Menjelang bulan puasa saya selalu dengan semangat mempersiapkan diri baik mental dan fisik untuk bersabar dan menahan diri sebulan penuh.
Saya harus bersabar dan menahan diri saat jam sahur dibangunkan oleh
kebengisan suara corong mesjid dengan kebisingannya. Akibatnya
saat bangun pagi kepala pening dan masih terasa kantuk karena kurang
tidur.

Saya juga harus bersabar saat makan siang sulit menjumpai restoran
dan warung makan, penyakit maag saya sering kambuh saat
bulan puasa ini bulan yang penuh rahmat dan barokah katanya. Kadang
saya harus terpaksa menunda makan siang saat bersama teman2 atau
klien karena gak enak, egois dan tidak menghormati rasanya
meninggalkan mereka saat jam makan siang.

Saya juga harus bersabar dan menahan diri saat harga2 kebutuhan pokok
melambung tinggi karena memang permintaan dan kebutuhan masyaraka
meningkat saat bulan puasa ini. Kenapa ya ? bukankah seharusnya
konsumsi makan berkurang ? ternyata logika itu salah setiap tahun
pemerintah repot menjamin ketersediaan pangan yang harus disediakan
lebih dari bulan2 lainnya. Konsumsi makanan memang meningkat secara
kwalitas dan kwantitas. Dan tidak ada ulama2 yang peduli dengan itu..

Saya juga harus lapang dada saat sulit mencari tempat makan malam
saat pulang kerja ke restauran karena hampir penuh dengan orang2 yang
berbuka puasa bersama, terutama restauran2 yang mewah. Mereka dengan
sangat suka cita penuh canda dan tawa menyantap dengan rakus makanan
dan minuman yang jauh lebih mewah dari kesehariannya seolah2 pantas
menerimanya karena telah berkorban saat siang hari.

Usaha kecil yang saya jalankan bersama istri sangat berdampak saat
bulan ini akibat permintaan turun karena lebih banyak dialihkan untuk
kebutuhan2 pokok dan baju baru dan biaya pulang kampung. Usaha kecil
saya harus menanggung kerugian karena beban gaji malah bertambah 2
kali lipat dengan kewajiban membayar Tunjangan Hari Raya puluhan
karyawan. Kenapa yach kompensasi pada pekerja bukan atas kinerjanya
saja saat produktivitas menurun karena minta pulang lebih awal gak
bisa lembur dan kemampuan fisik menurun tetapi kompensasi pada
pekerja harus bertambah 2 kali libat.. emh.. padahal kompensasi
insentif atas target juga sudah diberikan setiap bulan. Ohhh.. saya
harus lebih bersabar menahan diri lagi begitu kata istri saya karena
bukan cuma karyawan yang menuntut THR tetapi rekan bisnis, aparat
negara yg selama ini kadang terlibat dalam usaha saya ikut menuntut
THR. Padahal mereka khan sudah mendapatkan dari instansi mereka
bekerja dan mereka mendapatkan gaji atas melayani masyarakat.

Dan saya sayapun harus menahan diri karena tidak bisa lagi menikmati
hiburan malam di cafe bersama2 teman untuk menghilangkan kepenatan
pikiran akibat seminggu kerja. Mereka bilang tempat maksiat ?. ha..?
Apa yg dimaksud maksiat sih oleh para bigot ini ?.. DPR, Kejaksaan,
Kepolisian, Instansi pemerintah yg tinggi korupsinya gak ditutup..?
Kenapa ?..

Tapi Saya gak lagi bisa menahan diri saat istri saya mngadu dan
menangis karena dia dan bayinya dalam kandungan harus menahan lapar
berjam-jam saat ada urusan ke
luar kota ( cipanas, puncak ) di setiap restauran di tempel larangan
buka selama siang hari dibulan puasa. Saya tak kuasa menahan marah
dan sakit hati dengan terus memaki2. Anak saya yang masih dalam
kandungan wajib menghormati orang yang berpuasa dengan menahan lapar
seharian ?.. Luar biasa kebodohan para bigot ini.

Muso