Seperti banyak orang minang yang  tumbuh dan besar di kampung, saya naturally tidak punya kesan dan persepsi yang bagus tentang orang batak.

Batak adalah kafir pemakan anjing. Tentu juga makan babi, tidak beradat, maling, perampok, mabuk, dan ujung titit tidak dipotong, adalah hal-hal lainnya yang worth to mention.

Tentu berbeda sekali dengan orang Minangkabau yang islami, beradat dan santun, serta berbudaya.. Berbeda sekali dengan orang Minang yang katanya berpendidikan dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Orang batak adalah kaum yang malang berbudaya rendah dan sayangnya juga mantiko, menyebalkan dan berpeluang besar jadi sampah masyarakat.

Mungkin tidak hanya saya, banyak batak sendiri yang mencoba membangun jarak dengan kebatakan mereka. Lihatlah, betapa mandailing, angkola, dan juga sebagian karo atau dairi-pakpak mencoba memutuskan asosiasi dengan kebatakan mereka. Bahkan, banyak yang terang-terangan di pantai timur menjelma menjadi melayu.

Namun, belakangan, banyak hal-hal baru tentang orang batak yang saya ketahui. Nggak semua batak jadi kernet bus, banyak yang jadi sopir juga, dan sekaligus pemiliknya. Banyak juga batak yang motong ujung tititnya, nggak makan anjing, nggak makan celeng. Banyak batak yang rajin ke mesjid, bernama arab, dan berjilbab ria. Banyak batak yang mentereng, wangi, mengkilat, dan gak berjigong. Banyak batak jadi camat, lurah, menteri, bupati, gubernur, rektor, dan pengusaha. Banyak batak yang cantik jelita, tampan rupawan, ganteng rumanteng.

Di Bandung, saat nyasar sekolah di jurusan dan fakultas top di kampus yang katanya paling tob se Indonesia, saya baru menyadari betapa banyak batak cerdas berseliweran. Kalau minang perantauan diexcluded, surely lebih banyak si batak pintar di kampus ini daripada si minang. Batak-batak ini tak hanya senang bergitar, mereka juga pintar bernyanyi bersama dalam paduan suara harmonis. Dan saya nggak sempat lihat mereka makan anjing, malah pada rajin ke restoran padang.

Selain berambut hitam, berjakun, dan berpantat dua, banyak kenalan dekat batak saya yang berhati lembut, santun, dan pemurah hati. Ingin rasanya saya menuliskan nama-nama teman lama batak itu di sini.

The reality is… tertinggal beratus-ratus kilometer di belakang, batak melaju kencang, dan dengan mantap menyalip Minang yang senang berlenggak-lenggok seperti banci dengan pantun-pantun dan ayat-ayat al quran berhahasa arab kuno itu.

Di Jakarta, batak menyelip di antar ratusan pedagang minang, dan menggeser pelan-pelan, bahkan mendominasi di beberapa titik. Lebih banyak pengusaha baru sukses batak dari pada minang. Lebih banyak insinyur berkualitas batak dari minang. Lebih banyak eksekutif baru batak daripada minang. Jangan ditanya pengacara, hakim dan jaksa Lebih banyak batak jadi politikus dan birokrat daripada Minang. O iya, ada Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dll…iya, di abad lalu…

Penulis dan sastrawan? Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Idris, Adinegoro, etc? Masih untung masih ada Pak Habe dan Pak Edizal. Dan yang jelas semakin banyak perempuan cantik lebih tergila-gila pada batak sukses, regardless ujung titit mereka dipotong atau tidak, daripada Padang bau rendang.

Ada beberapa nama Minang yang mencoba terseok-seok menyaingi Batak, tapi mereka lebih minang perantauan yang tidak terikat pada nilai-nilai primitif minang.

Yang tersisa? yang tersisa bagi orang minang adalah keirian, setidaknya bagi minang seperti saya. Tidak gampang mengubah perspective yang sudah built-in tentang kaum inferior bernama batak, pemakan anjing, titit berujung, perampok, pemabok, dan yes kafir…Yang ada adalah keirian. Ini sangat berat bagi orang Minang, menghadapi kenyataan menyakitkan ini.

Tapi hari demi hari, saya makin simpati pada barisan batak ini. Saya melihat kejayaan orang Minangkabau masa lalu pada kaum pemakan celeng ini. Cerita kesuksesan kaum minoritas Minangkabau di masa lalu, terulang pada kaum Batak.

Menolak adat dan kebiasaan yang tidak sesuai jaman dan tidak produktif; belajar dan mengadopsi peradaban, kebudayaan, dan pengetahuan baru dari Eropa atau Timur Tengah; kritis, berani berbicara dan bertindak; membuka mata, telinga, dan hati lebar-lebar… semuanya adalah pondasi kesuksesan orang Minangkabau di masa lalu. Hal yang dilupakan telak-telak oleh orang Minangkabau sekarang, diambil alih dengan mantap oleh orang batak. Orang minang senang meringkuk dalam tempurung adat bersyandi syarak, dan syarak bersandi kitabullah itu. Rajin menghapal pantun-pantun dan ayat alquran berbahasa arab, dan berpegang padanya erat-erat, very tightly.Tidak punya nyali dan titit untuk melangkah keluar dari tempurung kecil berselimut sabut kelapa jamuran itu.

Setiap kali saya membaca koran, majalah, internet, dan menonton tivi..saya seperti melihat Muhammad Hatta dengan marga Situmorang sedang berbicara atau dibicarakan, saya seperti melihat Sutan Sjahrir dengan marga Panggabean; M Natsir Simbolon, M Yamin Pangaribuan, Agus Salim Butar-Butar, Adinegoro Hutabarat, Chairil Anwar Harahap, Sutan Takdir Alisjahbana Simanjuntak, Marah Rusli Siagian, Rohana Kudus Napitupulu, Rasuna Said Siregar, Abdul Muis Tobing, Tan Malaka Marpaung, Buya Hamka Pardede….

Menurut majalah Tempo, 6 dari 10 tokoh Indonesia paling berpengaruh di abad 20 adalah kaum minoritas Minangkabau. Quite possibly, untuk abad 21, enam dari sepuluh tokoh itu adalah dari kaum minoritas Batak.
Nampaknya, mimpi saya untuk melihat orang Minangkabau membangkit batang terendam, mengulangi kejayaan masa lalu tercapai sudah, melalui kaum Batak kafir pemakan anjing ini.

Tapi, sebaiknya saya berhenti mengasosikan Batak dengan anjing, baiknya lah dengan kabau alias kebo. Kerbau adalah simbol kemenangan orang Minang di masa lalu=  ‘Minangkabau’. Namun, kini orang Batak jelas lebih berhak memanggulnya…Batakkabau!

Saya berharap ada kaum Batakkabau yang menerima saya menjadi bagiannya, dengan senang hati saya rubah suku Sikumbang ini menjadi marga Simatupang.

—————————————
htpp://anginpetang.wordpress.com