Di Undang-undang Kejaksaan memang ada pasal yang memberi hak kepada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran sebuah buku. Ditinjau dari aspek tertentu, hak ini sebenarnya sah-sah saja. (Sebuah bukti atas dugaan pelanggaran terhadap sebuah tindak pidana,memang boleh ditahan, dilarang atau ditarik dari peredaran).
Tapi apa dasar Kejaksaan Agung untuk menyatakan buku
tertentu merupakan pelanggaran terhadap tindak pidana,
dan karenanya berhak untuk ditahan, dilarang atau
ditarik dari peredaran? Dengan kata lain, tindak
pidana mana yang dilanggar oleh sebuah buku sehingga
ia harus dilarang beredar?
Karena itu, menurut hemat saya, pasal ini masih
dipelihara dalam semangat Undang-undang Anti Subsersif
jaman baheula.
Dahulu pernah ada mahasiswa yang dipidana dan dijatuhi
hukuman oleh hakim pengadilan karena menyimpan atau
mengedarkan buku “terlarang”. Dan dalam kasus buku
tersebut maka yang menyatakan “terlarang” adalah
Kejaksaan Agung. Sungguh merupakan suatu kekonyolan.
Hakim menjatuhkan hukuman bukan berdasarkan apa kata
undang-undang; tapi apa kata Kejaksaan Agung.
Saya berpendapat, kalau Kejaksaan Agung menyatakan
sebuah buku sebagai “terlarang” maka itu bukanlah
sebagai sesuatu yang final. Fihak yang merasa
dirugikan karena bukunya dinyatakan terlarang (oleh
Kejaksaan Agung) seharusnya memperkarakannya di
pengadilan. Hanya keputusan pengadilan-lah (setelah
mendengarkan berbagai pertimbangan) yang berhak
menyatakan apakah sebuah buku “terlarang atau “tidak
terlarang”.
Dalam kasus pelarangan 13 judul buku sejarah oleh
Kejaksaan Agung ini, maka saya menganjurkan agar
fihak-fihak yang dirugikan melakukan langkah hukum
berikut: Memperkarakan Jaksa Agung ke Pengadilan. Atas
dasar apa ia menyatakan ke-13 buku tersebut sebagai
terlarang? Dan biarlah hakim yang memutuskan apakah
buku itu memang terlarang atau tidak terlarang.
Tapi saya pesimis bahwa langkah tersebut di atas bisa
berjalan. Ujung-ujungnya pengadilan kita yang
amburadul itu akan mengatakan bahwa hak untuk melarang
(entah apa pun dasarnya) memang sudah menjadi hak
Kejaksaan Agung, dan diatur oleh Undang-undang
Kejaksaan.
Karena itu langkah yang paling baik adalah: Mengadu
kepada Mahkamah Konstitusi dan meminta agar pasal
dalam UU Kejaksaan yang memberi hak kepada Kejaksaan
Agung untuk melarang peredaran sebuah buku dicabut,
karena tidak sesuai dengan UUD 45 yang telah
diamandemen.
Daripada sibuk membuat petisi, saya menganjurkan para
fihak yang dirugikan itu untuk bersatu, menunjuk
seorang pengacara dan mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi.
Horas,
Mula Harahap
Sejak 5 Maret 2007, Kejaksaan Agung melarang 13 judul buku pelajaran sejarah dengan alasan buku-buku tersebut tidak memuat peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan tidak menulis kata PKI dalam peristiwa G30S. Pelarangan ini merupakan kesalahan besar, pertama karena beberapa buku yang dilarang adalah buku pelajaran sejarah untuk kelas 1 SMP. Padahal pelajaran sejarah kelas 1 SMP belum sampai pada periode kontemporer, tapi masih membahas kerajaan-kerajaan nusantara. Kedua, buku kelas 3 SMP yang juga dilarang masih tetap menguraikan pemberontakan PKI di Madiun dan masih menggunakan istilah G30S/PKI. Pelarangan ini berdampak besar, tidak hanya pada penerbit tapi juga pada dunia pendidikan dan demokratisasi di Indonesia . Sejarah yang akan diajarkan di sekolah-sekolah hanya menjadi satu informasi tunggal yang akan terus menerus dicekoki, tanpa membuka diskusi tentang wacana-wacana lainnya. Lebih luas lagi, kebebasan untuk menerima informasi, berpikir dan membicarakannya telah dibelenggu. Pada 17 Maret 2007, para sejarawan, aktivis, guru guru sejarah dan individu-individu lain bertemu untuk mendiskusikan tindakan selanjutnya untuk menanggapi keputusan Kejaksaan Agung tersebut. Berikut adalah tindakan yang akan dilakukan: 1. menyebarkan petisi untuk menolak keputusan pelarangan buku pelajaran sejarah kurikulum 2004. 2. membuat press conference pada tanggal 20 Maret 2007 pk. 12.30 di Hotel Bidakara untuk menyatakan sikap kita. 3. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia akan membuat gugatan resmi terhadap Kejaksaan Agung sebagai institusi yang mengeluarkan keputusan pelarangan buku-buku sejarah kurikulum 2004. Petisi penolakan keputusan pelarangan buku-buku pelajaran sejarah dengan kurikulum 2004 kami sertakan dalam email ini. Jika anda ingin turut mendukung petisi tersebut, silakan kirim email ke grace_leksana@ yahoo.com berisi nama lengkap dan institusi yang diwakili (jika ada) atau profesi anda. Jangan menuliskan data tersebut dalam petisi, biarkan panitia yang melakukannya. Kami harapkan dukungan anda. PETISI KOMUNITAS SEJARAH INDONESIA Latar belakang Pada masa Orde Baru (dan sebelumnya) telah terjadi rekayasa sejarah untuk kepentingan penguasa. Setelah Soeharto jatuh tahun 1998, muncul gugatan terhadap penulisan dan pendidikan sejarah yang terjadi selama ini. Beberapa peristiwa yang kontroversial seperti lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G30S, Supersemar, dan Integrasi Timor Timur dipertanyakan kembali oleh masyarakat. Buku-buku yang dilarang telah dicetak kembali. Biografi dan memoar para korban Orde Baru terbit secara luas. Sejarah lisan dimanfaatkan untuk mengungkap kesaksian dari survivor. Pendidikan sejarah pun mengalami perubahan. Kurikulum 1994 (direvisi tahun 1999) yang dianggap terlalu sarat muatan telah diperbaiki dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian disebut Kurikulum 2004. Dalam beberapa hal Kurikulum 2004 lebih demokratis dari kurikulum sebelumnya. Dengan alasan yang masih dapat diperdebatkan, Kurikulum 2004 diganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(Kurikulum 2006). Untuk memenuhi tuntutan beberapa elit seperti Jusuf Hasyim (alm) yang mengatakan bahwa di Jawa Timur terdapat buku sejarah yang tidak memuat peristiwa Madiun 1948, maka Menteri Pendidikan Nasional meminta Kejaksaan Agung untuk buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan pada tingkat SMP dan SMA. Bukan hanya itu, kejaksaan Agung juga memeriksa Kepala Pusat Kurikulum yang baru (Diah Harianti) dan yang lama (Dr Siskandar). Tanggal 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S. Berdasarkan kenyataan di atas dan setelah membaca buku-buku pelajaran sejarah pada tingkat SMP dan SMA, maka kami komunitas sejarah Indonesia dengan ini menyatakan: Pertama, menolak pelarangan buku pelajaran sejarah yang dikeluarkan Kejaksaan Agung tertanggal 5 Maret 2007 Kedua, pelarangan itu mempunyai dampak negatif terhadap usaha mencerdaskan bangsa seperti digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 karena menimbulkan kebuntuan berpikir di kalangan dunia pendidikan. Hal itu jelas membingungkan guru dan siswa serta sangat merugikan penerbit. Dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, ini akan menyusahkan orang tua murid yang terpaksa membeli buku yang lain. Ketiga, pelarangan itu tidak berdasar karena buku sejarah kelas I SMP yang dilarang memang tidak memuat peristiwa Madiun dan 1965. Pengajaran pada kelas I SMP baru membahas sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dipengaruhi agama Hindu-Budha dan Islam. Adalah absurd karena Kejaksaan Agung melarang buku-buku yang tidak mencantumkan G30S/PKI (Matrodji, Sejarah Kelas 3 SMP, penerbit Erlangga) tetapi juga melarang buku yang tetap mencantumkan G30S/PKI seperti yang dikarang Tugiyono KS dkk (Pengetahuan Sosial , Sejarah, penerbit Grasindo) Keempat, persoalan kurikulum merupakan kewenangan Departemen Pendidikan Nasional bukan urusan Kejaksaan Agung. Kelima, kami meminta agar Jaksa Agung mencabut surat keputusannya no. 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007. Keenam, penindakan terhadap buku yang dianggap bermasalah oleh pemerintah, seyogianya melalui proses pengadilan bukan dengan pelarangan. Jakarta, 20 Maret 2007 Tertanda (disusun berdasar abjad) teman-teman yang sudah menyatakan kesediaannya untuk mendukung petisi: 1. A Syukur (pengajar Universitas Negeri Jakarta) 2. Ade Rostina Sitompul 3. Adi (Jaringan Kerja Budaya) 4. Agung Ayu (Lingkar Tutur Perempuan) 5. Agus F. Hidayat (Forum Anti Korupsi Tangerang/ FAKTA) 6. Andi Ahdian (Onghokham Institut) 7. Andi Nurhakim (SGT/ Serikat Guru Tangerang) 8. Andre Liem (Institut Sejarah Sosial Indonesia/ ISSI) 9. Anissa S. Febrina (Jurnalis) 10. Anom Astika (Institut Sejarah Sosial Indonesia) 11. Asvi Warman Adam (Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia) 12. B. I. Purwantari (ISSI) 13. Baskara Wardaya (sejarawan, direktur Pusdep Universitas Sanata Dharma) 14. Bonnie Triyana (redaktur Jurnal Nasional) 15. Budi Setiyono (Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, Sekretaris Yayasan Pantau) 16. Budiawan (pengajar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) 17. Chandra Gautama (editor KPG) 18. Didi Kwartanada (mahasiswa doctoral National University of Singapore) 19. Grace Leksana (ISSI) 20. Hendardi (PBHI) 21. Hilmar Farid (Institut Sejarah Sosial Indonesia) 22. Ita Fathia Nadia (mantan Komisioner Komnas Perempuan) 23. JJ Rizal (sejarawan, penerbit Komunitas Bambu) 24. Johnson Panjaitan (PBHI) 25. Karlina Supelli (pengajar STF Driyarkara) 26. Khairul (Onghokham Institut) 27. M Fauzi (Institut Sejarah Sosial Indonesia) 28. Maria Hartiningsih (wartawati) 29. Muhammad Faishal (Histra) 30. Muridan Wijoyo (mahasiswa doctoral University of Leiden) 31. Nani Asri Setiani (guru sejarah SMU 6 Jakarta) 32. Nursam (sejarawan, penerbit Ombak, Yogyakarta) 33. Radjimo Sastro Wojono (Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah) 34. Ratna Hapsari (guru sejarah SMU 6 Jakarta) 35. Razif (Jaringan Kerja dan Budaya) 36. Retno Listyarti (guru SMA 13 Jakarta Utara) 37. Rinto Trihasworo (ISSI) 38. Selamet (Suara Hak Asasi Manusia di Indonesia / SHMI) 39. Singgih Tri Sulistyono (pengajar Universitas Diponegoro, Semarang) 40. Siti Fadillah (guru sejarah) 41. Stanley Adiprasetyo (ISAI, Toko Kalam Utan Kayu) 42. Suparman (guru sejarah SMU 17 Jakarta) 43. Supriono/ Pray de Ferri (ISSI) 44. Wahyu Susilo (INFID) 45. Wilson (Praxis) 46. Yerri Wirawan (alumni pascasarjana EHESS, Paris) 47. Yoyok (Syarikat Indonesia, Yogyakarta) Nama-nama berikut tengah dihubungi untuk bergabung, banyak lagi yang akan menyusul: 1. Abdul Syukur (sejarawan, Universitas Negeri Jakarta) 2. Bambang Purwanto (guru besar sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) 3. Dewi Yuliati (sejarawan, Universitas Diponegoro, Semarang) 4. Dias Pradadimara (sejarawan, Universitas Hasanuddin, Makassar) 5. Edward Polinggamang (sejarawan, Universitas Hasanuddin, Makassar) 6. Erwiza Erman (sejarawan, pengurus pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia) 7. Gusti Asnan (sejarawan, Universitas Andalas, Padang) 8. Heddy Lugito (redaktur Gatra) 9. Idrus Shahab (wartawan senior, Tempo) 10. Imam Azis (Syarikat Indonesia, Yogyakarta) 11. Mestika Zed (guru besar sejarah, Universitas Negeri Padang. Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Sumatera Barat) 12. Onghokham (sejarawan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) 13. Sarkawi B. Husain (sejarawan, Universitas Airlangga, Surabaya) 14. Sartono Kartodirdjo (guru besar emeritus, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) 15. Singgih Tri Sulistyono (sejarawan, Universitas Diponegoro, Semarang) 16. Suhartono (guru besar sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) 17. Toeti Kakiailatu (penulis, almunus pascasarjana Sejarah, Universitas Indonesia) Dukungan Anda sangat berarti. Kirimkan nama, profesi atau asal lembaga (jika ada) dan domisili melalui e-mail ke grace_leksana@ yahoo.com