Selasa, 11 Nopember 2008  Kota ini saya kunjungi pertama kali bulan Desember 1959 dan sejak itu saya telah puluhan kali ke sini. Saya beberapa kali saya hanya singgah ke kota ini hanya untuk tidur saja. Pernah saya mengakhiri perjalanan around the world, begitu lelahnya tubuh saya, karena kegiatan kerja dan jet lag, saya secara impulsive mendarat di Singapura dan keluar dari lapangan terbang langsung mencari hotel. Karena tanpa pesan terlebih dahulu, saya tentu saja tidak mendapat kamar segera, tetapi ketika saya ditawari Presidential Suite di hotel Le Meridien, saya mau dan terima saja.

 

 Begitu lelahnya badan, saya hanya sempat membuka jas dan saya tertidur masih mengenakan pakaian sisanya, sepatu bisa saya copot tetapi kaus kaki saya tetap setia membungkus kaki. Selain untuk tidur, kota ini sering saya pakai njajan segala jenis masakan makanan, kalau makan lobster juga ada, tidak usah ke restaurant besar dan bagus. Makan di Hawker's Centre di tempat parkir mobil kalau siang hari, cukup enak dan yang paling penting: BERSIH.

Nah, masalah bersih di Singapura itu sudah budaya dan kebiasaan semua orang. Saya tau bahwa hal ini bisa dilaksanakan karena memang ada undang-undangnya dan jangan lupa, undang-undang tersebut benar-benar dilaksanakan. Kita tau bahwa orang-orang ras Tionghoa amat sering berkebiasaan mengeluarkan dahak dan meludahkannya di manapun. Mengherankan sekali, di Singapura tidak banyak kita lihat orang melakukan itu, mungkin hanya saya, karena hari pertama saya tiba kemarin, saya kena flue, berat juga. Sejak tahun 1970an Singapura sudah bersih seperti sekarang. Bahkan pernah meraih sebagai kota yang terbersih di dunia, malah dinyatakan sebagai kota yang paling hijau. Upacara pemberian penghargaan ini dilakukan di New York, dan secara mengejutkan, beritanya saya baca di dalam upacara di New York itu, kota Surabaya pun menerima penghargaan yang semacam tetapi tidak sama. Waktu itu Surabaya dipimpin oleh Walikota Poernomo Kasidi, seorang dokter gigi dan berpangkat Kolonel Angkatan Darat. Saya pernah menulis surat kepada beliau menyatakan rasa terima kasih dan  kegembiraan hati saya bahwa Surabaya belum pernah mengalami kebersihan yang setingkat seperti saat itu.

Sudah hampir 40 tahunan sejak saya bilang Singapura bersih seperti di atas, sekarang inipun saya masih tetap memuji dengan tingkat pujian yang sama. Hampir tidak ada complain. Pada tahun 1959 waktu saya datang pertama kali, saya melihat Singapura seperti Glodok waktu itu, ada rasa kumuh dan kotor di mana-mana. Malah ada orang Singapura yang mengatakan bahwa : You can pay somebody else five hundred Dollars only, to kill someone – Anda bisa membayar hanya seratus Dollar untuk membunuh seseorang.

Tanggal 9 Nopember 2008 kemarin saya berkesempatan masuk ke dalam Singapore Botanic Gardens. Saya belum pernah memperhatikan tempat yang satu ini, karena demikian banyaknya pusat-pusat keramaian yang ada. Dulu sering ke Japanese Garden dan Bird Garden kalau ada waktu luang. Tetapi melihat yang satu ini, sungguh saya heran, karena letaknya dari Orchard Road hanya sepenggalan tangan kalau jalan kaki. Kita bisa naik bis atau taxi dan bisa sampai ke situ dengan nyaman. Saya masuk, menunjukkan Kartu Tanda Penduduk saya seorang yang senior citizen tinggal di Kanada. Apa perlunya? Dengan status senior saya hanya membayar satu dollar saja dan bersama istri hanya membayar hanya dua Dollar saja. Orang dewasa biasa, artinya belum manula – manusia usia lanjut, membayar lima dollar seorang. Di Indonesia? Saya pernah masuk gratis di Pekan Raya Jakarta di bekas Lapangan Terbang Kemayoran. Selain dari itu saya tidak ingat menikmati diskon di Indonesia, kalaupun ada, saya sudah lupa.

Anda bisa melihat 60 buah photo dari sebagian photo-photo yang saya klik sendiri di:   kemudian silakan klik disini: , mungkin anda ingin mengetaui lebih jauh mengenai taman surga di muka bumi ini, silakan buka http://www.sbg.org.sg .

Meskipun saya bukan ahli tanam-tanaman, lebih dari enampuluh persen tanaman yang ada di Singapore Botanic Gardens, di Indonesia juga terdapat tanaman-tanaman seperti itu. Jadi kalau Indonesia berkesempatan membangunnya, pasti akan menarik. Saya pernah menemukan angrrek-anggrek yang indah di tengah-tengah hutan di Kalimantan dan pulau lainnya. Demikian juga jenis-jenis tanaman lain di tempat-tempat terpencil, yang kalau di Jakarta saat ini dijual dengan harga berjuta-juta Rupiah. Seperti halnya juga dengan Singapore Bird Garden pada beberapa tahun yang lalu, burung-burung di dalamnya juga banyak yang berasal dari Nusantara.

Yang terlihat timpang adalah kita sendiri amat kurang dalam memelihara kekayaan alam yang dimiliki secara nasional, kurang meminati dan kurang sanggup membiayai. Saya pernah melihat yang semacam ini, didirikan oleh Robert Pim Butchart orang kaya pemilik industri Portland Cement, The Butchart Gardens, terletak di The Greater Victoria, Pulau Vancouver di Kanada bagian Barat dan juga Bird Garden di Pulau Bali. Di Tokyo juga ada taman-tamanan semacam ini yang berfungsi sebagai paru-paru kota seperti Hibya Koen (baca koèng) dan Ueno Koen. Kadang-kadang saya merasa ngeri juga bila melihat dan menyaksikan pembangunan-pembanguan mall mall di Jakarta dan kota-kota kecil lain di seluruh Nusantara. Memang secara kebersihan sebuah mall pasti lebih dari baik kalau dibanding dengan pasar tradisional, akan tetapi secara ekonomi tidak menunjang ekonomi rakyat. Jangan menyangka bahwa mall akan dikujungi oleh orang-orang yang keadaan ekonominya menengah ke atas saja, kaum miskin dan papa pun berkunjung kesana. Itu berarti peminat pasar tradisional dan kemungkinan lahan yang digunakan tidak dapat bermanfaat kalau misalnya lebih memilih membangun sebuah taman yang kecil sekalipun. Terakhir saya menjadi sedih sekali terhadap pembangunan mall di areal bekas Hotel Indonesia oleh PT Grand dan Pacific Mall yang saya rasakan bahwa mall-mall mewah seperti itu kurang perlu bagi rakyat kecil di Indonesia. Juga akan dibangunnya kompleks-kompleks perumahan, condominium atau apartemen-apartemen dan fasilitasnya yang memakan lahan baik di Jakarta Barat dan sekitar pantai Utara Jakarta. Lihat Lapangan Bola di Menteng dan lapangan yang bundar di daerah Mega Kuningan yang sekarang suah disulap mejadi Hotel dan hunian lain yang otomatis tidak menyisakan  lahan terbuka untuk rakyat umum.

Kepada Gubernur dan Menteri yang saya yakin sudah megerti apa yang saya kemukakan ini, laksanakanlah tugas-tugas anda agar horizon kita tidak semakan pendek jaraknya. Lihatlah lebih jauh, kalau perlu berjinjitlah di atas ujung sepatumu.

Anwari Doel Anowo

Singapore, 11/11/08  –  04:47