Dalam banyak hal, para elite sipil negara ini masih gamang untuk jadi penguasa diera reformasi ini, dapat dilihat dari capres/cawapres yang sedang bertanding. SBY/capres-mantan TNI, Wiranto/cawapres-mantan TNI,Prabowo/capres-juga mantan TNI.bagaimanapun yang penting siapapun yang diberi mandat oleh rakyat, harus tunduk pada rakyat, sebab kedaulatan terletak ditangan rakyat.dalam UUD 1945 itu juga diatur dengan sangat jelas yaitu,:bahwa Indonesia menganut asas "kedaulatan berada ditangan rakyat".
Sudah beberapa kali UUD 45 diselewengkan oleh para penguasa negeri ini, itu tidak boleh terulang kembali. Diera orde baru, TNI, khususnya TNI-angkatan darat, berada ditempat yang paling istimewa dibawah kekuasaan mendiang Soeharto, TNI-AD telah dipakai sebagai alat oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, akibatnya muncul pada sementara TNI waktu itu, yang merasa diri paling superior,merasa diri sebagai warga Negara kelas satu, dan mengentalnya hubungan patronase.
Diera reformasi, berbagai sikap yang berbeda muncul ditubuh TNI-AD dan perbedaan itu secara nyata berlanjut sampai mereka purnawirawan. Terbukti saat ini adanya tiga kelompok mantan perwira itu yang menjadi tim sukses tiga calon presiden yang akan bertarung pada pemilu 08 Juli berapa hari lagi. Kenapa para mantan perwira ini tidak “satu” suara dalam hal dukung mendukung ini..?
Mengkaji cara beliau-beliau ini mengadakan pendekatan , terkesan adanya pengelompokan para mantan perwira ini dalam arti adanya cara pandang yang berbeda pula terhadap cawapres-cawapres yang sedang berlomba.
Pertama, kelompok royalis, yaitu kelompok yang ingin tetap langgengnya jaringan patron client dengan kekuasaan masa orde baru pola fakir mereka masih pola fakir orde baru, karena dulu sama-sama menikmati keistimewaan atau sama-sama saling merasa berhutang budi, mereka dalam menyamput era reformasi ini hanya setengah hati, artinya kapan perlu reformasi ini diputar haluan manakala kepentingan mereka terancam, kalaupun ada istilah reformasi tak lebih sekedar pendekatan progmatis agar sejarah hitam masa lalu dilupakan rakyat, atau dalam istilah lain tidak diungkit-ungkit lagi.
Kedua, kelompok taktis, sebenarnya termasuk kelompok pragmatis juga, memandang reformasi dalam arti kembali kejati diri, kembali kefungsi pertahanan tidak bermain politik praktis, senantiasa berusaha menjaga netralitas dalam pemilu, misalnya “dibarakkan” selama pemilu.
Ketiga, kelompok ideal yaitu condong kepada reformasi, dimana masalah-maslah reformasi dianggap memiliki nilai strategis dan ideal, tegasnya maksud dan tujuan reformasi harus berada dalam jalur pengamanan terhadap masyarakat yang mejemuk, demokratisasi, tegaknya supremasi hukum .
Sudah merupakan kenyataan sejarah, selama 32 tahun, menjadi alat penguasa, para mantan perwira tersebut sangat menyadari bahwa dulu mereka pernah tidak melindungi hak-hak rakyat, mengenyampingkan etika dan moral, bahkan sebaliknya dijadikan alat untuk menekan dan mencabut hak-hak rakyat, membatasi gerak gerik rakyat untuk berdemokrasi.
Sejatinya, jalannya kehidupan Negara diatur oleh pemerintah, dan pemerintah memberikan layanan kepada rakyat, termasuk mengatur masalah pertahanan. TNI sebagai aparat yang sah, adalah alat Negara..! dalam kedudukan itu TNI bukanlah penguasa, TNI adalah abdi rakyat, dan penggunaannya oleh pemerintah tentulah dibatasi oleh oleh aturan-aturan yang disepakati rakyat, kondisi inilah yang tidak bekerja selama 32 tahun dimasa orde baru, dan kini diera reformasi para mantan perwira harus melepaskan semua pernik-perik gaya orde baru, sebab tidaklah diterima rakyat kalau masih ada sikap para mantan perwira ataupun yang masih aktif mengembalikan keadaan seperti dulu.
Berdasarkan teori tentang demokrasi, dapat kita simpulkan bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan. Dalam konteks Barat konsepsi kedaulatan ini berkembang jadi suatu pemikiran tentang adanya supremasi sipil dalam pemerintahan, hal ini terkait dengan ide bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dikontrol oleh rakyat sehingga keberadaan biliter sebagai bagian dari pemerintahan dengan sendirinya turut berada dibawah kehendak dan pengaruh rakyat. Meski dalam pelaksanaannya militer tetap diberi kekuasaan otonom untuk mengatur dirinya sendiri, namun dalam konteks kehidupan bernegara kehadiran militer tak lebih dari penguasa alat-alat kekerasan atau dalam istilah manager of violence, (baca : alat-alat perang) yang hakikat dan fungsi utamanya adalah untuk menjaga kestabilan pemerintahan yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil.
Dengan demikian dialam demokrasi, mencuat dua jenis tugas atau pekerjaan yang sesungguhnya terkait erat dengan etika, profesionalisme, yaitu jenis pekerjaan yang dipengaruhi oleh prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan berfikir, kebebasan berekspressi, dan lain sebagainya, Pekerjaan seperti ini hanya dilakukan oleh orang-orang sipil, yang secara professional mencakup banyak hal yang terkait, dengan kehidupan bernegara. Sedang jenis pekerjaan yang lain yang berbeda sangat tajam yaitu pekerjaan yang mementingkan hierarki, kepatuhan yang tinggi karena jenjang kepangkatan garis komando dan lain sebagainya. Manusia yang bekerja seperti ini dapat diibaratkan seperti robot, seperti kelompok militer, yang secara professional hanya mengurus persoalan mengenai perlindungan Negara. Sehingga dalam masyarakat yang tingkat demokrasinya sudah mapan, memiliki dua struktur pekerjaan yang berbeda itu, Militer mengakui dirinya secara professional hanya mengurus bagian tertentu saja dari seluruh persoalan kenegaraan, karenanya muncullah istilah “supremasi sipil”. Dalam arti militer dipandang sebagai sub-ordinate sipil..!
Para founding father Negara ini menyadari sepenuhnya arti kedaulatan rakyat, hal itu terutama terkait dengan pengalaman pahit sejarah bangsayang telah memperlihatkan praktek kesewenangan penguasa colonial yang telah membawa kesengsaraan bangsa.
Dan dialam reformasi, para pemimpin bangsa harus secara penuh menyadari pula makna demokrasi(kedaulatan rakyat) sebagai suatu ideology atau sistim pemerintahan yang konduksif bagi upaya memasuki era globalisasi demi kebangkitan Negara dan bangsa kepada khidupan yang lebih baik.
Sebetulnya Negara kita tidak mengenal supremasi sipil, yang ada adalah supremasi rakyat, rakyatlah yang berkuasa.itulah sebabnya agar demokrasi itu berjalan dengan baik dan murni, rakyat diberi keleluasaan untuk memilih pemimpinnya secara langsung dalam pemilihan umum yang untuk kali ini akan kita sonsong tanggal 08 Juli 2009. Memang ada kekhawatiran-kekhawatiran banyak pihak tentang pemilihan umum yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi, banyaknya DPT-DPT yang bermasalah,Cara kerja KPU yang sembrono, Tim sukses yang dihuni oleh para mantan perwira yang saling berseberangan, hasil-hasil survey yang menggelitik,seperti adanya suatu konspirasi (baca:komando) dalam menentukan hasil permilihan umum, membuat rakyat was-was, militer cara kerjanya adalah sistim komando, tak boleh dibantah, artinya lagi dalam militer tidak ada “demokrasi”, apakah kondisi seperti itu akan “ditularkan” pula kepada rakyat diera refomasi ini..? Atau apakah itu penyebabnya SBY, yang nota bene mantan militer memilih Boediono sebagai calon wakilnya karena Boediono karakternya tidak mau membantah ..? Tiga puluh mantan perwira dalam kelompok tim sukses para capres, berarti akan ada tiga puluh komando yang akan dijalankan…!!
Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja.
Anonim said:
Tidak ada salahnya seorang purnawirawan TNI maju dalam pilpres, asal mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku dalam pilpres. Terserah rakyat yang akan menentukan pilihan. Memang Bangsa Indonesia masih trauma dengan praktek-praktek penyimpangan masa Orde Baru dulu. Yang penting aturan demokrasi tetap harus ditegakkan sesuai dengan UU, sehingga praktek-praktek penyalah gunaan kekuasaan seperti pada jaman Orde Baru tidak terulang lagi.
SukaSuka
Anonim said:
Tugas utama TNI adalah menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia dari ancaman militer dari luar, dan jika terjadi pemberontakan bersenjata dalam negeri, itupun kalau diminta bantuan Polisi atau keadaan sudah sangat darurat. Sedangkan untuk menjaga ketertiban masarakat merupakan tugas pokok Polisi. Yang masih menjadi masalah adalah adanya tugas Teritorial TNI, dengan adanya Kodam, Kodim, Korem sampai Babinsa. Wilayah tugas TNI adalah dari Sabang sampai Merauke, tidak harus dibagi-bagi sesuai dengan wilayah pemerintahan. Ini yang terjadi dibanyak negara,seperti negara-negara Eropa dan Amerika tidak mengenal tugas teritorial ini. Hanya Indonesia, Rusia dan tidak banyak negara lain yang menerapkan tugas teritorial ini. Terbukti kekuasaan teritorial ini yang sangat efektif digunakan oleh Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan sekaligus mendukung praktek-praktek penyimpangan. Hal ini yang masih sangat dikhawatirkan kalau praktek-praktek penyalah gunaan tugas teritorial ini dimanfaatkan para capres dan cawapres dalam pilpres yang akan datang. Semoga saja tidak terjadi.
SukaSuka
Anonim said:
Tugas menjaga ketertiban masarakat itu adalah tugas Polisi. Militer itu tugas utamanya adalah untuk ancaman militer, bukan untuk menghadapi masarakat. Jadi penempatan pasukan militer dimanapun diwilayah negara Indonesia ditentukan dari besarnya ancaman militer didaerah tertentu dan pertimbangan teknis, mobilisasi, peralat tempur, dll, tidak harus sesuai dengan pembagian wilayah kekuasaan pemerintahan, setiap propinsi, kota madya, kabupaten, dll. Yang mengikuti wilayah pemerintahan adalah polisi, karena polisi berhubungan langsung dengan masarakat, sedangkan militer tidak seharusnya berhubungan langsung dengan masarakat.
SukaSuka
Anonim said:
Dulu ada istilah “Manunggal”,negara dalam keadaan tenang dan aman,ABRI dan rakyat saling membahu mengadakan gotong royong,memperbaiki jalan dan jembatan yang rusak, membantu petani mengangkut padi dari sawah kelokasi tertentu, itu saya saksikan sendiri, malah sayapun ikut melaksanakan gotong royong,masih segar dalam ingatan saya, penduduk dengan suka rela ikut goro,dan menyediakan makanan dan minuman ala kampung, jagung bakar/rebus, rebus ketela dan lain-lain,rakyat justeru tidak ada rasa takut atau semacam hormat yang berlebihan, malah seperti keluarga,terlepas ada maksud tertentu dari penguasa,adanya manunggal ABRI dan rakyat ini ada manfaatnya, sekurangnya rakyat bisa bercengkrama dengan tentaranya, itu adalah sekelumit nostalgia bersatunya rakyat dengan TNI-nya. Walau kupasan diatas merupakan “negative” fungsi TNI masa silam, namun sudah pasti, para prajurit tentu tidak sama dengan perwira. Kalau perwira lagunya ,:”dimana-mana senang.” Maka Prajurit lagunya,:”maju tak gentar”. Jaditidak ada salahnya kalau TNI berhubungan langsung dengan rakyat asal untuk tujuan “merakyat”..!
SukaSuka
Anonim said:
Tidak ada salahnya manunggal TNI dengan rakyat untuk gotong royong, membantu dalam keadaan musibah dan bahkan harus, karena TNI lah yang sudah terlatih bergerak cepat dan mempunyai peralatan, terlatih dan sudah terbiasa menembus medan yang sangat sulit. Yang menjadi masalah adalah jika TNI ikut mengatur masarakat padahal dalam keadaan aman tenteram, ikut melakukan penahanan, melakukan pemeriksaan langsung terhadap orang yang dicurigai. Itu semua adalah tugas polisi.
SukaSuka