Indonesia adalah negara demokratis. Pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota  sudah langsung. Orang bebas membentuk seabreg partai. Pers sudah sangat bebas memberitakan apa saja. Orang bebas menyuarakan apa saja. Berbagai komisi dan lembaga sudah dibentuk. Lalu mengapa hukum tak bisa tegak? Mengapa orang seperti Anggodo terlihat begitu berkuasa? Anggoro, kakaknya Anggodo, bukanlah orang terkaya di Indonesia, lalu apa yang bisa diperbuat oleh orang terkaya di Indonesia?

Jika saja semua drama ini terjadi di jaman Pak Harto tentu saja kita semua akan maklum. Pemerintahan Pak Harto sangat berkuasa di bidang apapun termasuk di bidang hukum, sehingga semua kasus, semua penyelesaian hukum, bisa diarahkan sesuai kehendak pemerintah. Namun semua ini terjadi pada zaman demokrasi. Lalu apa yang salah dengan pemerintahan yang demokratis?

Tanpa perlu lama menunggu hasil pengadilan, secara logika kita sudah bisa mengetahui apa yang terjadi.

Sebenarnya skenario untuk menjatuhkan Antasari Azhar adalah cukup kuat. Keterlibatan Antasari dalam kasus Nasrudin adalah berdasarkan skenario bahwa Antasari menjalin hubungan cinta segitiga dengan Rani, istri Nasrudin. Ini berdasarkan pertemuan Antasari dan Rani di Hotel Grand Mahakam. Pada pertemuan ini diduga terjadi “hubungan” antara Antasari dan Rani, yang kemudian dilabrak oleh Nasrudin. Nasrudin mengancam Antasari akan memberitahukan perbuatan tersebut kepada khalayak. Antasari, yang telah melapor ke polisi soal teror terhadap dirinya, kemudian bekerja sama Wiliardi Wizard dan Sigit Haryo Wibisono membuat perencanaan pembunuhan Nasrudin. Dan Nasrudin terbunuh.

Kejanggalan dari skenario ini adalah motif yang mendorong pembunuhan terlalu sederhana. Bagaimana mungkin orang seperti Wiliardi yang masih memiliki masa depan di kepolisian mau terlibat? Tuduhan bahwa Antasari bisa membantu karirnya boleh dikatakan omong kosong. Mana bisa Antasari mempengaruhi karir polisi. Walaupun sudah mengaku di pengadilan, namun apakah orang seperti Sigit, yang kaya raya, mau terlibat begitu saja untuk penyelesaian urusan cinta segitiga yang sepele dengan pembunuhan?

Namun, syukur alhamdulillah ada pengakuan saksi sekaligus terdakwa, Wiliardi Wizard, yang membuat segalanya terang bahwa kasus ini adalah rekayasa. Walaupun pengakuan sesorang adalah alat bukti yang terlemah, namun pengakuan ini ditambah kasus berikutnya yang menimpa Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto semakin memperkuat adanya konspirasi untuk melemahkan KPK.

Sementara itu skenario penghancuran Chandra-Bibit memang payah. Satu-satunya petunjuk adalah pengakuan Ari Muladi bahwa telah menyerah uang secara langsung (pengakuan pertama) atau tidak langsung (pengakuan kedua). Skenario kemudian mengatakan ada bukti kuat bahwa penyerahan telah berlangsung karena terbukti ada mobil KPK di Pasar Festival ataupun di Hotel Bellagio.

Tentu saja ini bukti sontoloyo. Mobil KPK bisa kemana saja pada waktu kapan saja. Pengakuan sepihak Ari Muladi plus keberadaan mobil di suatu tempat mana bisa dijadikan bukti.

Bahkan Jaksa Agung membuat analogi yang keliru mengenai bukti kuat dan bukti mutlak. Dia memisalkan A dan B pacaran. Lalu orang menemukan pada waktu yang bersamaan A dan B berada di sebuah hotel. Itu adalah bukti kuat A dan B melakukan perzinahan, tanpa perlu bukti mutlak berupa saksi langsung perzinahan. Ini dianalogikan dengan keberadaan Ari Muladi dan mobil KPK pada saat bersamaan, maka disimpulkan pasti terjadi transaksi keuangan di sana.

Kekeliruan analogi ini adalah dengan menyamakan hubungan pacaran A dan B dengan hubungan Ari Muladi dengan Chandra-Bibit. Pada A dan B jelas kita tahu ada hubungan, sedangkan pada Ari Muladi dan Chandra-Bibit jelas tidak saling mengenal. Lebih jauh, misalnya si A mengaku-aku mencintai seorang artis, sementara si artis tidak mengenal si A. Kemudian pada suatu ketika di suatu tempat ada mobil si A dan si artis, bisakah kemudian kita mengatakan si A dan si artis sedang bermesraan di hotel?

Jadi bagaimana mungkin keberadaan mobil KPK dengan keberadaan Ari Muladi di tempat dan waktu yang sama dapat disimpulkan Chandra-Bibit menerima uang? Apalagi pada tanggal yang disebutkan Bibit sedang berada di Peru. Dan bukti kuat percakapan telpon yang disadap polisi ternyata adalah percakapan antara Anggodo dengan Ary Muladi, bukan percakapan antara Anggodo/Ari Muladi dengan Chandra-Bibit.

* * *

Faktor utama yang menyebabkan kasus ini berlarut-larut adalah ketidakjelasan sikap presiden. Presiden tidak mungkin menyerahkan penyelesaikan kasus ini pada mekanisme hukum yang ada. Bagaimana mungkin menyelesaikan kasus yang melibatkan polisi dan jaksa sementara yang mengusutnya adalah polisi dan jaksa sendiri? Jeruk tidak akan minum jeruk. Ini sama seperti menyerahkan pembuatan undang-undang larangan tembakau kepada orang-orang pabrik rokok.

Melihat berbagai indikasi, tidak mungkin kedua pimpinan lembaga yang sekarang bisa mengusut tuntas anak buahnya yang diperkirakan terlibat. Yang terlihat sekarang adalah upaya-upaya membela diri yang justru menghilangkan substansi permasalahan. Sebagai penonton kita, yang setiap hari diberikan bukti melalui televisi, sudah bisa menjadi hakim. Kita yang tak punya urusan apa-apa dapat menilai pihak mana yang salah, pihak mana yang benar. Pada kasus ini, saya sangat percaya Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Banyak pula pihak, termasuk Komisi III DPR,  mendesak agar kasus Bibit-Chandra tetap diajukan ke pengadilan. Aneh sekali. Bagaimana mungkin orang yang tak bersalah diajukan ke pengadilan? Apakah kita bebas menuduh orang, lalu untuk membersihkan nama, maka orang tersebut harus melalui pengadilan?

Demokrasi Indonesia harus diselamatkan, institusi negara harus dibersihkan. Tanpa penegakan hukum, berlakunya keadilan, maka demokrasi itu tidak ada gunanya. Selain menjadi negara demokratis, Indonesia perlu menjadi negara waras!