Tag
(Once upon a time, Indonesia was well-known in the world as a nation of peace, tolerance and religious pluralism. Other countries even made us their example, a country full of people with various religious beliefs, from various ethnic and language background, people who live side by side in harmony.
Indonesia was and even more now, a very religious country, where the people live and breathe religion. It doesn’t matter what religion a person is, as long as it’s one of the six official religions. While it is unheard of in developed countries, in Indonesia identity cards bear not only name, address and sex, but also religion. Thus, religion is a must in the country of 240+ million people.
I still remember as a little girl, my Christian neighbors would come to our house in Eidl Fitr to celebrate our Ramadan victory with us, and vice versa, we would come to their houses to celebrate Christmas with them. Back then, we were not suspicious with one another, we were all like one big happy family, with real problems, none of which originated from religion. Those were good times.
I also remember being taught that religious people, specifically Muslims, go to heaven (if they’re good) and others do not. As kids, our schools taught us communism equals atheism and therefore very, very bad. This is deeply embedded in our minds which is why many Indonesians feel somewhat afraid or even disgusted towards communists and atheists.
As a little Muslim girl, at home and in Madrasah, I was taught that Jews were our enemy, never mind the fact that the Koran says otherwise. Christians weren’t mentioned, as it was politically incorrect to address them as our enemies back then. Besides, the President was close with the Christian community as well as the Muslims, making it a point that we were brothers and sisters who must fight the latent danger of communism and atheism.
Back then, I thought religious people like my dad, with his Peci, white shirt and sarong, reading the Holy Koran and doing the daily 5 obligatory prayers, Friday prayers plus the sunnahs like Dhuha and Tahajud; Or neighbors that go to church every Sunday and have bible studies once or twice a week, were perfect. Maybe they were, then. Living without a religion was something unthinkable, and most certainly a life that would doom a person to hell.
Fast forward several decades, things have changed. Not for the better, but for the worse. Now, the country is becoming more religious than ever, but tolerance is slowly becoming a thing of the past. Suspicion of Christian evangelism, for example, is rampant everywhere in the country with ridiculous accusations of lures of instant noodle to make one convert. Not only that, even sects within Islam are now attacked, despite sharing the same God and the same Holy Book.
Many of us are not obeying the law but instead take matters into our own hands. We are bypassing God as the only rightful entity to judge and condone or condemn anyone. Attacks and burning down of churches, places of worship and even mosques of different Islamic faith from Indonesia’s mainstream Islamic brand make many feel threatened to continue living in this tropical paradise. The government is weak and caves in to terrorist demands. A real shame that would make our founding fathers turn in their graves.
However, as we are growing more religious, good morals seems to have declined. There is no more shame in bribery, in prostituting the country by selling its resources to the so-called ‘infidels’ for big money while the country is short of the resources sold;
there is no more shame in adultery, in human rights violations, in cheating the poor; there is no more shame in flaunting riches in front those who don’t have enough money to buy a decent meal, in attacking people for having different beliefs, in condoning immoral and violent acts;
there is no more shame in oppressing ethnic and religious minority, in stealing funds intended to help those struck with earthquake/tsunami;
there is no more shame in not being polite, in offending our brothers and sisters of different beliefs, of displaying behavior and attitude suitable for the middle ages, and;
there is no more shame in abandoning victims of a disaster as a result of one’s greedy attempt to rich themselves, in any immoral acts in the interest of one’s self or group, being a bigot, racist and being discriminative.
We are instead fixated in pornography, women’s dress codes, dangdut singers’ dance and internet as if those are the only things in the world that could and would corrupt the moral of our future generation. We aren’t even ashamed of the fact that we are in the top 10 of most corrupt countries in the world, as if money is our new God, yet we are, without a doubt, one of the most religious nations in the world.
As I see all those above and more so-called religious people fighting with one another. Where one feels more self-righteous than the other and worse, hurting and killing people in the name of God, a God – if It exists at all – who would most likely shed a tear in sadness and frustration at all this, my opinion and feeling towards religions have changed 180 degrees.
I now strongly believe that religions are the culprit of all hurt and heartaches the people of this world has endured in the past, present and future. I believe it’s nothing but poison to the human mind. It limits our thinking, promotes hatred and violence and it tries to control us with threats of hell and lure us into doing evil things with promises of heaven. The day I know what religion God believes in, is the day I will once again believe in a religion. But until then, all the points above are the reasons why I think religion doesn’t matter at all.
First published in Rima's blog: http://rimafauzi.com/blogs/
Anonim said:
bravo buat Rima, bravo juga buat auperkoran yang memuat tulisan cewe cewe feminis Siti Suwarni, Laksmi, Nana dan sekarang Rima! Semua mereka ini kritis thd agama terutama organized religion. Nana bagus kalau menulis dalam bhs Indonesia, bhs Inggrisnya masih patah patah 🙂
SukaSuka
Anonim said:
sadar, sadarlah Rima: baca ini: ?Lalu kulihat Api (neraka), dan aku belum pernah melihat sebelumnya pemandangan yang sangat mengerikan, dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah PEREMPUAN.? Orang-orang bertanya, ?O Rasul Allah! Mengapa begitu?? Dia menjawab, ?Karena mereka tidak bersyukur.? Dikatakan, ?Apakah mereka tidak percaya pada Allah (apakah mereka tidak bersyukur pada Allah)?? Dia menjawab, ?Mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka dan tidak bersyukur untuk kebaikan yang dilakukan pada mereka. Bahkan jika kau berbuat baik pada satu diantara mereka seumur hidupmu, jika dia menerima kekerasan darimu, dia akan berkata, ?Aku tidak pernah melihat satu pun hal yang baik darimu.? ? Bukhari 7.62.125
SukaSuka
Anonim said:
Yang anda kutip itu bagaikan omelan seorang yang berhalusinasi karena konsum narkotik ! Dan rupanya anda juga pemadat ? Bravo Rima !! Teruskan menulis/membongkar tabu2 larangan yang diciptakan oleh pemadat-pemadat abad-abad zaman batu sampai abad pertengahan demi kemajuan kemanusiaan!
SukaSuka
Anonim said:
Utk penulis komen no 1: Terima kasih, dan bravo juga utk anda dan orang lain seperti anda yang mau menerima tulisan seorang penulis amatiran seperti saya dengan pikiran terbuka. Utk penulis komen no 2: Terima kasih atas peringatannya, namun saya yakin Tuhan bukanlah sebuah entity yang sexist dan diskriminatif terhadap jenis kelamin. Sepertinya pembuat dosa dan penjahat dari kaum lelaki tidak kalah banyak dari perempuan, bahkan boleh dikatakan lebih banyak. Tuhan saya bukan Tuhan yang lemah dan manusiawi (cek blog saya dan baca tulisan berjudul Tuhan yang lemah) maka saya yakin bahwa Dia (kalau Tuhan itu memang ada) tidak usil mengurusi orang orang seperti saya. Tapi sekali lagi, terima kasih atas peringatannya, berarti anda yang asing saja masih care terhadap saya.. 🙂 utk penulis komen no. 3: hehehehe.. terima kasih atas dukungannya, saya memang akan terus menulis apa saja yang numpang lewat di kepala saya 🙂 dan saya akan lebih enjoy melakukan itu karena ternyata ada yang membaca tulisan saya tersebut!
SukaSuka
Anonim said:
Dear Rima, membaca tulisan ttg hal ini saya seakan melihat diri saya di cermin bertahun yang lalu. Tapi semakin bertambah usia, semakin saya merenungi segala sesuatu yang ada di hadapan saya yang tidak bisa diciptakan oleh manusia, selalu membuat saya kembali lagi kepada kesimpulan bahwa memang ada “SESUATU” entah dimana yang mengatur semua ini yang untuk mempercayainya memerlukan “AGAMA” sebagai pintu masuk. Saya hanya bisa berdoa semoga suatu saat nanti Rima bisa menemukan kembali fungsi agama dalam kehidupan ini. Salam.
SukaSuka
Anonim said:
Untuk penulis komen 5: Pertama-tama, saya ingin berterima kasih atas doanya. Kedua, saya masih percaya ada “SESUATU”, namun saya sangat percaya bahwa “AGAMA” yang kita kenal sekarang ini bukanlah pintu masuk tapi suatu perkumpulan yang sarat dengan muatan politik yang diciptakan manusia untuk hal-hal yang ada hubungannnya dengan keinginan menguasai dunia dan keserakahan. Saya kenal banyak orang yang tidak beragama tapi yang hidupnya sangat tenang dan berkelakuan jauh lebih baik dari mereka yang saya kenal sangat beragama. Tapi sekali lagi, terima kasih atas doanya, saya senang sekali masih ada orang yang mendoakan saya.:)
SukaSuka
Anonim said:
melihst kejadian kejadian kebiadaban di <indonesia, saya berpendapat bhw agama gagal total memperbaiki apapun. nilai agama =0!
SukaSuka
Anonim said:
Setiap orang berkumpul bersama yang dicintainya. “hai jiwa yang tenang..Kembali kepada Allah dengan merasa senang dan disenangi..” Bagaimana caranya..? Apakah kita akan mencari sendiri jalan yang baru , pemikiran baru..? Atau apakah kita akan melalui dan melewati jalan-jalan orang dulu yang telah sampai..? Apa ada PEDOMAN (“PETA”) dan PETUNJUK (“PEMANDU”)nya..dan sangat mungkin juga perlu SARANA..? Mudah2an kita berhasil mendapatkan PEDOMAN, PETUNJUK dan SARANA yang mengantarkan kita sampai ke tujuan. Bagaimana menjatuhkan keputusan bahwa PEDOMAN, PETUNJUK dan SARANA yang akan kita gunakan adalah HAQ..? Berjalan di LAUT, DI DARAT ATAU DI UDARA masing2 memerlukan PEDOMAN, PETUNJUK dan SARANA tersendiri. Tapi jalan di atas rel dengan kereta api lebih nyaman.. Setiap JALAN (PILAHAN)punya KENIKMATAN sendiri dan tujuannya adalah mendapatkan KENIKMATAN..KENIKMATAN yang mana..? Bismillahir Rahmanirrahim ..Alif Lam Mim Dzalikal kitabu la raiba fihi hudanllil muttaqin..(al-baqarah 1-2)Shiratl ladzina an’amta ‘alaihim..ghoiril maghdubi ‘alaihim..waladhdholin..Amin.(al-fatiha). KENIKMATAN orang yang dirdhoi ALLAH bukan yang dibenci. Tapi jalan itu sulit lagi mendaki..Tidak serta merta begitu saja keridhaan Allah itu kita dapatkan. Tapi prasyarat pertama dan utama adalah Iyya kana’ budu. Pengakuan Penghambaan. Hamba yang menghamba. Bagaimana kelakukan hamba yang menghamba..Ini aja belon mampu kita lakukan dengan benar..
SukaSuka
Anonim said:
Apapun persepsi manusia. Tuhan tetap consistence dengan rencananya. Tidak ada yang mampu merubah Tuhan. Manusia memang egois. Manusia memang bodoh. Manusia memang suka yang mudah-mudah, yang ‘enak-enak’, yang dapat memuaskan nafsunya, apapun resikonya. Manusia memang suka memanipulasi, bohong, mencari pelarian, minum-minum sampai lupa semua, pakai narkoba dan sekaligus menjadi munafik. Manusia memang suka bunuh-bunuhan, baik secara primitif maupun secara canggih, tinggal tekan tombol sekian ribu manusia mati. Siapapun boleh menganggap tidak ada tuhan, menertawakan tuhan, asik dengan diri sendiri. Tuhan tidak pernah tidur, tidak ada satupun yang mampu merubah Tuhan.
SukaSuka
Anonim said:
jadi ingat wajangan mbah saya yang abangan itu.. God is within you… God is everywhere…. but never and never think yourself is a God mending ana milih jadi kejawen aja dah…
SukaSuka