Tanpa disadari atau memang mereka tak mau menyadarinya, lebih dari 70% kematian sepanjang sejarah disebabkan oleh perang agama, ras, suku, dan bangsa (sebagian besar disebabkan dari “perang suci”). Palestina yang dijanjikan sebagai "tanah suci," hampir tak ubahnya tanah berdarah. Jutaan janda, anak yatim, seolah menjadi dekorasi panjang yang menghiasinya. Orang-orang yang mengaku “suci” itu dengan pongah meneriakan nama “tuhan” seolah "perang suci” tersebut atas kehendak Tuhan. “tuhan”lah yang menginginkan nyawa orang-orang “kafir” tersebut. Tapi apakah benar tuhan yang mereka maksud dalam kitab suci itu adalah Tuhan yang sesungguhnya?

Semua keberadaan ilahi yang ditulis di dalam kitab suci dimediasi dalam bentuk tanda bahasa, yakni paragraf atas kata-kata. Kaum Representasionalisme, berpandangan, “semua yang ada, ada di dalam bahasa.” Artinya bahasa menggambarkan hal-hal real, baik eksternal(relealitas objektif, segala sesuatu yang ada diluar sana) maupun internal (relealitas subjektif batiniah kita). Bahasa tak ubahnya cermin, merefleksikan segala sesuatu yang ada di depannya dengan setepatnya. Namun apakah benar demikian? 

Bapak linguistik modern Ferdinand de Saussure, berpendapat tanda bahasa tidaklah menyatakan benda dengan nama seperti yang dipahami secara tradisional. Melainkan menyatukan konsep dengan citra akustis. Dengan demikian pengertian pengacuan bahasa terhadap hal-hal eksternal dan internal gugur. Namun, menurut Saussure, kita masih bisa membicarakan bahasa sebagai sistem tanda, walaupun bahasa yang sedang kita bicarakan itu telah dilepaskan dari referensinya atas realitas.

Saussure berpandangan tanda memiliki dua unsur manunggal yang salah satunya tak dapat dipisahkan dari yang lain. Yaitu, penanda (signifier) dan petanda (signified). Pohon adalah penanda, maka pohon yang ada di kepala kita adalah petanda. Apabila dirumuskan akan menjadi:

Saussure: Tanda = Penanda yang menunjukan petanda

Di samping itu, bahasa memiliki sifat arbitrer (mana suka). Ini berarti setiap orang berhak menyebut Tuhan dengan nama Ganesha, Thien, Allah, Brahman, Zeus, Yahweh, atau Evil sekalipun, karena setiap petanda dimaknai berbeda oleh masing-masing individu. Tidak ada alasan mengapa kita menyebut sendok, gelas, dan piring untuk menunjuk objek referen tersebut. Sama halnya tidak menjadi masalah bagi kita menyebut Tuhan dengan nama apapun. Makna tanda (hubungan tanda dengan objek referensialnya) lebih berbentuk kultural, bukan natural. Dan tidak ada argumen-argumen kodrati alamiah maupun ilahiah yang mengharuskan kita menyebut sendok kepada semua peralatan makan

Derrida memiliki konsep yang sedikit berbeda dengan Saussure. Menurut Derrida petanda adalah suatu hal yang ilusif, karena sebenarnya ia merupakan penanda juga. Penanda akan selalu menunjuk penanda lainya.

Derrida: Tanda = Penanda ~ penanda ~ penanda ~ penanda ~ penanda ~ dst

Derrida menyebut tanda/ teks sebagai bekas (trace). Misalnya sebuah jejak di pasir merupakan bekas dari sepatu yang kita gunakan. Sepatu menunjuk kepada rak sepatu. Dan gilirannya menunjuk dapur tempat kita menyimpan rak sepatu tersebut. Selanjutnya dapur menunjuk pada benda-benda yang ada di dalamnya – Piring, sendok, panci, kompor, sampah, kulkas, gelas, langit-langit, fentilasi, dll – Kemudian benda-benda itu berturut-turut mengacu pada benda-benda lainnya – tempe, ikan, telur, nasi, sayur asem, rendang, es jeruk, jus alpukat, dll. Kesimpulannya makna suatu tanda (dalam suatu teks) tidak akan pernah final. Suatu tanda tidak akan mencapai kepenuhan makna. Makna akan berubah ketika kita melibatkan suatu relasi lain dengan tanda-tanda lain. Sehingga menjadi wajar bila penafsiran terhadap kitab keagamaan maupun ketuhanan kian plural. Ini disebabkan seiring bertambahnya pengetahuan dan pola pikir manusia dari pengalamannya. Pengingkaran terhadap pulralisme merupakan bentuk penistaan terhadap hukum kehidupan. Jika MUI mengharamkan (mengatakan sesat) pluralisme, maka sesungguhnya pikiran merekalah yang tengah tersesat.

Metafor
Menurut Aristoteles, metafor merupakan perangkat kebahasaan yang berfungsi menjelaskan sesuatu dengan menerakan suatu sifat yang sebenarnya dimiliki oleh sesuatu yang lain. Misalnya, alisnya bak semut beriring, akan aneh jika kita mengatakan bibirnya bak semut beriring.

Perlu disadari metafora memiliki sifat:

B = A, tapi bukan A

Sebagai contoh, Alisnya bak semut beriring. Ketika ia mencukur alisnya, sama halnya dengan barisan semut beriring tadi kita bubar paksa. Akan tetapi berisan semut tadi akan dengan mudah membentuk kembali barisannya. Namun tidak dengan alis mata yang membutuhkan waktu untuk tumbuh kembali.

Metafor berfungsi menjelaskan sesuatu yang sebelumnya susah untuk dijelaskan, tapi dibalik itu ia dapat pula mengecoh, dikarena ia memiliki sifat bukan seperti itu. Terpahamilah suatu kesia-siaan membicarakan dan menjelaskan sesuatu melalui metafor, karena ia tidak pernah menyentuh kodrat sesuatu dengan persis. Kesia-sian juga berlaku jika kita membicarakan mode-mode metaforis lainya, seperti surga-neraka, tuhan, jin, dan setan.

Filosof termasyur, Immanuel Kant, menunjukan ukuran kompetensi rasio manusia dalam memperoleh pengetahuan dan kodrat pengetahuan manusia yang dicapai melalui rasio. Kant mengilustrasikan pemahaman realitas objektif manusia serupa dengan sebuah pohon melalui kacamata berlensa merah. Pohon yang yang kita lihat berwarna merah itu adalah realitas yang dapat kita pahami (Das Ding fur Mich). Sedangkan pohon sebenarnya (Das Ding an Sich) tetap tak terjangkau oleh kita, lantaran kacamata merah itu selalu kita gunakan sejak lahir. Kacamata merah itu kodrat metode rasio kita. Walaupun demikian pengetahuan pohon berwarna merah tidak akan pernah kita dapatkan jika tidak ada pohon yang sebenarnya (pohonan Sich). Jelaslah sudah eksistensi Das Ding an Sich ditangkap dengan cara melingkar. Keberadaan Das Ding an Sich dibuktikan melulu oleh Das Ding Fur Mich. Berarti Das Ding an Sich dibuktikan atas dasar suatu pengandaian.

Keberadaan “tuhan” dalam kitab suci juga diverifikasi tidak secara langsung, melainkan dengan cara melingkar, yaitu dengan pengandaian, yang dijelaskan dari keterangan-keterangan wahyu. Sehingga status ontologis “tuhan” telah didevaluasi menjadi metafor. Seperti yang telah dijelaskan metafor merupakan suatu kesia-sian.

Kembali kepada Saussure, tanda bahasa (dalam suatu teks) tidak menunjuk pada sesuatu hal yang real baik eksternal maupun internal. Sebuah tanda bahasa tidak pernah mengacu pada realitas sedikit pun.Ini menegaskan bahwa “tuhan” yang diperjuangkan dan dibela mati-matian hingga mengorbankan sisi kemanusian oleh “orang-orang suci” itu bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang sesungguhnya bukan “tuhan” yang berada di dalam “kitab suci”, karena kenyataannya “kitab suci” tersebut hanya merupakan buah konstruksi manusia. Lantas untuk siapa mereka saling menumpahkan darah?