Kontradiksi antara istilah, semboyan, peraturan, dan sejenisnya dengan praktek / fakta, sudah menjadi hal biasa di negeri ini.
Salah satu contohnya adalah yang berkaitan denggan masalah PT Lapindo Brantas Inc dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo.

Bayangkan saja, pemiliknya yang pernah menjadi orang terkaya di Indonesia, dalam statusnya tersebut pun, berhutang kepada orang-orang miskin (korban lumpur) — meskipun sebenarnya juga kepada pengusaha-penguasaha pemilik pabrik yang pabrik-pabriknya ikut terendam lumpur. Tapi mayoritas adalah rakyat miskin. Hutang (dalam bentuk ganti rugi) konglomerat kepada rakyat miskin ini, ironisnya tidak disertai dengan itikad baik untuk membayar. Padahal kalau mau sejak awal, pembayaran tersebut bisa dilakukan.

Berbagai alasan dan jurus berkelit pun digunakan untuk menunda pembayaran tersebut. Kalau bisa malah tidak membayarnya sama sekali, dengan adanya niat yang pernah diutarakan supaya pemerintah yang melakukan pembayaran tersebut. Karena itu terlalu kelihatan tidak masuk akal, akhirnya taktik mencicil pun dijalankan.

Selama sudah lebih dari dua tahun pembayarn cicilan tsb — bayangkan, konglomerat "mengambil kredit" dari rakyat miskin — terus bermasalah sampai hari ini. Pembayaran cicilan sudah jatuh tempo, tetapi rakyat korban lumpur belum juga dibayar. Tidak perduli, itu membuat rakyat korban lumpur tersebut terus berkepanjangan penderitaannya. Sudah beberapakali mereka, sampai ribuan jumlahnya nekat datang ke Jakarta untuk mengadu nasibnya langsung ke pemerintah pusat, tapi rupanya membantu rakyat miskin korban lumpur Lapindo tersebut bukan termasuk wajar. Sebaliknya, malah pemerintah terus-menerus membela dan membantu Grup Bakrie ini. Yang ini wajar, setidaknya menurut Wapres Jusuf Kalla. "Wajar, pemerintah membantu Bakrie," kata JK yang berkali-kali seolah-olah menjadi juru bicara Grup Bakrie, termasuk dalam kasus Lumpur Lapindo.

Jadi, wajar, pemerintah bantu Bakrie, sebaliknya, tidak wajar pemerintah bantu rakyat korban lumpur tsb? Maka itu tidak dilakukan?

Sekarang, jurus berkelit baru mau dipakai lagi untuk tidak segera membayar sisa cicilan ganti rugi 80%. Melainkan dicicil Rp 30 juta/bulan. Pemerintah pun menyetyujui kehendak Bakrie dengan membuat kesepakatan baru sekaligus melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri. Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 14 Thn 2007 Pasal 15 (2), sisa pembayaran 80% itu sudah harus dilakukan paling lambat dua bula sebelum masa kontrak rumah para korban lumpur itu berakhir, atau sama dengan tanggal 01 Desember 2008 lalu. Krisis ekonomi saat ini dimanfaatkan sebagai alasan tsb. Padahal semua orang tahu bahwa sejak belum krisis pun niat baik itu tidak tampak.

Maka kelihatanlah bahwa "semua orang sama di hadapan hukum" dan "semua orang harus tunduk di bawah hukum" hanya sebatas slogan yang kontradiktif dengan praktek, benar-benar terbukti dalam kasus ini.

Betapa tidak, ketetapan dalam sebuah Peraturan Presiden bisa dilanggar begitu saja demi kepentingan pihak Bakrie. Lucunya, lagi-lagi Wapres JK, berkumandang mengatakan bahwa semua pihak harus menghormati kesepakatan baru tersebut. Padahal baru saja terbukti dengan jelas bahwa pemerintah sendiri tidak menghormati aturan yang dibuatnya sendiri di dalam Peraturan Presiden tersebut.

Sebenarnya, bukan sekarang saja hukum diobok-obok demi kepentingan Bakrie, tetapi sudah sejak awal ketika Peraturan Presiden ini dibuat. Salah satunya, adalah ditetapkan bahwa tanggung jawab Bakrie hanya sebatas peta terdampak yang dibuat pada Maret 2007, di luar peta tersebut semua kerugian ditanggung pemerintah dari APBN.

Ketentuan ini telah melanggar prinsip pertanggungjawaban mutlak pengusaha hulu migas menurut pasal 6 (2) c UU No. 22 Thn 2001 yang seharusnya meanggung seluruh modal dan risiko.(Subagyo, Surya On-Line. 08 Sept. 2008)

Lebih ironisnya lagi infrastruktur jalan tol Porong-Gempol yang ikut rusak, tak mungkin dipakai lagi, proyek jalan tol baru yang berbiaya triliunan rupiah, penggantinya, ditanggung pemerintah.

Sementara itu anak perusahaan dari grup usaha Bakrie lainnya, justru mendapat beberapa proyek jalan tol, seperti ruas tol Kanci-Pejagan dengan dana kredit Rp 1,38 triliun dari Bank BRI dan BNI dengan jaminan pemerintah. grup Bakrie juga mengambil-alih degan menyuntik dana untuk proyek ruas tol Pasuruan – Probolinggo. Juga ada niat dari anak usaha lainnya, PT Bakrie Ind Infrastucture untuk menggarap tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang membutuh dana sebesar Rp 6,18 triliun ("Bisnis Indonesia," 10/11/2008).

Sebelumnya, pada April 2008 lalu, pemerintah melalui Menteri PU Djoko Kirmanto, mengundang PT Bakrieland Development menggarap tiga ruas tol sekaligus; Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, Batang-Semarang, yang disambut positif oleh pihak Bakrie.

Memang secara hukum, hal-hal tsb di atas tidak berhubungan. Tetapi, bagaimana dengan tanggung jawab moral pemerintah dan pihak Bakrie? Sementara rakyat miskin korban lumpur dibiarkan terlunta-lunta, dibiarkan sengsara selama dua tahun lebih hidup tanpa kepastian, tidak dibantu dengan berbagai dalih, di antaranya kesulitan dana, tetapi pemerintah dan Grup Bakrie justru "bahu-membahu" untuk menyelamatkan, membantu, dan mendapat berbagai proyek yang jumlahnya triliun rupiah untuk perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie.

Kontradiksi-kontradiksi ini semakin bertambah dengan jabatan yang dipegang oleh pemilik Grup Bakrie ini, Abu Rizal Bakrie sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang malah "menyengsarakan" rakyat (korban Lumpu Lapindo). Sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat itu malah tidak pernah mengunjungi para korban itu secara langsung, dan berinisiatif mengatasi kesengsaraan yang telah diderita selama lebih dari 2 tahun itu.

Alhasil, bukan kesejahteraan yang diperoleh, tetapi justru kesengsaraan yang "didapat dari" Menteri Kesejahteraan Rakyat tsb.