang bukan lagi masalah salah atau benar, wajar atau tidak. Tetapi mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa fenomena ulama amplop dan juru dakwah bayaran itu bisa berlangsung? Catatan sejarah yang cukup panjang telah menjelaskan: ustadz, kiai, pemuka agama dan juru dakwah di kampung-kampung (juga di kota-kota!), biasanya, mengumpulkan zakat, sedekah, infak, atau sumbangan masyarakat untuk membangun pesantren, masjid, madrasah, atau fasilitas keagamaan lainnya. Bahkan para kiai secara pribadi bisa (atau membiasakan?) menerima zakat dan semua “pemberian” dari para pengikutnya. Praktik di lapangan menunjukkan, “zakat” merupakan sumber kekuatan tokoh-tokoh agama serta perkumpulan yang mereka kelola. Dalih agamisnya, seorang ustadz atau kiai yang menjalankan aktivitas dakwah dimasukkan dalam delapan kelompok orang yang berhak menerima zakat, yaitu sebagai fisabililLah. Sebuah argumen yang sebenarnya masih melahirkan perdebatan dan kritik tajam. “Memang kata sabililLah itu artinya banyak sekali,” kata Imam Malik. “Tetapi saya belum menjumpai perselisihan pendapat bila kata itu diartikan dengan peperangan di jalan AlLah.”

Di sisi lain, realitas tersebut sungguh kontradiktif dengan fakta yang terjadi di lapangan. Dari pengalaman saya sebagai petugas amil zakat di sejumlah langgar dan masjid di Kandangan, ditambah lagi dengan sejumlah observasi lainnya, fakta menunjukkan bahwa hampir tidak pernah ada nama seorang pemuka agama di Kandangan yang terdaftar sebagai muzakki, (orang yang menunaikan kewajiban zakat). Yang ada ya itu tadi, justru nama sejumlah pemuka agama dan juru dakwah terpampang dan ”selalu terdepan” (meminjam slogan iklan Yamaha) dalam deretan sebagai mustahiqq al-zakat (kelompok orang yang ”berhak” menerima zakat).

Hal ini menjadi kritik sebagai monopoli tokoh-tokoh agama atas sumber daya ekonomi yang mestinya digunakan untuk kemaslahatan umat yang lebih banyak. Meskipun mereka sering berargumentasi, karena kiai-kiai pengelola pesantren dan pemuka agama pelaku dakwah itu tidak pernah mendapat gaji dari pemerintah dan jarang disokong secara finansial oleh pemerintah. Sehingga zakat dan sedekah dari masyarakat menjadi sumber kehidupan sekaligus “kekuatan politik” para tokoh agama itu. Dengan sokongan itu, konon, para pemuka agama tidak terkooptasi dan terkontaminasi oleh pemerintah, dan bisa menjaga independensi terhadap kekuasaan.

Namun, catatan sejarah kembali membuktikan, selama berabad-abad, tidak sedikit para pemuka agama, yang memimpin atau mengajar di pesantren atau tidak, berlindung di balik tameng sebagai “polisi moral” umat yang sesungguhnya telah dikebiri. Dengan uang, baik berupa zakat, sedekah, infak atau sumbangan umat lainnya, yang percaya kepada mereka, mereka membangun pondok-pondok pesantren, madrasah, universitas, panti, yayasan, rumah sakit, masjid, halaqah, organisasi, bahkan partai, dan di dalamnya mereka menimbun dan bergelimang serta berkubang harta kekayaan yang meruah sambil menebarkan dan melegalkan kebohongan dan kebodohan – baik sosial maupun kultural – kepada umat. Lebih parah lagi, dalam kubangan harta serta kemewahan itulah mereka berkoar sebagai tulang punggung agama dan penjaga moral umat di atas kenistaan dan kemelaratan umat itu sendiri.

Geliat lanjut dari kebobrokan kultural dan struktural semacam itu, tak pelak lagi, terhumbalanglah ulama dari percaturan dunia dan hanya terserak di pojok-pojok masjid, di emper-emper majlis taklim atau di keremangan pondok-pondok pesantren. Ulama yang seharusnya menjadi lokomotif “penyuplai” warasatul ‘anbiya telah tereliminasi dari sentral perannya yang sejatinya tidak sekadar tentatif.

Selanjutnya, fungsi ulama juga hanya sekadar sebagai “polisi moral” yang wewenangnya telah dikebiri. Maka mewabahlah kejumudan, taklid buta, khurafat, takhayul, ta’assyub dan kultuistik di kalangan umat.

Ulama sejatinya adalah anak kandung dari penderitaan dan rasa cinta kasih dalam nilai-nilai agama. Ulama sejatinya selalu datang dengan suatu simpati yang besar kepada setiap penderitaan umat, dan menawarkan cinta kasih sebagai landasan paling pokok untuk melawan penderitaan itu. Sebelum disibukkan oleh aturan hukum yang disokong oleh birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik, ulama adalah sumber cinta kasih dan simpati pada mereka yang menderita. Kesibukan ulama yang terlalu berlebihan dengan ritual, seremoni, hukum, dan aturan-aturan yang dijaga ketat oleh ortodoksi agama, bisa membuat ulama itu kehilangan sensitivitas dan sentuhan akan penderitaan mereka yang lapar, mereka yang hak-haknya dirampas, mereka yang ada di pinggiran kekuasaan. Ulama yang telah merosot hanya menjadi fasilitator “ibadah” badaniah belaka atau segerombolan petugas hukum yang dikawal oleh ortodoksi paling jauh hanya bisa disebut sebagai expired canonist atau ulama kadaluarsa.

Ulama sebagai fasilitator upacara ritual memang diperlukan. Umat, sekali-sekali dalam hidupnya, perlu upacara, dan agama menyediakan ”perkakas keagamaan” untuk penyelenggaraan upacara itu, sedang ulama menjadi “operator ritualitas” dan “tekhnisi seremoni” dalam Islam. Tetapi, jelas upacara dan ritual dalam Islam hanyalah ornamen atau hiasan luar. Ibadah dan hukum-hukum dalam Islam adalah semacam eksterior atau ruang bagian luar dari Islam. Interior atau ruang dalam Islam adalah cita-cita, esensi, makna dan hakekat yang menjadi alasan kenapa agama ini lahir ke muka bumi. Salah satu cita-cita mendasar Islam adalah simpati dan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tersingkirkan (dha’if wa mustadh’afin). Dalam konteks inilah ulama memegang kendali utama sebagai lokomotif terdepan dalam rangka merealisasikan cita-cita dasar Islam tersebut.

Manakala ulama telah kehilangan kepekaan kepada semangat zaman, maka sudah selayaknya jika umatnya mulai mempersoalkan ulama itu sendiri atau bahkan meninggalkannya. Islam tak menghendaki kepada ulama yang kiat satu-satunya yang ia miliki untuk menarik minat umat melaksanakan ajaran agama adalah dengan cara menyuguhkan ‘kegembiraan di kemudian hari’, tetapi tidak kegembiraan di dunia dan kehidupan sekarang ini.

Ulama yang “fresh” adalah ulama yang membimbing umat untuk melaksanakan ajaran agama guna menghadapi masalah di dunia saat ini, yang menyapa umat yang mengalami penderitaan, yang menjanjikan keselamatan bukan saja di dunia nanti, tetapi juga di dalam kehidupan saat ini. Ulama yang menjadikan ketaatan agama berorientasi kepada doktrin, ritus dan seremoni sebagai tujuan pokoknya; yang berperan hanya sebagai “operator ritualitas” dan “tekhnisi seremoni” belaka; yang menggunakan jampi-jampi agama untuk konsumsi ekonomis atau komoditi politis, bisa disebut sebagai ulama kadaluarsa yang sudah kehilangan identitas dasarnya sebagai warasatul anbiya.

Dalam perkembangan selanjutnya, saya khawatir ulama akan berfungsi multi-ganda sebagai fasilitator, operator, obligator atau bahkan predator agama! Na’uzubilLah summa na’uzubilLah